Anda di halaman 1dari 13

AKAD

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


FIKIH MUAMALAT

Dosen Pengampu :
Teguh Anshori, S. SY., M. H.

Disusun oleh kelompok 03/SAC :


1. Muhamad Amzad 101190064
2. Muhamad Alwan Hafifudin 101190063

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2020

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa hidup sendiri dan memerlukan bantuan
dari orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat
beragam sehingga terkadang ia secara pribadi tidak bisa memenuhinya dan harus
berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain
dalam memenuhi kebutuhan harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban
keduanya berdasarkan kesepakatan.
Proses untuk membuat kesepakatan dalam rangka memenuhi kebutuhan keduanya
lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini
merupakan sesuatu yang sudah ditakdirkan oleh Allah karena itu merupakan kebutuhan
sosial sejak manusia mengerti mengenai hak milik. Islam memberi aturan yang jelas
dalam akad untuk dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pembahasan fiqih, akad atau perjanjian yang dapat digunakan bertransaksi
sangat beragam, sesuai dengan karakteristik dan sepesifikasi kebutuhan yang ada. Oleh
karena itu, makalah ini disusun untuk membahas mengenai berbagai hal yang berkaitan
dengan akad dalam pelaksanaan mualamah didalam kehidupan kita sehari-hari.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, dasar hukum, dan asal usul akad ?
2. Bagaimana rukun rukun dan syarat akad ?
3. Apa pembagian akad ?
C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui pengertian, dasar hukum, dan asal usul akad.
2. Mengetahui rukun dan syarat akad.
3. Mengetahui pembagian akad.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian, Dasar Hukum, dan Asal Usul Akad.

Islam merupakan ajaran Allah yang bersifat universal yang mengatur seluruh
aspek kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk sosial dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, baik secara material maupun secara spiritual selalu berhubungan dan
bertransaksi angtara satu dan yang lain. Dalam berhubungan dengan orang lain inilah
antara yang satu dengan yang lain sering terjak interaksi.
Perikatan atau perjanjian ataupun transaksi-transaksi lainnya dalam konteks fiqih
mualamah dapat disebut dengan akad. Kata akad berasal dari bahasa arab ar-rabtu yang
berarti menghubungakan atau mengaitkan atau mengikat antara beberapa ujung sesuatu.
Adapaun secara terminology melihat akad dari dua sisi yakni secara umum dan khusus.
1. Secara Umum.
Pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari
segi bahasa menurut pendapat ulama sebagai berikut :

َ ;َ‫ق واليَ ِمي ِْن أَ ْم اِحْ ت‬


‫;اج‬ ِ َ‫ف َو ْا ِإل ْب; َرا ِء َوالطَّال‬ ْ ;‫;ر َد ٍة َك‬
ِ ‫;ال َو ْق‬ ِ ;َ‫صد ََر بِاِ َرا َد ٍة ُم ْنف‬ َ ‫ُكلُّ َما َع َز َم ال َمرْ ُء َعلَى فِ ْعلِ ِه َس َوا ٌء‬
‫إِلَى‬ ْ
‫َكلبَي ِْع‬ ‫إِ ْن َشائِ ِه‬ ‫فِي‬ ‫إِ َرا َدتَ ْي ِن‬
‫ار َوالتَّوْ ِكي ِْل َوال َّر ْه ِن‬ ‫اْل‬
ِ ‫َوا ِ ي َْج‬
Artinya: “segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan
keinginannya sendiri seperti waqaf, talak, pembebasan, atau suatu yang
pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli,
perwakilan, dan gadai.”
Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa akad adalah “setiap yang
diingikan manusia untuk mengerjakannya, baik keinginan itu dari
kehendaknya sendiri misalnya dalam hal waqaf atau kehendak itu timbul
dari dua orang misalnya hal jual beli atau ijaroh”.
1

