Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ALIRAN MUTAZILLAH

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 1
1. AURA SALSABILA
2. BELLA SINTASE
3. SESI ANJELINA
4. REYNANDA PUTRI
5. HABIL

MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 KEPAHIANG


TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Syukur Alhamdulillah Penulis Panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telahmemberikan taufiq serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Sholawat serta salam atas junjungan Nabi Muhammad SAW yang
telah menunjukan dan mengarahkan umat manusia pada kebenaran dan
kebajikan.Dalam penulisan makalah ini penulis mengucapkan terima kasih yang
tak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril
maupunmateril karena penulis yakin tanpa bantuan itu penulis akan merasa
kesulitanuntuk menyelesaikan makalah ini. Atas segala amal baiknya semoga
Allah SWTmelimpahkan pahala berlipat ganda.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekuranganya oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan.Akhirnya
penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat khusunya bagi penulis dan bagi
semua pihak pada umumnya, semoga Ridho Allah menyertai kitasemua. Amin Ya
Robbal Alamin
Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Kepahiang, September 2022


Penulis
ALIRAN MU’TAZILLAH

A. Pengertian Mu’tazilah
Pengertian Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab I’tazala yang berarti
meninggalkan/menjauhkan diri. Kelahiran dari Mu’tazilah bersama kawan-
kawannya biasanya dikaitkan dengan keluarnya Washil ibn Atha dalam
pengajian/halaqoh yang diadakan bersama Gurunya Hasan Basri, juga kaum
Syi’ah dan Khawaij. Sejarah telah mencatat bagi kita (Kaum Muslimin)
dokumentasi berupa dua buku yang ditulis pada permulaan abad ke dua
hijriyah dan juga mencatat orang-orang yang menentang pendapat Keagamaan
yang dipegang mayoritas Muslimin pada saat itu. Kedua buku tersebut adalah
ar’Rad’ala al–Qodariyah yang disusun oleh: Umar bin Ubaid (80-144 H)
seorang tokoh (syaikh) dan Zahid muktazilah dan buku Asnaf al- Murjiah
yang disusun oleh Washil bin ‘Atho (80-181 H) seorang budak bani Dhiyyah,
sering juga dikatakan seorang budak bani Makzum yang dikenal dengan
Ghazal, seorang penggagas dan pemuka dan pemuka madzhab Muktazilah.
Pada permulaan abad kedua Hijriyah, kejelekan madzhab Khawarij telah
dapat dirasakan. Mereka memproklamirkan bahwa seseorang yang
mengerjakan dosa besar menjadi kafir dan akan menjadi penghuni Neraka
secara abadi. Sedangkan mayoritas Umat Islam kala itu mengatakan: mereka
masih seorang Mukmin yang fasik dikarenakan melakukan dosa besar. Abu
Khudaifah Washil bin ‘Atha ketika itu, mengikuti pengajian yang diadakan
oleh Hasan al-Basri dan berguru kepadanya. Suatu hari pelaku masalah dosa
besar ini menjadi tema pembahasan dan Hasan al – Basri apa yang dipegang
oleh Umat. Akan tetapi Washil bin ‘Atho mempunyai pendapat lain, dia
berkata: “Komentar dan pendapatku mengenai pelaku dosa besar ini adalah
bahwa Dia bukan Mukmin dan bukan pula seorang Kafir, ia berada dalam
suatu tempat diantara dua tempat (al-Manzilah baena manjilatain).”
Pendapatnya ini membuat Hasan al- Basri marah dan mengusirnya dari
majelis pengajianNya dan Washil bin “Atha mengasingkan diri dan memilih
mesjid tempat untuk pengasingannya. Lalu bergabunglah dengannya Umar bin
Ubaid dan jamaahnya. Oleh karena itu dia dan pengikutnya dijuluki al –
Mu’tazilun atau Mu’tazilah.

