Anda di halaman 1dari 10

PERADILAN PADA MASA PEMERINTAHAN TURKI UTSMANI

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

PERADILAN ISLAM

Dosen Pengampu :

Urmanu Sutopo, Lc, M.H.I.

Disusun oleh kelompok 04/SAC, Bab 08 :

1. Muhamad Amzad 101190064

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2020

1
BAB 8 : Peradilan Pada Masa Pemerintahan Turki Utsmani
A. Awal Kelahiran Daulat Utsmaniyah.

Paca pemerintahan Bani Abbasiyah yang ditandai dengan dentinya kematian


khalifah Abbasiyah setelah adanya sebuan Halqu Khan yang ditandai dengan
pembantaian dan pemberontakan di Baghdad tahun 1258 Masehi, Baghdad sebagai kota
kebudayaan dan mata pencaharian serta pusat perhatian dunia dihancur luluhkan untuk
selamanya.

Sebeluum terjadi pembantaian dan perampokan itu jumlah penduduk Baghdad


menacapai dua juta jiwa. Dalam tragedi pembantaian kemanusian yang terjadi dalam
enam minggu itu menurut Ibnu Khaldun terbinasankan lebih kurang 1.600.000 orang
penduduk sipil yang tak berdaya. Berarti hampir 80% penduduk Baghdad gugur menjadi
korban keganasan pasukan Halqu Khan.

Menurut Ibn Aysir invasi bangsa Tar-Tar yang dipimpin Halqu Khan itu
merupakan bencana terbesar serta amukan paling mengerikan yang menimpa umat
manusia khususnya islam. Dengan kehancuran Baghdad yang merupakan pusat dan
jantung pemerintahan kekhalifahan Abbasiyah runtuh seketika. Pada masa kekhalifahan
itu, meskipun banyak menghasilkan kekhalifahan yang menonjol tetapi dalam situasi sulit
dan krusial seperti itu sangat membangun kembali landasan utama yang telah luluh.
Akibatnya, umat islam seperti terbelenggu dalam tidur tidak lagi memperdulikan berbagai
masalah yang selaiknya bahkan sepatutnya mendapat perhatian seksama dalam
membangun kepentingan agama.

Setelah runtuhnya kerajaan BaninAbbasiyah di Baghdad, dapat dikatan sudah


tidak ada lagi kerajaan islam yang besar dan dapat menjadi tumpuan serta harapan dunia
islam. Keadaan-keadaan negara islam saat itu terpecah belah dan masing-masing
memiliki kedaulatannya sendiri.dalam keadaan seperti ini muncullah kesultanan
Ustmaniyah yang dapat menunjukkan kembali kegagah perkasaan dunia islam.
Kesultanan Utsmaniyah berhasil dengan gemilang menyambung usaha dan kemegahan
masa pemerintahan islam sebelumnya. Pemerintahan Daulah Ustsmaniyah sampai abad
ke 20 telah dapat mempertahankan kemegahan islam baik secara ofensif dimasa jayanya
maupun secara defisid dimasa menurun.

2
Pada masa kejayaan kesultanan Ustmaniyah negri-negri Eropa Timur adalah
kerajaan-kerajaan yang bernaung dibawah kesultanan Ustmaniyah. Wilayah
kekuasaannya meluas kemenara-menara menjulang tinggi dibekas kerajaan Byzantium
setelah negara besar itu ditahlukkan oleh Sultan Muhammad Al-Fatih pada pertengahan
abad ke 15 (1453 Masehi). Pernah pula Sulaiman Al-Qonuni dua kali menyerang dan
menduduki kota Vienna pusat kerajaan Austria. Karena itu tidak heran apabila dewasa ini
terdapat kaum m uslim di Bulgaria, Yugoslavia, Chekoslowakia, dan di Polandia. Mereka
itu keturunan pahlawan Turki yang pernah menancapakan bendera bulan bintang dinegri
itu.

