Anda di halaman 1dari 6

Nama : Ahmad Nurmizan

NIM : 18110141
Syekh Washil bin Atha’

Syekh Washil bin Atha’ atau sering juga disebut Abu Huzhaifah dan lebih dikenal
dengan gelar Al Gazzal lahir pada tahun 80 H di madinah dan meninggal dunia pada tahun
131 H di Bashrah.1 Lahir pada masa pemerintahan lahir Abdul Malik bin Marwan (65-86 H)
dari Daulah Umayyah dan wafat pada masa pemerintahan Khalifah Marwan II (127-132 H). 2
Syekh Washil bin Atha’ adalah seorang Maula keturunan Iran. Sejak kecil Washil mulai
belajar dan mendalami ilmu agama Islam di tempat kelahirannya, Madinah.
Syekh Washil bin Atha’ lahir dan berangkat dewasa pada masa perluasan wilayah
Islam sedemikian pesatnya, terutama pada masa pemerintahan Khalifah al-Walid I (86-96 H),
mencapai ke pegunungan Pyrenees di bawah panglima besar Thariq bin Ziyyad di dalam
menumbangkan kekuasaan Visigoths (466-711 M) di situ beserta gerakan pengamanan total
terhadap perusuhan suku-suku Turk di Asia Tengah di bawah Panglima besar Qutaiba ibn
Muslim hingga wilayah Islam itu membentang dengan aman sampai kaki pegunugan Thian
Shan yang membujur dari pegunungan Altai di sebelah utara sampai perbatasan Tibet di
sebelah Selatan.3
Pada masa-masa yang sangat heroik dan patriotik itu Syekh Washil bin Atha’ muda
ikut di dalam berbagai medan perang. Dengan petualangannya itu, Beliau melakukan kontak
sosial dengan berbagai bangsa dan keyakinan serta adat istiadat yang memiliki corak

1
http://studiislamfarmasi.blogspot.com/2016/05/tokoh-tokoh-islam.html?m=1
2
Analiansyah, Peran Akal Dan Kebebasan Bertindak Dalam Filsafat Ketuhanan Mu’tazilah, Jurnal Substantia
Vol. 15, No. 1, APRIL 2013 (Yogyakarta : UIN SUKA 2013) hlm. 92
3
Ibid.,
tersendiri. Setelah beberapa tahun ikut pasukan muslim melebarkan daerah, Syekh Washil bin
Atha’ kemudian mendiami Bashrah dan disana beliau berguru kepada Syekh Hasan Al Basri. 4
Yang kelak setelah beberapa lama menimba ilmu akhirnya dicetuskanlah paham Mu’tazilah.
Selama dalam perjalanan hidupnya, Syekh Wasil bin Atha' dikenal sebagai seorang
Zahid (asketis; sederhana, jujur, rela berkorban) sehingga digambarkan oleh sahabatnya ‘Amr
bin Ubaid sebagai seorang yang Zahid yaitu shalat sepanjang malamnya dan pergi haji
dengan jalan kaki sebanyak empat kali.5
Kelebihan Syekh Washil tergambar apabila dibandingkan dengan Syekh ‘Amr bin
‘Ubayd yang sama-sama murid Syekh Hasan al-Basri dan pendiri Mu'tazilah, Syekh Washil
memiliki pemikiran yang lebih luas dan ilmu yang lebih mumpuni. Beliau berjasa besar
dalam meletakkan fundamen aliran Mu'tazilah atas dasar-dasar yang ilmiyah dan telah
menggariskan langkah-langkah pengembangan Mu'tazilah dengan cara mengirimkan para
mubaligh atau da’i dari kelompoknya ke seluruh pelosok daerah Islam pada waktu itu. Beliau
mempunyai kekuatan argumen dan debat yang lebih kuat, sangat cepat menguraikan ayat-
ayat yang terkait dengan tema pembahasannya, dan dalam mentakwil makna-makna ayat
yang tidak ada persesuaian makna dengan dhahirnya. Syekh Washil juga mempunyai
pengetahuan yang mendalam tentang aliran-aliran yang sedang dan telah berkembang di
daerah Islam waktu itu. Syekh Wasil bin Atha’ dikenal akan kesungguhannya pada dunia
ilmu pengetahuan sehingga sepanjang hidupnya banyak dihabiskan dengan mengembangkan
ilmu dan mengarang buku. Buku yang dikarang Syekh Washil sangat banyak, namun
disayangkan tidak ada satu pun dari karangannya yang sampai ke tangan kita. 6 termasuk
karangan Beliau adalah:
1. Tabaqat al-Murji'ah
2. Tabaqat al-'Ulama wa al-Juhala
3. Kitab al-Taubah
4. Kitab Manzilah bain al-Manzilatain
5. Ma'an Al-Qur'an
6. Khutbah al-Tauhid wa al-Adl.
7. Kitab Ashnaf al-Murji’ah   
8. Kitab Khutbatuhu allati Akhraja Minha ar-Ra’y
9. Kitab Ma Jara Bainahu Wa Baina Amr Bin Ubaid
4
Ibid., hlm. 93
5
Ibid.,
6
Analiansyah, Peran Akal Dan Kebebasan Bertindak Dalam Filsafat Ketuhanan Mu’tazilah, Jurnal Substantia
Vol. 15, No. 1, APRIL 2013 (Yogyakarta : UIN SUKA 2013) hlm. 93
10. Kitab As-Sabil Fi Ma’rifati al-Haq
11. Kitab Fi ad-Da’wah
12. Kitab Thabaqat Ahli al-Ilmi Wa Ghairi Dzalik