B. Asal usul Aliran Mu’tazilah


Aliran mu’tazilah lahir pada masa pemerintahan Bani Umayah, yakni
pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan anaknya Hisyam.
Mu’tazilah berasal dari kata kerja yakni ‘azala artinya berpisah. Maka
Mu’tazilah itu berarti memisahkan diri. Meraka adalah pengikut dari Abul
Husail Washil bin Atha yang memisahkan diri dari gurunya yang bernama
Hasan Basri. Ada sebagian pendapat bahwa aliran Mu’tazilah muncul sejak
zaman sahabat, mereka adalah golongan pengikut Ali yang memisahkan diri
dari politik terutama disaat turunnya Hasan bin Ali dari kursi kholifah.
Kelompok ini kemudian memusatkan diri kepada persoalan-persoalan teologi.
Maka dari itu ada sebagian pendapat yang beranggapan bahwa golongan
mutallimin pertama adalah Mu’tazilah sebab mereka inilah yang mula-mula
mengadakan diskusi dalam agama secara filsafati.
Masalah pertama yang menjadikan mereka berpisah dari Hasan ialah
masalah “murtakibil kabirah” yakni memperbincangkan kedudukan orang
yang melakukan dosa besar. Persoalan ini muncul pada saat seorang bernama
Wasil bin Atha berada dimajelis kuliah gurunya bernama Hasan. Di dalam
kesempatan ini Washil berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar
adalah fasik, yakni suatu posisi yang berada diantara dua keadaan maksudnya
orang itu tidak mukmin juga tidak kafir.
Dalam kaitan ini dijelaskan pula bahwa pada suatu waktu datang
menanyakan suatu soal yang memerlukan jawaban dari sang guru. Pertanyaan
itu ialah bila seorang beriman meninggal dunia sedangkan ia pernah
melakukan satu dosa besar/kabirah, maka dimana ia ditempatkan oleh Allah
diakhirat nanti? Apakah didalam surga karena ia seorang yang beriman atau
dineraka karena ia melakukan satu dosa yang besar?
Sang murid mendengar soal ini bangkit semangatnya untuk menjawab.
Secara spontan ia mengatakan manusia yang demikian bukan ditempatkan di
surga atau neraka, tetapi ia ditempatkan diantara kedua tempat ini. Yakni
disuatu tempat ditengah-tengah antara surga dan neraka. Pendapatnya ini
berlainan secara drastis dengan pendapat gurunya. Karena pendapat ini ia pun
mengasingkan diri dan mengadakan tempat sendiri untuk mengajar pengikut-
pengikutnya. Oleh karena pengasingan ini dan berpisah dari golongan sang
guru serta mengadakan jamaah sendiri, maka ia pun dinamakan “mu’tazili”
dan alirannya dinamakan mu’tazilah.
Dalam kesempatan itulah Washil kemudian memisahkan diri dari
gurunya, oleh sebab itu Hasan Basri kemudian berkata “I’tazala ‘annawashil,
artinya Washil telah memisahkan diri dari kita. Menurut kaum Mu’tazilah
sumber pengatahuan yang paling utama adalah akal, sedangkan wahyu
berfungsi mendukung kebenaran akal. Menurut mereka apabila terjadi
pertentangan antara ketetapan akal dan ketentuan wahyu maka yang
ditamakan adalah ketetapan akal.
Panggilan atau nama yang mereka pilih itu yakni Ahli keadilan
disebabkan mereka memberi hak asasi bagi setiap manusia untuk menerima
atau menafsirkan eksistensi dari sifat-sifat Allah maka tidak terdapat paksaan
dari Allah bahkan manusia memiliki kekuasaan Qodrat untuk meletakkan
pilihannya dalam hidup ini. Hal ini dianggap satu keadilan dimana manusia
tidak dipaksa bahkan diberi kekuasaan.
Menurut A.hanafi aliran Mu’tazilah adalah aliran aqidah islam yang
terbesar dan tertua, serta telah memainkan peranan penting dalam sejarah
pemikiran dunia islam. Pada mulanya aliran ini mempunyai dua cabang yaitu:
1. Di Basrah, yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid.
2. Di Bagdad, yang dipimpin oleh Basyar bin Al-Mu’tamar.
Banyak kholifah yang menganut faham Mu’tazilah ini atau setidak-
tidaknya menyokongnya, diantaranya ialah :
1. Yazid bin Wahid Bani Umayah
2. Ma’mun bin Harun al Rasyid Bani Abbas
3. Al Mu’tashim bin Harun Al-Rasyid
4. Al Watsiq bin Al Mu’tashim
Mereka amat senang berdebat di muka umum. Menurut Sirajuddin Abbas
hamper 200 tahun dunia islam digoncangkan oleh perdebatan-perdebatan dari
mereka ini, tujuan mereka adalah mengalahkan kaum Ahlussunnah. Masalah-
masalah yang diperdebatkan antara lain ialah :
1. Sifat-sifat Tuhan ada atau tidak
2. Buruk dan baik siapa yang menetapkan, akal atau syara’
3. Pembuat dosa besar kekal dalam neraka atau tidak
4. Qur’an itu makhluk atau tidak
5. Perbuatan manusia di buat manusia atau tuhan
6. Tuhan itu dapat dilihat di akherat atau tidak
7. Qur’an itu dapat ditiru manusia atau tidak
8. Alam ini qadim atau baru
9. Syurga dan neraka itu kekal atau tidak
10. Arwah itu pindah-pindah atau tidak
11. Tuhan itu wajib mambuat yang baik dan yang lebih baik
12. Mi’raj itu dengan tubuh atau tidak
13. Dan lain-lain