B. Adminitrasi dan Ragam Peradilan.

Para Sultan Turki Ustmani Salim 1 dan Sulaiman 1 serta para pengganti
berikutnya lebih bersungguh-sungguh daripada kekhalifahan Abbasiyah dalam kegiihan
dan semangat untuk menjadi pemimpin yang saleh. Dalam hal ini peranan ulama sangat
menentukan bagi para sultan Turki Ustmani sehingga pada akhirnya peranan yang
dimaikan para ulama itu membuahkan hasil yang sangat mengembirakan terbukti seluruh
landasan peradilan didasarkan pada landasan syariah.

Adapun bentuk peradilan yang terdapat pada masa Turki Ustmani adalah sebagai
berikut :

1. Peradilam Syar’i. Lembaga peradilan ini merupakan peradilan tertua yang sumber
hukum materilnya adalah Fiqih Islam.
2. Peradilan campuran. Peradilan ini didirikan pada tahun 1875 yang sumber hukum
materilnya adalah undang-undang asing.
3. Peradilan Ahli (adat). Peradilan ini didirikan pada tahun 1883 yang sumber hukum
materilnya adalah undang-undang Prancis.
4. Peradilan Miliyyi (peradilan agama-agama di luar islam). Sumber hukum material
yang digunakan peradilan ini adalah ajaran-ajaran agama diluar islam.
5. Peradilan Qunshuliy (peradilan negara-negara asing). Peradilan dilingkungan
peradilan qunshuliy bewenang dan mengadili dan menyelesaikan perkara
berdasarkan undang-undang yang berlaku dinegara masing-masing.1
C. Masa Perkembangan Peradilan.

1
Muhammad Salam Madzkur, Op.Cit. hlm. 51.

3
Kesultanan Turki Ustmani didirikan pada tahun 1299 Masehi di Anatolia oleh
Usman 1 setelah berhasil menahlukkan Byzantium dan berdiri diatas reruntuahan dinasti
saljuk. Bangsa Turki sendiri berasal dari daerah Uni Soviet, Turkistan Cina ysng
berimigrasi ke selatan dan ke wilayah barat kemudian menetap di Anatolia.2

Di bawah kepemimpinan Muhammad Al-Fatih (1451-1481 M) yang mampu


mendobrak benteng pertahanan Byzantium dan menduduki Kostatinopel sbelum 1453 M,
Dinasti Turki Ustmani mencapai kemajuan pesat yang gemilang. Bahkan pada puncak
kejayaannya, Turki Ustmani mampu menguasi wilayah hukum seluas 4.000.000 mil
persegi menjangkau tiga benua : Asia, Afrika, dan Eropa. Untuk memantau dan
mengamankan wilayah hukum yang sangat luas ini disediakan angkatan laut yang sangat
tangguh dengan dukungan 3000 kapal perang.3

Pada awal kelahiran pemerintahan Turki Ustmani syariat islam secara utuh dan
menyeluruh telah diterapkan untuk mengatur tata kehidupan umat islam baik dalam
hubungan individu maupun kaitannya dengan kekuasaan pemerintahan dan hubungan
kekuasaan pemerintahan islam menurut mazhab Hanafi sebagai mazhab faforit umat
islam.4

Pada awalnya daulah Turki Usmani tidak menganut salah satu mazhab dalam
hukum islam tetapi dalam perkembangannya penguasa menetapakan mazhab Hanafi
sebagai mazhab resmi pemerintah yang diberlakukan keseluruh wilayah kekuasaan yang
ditempuh kekuasaan Turki Ustmani. Adanya kemajuan kebijakan yang ditempuh
penguasa Turki untuk mencapai mazhab resmi pemerintah itu didasarkan atas beberapa
pertimbangan pemikiran antara lain sebagai berikut.

