PERADILAN ISLAM
Dosen Pengampu :
FAKULTAS SYARIAH
2020
1
BAB 8 : Peradilan Pada Masa Pemerintahan Turki Utsmani
A. Awal Kelahiran Daulat Utsmaniyah.
Menurut Ibn Aysir invasi bangsa Tar-Tar yang dipimpin Halqu Khan itu
merupakan bencana terbesar serta amukan paling mengerikan yang menimpa umat
manusia khususnya islam. Dengan kehancuran Baghdad yang merupakan pusat dan
jantung pemerintahan kekhalifahan Abbasiyah runtuh seketika. Pada masa kekhalifahan
itu, meskipun banyak menghasilkan kekhalifahan yang menonjol tetapi dalam situasi sulit
dan krusial seperti itu sangat membangun kembali landasan utama yang telah luluh.
Akibatnya, umat islam seperti terbelenggu dalam tidur tidak lagi memperdulikan berbagai
masalah yang selaiknya bahkan sepatutnya mendapat perhatian seksama dalam
membangun kepentingan agama.
2
Pada masa kejayaan kesultanan Ustmaniyah negri-negri Eropa Timur adalah
kerajaan-kerajaan yang bernaung dibawah kesultanan Ustmaniyah. Wilayah
kekuasaannya meluas kemenara-menara menjulang tinggi dibekas kerajaan Byzantium
setelah negara besar itu ditahlukkan oleh Sultan Muhammad Al-Fatih pada pertengahan
abad ke 15 (1453 Masehi). Pernah pula Sulaiman Al-Qonuni dua kali menyerang dan
menduduki kota Vienna pusat kerajaan Austria. Karena itu tidak heran apabila dewasa ini
terdapat kaum m uslim di Bulgaria, Yugoslavia, Chekoslowakia, dan di Polandia. Mereka
itu keturunan pahlawan Turki yang pernah menancapakan bendera bulan bintang dinegri
itu.
Para Sultan Turki Ustmani Salim 1 dan Sulaiman 1 serta para pengganti
berikutnya lebih bersungguh-sungguh daripada kekhalifahan Abbasiyah dalam kegiihan
dan semangat untuk menjadi pemimpin yang saleh. Dalam hal ini peranan ulama sangat
menentukan bagi para sultan Turki Ustmani sehingga pada akhirnya peranan yang
dimaikan para ulama itu membuahkan hasil yang sangat mengembirakan terbukti seluruh
landasan peradilan didasarkan pada landasan syariah.
Adapun bentuk peradilan yang terdapat pada masa Turki Ustmani adalah sebagai
berikut :
1. Peradilam Syar’i. Lembaga peradilan ini merupakan peradilan tertua yang sumber
hukum materilnya adalah Fiqih Islam.
2. Peradilan campuran. Peradilan ini didirikan pada tahun 1875 yang sumber hukum
materilnya adalah undang-undang asing.
3. Peradilan Ahli (adat). Peradilan ini didirikan pada tahun 1883 yang sumber hukum
materilnya adalah undang-undang Prancis.
4. Peradilan Miliyyi (peradilan agama-agama di luar islam). Sumber hukum material
yang digunakan peradilan ini adalah ajaran-ajaran agama diluar islam.
5. Peradilan Qunshuliy (peradilan negara-negara asing). Peradilan dilingkungan
peradilan qunshuliy bewenang dan mengadili dan menyelesaikan perkara
berdasarkan undang-undang yang berlaku dinegara masing-masing.1
C. Masa Perkembangan Peradilan.
1
Muhammad Salam Madzkur, Op.Cit. hlm. 51.
3
Kesultanan Turki Ustmani didirikan pada tahun 1299 Masehi di Anatolia oleh
Usman 1 setelah berhasil menahlukkan Byzantium dan berdiri diatas reruntuahan dinasti
saljuk. Bangsa Turki sendiri berasal dari daerah Uni Soviet, Turkistan Cina ysng
berimigrasi ke selatan dan ke wilayah barat kemudian menetap di Anatolia.2
Pada awal kelahiran pemerintahan Turki Ustmani syariat islam secara utuh dan
menyeluruh telah diterapkan untuk mengatur tata kehidupan umat islam baik dalam
hubungan individu maupun kaitannya dengan kekuasaan pemerintahan dan hubungan
kekuasaan pemerintahan islam menurut mazhab Hanafi sebagai mazhab faforit umat
islam.4
Pada awalnya daulah Turki Usmani tidak menganut salah satu mazhab dalam
hukum islam tetapi dalam perkembangannya penguasa menetapakan mazhab Hanafi
sebagai mazhab resmi pemerintah yang diberlakukan keseluruh wilayah kekuasaan yang
ditempuh kekuasaan Turki Ustmani. Adanya kemajuan kebijakan yang ditempuh
penguasa Turki untuk mencapai mazhab resmi pemerintah itu didasarkan atas beberapa
pertimbangan pemikiran antara lain sebagai berikut.
