Anda di halaman 1dari 9

Membedah Akar Faham Salafi Wahabi

Oleh:
Danang Tri Atmojo (13010059)
Nur Rochmat (13010094)
Zainab (13010113)
Program Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran
Pendahuluan
Islam adalah agama peradaban yang seharusnya apabila dikaji lebih dalam dapat
membawa dampak kebaikan bagi seluruh umat manusia. Dalam hal ini tiga hal penting
yang seharusnya menjadi dasar penghayatan dalam mempelajari agama Islam oleh setiap
orang, yaitu mempunyai sifat toleran, moderat, dan akomodatif.1 Toleran disini tentu
bermaksud seseorang yang mempunyai sifat dapat menghargai segala aspek yang berkaitan
dengan orang lain termasuk dalam berpendapat mengenai beragama. Menghindari segala
sesuatu yang berkaitan dengan tindakan ekstrem (moderat) terlebih dalam permasalahan
agama, cenderung lebih mengambil jalan tengah dalam menyelesaikan permasalahan. Sifat
ini tentu harus dimiliki oleh semua umat manusia beragama, lebih khususnya agama Islam.
Dalam diri umat manusia tentunya tidak akan pernah lekang dari orang lain, yang
mengharuskan diri manusia itu mempunyai rasa sosial yang akomodatif, yaitu dapat
menyesuaikan diri dengan orang lain yang dapat menghindarkan dari ketegangan dan
konflik. Apabila semua umat beragama memiliki landasan yang kuat akan tiga hal tersebut,
kedamaian antar umat beragama tentu akan didapatkan seluruh manusia.
Dalam hal ini akan selalu berkaitan dengan kelompok-kelompok yang tidak
memperdalam apa makna dari ketiga hal tersebut. Serta kelompok-kelompok ini muncul
karena tidak memahami makna Islam secara utuh. Kemudian melakukan tindakan-tindakan
yang radikal dan juga melakukan pengasingan diri yang kemudian mengakibatkan
perpecahan dan permasalahan dalam agama Islam sendiri. Sikap merasa diri paling berhak
dalam menafsirkan al-Qur’an ataupun Hadits, merasa kelompoknya paling benar dan yang
lain salah, menganggap pemahaman umat Islam tentang agama itu keliru, pandangan
bahwa kebenaran itu milik Allah dan hanya kelompoknya yang berhak memvonis sesat,
sampai kepada faham bahwa Allah tidak menilai ibadah seseorang melainkan hanya
hatinya sehingga cenderung meremehkan agama dan sekuler, dan lain sebagainya. Semua
dalih inilah yang menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam.
Faham itu bernama Salafi, nama lain dari Wahabi. Banyak ulama yang secara
pribadi bahkan terang-terangan menyatakan bahwa faham inilah yang menjadikan masalah
di tengah masyarakat sekarang. Satu yang perlu digaris bawahi tentang suatu aliran yang
tidak difatwakan sebagai aliran sesat itu tidak selalu berarti lurus dan benar. Sebab pada
hakikatnya lurus dan benar pada suatu aliran yang tidak memunculkan masalah dalam
prakteknya, dan kembali lagi pada pembahasan awal tadi bahwasanya mempelajari agama
Islam harus menggunakan hal-hal yang berdampak baik bagi umat manusia.

Mengenal Salafi Wahabi


Syaikh Idahram, Ulama sejagad menggugat Wahabi, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012, hal. 9.
1