1. Untuk mengurangi kadar pertentangan yang ditimbulkan sebagai akibat


beragamnya mazhab dalam hukum islam sehingga dapat menhambat
penerapan dan pelaksanaan hukum islam dalam masyarakat.
2. Letak geografis perbedaan antara pusat pemerintahan Turki yang sangat jauh
dari Makkah dan Madinah memunculkan sikap kritis umat islamnterhadap
hadist yang diragukan kesahihannya.

2
Pringodigdo, dkk, Ensiklopedi Umum, (Yogya: Yayasan Konisius, 1977) hlm. 1130-1131.
3
M. Asyhari, Op.Cit, hlm. 1.
4
St. Roestam, Op.Cit, hlm. 465.

4
3. Terkesan adanya persepsi dari bangsa Turki bahwa kebanyakan hadist itu
berisi adat kebiasaan bangsa Arab yang tidak mungkin sejalan dengan adat
kebiasaan Turki sebagai penguasa.
4. Diduga faktor rasionalitas dan keluasan mazhab Hanafi sebagai penyebab
dipilihnya mazhab tersebut oleh penguasa Turki Ustmani.

Dengan ditetapkan mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi pemerintahan maka


segala fatwa dan putusan hukum dipengadilan harus diselaraskan menurut ketentuan
mazhab Hnafi. Sekita abad ke 16 Islam Sunni yang dianud oleh banyak ulama
berpengaruh besar terhadap para sultan Dinasti Turki Usmani terutama salim 1 (1512-
1560), Sulaiman 1 (1520-1560) dan penganti-penggantinya dengan tekad untuk menajdi
pemimpin-pemimpin yang saleh.

Seluruh tatanan yang berkaitan dengan penyelenggaraan peradilan didasarkanpada


syariat islam. Unit peradilan umum yang terkecil (peradilan perdata) berkerja sama
dengan qadha yang merupakan bagian dari unit peradilan agama. Untuk kepentingan itu
di distrik-distrik pengadilan subaksi (setara kepala kepolisian) yang bertugas untuk
tahfidz hukum (mengekskusi). Disamping itu pemerintahan menyediakan beberapa sarana
dan fasilitas yang dibutuhkan guna mendukung penyelenggaraan peradilan. Kemampuan
sumber daya para apratur pengadilanpun ditingkatkan antara lain dengan
menyelenggarakan pendidikan dan latihan bagi para ulama dan hakim. Selanjutnya
mereka diangkat dan biberi jabatan struktural. Pimpinan yang paling tinggi diantara
mereka disebut “Syaikh Al-Islam”, yang juga bergelar Mufti Agung. Syaikh al-ialam ini
merupakan orang pertama yang paling bertanggung jawab atas terlaksanakannya hukum
islam. Karena itu ia mempunyai kewajiban untuk memberikan petunjuk kepada para
hakim disamping sebagai konsultan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan-
kebijakan penting yang menyentuh persoalan hukum dan pemerintahan.

Diantara mufti yang terkenal menjabat mufti agung adalah Abu Al-Su’ud. Ia
ditugasi untuk memodifikasin ketatalaksanaan pemerintahan turki Ustmani dengan
ketentuan Syariat Islam. Atas restu dan perintah sultan sebelum Abu Al-Su’ud memangku
jabatan yang tinggi dan mulia itu ia juga telah merevisi hukum tanah yang berasal dari
beberapa provinsi di Eropa yang berlandaskan prinsip hukum islam. Akan tetapi
penerapan yang keras dan kaku dari prinsip-prinsip hukum islam menjadi indikator

5
dilakukannya kompromi antara konsep dan wakaf menurut islma dengan instansi
keuangan pemerintahan Turki Usmani yang kemudian dikenal dengan “tapu”.

Kebijakan lain yang dilakuakan Abu Al-Su’ud dalam bidang peradilan berkaitan
erat dengan beberapa ketetapan penting tentang wewenang hakim, yang secara umum
meliputi dua hal.