C. Pencetus Mu’tazilah
Seperti yang disebutkan di atas bahwa yang menjadi pencetus aliran
Mu’tazilah adalah Washil bin ‘Atha. Dia adalah salah seorang sastrawan
terkemuka dari kalangan Mutakallim. Dia selalu menukar huruf ra dengan
huruf ghin. Di dalam al- Kamil, Abu al-Abbas al-Mubarrad berkata: “Washil
bin ‘ Atha mempunyai satu keanehan, yakni ia tidak fasih melafalkan huruf ra,
oleh karena itu ia selalu berusaha meniadakan dalam setiap kata
pembicaraanya dari huruf tersebut dan dia tidak menguasainya. Hal ini karena
rendahnya susunan kata-katanya”. Dalam hal ini seorang penyair muktazilah.
Abu Thuruq ad-Dlaby, memuji kemampuan memperpanjang khutbah-
khutbahnya serta kemampuannya menghindari dari keseringan menggunakan
huruf ra’ dalam pembicaraan sehingga nampak hampir tidak pernah sama
sekali dalam kalimat – kalimatnya, sebagaimana dilukiskan dalam syair :
‫ كل خطيب يغلب الحقباطله‬:‫عليم باءبداك الحروف وقامع‬
Artinya: Seorang Alim yang pandai menukar huruf penakluk setiap
rival diskusinya kebatilannya sanggup mengalahkan kebenarannya.
Ulama lain mengomentarinya dengan bersyair :

‫وخالف الراءحتى احتا ل للشعر‬: ‫ويجعل ابرقمحافى تصرفه‬


‫ فعاذ بالغيث اشفا فا من المطر‬: ‫ولم يطق (مطر ) والقول يعجله‬

Artinya: Dia jadikan kebajikan bagi hiasan kehidupannya menghindari


huruf ra hingga syair pun tercela jadinya. Tidaklah pernah berucap “
mathara “ dan semisalnya namun menjadikan “ al-Ghaits ” sebagai
gantinya.

Washil bin ‘Atha sebenarnya bukanlah sesorang sastrawan, namun ia


menjuluki dirinya sebagai sastrawan, hanyalah semata-mata bermaksud
mempunyai prestise dimata para wanita shalehah; sehingga ia dapat
mengawininya. Ia banyak meninggalkan karya tulis berupa buku, diantaranya
adalah: Ashnaf al-Murji’ah, al-Taubat, Al-Manziliah baena al-Manzilatain,
Ma’ani l-Qur’an, alKitab fi al-Tauhid wa al- Adli, Ma Jara baena wa baena
‘Amr bin ‘Ubaid, al-Sabil ila ma’rifat al-Haq, al-Dakwah dan Kitab
Thabaqat Ahl al-Ilm wa al-Jahl.
Washil bin ‘Atha lahir di Madinah pada tahun 80H. Dan meninggal
Dunia pada tahun 181 H.
Selain Washil bin ‘Atha ada juga ‘Amr bin Ubaid. yang dimaksud “Amir
bin ‘Ubaid adalah Abu ‘Usman ‘Amr bin ‘Ubaid bin Bab budak Bani ‘Aqil
seorang theolog dan Zahid. Kakeknya dari Sabi Kabil, salah satu didaerah di
Shind. ‘Amr bin ‘Ubaid adalah merupakan tokoh Mu’tazilah pada zamannya.
Diantara kedua matanya terdapat tanda-tanda bekas sujud. Hasan al-Bisri
pernah dimintai komentarnya, seraya berkata : Aku ditanya tentang seorang
tokoh yang seolah-olah dididik oleh Malaikat, seolah-olah dibina oleh Nabi,
jika terjadi sesuatu hal (masalah) ia langsung bertindak menyelesaikannya,
jika memerintahkan sesuatu maka dialah yang paling komitmen terhadapnya,
dan jika melarang sesuatu dialah yang gigih menghindarinya, berdiri
dikarenakan oleh sesuatu masalah maka langsung duduk, jika duduk karena
sutu masalah maka langsung berdiri. Aku tidak pernah melihat seorang pun
selainnya yang keadaan lahirnya selaras dengan keadaan rohaninya dan
keadaan rohaninya selaras dengan keadaan lahirnya.
Suatu hari Amr bin ‘Ubaid masuk ke dalam istana Khalifah Abu Ja’far
al- Mansur untuk memenuhi undangannya sebelum menjadi Khalifah, Abu
Ja’far al – Mansur adalah sahabatnya, keduanya mempunyai suatu majlis
untuk berdiskusi lalu Abu Ja’far al – Mansur duduk didekatnya lalu berkata
kepadanya, berilah aku nasehat , Lalu ia memberi nasehat yang diminta oleh
Khalifah, diantara nasehatnya ia mengatakan : sesungguhnya kekuasaan yang
kamu pegang tidak akan pernah kamu peroleh jika orang sebelummu tidak
melepaskannya, maka hindarilah untuk menyibukkan malam hari dengan
urusan siang hari. Ketika ia bangkit hendak berdiri untuk pulang, Khalifah
berkata: Kami menyediakan 10.000 dirham untuk anda, ambilah, ia
menjawab : Aku tidak membutuhkannya. Khalifah berkata, atas nama Allah,
ambilah, ia menjawab atas nama Allah aku tidak mau menerimanya. Ketika
itu hadir pula Mahdi bin Abu Ja’far seraya berkata : Amirul Mu’minin
bersumpah atas nama Allah dan engkau juga? Amr bin ‘Ubaid
berpalingkepadanya dan bertanya kepada Khalifah : Siapakah pemuda ini ?
Khalifah menjawab : Ia adalah calon pewaris Mahkota, anak seorang al –
Mahdi. Amr bin ‘Ubaid berkata demi Allah, kau telah berikan kepadanya
bukan pakaian orang – orang yang shaleh, kau namai Dia bukan yang bukan
haknya, kau serahkan kepadanya urusan yang dapat disia – siakan dan
membuatnya kuwalahan, kepada al Mahdi ia berkata : benar Nak ? jika
ayahmu bersumpah , itu membuat aku merasa berdosa karena kifarat yang
harus ditebusnya lebih besar lagi ketimbang Pamanmu ini. Al Manshur
berkata kepadanya : apakah ada yang diperlukan ? Ia menjawab : Aku belum
menemukan sampai menjumpaimu sekalipun. Khalifah berkata: kalau begitu
jangan kau temui Aku lagi, kata Amr bin ‘Ubaid, itulah sebenarnya
keperluanku, lalu ia pulang diantar oleh al – Manshurdengan syairnya :
‫كلم يمشى رويد كلكم يطلب صيد‬
‫غيرعمروبن عبيد‬
Artinya : Semua Orang berjalan berbungkuk, Mengharap yang,
buruannya tertangkap, Kecuali Amr bin ‘Ubaid

Amr bin ‘Ubaid lahir pada tahun 80 H. Dan wafat di Marran di


makamkan di Mekkah pada tahun 144 H.
Sepeninggal dua tokoh ini, baru Mu’tazilah menjadi sekte ( Madzhab)
yang memiliki dasar ajarannya yang tersusun secara hirarki, ditambah lagi
Tuhan berkehendak untuk memberikan kepada golongan ini pada setiap
zamannya sekelompok manusia yang terpelajar yang menguasai ilnu
pengetahuan. Lewat merekalah paham-paham madzhab ini diajarkan dan
tersebar secara meluas, argumentasi-argumentasinya yang melampaui
argumentasi pendapat lainnya dan mereka juga membuat jaringan relasi
dengan pihak Penguasa, yang dimanfaatkan untuk membeakarab
dipanggilrikan kekuatan politik sehingga akhirnya rakyat menerima apa yang
mereka jadikan sebagai pandangan keagamaan.
Basyar ibn al – muktamar dan Abu al – Hudzail Muhammad ibn al –
Hudzail ibn Abdullaah ibn al – Makhul, yang masyur dengan panggilan al –
‘Alafᶟ, berguru kepada Umar ibn ‘Ubaid dan sahabat-sahabat dekatnya.
Kepada Abu al – Hudzail bergurulah kepada anak keponakannya dari saudara
perempuan, Ibrahim ibn sayyar yang masyhur dengan panggilan an – Nidlam ,
Hisyam ibn Umar asya-Syaebani yang al – Fuwathi dan Abu Yusuf ibn
Ya’kub ibn Abdullah asy-syaham al- Bisriy. Al – Nidlam mempunyai murid
diantaranya, Abu ‘Utsman ibn bahr ibn Mahbub, al – Kinaniy, al – Bisriy yang
terkenal dengan nama al – Jahidz dan Qodli Abu Abdullah ibn Farh ibn Jarir
al – Iyadiy yang lebih dikenal dengan panggilan Ibn Abu Du’ad⁴. Kepada
Abu Yusuf bergurulah Muhammad ibn Abdul Wahab ibn Salam ibn Khalid
ibn Humran ibn Abban yang dikenal dengan julukan al - Jubair⁵. Kepada
Jahid bergurulah Ja’far ibn Mubasyar dan Ja’far ibn Harb yang kemudia
keduanya mempunyai murid bernama Muhammad ibn Abdullah al – Iskafi.
Abu Ali al – Juba’i menyebarkan ajaran sekte ini lewat murid-
muridnya diantaranya, abu Hasyim Abdus Salam ibn Muhammad ibn Abdul
Wahab al – Juba’i dan Abu Hasan al – Asya’ri yang kemudian menjadi tokoh
pendiri Madzhab Ahlu sunnah Wal Jama’ah. Mengenai kisah dan diskusi dan
debat antara al – Juba’i dengan al – Asy’ari ini dianggap oleh Ulama sebagai
keberakhiran bergurunya al – Asy’ari kepada al – Juba’i.

D. Prinsip-Prinsip Dasar ( Ajaran ) Mu’tazilah


Prinsip dasar Mu’tazilah ada 5 pokok (al-Ushul al-Khamsah) yaitu:
1. Tahuhid (Keesaan Tuhan)
Para pengikut Mu’tazilah ini bersepakat bahwa Allah SWT. Itu Maha
Esa, tanpa sesuatupun yang menyerupai-Nya, yang Maha Mendengar, dan
Maha Melihat, dan Diapun tanpa jisim, tanpa bayang-bayang, tanpa bekas,
tanpa bentuk, tanpa daging , tanpa darah, tanpa karakter, tanpa aksiden,
tanpa warna, tanpa rasa, tanpa bau, tanpa dimensi panjang, tanpa
lebar,tanpa dalam, tanpa tanpa unsur tergabung ataupun terpisah, tanpa
gerak, tanpa panas,tanpa dingin, tanpa diam, tanpa terbagi,tanpa
bagian,tanpa anggota, tanpa arah kiri, atau kanan, tanpa depan , belakang,
tanpa atas atau bawah, tanpa ruang atau waktu, tanpa terdekat atau
terjahui, tanpa sifat-sifat makhluk, tanpa permulaan, tanpa kesudahan,
tanpa jarak atau hitungan, tanpa dilahirkan atau melahirkan, tanpa
terhalang atau terindra, tanpa tersamakan tanpa terkena terpengaruh
musibah, tanpa berfikir atau terduga, yang Maha terdahulu yang senantiasa
ada, yang Maha Tahu, Yang kuasa, Yang Maha Hidup, yang tidak terlihat,
Yang tidak terdengar, Yang tidak Terbayangkan, yang tidak terpadankan,
dan tertirukan, dan Dia adalah sesuatu yang tidak seperti segenap sesuatu,
Yang tahu tetapi tidak selayaknya orang tahu,Yang kuasa, tidak layaknya
orang kuasa, yang hidup tapi tidak selayaknya hidup, yang kekal dan
dahulu sendiri, dan tidak ada tuhan selain Nya, dan tidak ada sekutu Nya,
dan tidak ada pemimpin Nya ataupun pembantuNya, tidak ada teladan
Nya, ataupun tiruan Nya, dalam penciptaan selain Nya, tidak
membutuhkan kebahagiaan dan kelezatan dan tiada kepedihan dan
kesaktian menimpa diri Nya, tiada kesudahan dan kehabisan , tiada lenyap
dan tiada sifat lemah dan kurang, dan Dia pun terbatas dari kehendak
beristri dan berputra.
Ada beberapa ayat al-qur’an yang membantah kesamaan Tuhan
dengan makhluk. Namun demikian, ada juga ayat-ayat yang berkaitan
dengan wajah, tangan Tuhan dan sebagainya. Pendapat tradisional
cenderung menerima ayat-ayat tersebut itu untuk penilaian tentang wajah
mereka tanpa berusaha lebih jauh untuk menerangkan apa yang diebut
dengan wajah dan sebagainya.
Sungguh itulah anggapan-anggapan para pengikut Aliran (Madzhab)
Mu’tazilah tentang tahuhid dan lain-lainnya. Sehingga banyak pula
pengikut aliran yang lain seperti halnya aliran Khawarij, Murj’iah, dan
Syi’ah yang mengikuti maupun menyetujui anggapan – anggapan para
pengikut Aliran Mu’tazilah ini diikuti ataupun disetujui mereka.