1
Definisi Salafi
Kata Salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada as-salaf, yang secara bahwa
kata ini mempunyai makna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita.
Adapun makna secara terminologisnya adalah generasi yang yang dibatasi oleh sebuah
penjelasan Nabi saw. Dalam suatu haditsnya yaitu “Sebaik-baik manusia adalah (yang
hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi’in), kemudian yang mengikuti
mereka (tabi’in at-tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits ini, maka yang dimaksud dengan as-salaf adalah para sahabat
Nabi saw, kemudian tabi’in (pengikut Nabi setelah masa sahabat) lalu tabi’in at-tabi’in
(pengikut Nabi setelah masa tabi’in, termasuk di dalamnya yaitu para imam madzhab
karena mereka semua masih hidup di tiga abad pertama sepeninggal Nabi). Sebagian
ulama kemudian menambahkan label ash-shalih untuk memberikan karakter pembeda
dengan pendahulu umat Islam. Sehingga, seorang Salafi berarti seseorang yang mengaku
mengikuti jalan para sahabat Nabi saw, tabi’in dan tabi’in at-tabi’in dalam seluruh sisi
ajaran dan paradigma berfikir mereka.2
Kemudian sampai di sini, tampak jelas bahwa sebenarnya tidak ada masalah
dengan arti Salafi ini, karena pada dasarnya setiap muslim tentu akan mengakui legalitas
kedudukan para sahabat Nabi saw dan dua generasi terbaik umat Islam sesudahnya yaitu
tabi’in dan tabi’in at-tabi’in, atau dengan kata lain seorang muslim manapun sebenarnya
sedikit banyak memiliki kadar kesalafian dalam dirinya, meskipun seseorang itu tidak
pernah memberikan pengakuannya bahwa dirinya adalah seorang Salafi. Sebab, maksud
dari Salafi disini bisa diartikan dengan Islam. Begitu juga dengan pengakuan kesalafian
seseorang, tidak pernah dapat menjamin bahwa yang bersangkutan benar-benar telah
mengikuti jejak para as-salafu ash-shalih. Ini sama persis dengan pengakuan kemusliman
siapa pun yang terkadang lebih sering berhenti pada taraf pengakuan belaka.
Namun demikian, saat ini penggunaan istilah Salafi menjadi tercemari karena
propaganda yang begitu gencar dengan istilah Salafi saat ini menjadi mengarah kepada
kelompok gerakan Islam tertentu, di mana kelompok tersebut melakukan klaim dan
mengaku-aku sebagai satu-satunya kelompok Salaf. Terlebih lagi, mereka cenderung
menyimpang dari ajaran Islam yang benar-benar dianut oleh mayoritas umat Islam dari
sejak zaman Nabi saw hingga saat ini.3

Salafi Nama lain dari Wahabi


Kelompok yang mengaku-aku sebagai Salafi, dahulu dikenal dengan nama Wahabi.
Tidak ada perbedaan antara kelompok Salafi ini dengan kelompok Wahabi. Kedua istilah
tersebut ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Satu dari sisi keyakinan dan padu dalam
segi paradigma berfikir. Sewaktu di Jazirah Arab mereka lebih dikenal dengan Wahabiyah
Hanbaliyah. Namun, ketika diekspor ke luar Saudi, mereka mengatasnamakan dirinya
dengan Salafi, khususnya setelah bergabung dengan Nasrussun al-Albani yang mereka
pandang sebagai ulama ahli hadits. Namun, lebih tepatnya apabila dinamakan Salafi

2
Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi: Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para
Ulama, Yogyakarta: LkiS, 2011, hal. 23-24.
3
Ibid., hal. 24-25.

2
Wahabi yakni pengikut Muhammad bin Abdul Wahab. Wahabi berganti baju menjadi Salafi
atau terkadang dengan sebutan Muwahhidin4 terkadang juga menjadi Ahlussunnah tanpa
diikuti dengan waljamaah, karena kelompok ini merasa risih dengan penisbatan tersebut
dan mengalami banyak kegagalan dakwahnya.
Dalam hal ini diungkapkan oleh Sa’id Ramadhan Buthi dalam buku “Sejarah
Berdarah Sekte Salafi Wahabi: Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama” ia
mengatakan bahwa strategi Wahabi dalam mengubah strategi dakwahnya dengan
mengganti nama menjadi Salafi karena mengalami banyak kegagalan dan merasa tersudut
dengan panggilan Wahabi. Kelompok ini menarik simpati umat Islam dengan berupaya
mengusung rencana dakwah yang sangat terpuji yaitu memerangi Syirik, penyembahan
berhala, pengkultusan kuburan dan membersihkan Islam dari bid’ah dan khurafat.5
Kali ini belum ditemukan riwayat yang shahih yang menerangkan bahwasanya
diantara sahabat Nabi saw, ulama salaf dan para imam madzhab menyebutkan dirinya
sebagai kelompok Salafi, hingga para imam ahli Hadits pun seperti Imam Bukhari, Imam
Muslim dan yang lainnya tidak ada yang menyebutkan dirinya sebagai Salafi. Adapun
sebagai sebuah bahasa kata ash-Shalaf -yang berarti pendahulu- sudah lama muncul dalam
khazanah perbedaharaan kata dalam agama Islam, bahkan sejak zaman Nabi saw pun tetapi
tidak untuk arti “sekelompok orang yang memiliki keyakinan sama” atau sebagai madzhab
dalam Islam.6