1
Ismail Nawawi, fiqih muamalah klasik dan kontenporer, (Bogor : Ghalia Indonesia Cet.2 2017), 19

3
Sehingga secara umum akad adalah segala yang diinginkan dan
diulakukan olehbkehendak sendiri atau kehendak dua orang atau lebih yang
mengakibatkan berubahnya status hukum objek akad (maqud alaih).
2. Pengertian Akad Secara Khusus.
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukan oleh ulama fiqih
adalah
‫ُت أَثَ ُرهُ فِى َم َحلِ ِه‬
ُ ‫ع يَ ْثب‬ ٍ ‫إِرْ تَبَاطُ; إِ ْي َجا‬
ٍ ْ‫ب بِقَبُوْ ٍل عَل َى َوجْ ٍه َم ْشرُو‬
Artinya Artinya: “Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qobul
berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.”
Selain itu ada juga ada definisi lain tentang akad yaitu suatu perikatan
antara ijab dan kobul dengan cara yang dibenarkan syarak dengan menetapkan
akibat-akibat hukum pada objeknya.

Adapun dasar hukum dilakukannya akad berdasarkan Al-Qur’an dalam surat Al-
Maidah ayat 1 yang berbunyi :
َ ‫ ٰ َٓيأ َ ُّي َها ٱلَّذ‬ 
‫ِين َءا َم ُن ٓو ْا أَ ۡوفُو ْا ِب ۡٱل ُعقُو ۚ ِد‬
Artinya: hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu.

Berdasarkan ayat diatas dapat disimpulkan adalah memenuhi akad yang sudah
dilakukan atau disepakati adalah wajib hukumnya.
2

B. Rukun dan Syarat Akad.


Akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih
berdasarkan keridhaan masing – masing, maka timbul bagi kedua belah pihak haq dan
iltijam yang diwujudkan oleh akad, rukun-rukun aqad ialah sebagai berikut:
1. ‘Aqad ialah orang yang berakad, terkadang maisng-masing pihak terdiri dari
satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang, misalnya penjual dan
pembeli beras di pasar biasanya masingmasing pihak satu orang, ahli waris
sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak lain yang terdiri dari
beberapa orang,

2
Ibid, 20

4
misalnya penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masingmasing pihak
satu orang, ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak lain
yang terdiri dari beberapa orang. Seseorang yang berakad terkadang orang
yang memiliki haq (aqid ashli) dan terkadang merupakan wakil dari yang
memiliki haq.
2. Ma’qud ‘alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti bendabenda yang
dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibbah (pemberian), dalam aqad
gadai, utang yang dipinjam seseorang dalam akad kafalah.
3. Maudhu’ al ‘aqad ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda
akad, maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli tujuan
pokoknya ialah memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan
diberi ganti. Tujuan akad hibah ialah memindahkan barang dari pemberi
kepada yang diberi untuk dimilikinya tanpa ada pengganti (‘iwadh). Tujuan
pokok akad ijarah adalah memberikan manfaat dengan adanya pengganti.
4. Sighat al ‘aqd ialah ijab dan qabul, ijab ialah permulaan penjelasan yang
keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam
mengadakan akad, sedangkan qabul ialah perkataan yang keluar dari pihak
berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian ijab qabul dalam
pengalaman dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga
penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan,
misalnya seseorang yang berlangganan majalah Panjimas, pembeli
mengirimkan uang melalui pos wesel dan pembeli menreima majalah tersebut
dari petugas pos.

Setiap pembentuk, aqad atau akad mempunyai syarat yang ditentukan Syara’ yang
wajib disempurnakan, syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam yaitu :
1. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang
wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad.
3

3
Suhendi Hendi, Fiqih Muamalah ( Jakarta : PT Rajagranfindo Persada, 2005), 44

5
2. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang
wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini
bisa juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada
disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya
saksi dalam pernikahan.

