Anda di halaman 1dari 6

Nama : Muhammad Abu Riza

Prodi : Tadris Bahasa Indonesia 2016


Makul : Linguistik Bandingan
Judul Buku : Buku Pintar Berdebat Dengan Wahabi
Penulis : Muhammad Idrus Ramli
Tebal : 173 Halaman
Penerbit : Bina Aswaja

Buku dengan judul “ Buku Pintar Berdebat Dengan Wahabi ” adalah buku

yang sangat luar biasa. Penulis, yakni Muhammad Idrus Ramli sengaja menulis

buku tersebut dilatarbelakangi oleh keresahan dan juga kegelisahan beliau Karena,

sudah beberapa tahun terakhir buku-buku salafi wahabi yang menyerang akidah

aswaja semakin banyak dan gencar diterbitkan. Mulai dari buku Naqd Manhaj Al

Asy-Ariyyah Fi Al-Aqidah karya Dr. Safar Al-Hawali dari Saudi Arabia, buku Al-

Abu Hasan Al Asy’ary Imam Yang Terdzalimi, karya salafi wahabi dari kota

Malang. Buku Musytasar MWC NU Membedah Kitab Tauhid Kyai Ahli Bid’ah

karya Buchari dan lain-lain. Yang mana buku-buku tersebut berusaha memaksakan

sebuah pencitraan bahwa Salafi-Wahabi adalah ASWAJA. Sementara madzhab

Asy’ariyyah dan Maturidiyyah bukan ASWAJA. Buku ini akan memberikan

jawaban tuntas dan lugas bahwa, manifestasi dan representasi ASWAJA yang

sesungguhnya hanyalah Asy’ariyah dan Maturidiyyah. Sedangkan, Salafi-Wahabi

bukanlah representasi ASWAJA berdasarkan fakta-fakta sejarah, informasi dari

ulama, maupun testimoni karya-karya ulama mereka sendiri.


Kelebihan buku ini diantaranya yakni, mengajari kita bagaimana cara jitu

memenangkankan perdebatan dengan mereka (kaum wahabi) sekaligus

mematahkan argumentasi-argumentasi mereka dengan dalil-dalil yang otoritatif.

semua babnya membahas tentang bantahan-bantahan dan sangkalan kepada kaum

ekstrimis tersebut, yang dewasa ini menamakan diri mereka dengan nama aliran

salafi. Betapa rancu dan paradoks dalil-dalil yang mereka gunakan untuk berdebat

melawan orang-orang ahlusunnah dan mempertahankan akidah mereka. Secara

sekilas, dalil-dalil yang mereka gunakan seakan-akan kokoh dan kuat. Namun,

pada kenyataannya ketika dalil-dalil tersebut benar-benar dilawan, diteliti dan

ditelisik lebih jauh dan mendalam, betapa rapuh dan lemahnya dalil-dalil yang

mereka gunakan. Mereka sering kali menggunakan dalil-dalil hadits dlo’if untuk

mempertahankan argumentasi mereka. Tentu saja hal tersebut akan menjadi

“santapan empuk” dan bulan-bulanan ulama-ulama kita yang didalamnya punya

puluhan dalil-dalil yang kuat dan mu’tabarah baik dari segi dalil naqli (Al-qur’an

dan Hadist) maupun dalil aqli (Ijma’ dan Qiyas).

Dalam buku ini, penulis juga memasukkan kisah-kisah perdebatan dan

dialog para ulama-ulama kita terdahulu dengan kelompok Salafi-Wahabi. Seperti

perbincangan antara ulama kita yang kharismatik yakni, Sayyid Alwi Al-Maliki

dengan lawan bicaranya adalah Syaikh Ibnu Sa,di yang notabenenya beliau adalah

seorang ahli tafsir Al-qur’an kenamaan kaum wahabi yang kata mereka,
kedudukannya setara dengan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, ulama ahli tafsir

kenamaan kaum sunni terkait masalah seputar air hujan yang turun ke talang

Ka’bah yang di dalamnya mengandung keberkahan. Selain perdebatan kedua

syaikh besar tersebut, perdebatan antara ulama kita yakni, Syaikh As-Syanqithi

dengan ulama wahabi tuna netra, yang berakhir dengan pendeportasian beliau ke

mesir karena berhasil mengalahkan ulama wahabi tersebut dalam arena debat.

Perdebatan terbuka Al-Hafidz Ahmad Al Gumari Al-Hasani melawan tiga ulama

wahabi sekaligus. Perdebatan menegangkan antara ulama ahlusunnah yakni Syaikh

Salim Alwan melawan ulama wahabi yakni Syaikh Dimasyqiyat yang punya masa

lalu yang kelam. Dan tak ketinggalan pula, kisah perdebatan sang penulis sendiri

dan teman-teman beliau melawan kaum ekstrim wahabi tersebut.

Tema-tema yang menjadi perbincangan dalam buku ini, diantaranya adalah

tentang tempat dan juga kedudukan Allah Swt. Mereka berpendapat bahwa Allah

Swt.,itu berada di langit di atas Arasy sesuai dengan keyakinan mereka selama ini.

Mereka menggunakan dalil dengan dalil yang ada dalam nash Al-qur’an yakni

pada ayat, Al-Arrahmanu ‘Ala Al-‘Arsy Istawa (QS. Thaha : 5). Namun ketika

ulama Ahlusunnah wal Jamaah yakni Syaikh Ahmad Bin Muhammad Bin Al-

Shidiq Al Gumari Al-Hasani Al-Hafidz menunjukan dalil Al-qur’an yakni pada

QS. Al-Hadid : 4 dan QS. Al-Mukminun : 7 yang intinya mengindikasikan bahwa

Allah tidak berada di atas langit akan tetapi ada di bumi, mereka berkilah bahwa
itu adalah pendapat Imam Ahmad. Kemudian sang syaikh bertanya “Mengapa

kalian mengikuti pendapat Imam Ahmad, bukan mengikuti dalil? ”. mendengar

pertanyaan seperti itu, para ulama terhebat wahabi itu terbungkam diam. Mereka

tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ini tidak mengherankan mengapa mereka bisa

sampai terbungkam tak berkutik seperti itu, karena dalam setiap aksinya mereka

selalu melancarkan dan menggembor-gemborkan sebuah slogan yang berbunyi “

Kita tidak perlu mengikuti pendapat para imam ini atau itu. Mereka juga manusia

yang tak luput dari dosa. Kita kembalikan semuanya kepada Al-qur’an dan Hadist,

titik. ” namun, kali ini mereka malah mengikuti pendapat Imam Ahmad. Sebuah

kerancuan bukan ?.

Kelebihan lain dalam buku ini adalah isinya juga memberikan pengetahuan

kepada kita tentang ciri-ciri aliran sesat yang dituturkan oleh Imam Abu Ishaq Al-

Syatibi dalam karyanya yakni kitab Al-I’tisham tentang ciri-ciri aliran sesat, yang

menurut beliau terbagi menjadi dua yakni, ciri-ciri khusus dan ciri-ciri umum.

Untuk ciri-ciri khusus menurut beliau, sudah diterangkan dalam kitab-kitab lain

yang yang lebih terperinci seperti pada kitab Al Milal Wa Al Nihal, kemudian Al-

Farq Bayna Al Firaq dan lain-lain. Sedangkan, beliau dalam kitabnya menjelaskan

beberapa ciri-ciri umum aliran sesat diantaranya, yang pertama adalah terjadinya

perpecahan dan perceraiberaian yang terjadi dalam kelompok mereka sendiri.

Untuk kelompok wahabi sendiri, menurut penuturan ulama mereka, sebagaimana


yang telah terekam di dalam kitab Rifqan Ahl Al-Sunnah Bi Ahl Al-Sunnah

mengatakan bahwa, perpecahan yang terjadi di dalam kelompok wahabi sudah

sangat parah dan mencapai batas klimaks, sampai taraf saling membid’ahkan, tidak

bertegur sapa, memutus silaturrohmi dan lain-lain. Naudzubillah tsumma

naudzubillah. Ciri yang kedua adalah mereka selalu mengikuti teks mutasyabihat

dalam Al-qur’an, yakni teks-teks ayat Al-qur’an yang secara literal / dhohir

menunjukkan keserupaan Allah dengan mahkluknya. Ciri yang ketiga adalah para

pengikut aliran sesat cenderung selalu mengikuti hawa nafsu. Ciri / tanda yang

nomor empat adalah mereka tidak mengetahui posisi Sunnah artinya, ulama-ulama

mereka tidak mengetahui atau bahkan tidak mau tahu perihal kedudukannya pantas

atau tidak menduduki derajat pemberi fatwa atau Mufti. Ciri yang kelima adalah

para penganut aliran sesat itu sangat hobi menghujat generasi salaf, meskipun

terkadang menggunakan bahasa yang lebih halus. Tanda yang keenam adalah

mereka sangat sulit untuk diajak berdialog secara terbuka dan Live, mungkin saja

mereka tahu bahwa, sebenarnya dalil-dalil yang mereka gunakan untuk

mempertahankan akidah mereka sangatlah keropos dan rapuh, dan pastinya dalil-

dalil tersebut akan mudah dipatahkan oleh ulama-ulama Ahlusunnah dari segala

sisi.

Secara keseluruhan, buku ini sudah sangat baik dan bagus. Baik dari segi isi,

yang mana Bahasa yang digunakan sangat padat tapi syarat dengan pengetahuan
yang penting, lugas, tidak bertele-tele, dan dalam menjabarkan keterangan sangat

mudah difaham, kertas yang digunakan juga kertas yang kualitas baik karena selain

tebal, juga warnanya putih terang, halaman cover yang didesain menggunakan

perpaduan warna putih dan biru menambah kesan sejuk untuk dipandang.

Kekurangan dalam buku ini mungkin hanya terdapat pada beberapa sub bab

perdebatan dengan para ulama wahabi yang tidak disendirikan, hal ini cukup

menyulitkan pembaca untuk bisa mencari dengan sub-sub yang terkait langsung

dengan tema tersebut. Sekian.

Anda mungkin juga menyukai