Sejarah Awal Mula Munculnya Salafi Wahabi


Mengenal Pendiri Salafi Wahabi
Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, lahir pada tahun 1115 H/1703 M di kota kecil al-
Uyaynah di Najad, yang terletak di wilayah bagian timur kerajaan Arab Saudi. Najd bukan
merupakan wilayah yang terkenal dengan tradisi kesarjanaan Islam maupun gerakan
pembaharuan spritiul. Kegersangan topografis wilayah itu tampaknya senantiasa tercermin
dalam sejarah intelektualnya. Ayah sekaligus guru pertama Muhammad bin ‘Abd al-
Wahhab adalah seorang hakim di al-Uyaynah, yang menjalankan tugasnya sesuai dengan
madzhab Hambali yang telah menjadi tradisi di wilayah itu. Golongan anti Wahabi
melaporkan mengenai ayah dan saudaranya, Sulayman. Menangkap tanda-tanda
penyimpangan doktrin yang ekstrim pada diri Muhammad ‘Abd al-Wahhab pada usianya
yang masih cukup muda. Namun setidaknya, ayahnya sendiri terlihat bersikap lunak.
Kemudian akibat tindakan yang dilakukan oleh Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab itu sang
ayah dicopot dari jabatannya dan diharuskan meninggalkan al-Uyaynah pada tahun

4
Nama gerakan Wahabi sesungguhnya merupakan nama yang mempunyai konotasi yang kurang baik, yang
diberikan oleh lawan-lawannya, sedangkan gerakan ini lebih senang menamakan dirinya sebagai kaum
‘Muwahhidin’ yaitu kaum yang konsisten dengan ajaran tauhid, yang merupakan landasan asasi ajaran Islam.
Lihat http://bisabaca.wordpress.com/2012/03/06/jejak-sejarah-wahabi-di-indonesia/ , Diakses pada tanggal 12
Oktober 2014.
5
Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi:, hal. 26-28.
6
Sebagai contohnya, misalkan ucapan salam yang diajarkan Nabi saw kepada umatnya saat ziarah kubur
yaitu “assalamualaikum ya ahla al-qubur yaghfirullahu lana wa lakum antum salafuna wa nahnu bi al-
atsar” (kesalamatan untuk kalian wahai ahli kubur, semoga Allah mengampuni kami dan kalian, kalian
adalah para pendahulu kami, sedangkan kami nanti pasti akan menyusul). (HR. Tirmidzi dan Thabrani).
Dalam hadits ini tertera ka ash-Shalaf yang berarti para pendahulu. Lihat Ibid., hal. 29.

3
1139H/1726 M untuk pindah ke Huraymilah, yang letaknya berdekatan dengan al-
Uyaynah.
Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dikatakan lebih banyak menghabiskan waktunya
di Madinah untuk mempelajari karya-karya Ibn Taymiyyah (w. 728H/1328), seorang tokoh
terkemuka dalam sejarah intelektual Islam. Mungkin perlu dicatat bahwa pada waktu itu
Madinah masih menjadi pusat pengetahuan dan pertukaran intelektual Islam yang penting,
yang menarik para sarjana dan pelajar dari berbagai belahan dunia Islam. Dalam hal ini apa
pun pendapat orang tentang posisi atau sikap Ibn Taymiyyah, tidak diragukan bahwa ia
adalah salah satu pemikir yang jauh lebih cermat dan teliti dan seorang ulama yang jauh
lebih produktif dibandingkan dengan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab. Karya-karya Ibn
Taymiyyah yang berjilid-jilid umumnya tidak dibaca dewasa ini baik oleh pendukung
setianya maupun para pengkritiknya. Ironisnya, hal serupa juga dialami oleh Ibn ‘Arabi,
lawan utama Ibn Taymiyyah di kalangan sufi.
Lebih dari itu, perbedaan kunci antara kedua orang ini adalah kendati Ibn
Taymiyyah menentang aspek-aspek tertentu Sufisme pada zamannya yang ia pandang
keliru atau menyimpang, namun ia tidak menolak Sufisme secara kesuluruhan. Ibn
Taymiyyah sendiri adalah pelopor tarekat Qadariyyah. Sebaliknya, Muhammad ibn Abdul
Wahhab menolak tasawuf secara lebih, akar maupun cabangnya, bukan hanya beberapa
manifestasi tertentu dari tasawuf.7 Ada keterangan lain yang bersifat anonim dan mungkin
merupakan legenda, mengatakan bahwasanya Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab menikah di
Baghdad dengan seorang perempuan kaya dan menetap selama lima tahun disana.
kemudian diceritakan bahwa ia pergi ke Iran melalui Kurdistan dan disana ia berkunjung
ke Hamadan, Qum dan Isfahan untuk mempelajari filsafat. Namun cerita ini masih belum
jelas kebenarannya.8
Kematian ayah dari Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab pada tahun 1153H/ 1740M
tampaknya telah membebaskannya dari segala hambatan dalam upaya membasmi yang
dipandang sebagai praktik-praktik syirik. Meskipun ia mengumpulkan sejumlah pengikut,
ia segera mendapati sebagai hal yang politis untuk meninggalkan Huraymilah dan dapat
kembali al-Uyaynah yang kini memiliki kondisi yang lebih menguntungkan dibanding
empat belas tahun sebelumnya ketika ia dipaksa meninggalkan kota itu.9
Tak berapa lama ia tinggal di tempat itu kemudian ia diusir oleh penduduk al-
Uyaynah karena ajaran-ajarannya yang sesat, sehingga ia menuju ke kota Dir’iyyah di
sebelah timur kota kelahirannya yaitu Najd. Di kota tersebutlah ia mendapatkan dukungan
penuh oleh emirnya yaitu Muhammad ibnu Saud, sehingga masyarakat disanapun