2
Pringodigdo, dkk, Ensiklopedi Umum, (Yogya: Yayasan Konisius, 1977) hlm. 1130-1131.
3
M. Asyhari, Op.Cit, hlm. 1.
4
St. Roestam, Op.Cit, hlm. 465.
4
3. Terkesan adanya persepsi dari bangsa Turki bahwa kebanyakan hadist itu
berisi adat kebiasaan bangsa Arab yang tidak mungkin sejalan dengan adat
kebiasaan Turki sebagai penguasa.
4. Diduga faktor rasionalitas dan keluasan mazhab Hanafi sebagai penyebab
dipilihnya mazhab tersebut oleh penguasa Turki Ustmani.
Diantara mufti yang terkenal menjabat mufti agung adalah Abu Al-Su’ud. Ia
ditugasi untuk memodifikasin ketatalaksanaan pemerintahan turki Ustmani dengan
ketentuan Syariat Islam. Atas restu dan perintah sultan sebelum Abu Al-Su’ud memangku
jabatan yang tinggi dan mulia itu ia juga telah merevisi hukum tanah yang berasal dari
beberapa provinsi di Eropa yang berlandaskan prinsip hukum islam. Akan tetapi
penerapan yang keras dan kaku dari prinsip-prinsip hukum islam menjadi indikator
5
dilakukannya kompromi antara konsep dan wakaf menurut islma dengan instansi
keuangan pemerintahan Turki Usmani yang kemudian dikenal dengan “tapu”.
Kebijakan lain yang dilakuakan Abu Al-Su’ud dalam bidang peradilan berkaitan
erat dengan beberapa ketetapan penting tentang wewenang hakim, yang secara umum
meliputi dua hal.
1. Para hakim digiring untuk mengikuti salah satu pendapat yang diakui atau
disetujui mazhab Hanafi.
2. Wewenang hakim dibatasi dalam bidang-bidang tertentu saja seperti
perkawinan dan warisan.5
Kebijakan lain yang lebih mengagetkan kalangan peradilan terjadi pada masa
pemerintana Sulaiman 1 (sekitar tahun 1550) yaitu dengan mengultimatum para hakim
agar tidak melakukan pemerintah terhadap pihak-pihak yang diduga melakukan
penyimpangan tetapi disertai dengan bukti-buktiyang sahih padahal proses pemeriksaan
itunmerupakan bagian terpenting bagi para hakim guna mengungkap benar tidaknya suatu
tindakan yang dituduhkan.
Tindakan penguasa seperti merupakan invensi lain dari penguasa yang jelas-jelas
dapat mengkebiri lembaga peradilan sekaligus membatasi wewenang para hakim. Bisa jsi
hal itu dapat mempengaruhi perkembangan hukum islam. Tetapi disisi lain ternyata
situasi seperti ini menjadi ispirasi yang dapat menghembuskan angin segar bagi para
pembaharu guna melakukan terobasan-terobosan penting yaitu dengan melakukan
berbagai perubahan atas materi hukum islam yang sebenarnay tidak dikehendaki oleh
para sultan Turki sendiri. Perubahan atas materi huk islam itu kemudian dikenal dengan
kanun name.
Penerimaan konsep kanun name itu sendiri dimaksudkan agar tercapai efisiensi
dalam pemerintahan. Karenanya kanun name ini dianggap tidak bertolak belakang dengan
hukum islam bahkan dipandang dapat memberikan nilai tamabah. Menurut Joseph
Schacht, sebenarnya hasrat para sultan Turki untuk menegakkan hukukum islam tampak
cukup besar. Hal itutergambar dari sikap Sultan Sulaiman 1 yang menerima konsep
kanun name.
5
M. Asyhari, Op.Cit. hlm. 4.
6
Muluknya konsep itu ternyata hanya “fatamorgana” hanya tinggal cita dan
bayangan. Karena dalam peraktiknya aturan-aturan hukum islam itu dipinggirkan dari
kehidupan. Pada perkembangan berikutnya banyak ketentuan hukum islam yang
dimodifikasi bahkan diganti sama sekali dengan ketentuan baru seperti masalah denda
dikenakan tidak sebagimana mestinya, tetapi didasarkan atas kemapuan terhukum.
