Anda di halaman 1dari 5

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbicara tentang filsafat ilmu tidak lepas dari membahas ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Ketiganya membentuk tiga cabang utama filsafat.
Ontologi atau teori alam berhubungan dengan pengetahuan itu sendiri dan bicara
tentang apa sesuatu itu sebenarnya. Epistemologi berkaitan dengan perolehan
pengetahuan dan bagaimana kita memperoleh pengetahuan. Aksiologi menjelaskan
sifat laba dan apa kegunaan dari pengetahuan yang diketahui sebelumnya.
Dalam proses perkembangannya, epistemologi terbagi menjadi 3 sistem : Bayani,
Irfani, dan Burhani. Ketiganya meiliki peran masing-masing dalam pengembangan
ilmu pengetahuan. Termasuk dalam kehidupan sehari-hari kita mungkin kita sering
menemui seorang Alim atau Wali yang dapat meramalkan kejadian tentang sesuatu
yang jauh sebelum sesuatu itu terjadi. Ada orang-orang tertentu yang diberi anugerah
berupa pengetahuan yang sifatnya misterius, metafisis dan bahkan cenderung ajaib.
Pengetahuan seperti itu termasuk kedalam materi yang akan dibahas dalam makalah
ini yaitu Epistemologi Irfani.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Epistemologi Irfani ?
2. Apa saja metode yang digunakan dalam Epistemologi Irfani?
3. Apa sumber yang digunakan dalam Epistemologi Irfani?
4. Bagaimana perkembangan Epistemologi Irfani?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari Epistemologi Irfani.
2. Mengetahui medote yang digunakan dalam Epistemologi Irfani.
3. Untuk mengetahui sumber-sumber apa saja yang digunakan dalam sistem
Epistemologi Irfani.
4. Mengetahui perkembangan Epistemologi Irfani.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Epistemologi Irfani

Sebelum menjelaskan pengertian Epistemologi Irfani, terdapat dua jenis


pengetahuan. Pertama, Ilm Muktasab (Pengetahuan yang dicari) adalah ilmu yang
identik dengan pengetahuan rasional. Kedua, Ilm Hudluri atau pengetahuan yang
dihadirkan. Menurut Mehdi Hairi Yazdi, pengetahuan Irfani termasuk ke dalam jenis
ilmu hudluri yaitu pengetahuan yang dihadirkan oleh tuhan kepada hamba-hamba
pilihan-Nya.
Secara etimologi Irfani dari kata dasar bahasa Arab ‘arafa semakna dengan
makrifat, berarti pengetahuan. Tetapi ia berbeda dengan ilmu (`ilm). Irfani atau
makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat
pengalaman (experience), sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh
lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql).1 Sedangkan arti dari Epistemologi
adalah teori pengetahuan atau cabang filsafat yang membahas tentang asal mula,
sumber, struktur, metode, dan validitas pengetahuan.
Jadi, Epistemologi Irfani merupakan sebuah pengetahuan yang diperoleh
melalui intuisi, atau istilah agamanya disebut pengetahuan ma'rifat. Istilah Irfan atau
makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara
langsung dari Tuhan (kasyf) lewat olah ruhani (riyâdlah) yang dilakukan atas dasar
hub (cinta) atau iradah (kemauan yang kuat). pengalaman pendekatan Irfani
bertumpu pada intuisi atau pengalaman batin, pengetahuan yang diperoleh melalui
metode Irfani ini disebut sebagai iluminasi atau pencerahan.