Pakar Bahasa yang Cadel.7 (Artikel pada https:// islami.co/ oleh K.H Afifudin Dimyathi)

Syekh Washil bin Atha’ selain pakar teologi islam juga ahli dalam ilmu linguistik
yang mana dikarenakan keahliannya tersebut Beliau menjadi rujukan oleh para ahli bahasa
arab. Hanya saja, Beliau memiliki masalah dalam artikulasi salah satu bunyi, yang dikenal
dengan “al-lutsghah” yaitu tidak mampu mengucapkan bunyi ra’ secara fasih, alias cadel.
Biasanya, seorang yang cadel, selalu salah dalam mengucapkan huruf ra’, namun tidak
demikian bagi Washil bin Atha’. Ia mampu menghindari huruf ra’ dalam setiap perkataannya.
Sebagaimana yang dituliskan oleh K.H. Afifudin Dimyathi bahwa Syekh Washil bin Atha’
akan mengganti kata yang mengandung huruh ra’ dengan kata lain yang tidak mengandung
huruf ra’ tapi memiliki arti yang sama. Al Mubarrid dalam kitab al-Kaamil berkata bahwa
Syekh Washil bin Atha’ adalah sebuah keajaiban, karena dia sangat parah lutsghah-nya di
bunyi ra’, tapi ia mampu membersihkan semua ucapannya dari bunyi ra’ tanpa berpikir,
karena kemampuannya berbicara dan kelancaran lafa-lafaznya. Diceritakan dalam kitab Al
Balaghah Al Muyassarah, ketika Syekh Washil bin Atha melewati kerumunan dan orang-
orang menertawakan kecadelan Beliau dengan menyuruh Beliau mengucapkan kalimat yang
banyak terdapat ra’ akan tetapi Syekh Washil bin Atha’ mampu memenuhi permintaan orang-
orang mengucapkan kalimat yang sama dan tentunya tanpa adanya huruf ra’ di dalamnya.
Bahkan dalam kitab Al Bayan wat Tabyin diceritakan bahwa Syekh Washil bin Atha’ pernah

7
https://islami.co/washil-bin-atha-pakar-bahasa-yang-cadel/
menyampaikan khutbah yang begitu panjang tanpa ada kata yang terdapat huruf ra’
didalamnya. Tentunya hal tersebut bisa dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan
linguistik yang sangat luar biasa dan Syekh Washil bin Atha’ bisa melakukan itu tanpa
memerlukan waktu yang banyak untuk berpikir.