1. Para hakim digiring untuk mengikuti salah satu pendapat yang diakui atau
disetujui mazhab Hanafi.
2. Wewenang hakim dibatasi dalam bidang-bidang tertentu saja seperti
perkawinan dan warisan.5

Kebijakan lain yang lebih mengagetkan kalangan peradilan terjadi pada masa
pemerintana Sulaiman 1 (sekitar tahun 1550) yaitu dengan mengultimatum para hakim
agar tidak melakukan pemerintah terhadap pihak-pihak yang diduga melakukan
penyimpangan tetapi disertai dengan bukti-buktiyang sahih padahal proses pemeriksaan
itunmerupakan bagian terpenting bagi para hakim guna mengungkap benar tidaknya suatu
tindakan yang dituduhkan.

Tindakan penguasa seperti merupakan invensi lain dari penguasa yang jelas-jelas
dapat mengkebiri lembaga peradilan sekaligus membatasi wewenang para hakim. Bisa jsi
hal itu dapat mempengaruhi perkembangan hukum islam. Tetapi disisi lain ternyata
situasi seperti ini menjadi ispirasi yang dapat menghembuskan angin segar bagi para
pembaharu guna melakukan terobasan-terobosan penting yaitu dengan melakukan
berbagai perubahan atas materi hukum islam yang sebenarnay tidak dikehendaki oleh
para sultan Turki sendiri. Perubahan atas materi huk islam itu kemudian dikenal dengan
kanun name.

Penerimaan konsep kanun name itu sendiri dimaksudkan agar tercapai efisiensi
dalam pemerintahan. Karenanya kanun name ini dianggap tidak bertolak belakang dengan
hukum islam bahkan dipandang dapat memberikan nilai tamabah. Menurut Joseph
Schacht, sebenarnya hasrat para sultan Turki untuk menegakkan hukukum islam tampak
cukup besar. Hal itutergambar dari sikap Sultan Sulaiman 1 yang menerima konsep
kanun name.

5
M. Asyhari, Op.Cit. hlm. 4.

6
Muluknya konsep itu ternyata hanya “fatamorgana” hanya tinggal cita dan
bayangan. Karena dalam peraktiknya aturan-aturan hukum islam itu dipinggirkan dari
kehidupan. Pada perkembangan berikutnya banyak ketentuan hukum islam yang
dimodifikasi bahkan diganti sama sekali dengan ketentuan baru seperti masalah denda
dikenakan tidak sebagimana mestinya, tetapi didasarkan atas kemapuan terhukum.
Begitupula hadd diganti dengan ta’zir. Selanjutnya para hakim hanya bertugas dalam
membina moral sebagai mana yang dikehendaki penguasa. Persolan yang semula
ditangani para hakim banyak yang diserahkan kepada subaksi ataukepada polisi. Masalah
perdagangan dan industri diserahkan kepada muhtasib.

D. Piagam Gulhane dan Humayun.

Dinasti Turki Ustmani yang sejak semula berkembang dan meluas dengan cepat
ke penjuru benua akhirnya memunculkan maslah miniritas Non-Muslim di Eropa. Namun
demikian minoritas non-muslim itu telah merasakan kenikmatan perundang-undangan
islam sesuai dengan prinsip islam tentang ahl al-dzimmah. Orang asing juga mendapatkan
hak istimewa melalui kebijakan pemerintah yang dikeluarkan oleh Muhammad al-Fatih
dalam perjasnjian Capitulations. Perjanjian dengan Prancis dilakukan pada tahun 1673
dan dengan inggris padatahun 1675 yang memberikan hak pada negara asing untuk
melindungi rakyatnya di negara asing.6

Ternyata lemahnya kekuasaan dan kekuatan Turki Utsmani yang diakibatkan oleh
pelbagi pemborosan dan kemewahan semakin memberikan peluang kepada negara-negara
asing untuk ikujt mencampuri urusan domestik. Dua perjanjian diatas yaitu perjanjian
dengan Prancis dan dengan Inggris cukup menjadi bukti kuatnya intervensi dan lobi
politik asing dsan tidak berdayanya kekuatan pemerintahan Turki Ustmani. Akibatnya
syariat islam dan peraturan perundang-undagan yang berlaku tidak diperhatiakn lagi
sehigga dapat memperburuk martabat pemerintahan sementara akibat dari pembororsan
dan kemewahan para penguasa masyarakat semakin menjadi miskin.

Ketika Sultan Abd-al Madjid (1839-1861) tampil menggantikan ayahnya Sultan


mahmud II lahirlah dua regulasi yang disipakan untuk memperkuat piranti hukum yang
telah ada sebelumnya, pertama piagam Gulhane (Hatt-i Syerif Gulhane) yang bertujuan
untuk menegakkan kembali peraturan-perundang-undangan. Pada prinsipnya, piagam ini
menekankan persamaan hak antara muslim dan non muslim yang senenarnya didesakkan

6
M. Asyhari, Op.Cit, hlm. 5-6.

7
oleh bangsa Barat untuk melindungi bangsa Eropa dibawah kekuasaan Turki Ustmani.
Diantara kandungan utama yang tertuang didalam Piagam Gulhane itu antara lain adalah
sebagai berikut.

1. Tertuduh agar diadili secara terbuka dan hukuman mati agar tidak
dilaksanakan sebelum ada putusan dari pengadilan.
2. Larangan pelanggaran kehormatan terhadap seseorang.
3. Jaminan terhadap hak milik dan kebebasan menggunakan hal milik itu bagi si
pemilik.
4. Terpidana masih mempunyai hak waris dan harta tidak boleh disita.
5. Pegawai kerajaan digaji sesuai tugas dan jabatannya.

Kedua piadam Humayun (Hatt-i Humayun) yang didesain untuk memperkuat


keberadaan piagam Gulhane. Dikeluarkannya piagam Hulmayun itu banyak disebut-sebut
sebagai akibat adanya campur tangan pihak asing. Namun terlepas dari ada tidaknya
invensi lain piagam Humayun ini diharapakan dapat mendukung percepatan terwujudnya
penegakan hukum sebagaimana tertuang dalam Piagam Gulhane. Dismaping itu Piagam
Humayun ternyata lebih memperluas jangkauan pemberin jaminan kesamaan hak bagi
kalangan non muslim dan warga asing yang didasarkan indeologi kemanusiaan.
Kandungan pokok yang termaktub dalam Piagam Humayun itu adaah seperti berikut.

1. Bahwa masyarakat kristen dan non muslim lainnya dibolehkan melakukan


pembaharuan-pembaharuan penting yang mereka perlukan.
2. Mendirikan tempat peribadatan, rumah sakit, dan pemakaman juga
diperbolrhkan.
3. Perbedaan-perbedaan yang diakibatkan oleh perbedaan agama, bangsa, dan
bahasa dihapuskan.
4. Kebebasan beragam dijamin semengtara memaksakan agama dilarang.
5. Setiap rakyat berhak menjadi pegawai kerajaan.
6. Perselisihan antarumat beragama diselesaikan oleh mahkamah campuran
dalam undang-undang yang akan disusun.
7. Pemeluk agama kristen dan non muslim lainnya dibolehkan masuk dinas
militer.
8. Orang asing diberi hak untuk memiliki tanah diwilayah kekuasaan Turki
Utsmani.

8
9. Perbedaan perpajakan antara muslim dan non muslim dihapuskan.
10. Pengadaan anggaran belaja tahunan bagi negara.
11. Pembukaan bank-bank asing.
12. Memasukkan modal Eropa ke Turki Ustmani.
13. Diadakan undang-undang dagang.
14. Penghapusan hukuman mati bagi orang yang murtad.
15. Memasukkan non muslim kepada dewan hukum.7

Gambaran keberadaan dan diberlakukannya kedua piagam diatas yaitu Piagam


Gulhane dan Piagam Humayun semakin membuktikan terpuruk dan jatuhnya wibawa
kekuasaan turki Ustmani sementara pengaruh Eropa semakin besar.

E. Kondifikasi Undang-Undang Perdata.

Kondifikasdi undang-undnag dimulai dengan membentuk kepanitiaan yang


diketuai ahmad Judad Pasya yang beranggotakan tujuh orang ulama. Kepanitiaan yang
dibentuk pada tahun1869 itu lebih populer dengan Panitia Himpunan Majallah yang
tujuan utamanya adalah mengkodifikasikan undang-undang perdata dan fiqih Hanafi dan
menyusun kitab mualamah yang tidak mengandung ikhtilaf.

Kepanitian ini dapat menyelesaikan tugasnya selama tujuh tahun (1869-1876).


Hasil kerja kerasnya dapat melahirkan Kondifikasi Undang-Undang Perdata yang disebut
dengan Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah. Kitab undang-undang itu terdiri atas : bagian
muqoddimah 16 kitab dan 1.651 pasal. Isi yang tertuang dalam muqaddimah itu itu
sendiri terdiri atas 100 pasal yang memuat tentang prinsip-prinsip umum (al-qawaid al-
kuliyyah). Sedangkan isi yang termaktub didalam ke-16 kitab tersebut adalah : al-bai’,
ijarah, kafalah, rahn, amanah, hibah, syirkah, wakalah, shulh, ibra’, hawalah, syuf’ah,
hukum acara, pembuktian, gugatan, peradilan, pengakuan, bukti, dan sumpah.8

Sistem pengkodifikasian yang dirumuskan dalam Majallah al-Ahkam al-Adliyah


sebenarnya banyak diilhami oleh sistem perundang-undagan Eropa. Hal itu terlihat dari
sistematika penulisan yang menggunakan susunan, bab, dan pasal demi pasal
sebagaimana lazimnya suatu kitab undang-undang. Setelah Majallah al-Ahkam al-
Adliyah itu mendapat legistimasi formal dari penguasa sebagi satu-santunya undang-

7
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975) hlm. 102.
8
Rachmat Djatnika, Orientasi Pengembangan Ilmu Agama, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama, 1986) hlm. 43.

9
undang yang menganud mazhab resmi pemerintahan yaitu mazhab Hanafi, maka
keragaman bermazhab dengan sendirinya menghilang. Namun disisi lain kebebasan
hakim menjadi terbatas karena dalam melaksanakn undang-undang ini harus
memperhatikan petunjuk sultan. Hal ini secara tegas terdapat dalam pasal 1801 yang
berbunyi “Hakim harus mengikuti perintah sultan bukan mujtahiddin yang lain”.9

Munculnya Kemal Atatturk selaku penguasa Turki ternya membawa perubahan


besar terhadap struktur pemerintahan dan sistem perundang-undagan yang berlaku.
Dalam struktur pemerintahan terjadi pergeseran nilai dengan dihapuskannya sistem
kekhalifahan diganti dengan sistem republik yang sekuler. Begitu pula dengan sistem
perundang-undagan yang bersumber kepada hukum islam, Majallah al-Ahkam al-Adliyah
dan al-Ahwal Al-Syakhshiyah (undang-undang kekeluargaan) yang dikodifikasi tahun
1326 Hijriyah dan sudah diberlakukan ke seluruh wilayah kekuasaan Turki Ustmani
secara total dibekukan dan diganti dengan undang-undang yang sepenuhnya diadopsi dari
Swiss.

Dengan demikian keberadaan hukum islam pada saat itu sudah mengkristal dan
menjadi kultur dalam kehidupan masyarakat muslim mejadi tidak berguna lagi. Keadaan
ini sekaligus berpengaruh perkembangan peradilan karena hakim yang semestinya
menjadi benteng terahir dalam penegakan hukum islam dan memiliki peranan penting
dalam berijtihad di pengadilan tidak berarti apa-apa lagi.

9
M. Asyhari, Op.Cit, hlm. 9.

10

Anda mungkin juga menyukai