7
Hamid Algar, Wahabisme: Sebuah Tinjauan Kritis, terj. Rudy Harisyah Alam, Jakarta: Democracy Project,
edisi digital, 2011, hal. 23-27.
8
Hal ini berarti, mengandaikan bahwa ia memang pergi ke Iran, upaya pemurnian yang didakwahkannya
tidak dipandang penting disana, atau sebaliknya ia justru melakukan taqiyah yang dikenal dengan tradisi
Syi’ah (yakni menyembunyikan pandangan atau keyakinan sesungguhnya yang ia anut). Sedangkan
berdasarkan pertimbangan kronologi peristiwa yang lebih mungkin adalah ia pulang kembali ke Madinah
baik secara langsung atau tidak ke Huraymilah. Disana ia bergabung dengan ayahnya untuk membahas
“kebodohan, syirik, danb bid’ah dengan semangat yang tak kenal lelah menghadapi sikapnya dan
sebagaimana diungkapkan secara tepat oleh Utsman bin ‘Abdullah bin Bisyr :terjadi prdebatan antara
keduanya”. Ibid., hal. 28-30.
9
Ibid., hal. 34.

4
menyambut ajarannya dengan hangat.10 Kemudian Ia meninggal pada tahun 1206H/1791M
tidak lama setelah bentrokan ‘Abd al-‘Aziz dengan penguasa Hijaz dimulai, namun dalam
hal ini tidak menghalangi rasa haus orang-orang Saudi untuk melakukan penaklukan dan
pembantaian.11

Karya-Karya Pendiri Salafi Wahabi


Kitab al-Tauhid karyanya menguraikan doktrin Islam yang paling fundamental,
hanya berisi kempulan hadits tanpa diberi komentar, dan disusun enam puluh tujuh bab.
Demikian pula karyanya Kasyf al-Syubuhat yang diterbitkan di Riyadh pada tahun
1388H/1968M, yang memiliki catatan pada halaman judulnya “dijelaskan secara lebih
terperinci (qama bi tafsilihi) oleh ‘Ali al-Hamad al-Salihi” sebuah buku lain yang
dinisbatkan kepada Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab yaitu Masa’il al-Jahiliyah diterbitkan
di Madinah dengan penerbit al-Jami’ah al-Islamiyyah pada tahun 1395H/1975M memuat
keterangan “diperluas oleh (Tawassa’a Fiha) al-Sayyid Mahmud Syukri Alusi. Di dalam
kedua karya yang terakhir disebutkan itu, tidak ada petunjuk di mana kontribusi
Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab berakhir dan di mana kontribusi para pengurai atau
pemberi syarah itu bermula. Tampaknya para pelindung Salafi Wahabi measa malu dengan
ketipisan karya Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, sehingga mereka memandang karya itu
perlu dipertebalkan.
Memang benar bahwa beberapa volume yang agak tebal telah dipertibatkan di Arab
Saudi sebagai kumpulan karya Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dengan diberi judul
Mu’allafat al-Syaihk al-Imam Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dengan kota terbit Riyad
dan penerbit Jami’at al-Imam Muhammad bin Sa’ud. Namun, karya-karya itu kebanyakan
hanya sedikit melebihi kumpulan catatan dan penyusunan hadits menurut tema-tema
tertentu.12