Adapun syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad
adalah sebagai berikut :
a. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad
orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di
bawah pengampuan (mahjur) karena boros atau yang lainnya.
b. Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
c. Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yangmempunyai hak
melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
d. Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara’, seperti jual beli
mulasamah.
e. Akad dapat memberikan faidah sehingga tidaklah sah bila rahn dianggap
sebagai imbangan amanah.
f. Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Maka bila orang
yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul, maka batallah ijabnya.
g. Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berijab sudah
berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal. 4
C. Macam-Macam Pembagian Akad.

Setelah dijelaskan syarat-syarat akad, pada bagian ini akan dijelaskan macam-
macam akad.
1. ‘Aqad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya
akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanaan akad nikah ialah pernyataan
yang tidak disertai dengan syaratsyarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan
setelah adanya akad. 5

4
Ibid, 45
5
Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Kencana,2010), 59

6
2. ‘Aqad Mu’alaq ialah akad yang di dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat
yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang
yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
3. ‘Aqad Mudhaf ialah akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat
mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya
ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu
akad, tetapi belum mempunyai akibat hokum sebelum tibanya waktu yang telah
ditentukan.

Adapun perwujudan akan tampak nyata pada dua keadaan berikut :


1. Dalam keadaan muwadha’ah (taljiah), yaitu kesepakatan dua orang secara
rahasia untuk mengumumkan apa yang tidak sebenarnya. Hal ini ada tiga
bentuk seperti di bawah ini.
a. Bersepakat secara rahasia sebelum melakukan akad, bahwa mereka
berdua akan mengadakan jual beli atau yang lainnya secara lahiriah
saja untuk menimbulkan sangkaan orang lain bahwa benda tersebut
telah dijual, misalnya menjual harta untuk menghindari pembayaran
utang. Hal ini disebut mu’tawadhah pada asal akad.
b. Mu’awadlah terhadap benda yang digunakan untuk akad, misalnya dua
orang bersepakat menyebut mahar dalam jumlah yang besar di
hadapan naib, wali pengantin laki-laki dan wali pengantin wanita
sepakat untuk menyebut dalam jumlah yang besar, sedangkan mereka
sebenarnya telah sepakat pada jumlah yang lebih kecil dari jumlah
yang disebutkan di hadapan naib, hal ini disebut juga muwadha’ah fi
al-badal.
c. Mu’wadlah pada pelaku (isim musta’ar), ialah seseorang yang secara
lahiriah membeli sesuatu atas namanya sendiri, secara batiniah untuk
keperluan orang lain, misalnya seseorang membeli mobil atas
namanya, kemudian diatur surat-surat dan keperluankeperluan lainnya.
6

6
Ibid, 60-61

7
Setelah selesai semuanya, dia mengumumkan bahwa akad yang telah
ia dilakukan sebenarnya untuk orang lain, pembeli hanyalah
merupakan wakil yang membeli dengan sebenarnya, hal ini sama
dengan wakalah sirriyah (perwakilah rahasia).
2. Hazl ialah ucapan-ucapan yang dikatakan secara main-main, mengolokolok
(istihza) yang tidak dihendaki adanya akibat hokum dari akad tersebut. Hazl
berwujud beberapa bentuk, antara lain muwadha’ah yang terlebih dahulu
dijanjikan, seperti kesepakatan dua orang yang melakukan akad bahwa akad
itu hanya main-main, atau disebutkan dalam akad, seperti seseorang berkata;
“Buku ini pura-pura saya jual kepada Anda” atau dengan cara-cara lain yang
menunjukkan adanya karinah hazl. Kecederaan-kecederaan kehendak
disebabkan hal-hal berikut.
a. Ikrah, cacat yang terjadi pada keridhaan.
b. Khilabah, ialah bujukan yang membuat seseorang menjual suatu
benda, terjadi pada akad.
c. Ghalath, ialah persangkaan yang salah, misalnya seseorang membeli
sebuah motor, ia menyangka motor tersebut mesinnya masih normal,
tetapi sebenarnya motor tersebut telah turun mesin. 7

Selain akad munjiz, mu’alaq dan, mudhaf, macam-macam akad beraneka ragam
tergantung dari sudut tinjauannya. Karena ada perbedaanperbedaan tinjuan, akad akan ditinjau
dari segi-segi berikut
1. Ada dan tidaknya qismah pada akad, maka akan terjadi dua bagian:
a. Akad musammah, yaitu akad yang telah ditetapkan syara’ dan telah ada hukum-
hukumnya, seperti jual beli, hibah, dan ijarah.
b. Akad ghair musammah ialah akad yang belum ditetapkan oleh syara dan belum
ditetapkan hukum-hukumnya.
2. Disyari’atkan dan tidaknya akad, ditinjau dari segi ini akad terbagi dua bagian: 8

7
Ibid, 61-62
8
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, ( Bandung : Pustaka Setia, 2001), 64

8
a. Akad musyara’ah ialah akad-akad yang dibenarkan oleh
Syara’ seperti gadai dan jual beli.
b. Akad mamnu’ah ialah akad-akad yang dilarang syara’ seperti menjual anak
binatang dalam perut induknya.
3. Sah dan batalnya akad, ditinjau dari segi ini akad terbagi menjadi dua:
a. Akad shahih, yaitu aqad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya,
baik syarat yang khusus maupun syarat yang umum.
b. Akad yang tidak shahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau
syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak mengikat pihak-
pihak ynag beraqad, baik syarat umum maupun syarat khusus, seperti nikah tanpa
wali.
4. Sifat bendanya, ditinjau dari sifat ini benda akad terbagi dua:
a. Akad ‘ainiyah, yaitu akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang-barang
seperti jual beli.
b. Akad ghair ‘ainiyah, yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-
barang, karena tanpa penyerahan barangbarang pun akad sudah berhasil, seperti
akad amanah.
5. Cara melakukannya, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
a. Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan
dihadiri oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah.
b. Akad ridha’iyah, yaitu akad-akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan
terjadi karena keridhaan dua belah pihak, seperti akad pada umumnya.
6. Berlaku dan tidaknya akad, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
a. Akad nafidzah, yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang
akad.
b. Akad mauqufah yaitu akad-akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan,
seperti akad fudhuli (akad yang berlaku setelah disetujui pemilik harta).
7. Luzum dan dapat dibatalkannya, dari segi ini akad dapat dibagi empat:
a. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan
seperti akad kawin, manfaat perkawinan tidak bisa dipindahkan kepada orang

9
lain, 9seperti bersetubuh, tapi akad nikah dapat diakhiri dengan syara yang
dibenarkan syara seperti talak dan khulu’.
b. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak dan dapat dipindahkan
dirusakkan, seperti persetujuan jual beli dan akad-akad lainnya.
c. Akad lazim yang menjadi hak salah satu pihak, seperti rahn, orang yang
menggadai sesuatu benda punya kebebasan kapan saja ia akan melepaskan rahn
atau menebus kembali barangnya.
d. Akad lazimah yang menjadi hak dua belah pihak tanpa menunggu persetujuan
salah satu pihak, seperti titipan boleh diminta oleh yang menitipkan tanpa
menunggu persetujuan yang menerima titipan atau yang menerima titipan mulai
mengembalikan barang yang dititipkan kepada yang menitipkan tanpa menunggu
persetujuan dari yang menitipkan.
8. Tukar-menukar hak, dari segi ini akad dibagi menjadi tiga bagian:
a. Akad mu’awadlah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti jual
beli.
b. Aka tabarru’at, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan
pertolongan, seperti hibbah.
c. Akad yang tabarru’at pada awalnya dan menjadi akad mu’awadhah pada akhirnya
seperti qaradh dan kafalah.
9. Harus dibayar ganti dan tidaknya, dari segi ini akad dibagi menjadi tiga bagian:
a. Akad dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggungjawab pihak kedua sesudah
benda-benda itu diterima seperti qaradh.
b. Akad amanah, yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda, bukan oleh
yang memegang barang, seperti titipan (ida’).
c. Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsure, salah satu segi merupakan dhaman,
menurut segi yang lain merupakan amanah, seperti rahn (gadai).
10. Tujuan akad, dari segi tujuannya akad dibagi menjadi lima golongan:
a. Bertujuan tamlik, seperti jual beli.
b. Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama (perkongsian) seperti syirkah dan
mudharabah.

9
Ibid, 64-66

10
c. Bertujuan tautsiq (memperkokoh kepercayaan) saja, seperti rahn dan kafalah.
d. Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan washiyah.
e. Bertujuan mengadakan pemeliharaan, seperti ida’ atau titipan.

11. Faur dan istimrar, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
a. Akad fauriyah, yaitu akad-akad yang dalam pelaksanaannya tidak memerlukan
waktu yang lama, pelaksanaan akad hanya sebentar saja, seperti jual beli.
b. Akad istimrar disebut pula akad zamaniyah, yaitu hukum akad terus berjalan,
seperti I’arah.
12. Asliyah dan thabi’iyah, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
a. Akad Asliyah, yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu
dari yang lain, seperti jual beli dan I’arah.

Akad thabi’iyah, yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti adanya
rahn tidak dilakukan bila tidak ada utang.

10

10
Ibid, 66-67

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.

Akad adalah kesepakatan antara kedua belah pihak ditandai dengan sebuah ijab dan
qobul yang melahirkan akibat hukum baru. Akad memiliki rukun dan syarat yaitu: ‘Aqid,
Ma’qud ‘alaih, Maudhu’ al-‘aqd, dan Shighat al-‘aqd. sedangkan syarat akad meliputi :syarat
terbentuknya akad, syarat keabsahan akad, dan syarat-syarat berlakunya hukum akibat.
 Pada dasarnya akad memiliki penghalang yang scara garis besar dibagi menjadi 2
yaitu: ikrah (melalui paksaan) dan haqqul ghair (hak orang lain). Akad dibagi menjadi
beberapa bagian diantaranya: Berdasarkan ketentuan syara’, Berdasarkan ada dan tidak
adanya qismah, Berdasarkan zat benda yang diakadkan, Berdasarkan adanya unsur lain
didalamnya, Berdasarkan disyariatkan atau tidaknya akad, Berdasarkan sifat benda yang
menjadi objek dalam akad, Berdasarkan cara melakukannya, Berdasarkan berlaku atau
tidaknya akad, Berdasarkan luzum dan dapat dibatalkan, Berdasarkan tukar menukar
hak, Berdasarkan harus ganti tidaknya, Berdasarkan tujuan akad, Berdasarkan faur dan
istimrar, dan Berdasarkan asliyah dan tabi’iyah.
 Secara garis besar macam-macam akad yaitu: ‘Uqudun musammatun dan ‘Uqudun
ghairu musammah. Hikmah dari mempelajari dan mempraktekkan akad dalam kehidupan
sehari-hari yaitu: Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi
atau memiliki sesuatu, Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian,
karena telah diatur secara syar’i, Akad merupakan ”payung hukum” di dalam kepemilikan
sesuatu, sehingga pihak lain tidak dapat menggugat atau memilikinya.
 Dasar dari hukum melakukan akad yaitu wajib hal ini terdapat dalam Al-qur’an surah
Al-Maidah ayat 1. Berakhirnya suatu akad dapat dikarenakakan beberapa hal diantaranya
ialah: Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu mempunyai tenggang
waktu, Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat,
Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.

12
DAFTAR PUSTAKA
Nawawi, Ismail. 2017. Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor : Ghalia
Indonesia
Hendi, Suhendi. 2005. Fiqih Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Ghazali, Rahman, Abdul. 2010. Fiqih Muamalah. Jakarta : kencana
Syafii, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka Setia

13

Anda mungkin juga menyukai