2. Keadilan Tuhan
Prinsip ini didifinisikan semua perbuatan Allah baik, tidak mungkin
Allah meninggalkan kewajibanNya, Dikataka al-Khayat tokoh
Mu’tazilah, seseorang tidak berhak atas nama I’tizal kecuali perpegang 5
prinsip dasar.

3. Janji dan Ancaman (Al-Wa’du wal wa’id)


Mu’tazilah yakin bahwa Tuhan pasti akan memberikan pahala dan
siksa kepada manusia di akhirat. Orang yang melakukan kebaikan berhak
mendapat pahala, sedangkan orang yang melakukan keburukan berhak
mendapat siksa dan ini pasti terjadi. Tuhan tidak dapat berbuat lain kecuali
melaksanakan janji-Nya.
Sebagai realisasi dari janji-Nya itu Mu’tazilah berpendapat, tidak ada
pengampunan bagi orang yang berbuat dosa besar tanpa tobat,
sebagaimana tidak mungkin orang yang berbuat baik dihalang-halangi
menerima pahala. Dalam hal ini mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan
tidak disebut adil jika ia tidak member pahala kepada orang yang berbuat
baik atau tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Mu’tazilah
mengingkari adanya syafaat dihari kiamat, syafaat bertentangan dengan
prinsip janji dan ancaman.
Didefinisikan bahwa Allah berjanji memberikan Ganjaran / pahala
kepada orang yang taat pada Allah, dan Allah mengancam / menyikasa
orang-orang yang durhaka.

4. Posisi diantara dua posisi (Manzilah bainal Manzilatain)


Ajaran keempat yang disebut posisi tengah menurut Mu’tazilah
maksudnya tempat diantara surge dan neraka.ajaran ini dinilai sangat
penting. Dengan ajaran ini, Washil rela memisahkan diri dari gurungya.
Menurut Washil, pelaku dosa besar juga orang musyrik tidak mukmin dan
tidak kafir pula tatapi fasiq. Kefasikan ini berada diantara iman dan kafir.
Prinsip jalan tengah yang dipegag Mu,tazialah diambil dari Al-qur’an
dan Hadits. Ayat al-qur’an yang dimaksud surat al-isra’ ayat 110, dalil-
dalil hadistnya ialah yang artinya Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-
tengah.
Bahwa pelaku dosa besar (Muslim) menduduki dua posisi dan
menduduki dua hukum diantara dua hukum, yaitu Fasiq dia tidak
dihukumi kafir, karena kenyataannya masih beriman pada Allah. Dia tidak
dilarang melakukan perkawinan, pewarisan, kubur secara Muslim, namun
tidak bisa dihkumi sebagai Muslim dan Mu’min yang “ baik “ karena
telah melakukan dosa besar.

5. Perintah mengerjakan yang baik dan mencegah yang munkar


Bahwa yang diperintahkan adalah hal yang baik, dan mencegah
sesuatu yang mungkar ( buruk ). Ajaran yang terakhir ini secara prinsip
tidak berbeda dari pendapat golongan lainnya. Perbadaanya hanya pada
pelaksanaannya, apakah seruan berbuat baik dan larangan berbuat buruk
itu dalakukan dengan lunak atau dengan kekerasan. Mu’tazilah
berpendapat bahwa amar ma’ruf nahyi munkar sebaiknya dilakukan
dengan lemah lembut, walaupun sewaktu-waktu jika diperlukan bias
dengan kekerasan. Bagi kaum Mu’tazialh, orang-orang yang menyalahi
pendirian mereka dipandang sesat dan harus diluruskan.
Pandangan rasional Mu’tazilah dapat dilihat juga dalam uraian
mengenai kedudukan akal dan wahyu. Dalam hal ini ada empat hal yang
diperdebatkan oleh aliran-aliran kalam yaitu :
a. Mengenai tentang mengetahui Tuhan.
b. Kewajiban mengetahui Tuhan.
c. Mengetahui baik dan jahat.
d. Kewajiban mengatahui baik dan jahat.

Anda mungkin juga menyukai