Awal muncul Salafi Wahabi di Indonesia


sejak awal tahun 1980-an, terjadi perkembangan dakwah yang agak berbeda di
Indonesia. Saat itu mulai berdatangan elemen-elemen pergerakan dakwah Islam dari luar
negeri ke Indonesia. Kebetulan, jika merunut sejarah, tahun 70-an merupakan
“internasionalisasi” bagi jamaah-jamaah dakwah tertentu. Di tahun 80-an itu mulai muncul
ke permukaan kelompok-kelompok dakwah, seperti Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin),
Jamaah Tabligh (JT), Hizbut Tahrir (HT), Jamaah Islamiyah (JI), dan lain-lain. nama salafi
secara khusus populer di Indonesia tahun 1995 bersamaan dengan terbitnya Majalah Salafi
yang dibidani oleh Ja’far Umar Thalib dan kawan-kawan. Sebagaimana telah disinggung,
Salafi sebenarnya adalah nama lain dari Wahabi. Alasan lainnya adalah karena sejarah
kemunculan ini banyak dipernuhi dengan pertumpahan darah kaum muslimin,
terkhususnya pasca pemberontakan keluarga Sud yang didukung dengan kolonialisme
Inggris. Sehingga keluarga Saud mampu berkuasa dan menamakan negaranya dengan
nama keluarganya yaitu Ali Saud (keluarga Saudi). Inggrispun

10
Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi:, hal. 37-38.
11
Hamid Algar, Wahabisme: Sebuah Tinjauan Kritis, hal. 39.
12
Ibid., hal. 31-32.

5
Ajaran-Ajaran Salafi Wahabi
Tauhid uluhiyah dan rububiyah
konsep tauhid menjadi uluhiyah dan rububiyah pertama kali dipelopori oleh Ibn
Taimiyyah pada abad ke tujuh hijriyah kemudian dikembangkan oleh Muhammad bin
‘Abd al-Wahhab da diteruskan oleh para pengikut-pengikutnya pada abad kedua belas
hijriyah. Tauhid secara bahasa bermakna mengesakan, sedangkan Tauhid uluhiyah berarti
ibadah yang ditujukan hanya kepada Allah. Kemudian tauhid rububiyah berarti meyakini
bahwa yang menciptakan, memiliki dan mengatur langit dan bumi hanyalah Allah semata,
maka menurut faham Salafi Wahabi kaum musyrikin telah menerapkannya, dengan dalil
QS. Az-Zukhruf: 87 (sesungguhnya jika kamu bertanya kepada orang-orang kafir
jahiliyah “siapa yang telah menciptakan mereka?”, niscaya mereka akan menjawab
“Allah”.
Dalam kasyf asy-Syubhat Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan:

‫و‬FF‫وواليحي واليميت اال ه‬FF‫رزق االه‬FF‫ه الي‬FF‫ه وان‬FF‫ريك ل‬FF‫ده الش‬FF‫الق وح‬FF‫و الخ‬FF‫هدون ان هللا ه‬FF‫ركون يش‬FF‫ؤ الء المش‬FF‫فه‬
‫واليدبراالمراالهووان جميع السماوات السبع ومن فيهن واالرضين السبع ومن فيهن كلهم عبيده وتحت تصرفه وقهره‬

“mereka kaum musyrikin bersaksi bahwa Allah sang pencipta, Maha Esa, tidak ada sekutu
bagi-Nya, tidak ada yang memberi rezeki kecuali Dia, tidak ada yang menghidupkan dan
mematikan kecuali Dia, tidak ada yang mengatur segala urusan keculai Dia, bumi tujuh
dan semua yang ada di dalamnya, semuanya adalah hamba-Nya dan di bawah
kewenangan-Nya”.
Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah faham ini adalah faham yang mengandung
unsur kedustaan dan sangat bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Banyak ayat al-
Qur’an yang menjelaskan kaum musyrikin tidak mentauhidkan rububiyah Allah. Dalam
QS. Asy-Syuara’: 97-98 “Demi Allah, sungguh kami dalam kesesatan yang nyata karena
kami telah menyamakan kalian (berhala) dengan Tuhan semesta alam”. Ayat ini
mengisahkan bahwasanya orang-orang kafir di akhirat dan pengakuan berhala-berhala
sebagai Tuhan selain Allah, dan ayat ini dengan tegas membatalkan pernyataan
Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab.13