B. Metode Epistemologi Irfani

Metode Irfani disebut juga sebagai metode kasyfi berasal dari kata kasyaf yang
berarti penyingkapan. Yang berarti cara memperoleh pengetahuan melalui jalan
mistik atau tasawuf (tasawuf, dalam literatur barat diterjemahkan sebagai Islamic
mysticism). Dalam tradisi mistisisme Islam, kasyaf terdiri dari dua macam, yaitu
kasyaf yang diupayakan dengan berbagai usaha dan latihan, dan kasyaf yang diperoleh
tanpa usaha, yaitu penyingkapan yang datang begitu saja dari Allah kepada siapapun
yang dikehendaki-Nya. Kasyaf yang akan diuraikan dalam konteks epistemologi irfani
adalah kasyaf yang diperoleh melalui usaha dan latihan-latihan.
Dalam memperoleh pengetahuan Irfani, terdapat tiga tahapan yang harus
dijalani, diantaranya:
1. Takhalli (mengosongkan diri)

1
Wira Hadikusuma ”Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani Al-Jabiri dan Relevansinya Bagi Studi Agama
Untuk Resolusi Konflik dan Peacebuilding”, Syi’ar, Vol. 18 No. 1 (Januari-Juni 2018) hlm: 5.
Pertama adalah tahap persiapan untuk bisa menerima limpahan pengetahuan
dari Tuhan yang berupa Kaysf. Terdapat tujuh tahapan yang harus dijalani pada
proses Takhalli ini.
1) Taubat, kemauan meninggalkan dosa yang pernah dilakukannya.
Menyesali dan bersungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
2) Wara’, Menjauhkan diri dari hal-hal yang haram atau syubhat. Ibnu
Taimiyah menjelaskan dalam kitab Majmu Fatawa, “Sikap hati-hati dari
terjerumus dalam perkara bahaya yaitu yang jelas haramnya atau yang
masih diragukan keharamannya. Dalam meninggalkan perkara tersebut
tidak ada menfaat yang lebih besar dari mengerjakannya.”2
3) Zuhud, adalah sifat sederhana, tidak tamak dan tidak mengutamkan
kehidupan dunia.
4) Faqir, mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan dan tidak
mengehendaki apaun kecuali dari Allah SWT.
5) Sabar, menerima segala sesuatu yang terjadi pada diri dengan perilaku
sopan dan ikhlas.
6) Tawakkal, berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Percaya atas
segala apa yang ditentukan-Nya.
7) Ridha, kata Ridha dalam bahasa Indonesia berarti rela yang berarti
bersedia dengan ikhlas atas segala sesuatunya tanpa mengharapkan
imbalan, dengan kehendak atau kemauannya sendiri. Bisa juga diartikan
hilangya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya
gembira dan suka cita.3

2. Tahalli (mengisi)
Tahapan kedua adalah mengisi dan menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji
atau bisa juga disebut dengan tahap penerimaan. Tahalli adalah pengisian jiwa
melaui perbuatan dan ucapan-ucapan yang baik. Jika hati dan jiwa kita terisi
dengan hal-hal yang baik, maka ia menjadi cerah sehingga tidak ada halangan atas
limpahan cahaya pengetahuan dari Ilahi. Sehingga dapat menerima cahaya atau
limpahan ilmu dari Allah SWT.
3. Tajalli (Pengungkapan atau penampakan)

Dalam tasawuf, tajalli dimaknai sebagai penampakan diri Tuhan. Penampakan


tersebut dapat dimaknai secara luas, yaitu tajalli dzat dan tajalli syuhudi. Tajalli
dalam konteks epistemologi Irfani adalah tajalli syuhudi, yaitu limpahan dari
Allah berupa kenyataan aktual dan cita-cita empiris.
Alam semesta merupakan kumpulan fenomena empiris sebagai tajalli Ilahi
dalam berbagai wujud dan bentuk. Dengan demikian, tajalli berarti penampakan
pengetahuan atau terungkapnya suatu pengetahuan yang sebelumya tersembunyi
sebagai hadiah dari Tuhan. Dalam konteks ini adalah hadiah yang diberikan
kepada hamba-Nya karena telah melalui proses-proses seperti takhalli dan tahalli.
2
Majmu’ Fatawa, 10/511
3
M. Ulil Abshor, “Irfani Epistemology (A Review of Sufistic Interpretations)”, Vol. 3 No. 2, (Desember 2018)
hlm: 5-6

Anda mungkin juga menyukai