Begitupula hadd diganti dengan ta’zir. Selanjutnya para hakim hanya bertugas dalam
membina moral sebagai mana yang dikehendaki penguasa. Persolan yang semula
ditangani para hakim banyak yang diserahkan kepada subaksi ataukepada polisi. Masalah
perdagangan dan industri diserahkan kepada muhtasib.
Dinasti Turki Ustmani yang sejak semula berkembang dan meluas dengan cepat
ke penjuru benua akhirnya memunculkan maslah miniritas Non-Muslim di Eropa. Namun
demikian minoritas non-muslim itu telah merasakan kenikmatan perundang-undangan
islam sesuai dengan prinsip islam tentang ahl al-dzimmah. Orang asing juga mendapatkan
hak istimewa melalui kebijakan pemerintah yang dikeluarkan oleh Muhammad al-Fatih
dalam perjasnjian Capitulations. Perjanjian dengan Prancis dilakukan pada tahun 1673
dan dengan inggris padatahun 1675 yang memberikan hak pada negara asing untuk
melindungi rakyatnya di negara asing.6
Ternyata lemahnya kekuasaan dan kekuatan Turki Utsmani yang diakibatkan oleh
pelbagi pemborosan dan kemewahan semakin memberikan peluang kepada negara-negara
asing untuk ikujt mencampuri urusan domestik. Dua perjanjian diatas yaitu perjanjian
dengan Prancis dan dengan Inggris cukup menjadi bukti kuatnya intervensi dan lobi
politik asing dsan tidak berdayanya kekuatan pemerintahan Turki Ustmani. Akibatnya
syariat islam dan peraturan perundang-undagan yang berlaku tidak diperhatiakn lagi
sehigga dapat memperburuk martabat pemerintahan sementara akibat dari pembororsan
dan kemewahan para penguasa masyarakat semakin menjadi miskin.
6
M. Asyhari, Op.Cit, hlm. 5-6.
7
oleh bangsa Barat untuk melindungi bangsa Eropa dibawah kekuasaan Turki Ustmani.
Diantara kandungan utama yang tertuang didalam Piagam Gulhane itu antara lain adalah
sebagai berikut.
1. Tertuduh agar diadili secara terbuka dan hukuman mati agar tidak
dilaksanakan sebelum ada putusan dari pengadilan.
2. Larangan pelanggaran kehormatan terhadap seseorang.
3. Jaminan terhadap hak milik dan kebebasan menggunakan hal milik itu bagi si
pemilik.
4. Terpidana masih mempunyai hak waris dan harta tidak boleh disita.
5. Pegawai kerajaan digaji sesuai tugas dan jabatannya.
8
9. Perbedaan perpajakan antara muslim dan non muslim dihapuskan.
10. Pengadaan anggaran belaja tahunan bagi negara.
11. Pembukaan bank-bank asing.
12. Memasukkan modal Eropa ke Turki Ustmani.
13. Diadakan undang-undang dagang.
14. Penghapusan hukuman mati bagi orang yang murtad.
15. Memasukkan non muslim kepada dewan hukum.7
7
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975) hlm. 102.
8
Rachmat Djatnika, Orientasi Pengembangan Ilmu Agama, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama, 1986) hlm. 43.
9
undang yang menganud mazhab resmi pemerintahan yaitu mazhab Hanafi, maka
keragaman bermazhab dengan sendirinya menghilang. Namun disisi lain kebebasan
hakim menjadi terbatas karena dalam melaksanakn undang-undang ini harus
memperhatikan petunjuk sultan. Hal ini secara tegas terdapat dalam pasal 1801 yang
berbunyi “Hakim harus mengikuti perintah sultan bukan mujtahiddin yang lain”.9
Dengan demikian keberadaan hukum islam pada saat itu sudah mengkristal dan
menjadi kultur dalam kehidupan masyarakat muslim mejadi tidak berguna lagi. Keadaan
ini sekaligus berpengaruh perkembangan peradilan karena hakim yang semestinya
menjadi benteng terahir dalam penegakan hukum islam dan memiliki peranan penting
dalam berijtihad di pengadilan tidak berarti apa-apa lagi.
9
M. Asyhari, Op.Cit, hlm. 9.
10