Akidah Tajsim Salafi Wahabi


Salafi Wahabi meyakini bahwa adanya anggota atau organ tubuh bagi Allah.
Disebutkan oleh pengikutnya Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab yaitu Ibn al-Utsaimin ia
menyatakan “Kami katakan: “sungguh Allah memiliki wajah, mata, tangan, dan kaki,
namun tidak berkosekuensi semuanya sama dengan milik manusia. Di situ ada sekidit
keserupaan, namun bukan berati sama”. Ib al-Utsaimin menyatakan adanya syabah
(keserupaan) Allah dengan manusia dengan organ tubuh, akan tetapi tidak mumatsalah,
organ tubuh Allah dengan organ tubuh manusia tidak sama.

Achmad Imron R, Rekam Jejak Radikalisme Salafi Wahabi: Sejarah, Doktrin dan Akidah, Surabaya:
13

Khalista, 2014, hal. 236-238.

6
Ibnu Baz juga mengatakan di kitabnya majmu’ fatawa wa maqalat mutanawwi’ah
“firman Allah: “Dan datang lah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris” [QS. Al-Fajr:
22]. Turun dan datang dengan cara bergerak dan berpindah dari satu keadaan ke keadaan
lain adalah dua sifat yang ditiadakan dari Allah. Namun keduanya merupakan sifat Allah
tanpa penyerupaan. Maha Agung Allah, serta Maha Tinggi dan Maha Besar dari pendapat
Mu’aththilah (yang menafikan secara mutlak) sifat-sifat Allah, dan dari pendapat
Musyabbihah (yang menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk). Maksud nya Ibn Baz
adalah menolak ucapan orang yang berkata bahwa Allah tidak boleh disifati dengan turun
atau datang dengan cara bergerak dan berpindah. Ucapan ini menurutnya adalah batil dan
bertentangan dengan salafi Wahabi.14 Demikian telah jelas, bahwasanya sikap Salafi
Wahabi terhadap teks-teks mutasyabihat adalah mengimani dan menetapkan makna
literalnya dan takyif dan tasybih. Namun, yang mereka maksud tanpa taykif adalah bukan
meniadakan kayfiyah (cara/gambaran), tapi justru meyakini kayfiyah dari sifat-sifat
tersebut dan menyerahkan pengetahuan kayfiyahnya kepada Allah.
Menurut pendapat Ahlussunnah Wal Jamaah hal ini merupakan konsekuensi dari
pemahaman mereka yang makna teks-teks mutasyabihat secara literal, sehingga
menimbulkan pemahaman Allah memiliki organ tubuh dan dan kayfiyahnya. Dari sini para
kelompok ini terjebak pada konsep tajsim. Contohnya ucapan Ibn ‘Utsaimin dalam Syarh
‘Aqidah Thahawiyahnya: “Sebab sungguh istiwa Allah ada di Arsy, tidak diragukan lagi
Allah memiliki kayfiyah, namun kamu tidak mengetahuinya, turunnya Allah ke langit dunia
juga mempunyai kayfiyah, namun kami tidak mengetahuinya,, karena sungguh tidaklah
sesuatu yang wujud kecuali pasti memiliki kayfiyah, namun terkadang diketahui dan
terkadang tidak diketahui”.15
Ibn ‘Utsaimin telah mengqiyaskan wujud Allah dengan wujud makhluk-Nya yang
memiliki kayfiyah. Dibenaknya, Allah seperti makhluk-Nya. Padahal telah disebutkan
dalam ayat muhkam QS. As-Syuara: 11, “Dia (Allah) tidak menyerupai sasuatupun dari
makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi).16

