Anda di halaman 1dari 7

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Nabuwwah (Kenabian)

Secara etimologis, kata nubuwah berasal dari kata “naba-a” yang berarti kabar warta
(news), berita (tidings), dan cerita (story). Kata “nubuwah” sendiri merupakan mashdar dari “naba-
a”. Dan kata ”nubuwah” disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 5 kali di beberapa surat. Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nabi adalah orang yg menjadi pilihan Allah untuk
menerima wahyu-Nya dan kenabian adalah sifat (hal) nabi, yang berkenaan dengan nabi.

Ditinjau dari segi sosiologis, kenabian (nubuwah) merupakan jembatan transisi dari masa
primitif menuju masa rasioner. Para Nabi dan Rasul diutus ke dunia ini untuk membawa manusia
dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang. Zaman kegelapan di sini maksudnya adalah
zaman yang penuh dengan keburukan-keburukan moral, penyimpangan akhlak dan keyakinan,
sehingga dapat dikatakan bahwa zaman sebelum diutusnya para Nabi dan Rasul sama dengan
zaman primitif. Dikatakan primitif karena manusia masih dipengaruhi oleh kepercayaan-
kepercayaan kepada yang magis. Pada saat itu, manusia masih menganut kepercayaan animisme
dan dinamisme sebelum pada akhirnya sebagian dari mereka beralih kepada kepercayaan
monotheisme, dengan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa setelah para Nabi dan Rasul
datang membawa risalah atau ajarannya.

B. SIFAT WAJIB, MUSTAHIL, JAIZ BAGI ALLAH

a. Sifat-sifat wajib bagi allah

1. Pengertian Sifat Wajib Bagi Allah

Sifat wajib bagi Allah adalah sifat yang harus ada pada Zat Allah sebagai kesempurnaan bagi-
Nya. Allah adalah Khaliq, Zat yang memiliki sifat yang tidak mungkin sama dengan sifat-sifat yang
dimiliki makhluk-Nya. Zat Allah tidak bisa dibayangkan sebagaimana bentuk, rupa dan ciri-ciri-
Nya. Begitu juga sifat-sifat-Nya, tidak bisa disamakan dengan sifat-sifat makhluk. Sifat-sifat wajib
bagi Allah itu diyakini melalui akal (wajib aqli) dan berdasarkan dalil naqli (Al-Qur’an dan Hadits).

2. Pembagian Sifat-sifat Wajib bagi Allah

Menurut para ulama ilmu kalam sifat-sifat wajib bagi Allah terdiri atas 20 sifat. Dari 20 sifat itu
kelompokkan menjadi 4 kelompok sebagai berikut:
a. Sifat Nafsiyah, yaitu sifat yang berhubungan dengan Zat Allah. Sifat nafsiyah ini ada satu,
yaitu Wujud artinya ada.

b. Sifat Salbiyah, yaitu sifat yang meniadakan adanya sifat sebaliknya, yakni sifat-sifat yang
tidak sesuai, tidak layak dengan kesempurnaan Zat-Nya.
Sifat Salbiyah ini ada lima, yaitu:
1. Qidãm berarti Terdahulu
2. Baqa' artinya Kekal
3. Mukhalafu lil hawãditsi, artinya Berbeda Dengan Mahluk-Nya (ciptaan-Nya).
4. Qiyãmuhu binafsihi artinya Berdiri Sendiri
5. Wahdãniyah artinya Esa

Makalah Aqidah dan Ushuluddin “Hakikat Kenabian” 2


c. Sifat Ma’ani, yaitu sifat-sifat abstrak yang wajib ada pada Allah. Yang termasuk sifat ma’ani
ada tujuh yaitu:
1. Qudrat artinya Mahakuasa
2. Iradat artinya Berkehendak
3. Ilmu artinya Mengetahui
4. Hayat artinya Hidup
5. Sama' artinya Mendengar
6. Basar artinya Melihat
7. Kalam artinya Maha Berfirman.

d. Sifat Ma’nawiyah, adalah kelaziman dari sifat ma’ani. Sifat Ma’nawiyah tidak dapat berdiri
sendiri, sebab setiap ada sifat ma’ani tentu ada sifat ma’nawiyah. Jumlah sifat Ma’nawiyah sama
dengan jumlah sifat ma’ani, yaitu:
1. Qadiran artinya Mahakuasa
2. Muridan artinya Maha Berkehendak
3. Aliman artinya Maha Mengetahui
4. Hayyan artinya Maha hidup
5. Sami’an artinya Maha Mendengar
6. Bashiran artinya Maha Melihat
7. Mutakalliman artinya Maha Berkata-kata.

b. Sifat-sifat mustahil bagi allah


1. Pengertian Sifat Mustahil Bagi Allah
Sifat Mustahil bagi Allah yaitu sifat yang tidak layak dan tidak mungkin ada pada Allah dan
sekiranya terdapat sifat tersebut akan melemahkan derajat Allah.