Pencetusan Paham Mu’tazilah

Lahirnya aliran Mu’tazilah adalah diawali oleh perselisihan pendapat seputar masalah
kebebasan manusia dalam bertindak, karena manusia memiliki hak untuk berikhtiar, dan
tentang orang yang melakukan dosa besar, sedang ia tidak bertaubat sampai kematian
menjemputnya.8 Dalam masalah tersebut Syekh Washil bin Atha’ berpendapat bahwa apabila
seorang muslim melakukan dosa besar dan tidak melakukan taubat maka kelak di akhirat dia
akan berada di suatu tempat antara surga dan neraka, al manzilah baina-l-manzilatain, atau
muslim yang melakukan dosa besar tidak bisa disebut sebagai muslim atau kafir. 9 Yang
kemudian konsep pemikiran manzilah bainal manzilatain merupakan konsep pemikiran
paling fundamental dalam kelompok mu’tazilah. Syekh Washil bin Atha’ kemudian
memisahkan diri dari Syekh Hasan Al Bashri bersama beberapa murid gurunya seperti Syekh
8
Analiansyah, Peran Akal Dan Kebebasan Bertindak Dalam Filsafat Ketuhanan Mu’tazilah, Jurnal Substantia
Vol. 15, No. 1, APRIL 2013 (Yogyakarta : UIN SUKA 2013) hlm. 93
9
Nur Fallah, Tipologi Islam Mu’tazilah, Jurnal Ad-Dirasah: Jurnal Hasil Pembelajaran Ilmu-ilmu Keislaman
Vol. 1, No. 1, 2018 (Pontianak : IAIN Pontianak, 2018) hlm. 13
‘Amr bin ‘Ubayd. Menurut al-Bagdadi, Wasil dan temannya ‘Amr bin ‘Ubad diusir oleh
Hasan al-Basri dari majlisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai qadar dan
orang yang berdosa besar.10 Atas peristiwa itu Syekh Hasan al-Bashri mengatakan: “Washil
menjauhkan diri dari kita (I’tazala ‘anna)”. Kemudian mereka digelari kaum Mu’tazilah. 11
Syekh Washil berpendirian bahwa akal itu salah satu sumber hukum di dalam Islam, di
samping al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’.12 Ia mempertahankan kebebasan-kemauan pada
manusia, dan berpendirian bahwa hal itu sejalan dengan keadilan Ilahi dan dengan
tanggungjawab yang dibebankan pada manusia, atas setiap perbuatan dan tingkah laku secara
sadar.

Syekh Washil bin Atha’ membagi tingkah laku manusia itu kepada dua lingkungan.
Pertama, tingkah laku yang merupakan ciptaan Allah sendiri, seumpama sakit dan sehat.
Kedua, gerak laku yang merupakan ciptaan manusia sendiri karena dilakukan dengan
kemauan dan kesadaran.13 Pandangan Syekh Washil bin Atha’ mengenai perbuatan manusia
cukup menyita banyak perhatian, pandangannya mengenai perbuatan manusia telah diperjelas
oleh para pemimpin mu'tazilah setelahnya. Pandangannya juga telah memunculkan berbagai
pemikiran kalam mengenai perbuatan manusia dari berbagai aliran kalam lainnya. Pandangan
Washil mengenai kebebasan manusia dalam memilih perbuatan sanagtlah menarik untuk
dipertautkan dengan pendidikan yang memiliki konsep membimbing dan mengarahkan
manusia.14

10
Ibid., hlm. 12
11
Ibid., hlm. 94
12
Ibid., hlm. 94
13
Ibid.,
14
http://studiislamfarmasi.blogspot.com/2016/05/tokoh-tokoh-islam.html?m=1
Daftar Pustaka

http://studiislamfarmasi.blogspot.com/2016/05/tokoh-tokoh-islam.html?m=1

https://islami.co/washil-bin-atha-pakar-bahasa-yang-cadel/

Analiansyah. 2013. Peran Akal Dan Kebebasan Bertindak Dalam Filsafat Ketuhanan
Mu’tazilah, Jurnal Substantia Vol. 15, No. 1. Yogyakarta : UIN SUKA.

Hidayatullah, Nur Fallah. 2018. Tipologi Islam Mu’tazilah, Jurnal Ad-Dirasah: Jurnal Hasil
Pembelajaran Ilmu-ilmu KeislamanVol. 1, No. 1. Pontianak : IAIN Pontianak.

Anda mungkin juga menyukai