Bid’ah Menurut Salafi Wahabi


Kelompok Salafi Wahabi sering mengharamkan perkara yang tidak pernah
dilakukan Nabi saw dan para sahabat dalam hal urusan agama denga dalil kullu bid’atin
dhalalatin, sehingga berimbas mengharamkan berbagai amaliah yang baik yang tidak
pernah dilakukan di masa awal Islam meskupin berdalil, seperti peringatan maulid Nabi,
tahlilan dan tawassul. Bahkan Albani pun membuat kaidah rancu yang tidak pernah ada di
masa ulama salaf: “Diantara ketetapan yang diakui ulama ahli tahqiq adalah sungguh
segala yang dianggap ibadah yang tidak disyari’atkan Rasulullah dengan sabdanya dan
tidak beliau lakukan sebagai qurbah kepada Allah dengan perbuatannya, maka perkara
yang dianggap ibadah itu menyelisihi sunnah. Sebab sunnah ada dua macam, yaitu

14
Ibid., hal. 243-244.
15
Ibid., hal. 246.
16
Ibid.

7
sunnah fi’liyah (yang dilakukan Nabi) dan sunnah tarkiyah (yang Nabi tinggalkan). Maka
(segala yang dianggap) ibadah yang Nabi tinggalkan, sunnahnya ditinggalkan”.17
Dalam hal ini, kelompok Salafi Wahabi memahami seluruh bid’ah adalah sebagai
kesesatan tanpa terkecuali. Mereka mengaggap lafal kullu mencakup segala bid’ah, mereka
tidak mengakui eksistensi bid’ah hasanah. Namun kelompok Salafi Wahabi justru
membaginya dengan bid’ah diniyah dan bid’ah dunyawiyyah atau adat. Padahal pada
zaman sahabat atau tabi’in dan tabi at-tabi’in pembagian ini tidak dikenal. Tidak ada nash
al-Qur’an maupun Hadits yang menjelaskan atau menyinggung pembagian bid’ah seperti
itu. Selain itu kaidah bid’ah yang mereka buat-buat sendiri itu berpotensi menimbulkan
bahaya bagi masyarakat awam. Sebab yang orang awam akan pahami adalah bahwa semua
bidah dalam hal keduniawiyahan itu diperbolehkan secara mutlak, padahal sebenarnya ada
yang baik dan adapula yang jelek, inilah faktanya.18

Kesesatan Tawassul Menurut Salafi Wahabi


Ibadah-ibadah yang sebenarnya memberikan dampak lebih baik bagi kaum
muslimin sendiri justru malah dilarang oleh kaum muslimin sendiri, hal ini yang
menyebabkan banyaknya perpecahan di dalam kaum muslim sendiri. Adapun kelompok
Salafi Wahabi mensyirikkan orang yang bertawassul kepada Nabi ataupun wali yang sudah
wafat. Berikut ak idah yang Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab singgung dalam kitabnya
Kasyf asy-Syubhat:
‫ارسله الى اناس يتعبدون ويحجون ويتصد قون ويذكرون هللا كثيرا ولكنهم يجعلون بعض المخلوقات وسائط بينهم وبين‬
‫هللا ويقولون نريد منهم التقرب الى هللا وونريد شفا عتهم عنده‬

“Allah mengutus Nabi Muhammad kepada kaum yang beribadah haji, bersedekah dan
banyak berdzikir kepada Allah, namun mereka menjadikan sebagian makhluk-Nya sebagai
perantara di antara mereka dan Allah. Mereka (musyrikin) berkata: “Kami ingin dekat
kepada Allah melalui mereka dan kami inginkan syafaatnya di sisi Allah”