2. Pembagian Sifat-sifat Mustahil Bagi Allah


Sifat-sifat Mustahil ini merupakan kebalikan dari sifat-sifat wajib bagi Allah, karena itu
jumlahnya sama, yaitu sebanyak 20 sifat. Adapun sifat-sifat mustahil tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Sifat Mustahil dari sifat nafsiyah ada satu, yaitu ‘Adam artinya tidak ada.

b. Sifat Mustahil dari sifat Salbiyah ada lima, yaitu:


1. Hudus artinya baru
2. Fana artinya Rusak
3. Mumãtsalatsu lil hawãditsi, artinya Sama dengan makhluk yang lain atau hal yang baru.
4. Ihtiyãjun ilã gairihi artinya Membutuhkan makhluk lain.
5. Ta'addud artinya berjumlah

c. Sifat mustahil dari sifat ma’ani ada tujuh, yaitu:


1. 'Ajzun artinya Lemah
2. Karãhah artinya Terpaksa
3. Jahlun artinya Bodoh
4. Mautun artinya Mati
5. Summun artinya Tuli
6. 'Umyun artinya Buta
7. Bukmun artinya Bisu.

d. Sifat mustahil dari sifat ma’nawiyah ada tujuh, yaitu:


1. ‘Ajizan artinya Mahalemah
2. Mukrahan artinya Maha terpaksa
3. Jahilan artinya Mahabodoh
4. Mayyitan artinya Mahamati
5. Ashamma artinya Mahatuli
6. A’ma artinya Mahabuta
7. Abkama artinya Maha

3
Makalah Aqidah dan Ushuluddin “Hakikat Kenabian”
c. Sifat-sifat jaiz bagi allah

1. Pengertian Sifat Ja’iz Bagi Allah


Kata “Jaiz” menurut bahasa berarti “boleh”. Yang dimaksud dengan sifat jaiz bagi Allah ialah
sifat yang boleh ada dan boleh pula tidak ada pada Allah.
Sifat jaiz ini tidak menuntut pasti ada atau pasti tidak ada. Allah bebas dengan kehendak_Nya
sendiri tanpa ada yang menghendaki. Allah boleh saja tidak menciptakan alam ini, jika dia tidak
menghendaki alam ini.

2. Pembagian Sifat Ja’iz Bagi Allah


Berbeda dengan sifat Wajib dan sifat Mustahil, sifat Jaiz bagi Allah hanya satu, yaitu:
Artinya:
“Memperbuat segala sesuatu yang mungkin terjadi atau tidak memperbuat-Nya.”
Yang dimaksud dengan sesuatu yang mungkin terjadi adalah sesuatu yang boleh terjadi dan
boleh juga tidak terjadi. Allah bebas menciptakan dan berbuat sesuatu yang Dia kehendaki.
Sifat Jaiz Allah hanya ada satu yaitu Fi’lu kulli mumkinin au tarkuhu, artinya
memperbuat sesuatu yang mungkin terjadi atau tidak memperbuatnya. Maksudnya Allah itu
berwenang untuk menciptakan dan berbuat sesuatu atau tidak sesuai dengan kehendak-Nya.

C. WAHYU DAN METODE KEWAHYUAN

Al-Qur’an adalah represintasi wahyu, merupakan suatu hal yang harus diakui oleh umat Islam.
Ini terlihat bahwa masuknya keimanan terhadap Al-Qur’an ke dalam salah satu Rukun Iman bagi
kaum muslimin.
Kewahyuan Al-Qur’an merupakan bentuk keimanan yang dapat diperoleh melalui bukti
fisik dan metafisik. Kebenaran Al-Qur’an secara fisik dapat dibuktikan melalui kajian ilmiah yang
sudah berkembang sejak zaman klasik. Dari pembuktian melalui pendekatan ilmiah ini kebenaran
Al-Qur’an agaknya dapat diterima tidak hanya oleh umat muslim tetapi juga non-muslim.
Sedangkan pembuktian secara metafisis hanya dapat diakui oleh pemilik keimanan (keyakinan)
yang tinggi, seperti para Sufi. Pembuktian ini bersifat subjektif, setiap individu memiliki
pembuktian berbeda yang tidak terikat oleh metode.

cara pewahyuan Al-Qur’an

Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan Malaikat Jibril selama 22
tahun 2 bulan 22 hari. Dalam proses pewahyuannya, terdapat beberapa cara untuk menyampaikan
wahyu yang dibawa Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad, diantaranya:

 Malaikat Jibril memasukkan wahyu ke dalam hati Nabi. Dalam hal ini, Nabi tidak melihat
sesuatu apapun, hanya merasa bahwa wahyu itu sudah berada di dalam kalbunya. Mengenai
hal ini, Nabi mengatakan: Ruhul Qudus mewahyukan ke dalam kalbuku, [1].
 Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi menjadi seorang lelaki yang mengucapkan
kata-kata kepadanya sehingga Nabi mengetahui dan dapat menghafal kata-kata itu.
 Wahyu datang kepada Nabi seperti gemerincingnya lonceng. Cara ini dirasakan paling berat
bagi Nabi. Kadang pada keningnya berkeringat, meskipun turunnya wahyu di musim dingin.
Kadang unta Baginda Nabi terpaksa berhenti dan duduk karena merasa berat bila wahyu
turun ketika Nabi sedang mengendarai unta.
 Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki, tetapi benar-
benar sebagaimana rupa aslinya

4
Makalah Aqidah dan Ushuluddin “Hakikat Kenabian”
D. MENGHAMPIRI MUKJIZAT DENGAN KEILMIANNYA

Istilah Al I’jaz Al ‘Ilmiy (kemukjizatan ilmiah) Al Qur’an mengandung makna bahwa sumber ajaran
agama tersebut telah mengabarkan kepada kita tentang fakta-fakta ilmiah yang kelak ditemukan dan
dibuktikan oleh eksperimen sains umat manusia, dan terbukti tidak dapat dicapai atau diketahui
dengan sarana kehidupan yang ada pada jaman Rasulullah saw.
Hubungan antara tanda-tanda kebenaran di dalam Al Qur’an dan alam raya dipadukan melalui
mukjizat Al Qur’an (yang lebih dahulu daripada temuan ilmiah) dengan mukjizat alam raya yang
menggambarkan kekuasaan Tuhan. Masing-masing mengakui dan membenarkan mukjizat yang lain
agar keduanya menjadi pelajaran bagi setiap orang yang mempunyai akal dan hati bersih atau orang
yang mau mendengar. Beberapa dalil kuat telah membuktikan bahwa Al Qur’an tidak mungkin
datang, kecuali dari Allah. Buktinya tidak adanya pertentangan diantara ayat-ayatnya, bahkan
sistem yang rapi dan cermat yang terdapat di alam raya ini juga tidak mungkin terjadi, kecuali
dengan kehendak Allah yang menciptakan segala sesuatu dengan cermat.
Syeikh Abdul Majid Az-Zindani, mengulas tentang mukjizat ilmiah dalam Al Qur’an,
“...Yaitu ilmu uji kaji modern datang dan mendalami kajian-kajian yang luas di dalam pelbagai
bidang, dengan bantuan alat-alat yang canggih, dan setelah beberapa pengembaraan yang
menjabarkan berserta seangkatan pengkaji, terbentuklah satu bahagian di samping satu
bahagian (yang lain) dan apabila fakta tersebut telah siap sempurna, tiba-tiba didapati ianya
telah pun dinyatakan di dalam kitab Allah (Al-Quran) sebelum 1400 tahun [yang lalu]. Lalu
orang ramai pun mendapat tahu bahawa Al-Quran ini diturunkan dengan ilmu Allah, dan
bukannya [datang] dari sisi seorang utusan yang [berada] di zaman .. sebelum 1400 tahun di
hari yang tidak ada sebarang perkakas kajian saintifik atau peralatan kajian ..”
Ketika fakta tersebut telah muncul maka akan muncul pula sebuah pertanyaan,
a. Dapatkah hal ini mejadi sebuah kejadian yang kebetulan bahwa akhir-akhir ini penemuan
informasi secara ilmiah dari lapangan yang berbeda yang tersebutkan di dalam al-Quran yang
telah turun pada 14 abad yang lalu?
b. Dapatkah al-Quran ini ditulis atau dikarang Nabi Muhammad SAW atau manusia yang
lain?
Dalam buku At Tafkir Faridhah Islamiyah (berpikir sebuah kewajiban Islam), Abbas Mahmud
Aqqad menyebutkan dua macam mukjizat yang harus dibedakan, yang pertama mukjizat yang
mengarah ke akal, dapat ditemukan oleh siapapun yang ingin mencarinya, mukjizat ini adalah
keteraturan gejala-gejala alam dan kehidupan yang tidak berubah berupa sunnatullah.
Yang kedua adalah mukjizat yang berupa segala sesuatu diluar kebiasaan. Mukjizat ini
membuat akal manusia tercengang dan memaksanya untuk tunduk dan menyerah. Hal yang dapat
kita jadikan i’tibar dalam mukjizat ilmiah pada Al Qur’an adalah motivasi/dorongan yang kuat bagi
manusia untuk selalu memperhatikan ayat-ayatNya (tadabbur). Tentusaja memperhatikannya
seiring dengan kemauan untuk memikirkannya dan mengingat penciptanya.

5
Makalah Aqidah dan Ushuluddin “Hakikat Kenabian”
Dari sini pula dengan mengkaji mukjizat ilmiah dalam Al Qur’an mampu menumbuhkan
keimanan dan rasa syukur pada Allah sebagaimana pernah disampaikan oleh Prof. Abdul Karim Al
Khathib, “Mukjizat Al Qur’an terletak pada kepioniran dalam menyatakan hal-hal yang baru saja
ditemukan oleh penilitian ilmiah”.
Kemudian Prof. Al Khathib menerangkan, “Maksud utama kami dalam menganalisis mukjizat
Qur’ani adalah menciptakan hubungan yang erat dengan kitab Allah dalam hati seorang muslim.
Kami ingin menanamkan iman terhadap Kitab Allah berdasarkan pengetahuan, pemahaman dan
perasaan yang murni terhadap ayat-ayat dan kalimat-kalimatNya.
Meskipun demikian, kami menemukan isyarat-isyarat Al Qur’an yang bersifat ilmiah. Hal ini
mendapatkan perhatian yang sangat besar dari kalangan para peneliti Eropa. Karena, isyarat yang
dikandung Al Qur’an sejak lima belas abad yang lalu ditemukan dan dibenarkan oleh ilmu
pengetahuan modern sekarang.
Meskipun telah banyak bukti-bukti ilmiah tentang kebenaran Al Qur’an, para pemuja
materialisme, para sekuler dan para ateis, tentu saja masih terus membantah kebenaran-kebenaran
Al Qur’an karena ketakutan akan implikasi mengakui keberadaan Sang Pencipta. Selain itu, mereka
selalu melakukan pembenarannya atas bukti-bukti logika (baca: matematis, empiris, biologis,
sosiologis) sebagai dasar pijakan postulatnya.
Menurut Muhammad Kamil Abdush Shamad tujuan dari kajian mukjizat ilmiah Al Qur’an
adalah untuk meluaskan cakupan hakikat dari ayat-ayat Al Qur’an, kemudian memperdalam makna-
makna yang terkandung di dalamnya sehingga mengakar dalam jiwa dan pemikiran manusia dengan
cara mengambil hikmah dari eksplorasi keilmuan kotemporer yang tercakup dalam makna-
maknanya. Sedangkan menurut Ibrahim Muhammad Sirsin, bertujuan memperdalam makna-makna
melalui proses analisis terhadap variabel-variabel yang detail. Juga melalui perbandingan mendalam
terhadap kritikan para pakar yang profesional di bidangnya serta para peneliti alam dan kehidupan
dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Kita juga tidak boleh memasukkan dan memaksakan
asumsi dan hipotesis ilmiah yang masih berupa bahan perdebatan dan masih diuji diantara para
pakar. Karenanya, tidak pantas orang yang mengadopsi asumsi-asumsi ini berusaha memaksakan
Al-Qur’an untuk menguatkan teorinya. Sebab, bisa jadi asumsi dan teori mentah itu nanti terbukti
tidak benar, lalu akhirnya mengkambinghitamkan Al-Qur’an. Namun hal ini dapat dijelaskan dalam
kerangka bahwa:
1. Tidak ada kontradiksi antara hakikat ilmu pengetahuan dengan hakikat Al Qur’an karena
berasal dari satu sumber.
2. Tafsir ilmu tidak akan mempengaruhi originalitas karena nash tidak mengalami perubahan
sesuai teks aslinya. Tafsiran yang diberikan yang akan disalahkan
Sebagaimana ditulis oleh Muhammad Mutawalli Asy Sya’rawi dalam kitab Mu’jizah Al Qur’an,
dikarenakan Al Qur’an adalah mukjizat maka nashnya harus tetap dan tidak berubah-ubah, kalau
tidak maka hilanglah mukjizatnya.

6
Makalah Aqidah dan Ushuluddin “Hakikat Kenabian”
Oleh karena itu, kalau nash tidak secara tegas menunjukkan pada salah satu teori ilmu sains,
maka tidak selayaknya bagi kita untuk memaksakannya, baik untuk menetapkan maupun untuk
menafikkan. Karena itu kita harus mencari ilmu dari jalannya masing-masing, ilmu astronomi
didapatkan dari penelitian, ilmu kedokteran didapat dari hipotesis dan uji coba. Dengan demikian,
niscaya Al Qur’an akan selalu terjaga, tidak dipergunakan untuk memperdebatkan teori ini, yang
mana semua teori ini bisa diterima juga bisa ditolak serta bisa pula diganti, sebagaimana juga tidak
layak bagi seseorang yang tidak mengetahui hakikat ilmu tertentu untuk menolak mentah-mentah
selagi tidak secara tegas bertentangan dengan nash yang shohih.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kesalahan pada manusia dalam menulis kitab bisa saja
terjadi, seperti apa yang telah dikatakan oleh Al Qodhi Al Fadhil Abdur Rahim bin Ali Al Baisani, “
Saya melihat bahwasanya tidak ada seorangpun yang menulis sebuah kitab kecuali besoknya dia
akan berkata : ‘Seandainya tempat ini diubah niscaya akan lebih baik, seandainya ditambah dengan
begini maka akan lebih bagus, seandainya ini dikedepankan niscaya akan lebih utama, dan
seandainya yang ini dibuang niscaya akan lebih indah.’ Ini semua adalah dasar yang paling kuat
bahwa manusia adalah makhluk yang serba kurang.”
Dari sisi lain bahwa pemahaman baru terhadap ayat itu tidak boleh membatalkan pemahaman
lama. Dengan ungkapan lain, kita tidak layak menuduh umat sejak jaman sahabat, bahkan sejak
jaman Nabi saw, salah dalam memahami satu ayat, kemudian mengklaim bahwa yang benar adalah
pemahaman yang dimiliki si penafsir baru itu. Selayaknya dikatakan, makna baru ini merupakan
tambahan yang digabungkan dengan pemahaman lama, dan bukan membatalkannya. Sebab diantara
keistimewaan Al-Qur’an, keajaiban-keajaibannya tidak pernah habis tergali. Kemukjizatan ilmu
pada Al Qur’an memang tidak memposisikan Al Qur’an sebagai kitab sains. Namun dapat
memberikan isyarat atau petunjuk untuk melakukan kajian lebih jauh terhadap pengembangan sains.
Isyarat ilmiah dalam Al Qur’an mengandung prinsip-prinsip/kaidah-kaidah dasar ilmu
pengetahuan di setiap jaman dan kebudayaan. Hal ini membawa maksud bahwa :
- Ayat yang memberikan isyarat tidak harus terperinci, sehingga para ilmuwan bisa mengkajinya
atau memperinci dengan melakukan penelitian.
- Mukjizat ilmiah Al Qur’an tidak hanya untuk waktu tertentu saja yaitu ketika terjadi penentangan,
namun berlaku juga ke masa yang akan datang.
Pada satu masa beberapa mukjizat dirasa kurang masuk akal atau bertentangan dengan nalar
dan logika. Tetapi kapasitas nalar dan intelektual yang dimiliki tidaklah sama, tergantung pada daya
pikir seseorang.

7
Makalah Aqidah dan Ushuluddin “Hakikat Kenabian”
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa kenabian (nabuwah) sangat erat dengan sifat-sifat wajib,
mustahil, jaiz. Serta cara penyampaian wahyu sangatlah baik dan secara berangsur-angsur.
Dapat disimpulkan bahwa mukjizat ilmiah pada Al Quran dapat memperkuat keimanan
terhadap Al Qur’an sebagai wahyu Allah. Kalaupun terdapat pertentangan sesungguhnya lebih
terletak pada jangkauan penafsiran atau teknologi yang mendukung eksplorasi sains. Dari
pendekatan arah yang lain mukjizat ilmiah yang ada pada Al Qur’an dapat memberikan motivasi
dan memberikan isyarat bagi pengembangan sains. Walaupun tentusaja harus dilakukan dengan
cermat dan menyeluruh serta didasari dengan kaidah penafsiran yang benar.

B. KRITIK DAN SARAN


Dalam penulisan makalah kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam penulisan
dan sebagainya, ataupun kurangnya kelengkapan dalam pembahasan masalah atau refrensi, untuk
itu kami mohon saran dan kritik yang bersifat membangun, karena saran dan kritik itu akan
bermanfaat bagi kami untuk memperbaiki atau memperdalam kajian ini.

8
Makalah Aqidah dan Ushuluddin “Hakikat Kenabian”

Anda mungkin juga menyukai