Berikut disinggung pula oleh pengikut Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, yaitu
dalam Syarhnya Shalih ibn al-Fauzan: “Semua ibadah yang dicampur kesyirikkan adalah
17
Mengharamkan amalan hanya karena Nabi tidak pernah melakukannya adalah istinbat hukum baru yang
belum pernah ditempuh ulama as-salaf ash-shalih dan bid’ah dhalalah. Sesuatu yang tidak dilakukan Nabi
atau sahabat dalam ushul fiqh disebut at-tark tanpa keterangan diperintah atau dilarang, maka menurut ulama
ulama ushul fiqh tidak bisa dijadikan dalil, untuk melarang atau mewajibkan, at-tark la yaqtadhim at-tahrim.
Sebagaimana telah diketahui pengertian Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi. Adapun
at-tark tidak termasuk di dalamnya. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi mempunyai banyak kemungkinan,
sehingga tidak bisa langsung dianggap haram atau wajib. Disebutkan dalam suatu hadits “Dari Khalid bin
Walid, sungguh ia bersama Rasulullah masuk ke rumah Maimunah, lalu disuguhi daging Dhabb (reptil yang
jenis laki-lakinya memiliki dua penis dan jenis perempuannya memiliki dua vagina, berumur 700 tahun
lebih, setiap 40 hari sekali kencing setetes, tidak minum air namun mencukupi dirinya dengan angin sepoi-
sepoi atau hawa dingin dan dagingnya berkhasiat untuk menghilangkan kehausan) panggang, lalu beliau
mengulurkan tangan untuk memakannya. Ketika itu ada yang berkata: ‘itu Dhabb!’ kemudian beliau
menarik tangannya kembali, dan aku bertanya: ‘apakah Dhabb itu haram?’ beliau menjawab: ‘tidak, saya
belum pernah menemukannya di daerah asalku, aku merasa jijik. Khalid berkata: ‘lalu aku memakannya
dan beliau melihatku’. Hadits ini menunjukkan bahwasannya apa yang ditinggalkan Nabi setelah sebelumnya
beliau terima, tidak haram atau dilarang. Lihat Ibid., hal. 169-171.
18
Ibid., hal. 73.

8
bathil. Maka orang-orang sekarang yang mengaku Islam dan melakukan sholat, puasa
dan haji, tetapi menyembah Husein, Ahmad al-Badhawi dan Abdul Qadir al-Jaelani,
mereka sama seperti musyrikin terdahulu”. Dalam hal ini Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab
dan pengikutnya menebarkan syubhat, orang yang bertawassul dengan makhluk seperti
para Nabi atau wali yang sudah wafat, hukumnya sama dengan orang musyrik, karena
mereka juga melakukan ibadah haji, sedekah dan berdzikir, namun menjadikan makhluk
sebagai perantara agar dekat dengan Allah.
Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah doktrin ini menyebabkan takfir (pengafiran)
kepada mayoritas umat Islam di seluruh dunia yang melakukan tawassul dengan para Nabi
atau wali yang sudah wafat, meskipun mereka sholat, haji, zakat, dan berdzikir. Berikut
adalah analog yang salah, sebab kaum musyrikin tidak bertawassul kepada berhala-berhala,
tetapi menyembahnya dan menjadikan sebagai Tuhan selain Allah. Hal ini dapat dibuktikan
dalam QS. Az-Zumar: 3, "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya".19
Sedangkan orang Islam yang bertawassul dengan Nabi, wali atau orang saleh yang
telah wafat itu tidak bertujuan untuk menyembah serta tidak meminta kepada mereka
sedikitpun. Mereka meyakini bahwasanya Allah yang Maha Pencipta, yang Maha
Memberi, yang Mencipta segala kebaikan maupun bahaya. Mereka menjadikan Nabi, wali
atau orang saleh sebagai wasilah dalam berdoa, karena mengakui qurbah dan manzilah
(kedekatan dan derajatnya) disisi Allah dan berharap doanya lebih mudah terkabulkan.20

Kesimpulan
Faham Salafi Wahabi ini sebenarnya ingin kembali meneguhkan ajaran tauhid yang
murni serta menghapuskan segala sesuatu yang akan membawa kepada syirik. Namun,
cara kelompok Salafi Wahabi untuk memahamkan masyarakat inilah yang kurang benar.
Kemudian mengakibatkan pertentangan serta perpecahan dari kalangan umat Islam sendiri.
Penjelasan mengenai cara mengkaji Islam yang benar sudah dijelaskan secara gamblang.
Sebenarnya bukan masalah dimana letak kebenarannya, karena juga menyangkut hak-hak
masing-masing umat manusia untuk memilih kebenaran yang mana yang menurutnya itu
benar tanpa harus menyalahkan satu sama lain.
Dalam hal ini sudah dijabarkan dimana letak perbedaan-perbedaan kelompok Salafi
Wahabi dengan umat Islam pada umumnya. Berikut kajian ini tidak diniatkan untuk
semakin memecah belah persatuan umat Islam yang saat ini sudah meradang, namun ini
adalah sebuah upaya untuk menyadarkan umat Islam dari perpecahan, agar umat Islam
bersatu padu membangun kembali peradaban umat yang dahulu pernah berjaya.

19
Ibid., hal. 143-145.
20
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai