Anda di halaman 1dari 12

E. Hasil Akhir Pemilu.

Indonesia telah berpengalaman 11 kali dalam pemilihan legislatif dari


tahun 1955 dan 3 kali pemilihan secra langsung presiden dan wakil presiden dari
2004. Sementara pemilu 17 April 2019 merupakan pemilahan serentah pertama
bagi bangsa demokrasi terbesar di Asia dan ke tiga didunia. Untuk pertama
kalinya rakyat dengan serentak dalam satu waktu memilih pasangan presiden dan
waki presiden serta wakil rakyat dipusat dan daerah. untuk lebih memaknai pesta
demokrasi yang telah dijalankan berikut adalah sejarah singkat pemilu dari masa
ke masa.
 Pemilihan Umum 1955.

Pemilihan Umum pertama di Indonesia terjadi pada masa Demokrasi


Parlementer, kabinet Burhanuddin Harahap (1955). Pemilu pertama ini, dilakukan
ditengah situasi pemerintahan yang belum kondusif akibat gagalnya pemerintah
baru untuk menyiapkan perangkat Undang-Undang Pemilu. Pemungutan suara
dilakukan dua kali, untuk memilih anggota DPR pada 29 September 1955 dan
untuk memilih anggota Dewan Konstituante pada 15 Desember 1955.
Jumlah peserta pemilu anggota DPR diikuti 118 peserta, terdiri dari 36
partai politik (parpol), 34 organisasi kemasyarakatan, dan 48 perorangan.
Sedangkan untuk Pemilu anggota Konstituate diikuti oleh 91 peserta yang terdiri
dari 39 parpol, 23 organisasi kemasyarakatan dan 29 peserta perseoranagan.
Selain itu ada juga 14 wakil dari golongan minoritas yang diangkat oleh
pemerintah. Adapun hasil Pemilu Legislatif 1955 adalah sebagai berikut: Partai
Nasional Indonesia (PNI): 57 kursi, Masyumi: 57 kursi, Nahdlatul Ulama (NU):
45 kursi, Partai Komunis Indonesia (PKI): 39 kursi, Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII): 8 kursi, Partai Kristen Indonesia (Parkindo): 8 kursi, Partai
Katolik: 6 kursi,Partai Sosialis Indonesia (PSI): 5 kursi,Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia (IPKI): 4 kursi, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti): 4
kursi,Partai Rakyat Nasional (PRN): 2 kursi,Partai Buruh: 2 kursi, Gerakan
Pembela Panca Sila (GPPS): 2 kursi, Partai Rakyat Indonesia (PRI): 2 kursi.
Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI): 2 kursi, Murba: 2 kursi, Baperki: 1
kursi, Persatuan Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro: 1 kursi, Grinda: 1 kursi,
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai): 1 kursi, Persatuan Dayak (PD): 1
kursi, PIR Hazairin: 1 kursi, Partai Persatuan Tharikah Islam (PPTI): -, AKUI: 1
kursi, Persatuan Rakyat Desa (PRD): 1 kursi, Partai Republik Indonesia Merdeka
(PRIM): 1 kursi, Angkatan Comunis Muda (Acoma): 1 kursi, dan R.Soedjono
Prawirisoedarso 1 kursi.
Sedangkan dalam Pemilu Konstituante 1955 yang dilaksanakan pada 15
Desember 1955 didapatkan PNI dan Masyumi yang mendapat suara tertinggi.
Sehingga kedua partai tersebut dapat menempatkan 57 anggotanya di kursi
konstituante.
 Pemilihan Umum 1971

Pemilihan Umum kedua terjadi pada Masa Orde Baru. Pemilu tersebut
dilaksanakan pada 5 Juli 1971 untuk pemilihan anggota DPR dengan sistem
perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar. Terdapat 10 parpol
yang mengikuti pemilu tersebut, antara lain: Partai Nadhalatul Ulama, Partai
Muslim Indonesia, Partai Serikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiiah,
Partai Nasionalis Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katholik, Partai
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Murba dan Sekber Golongan
Karya.
Mereka yang terpilih akan menempati Lembaga perwakilan daerah
maupun pusat, termasuk MPR yang akan diduduki 920 orang. Adapun 920 orang
tersebut diisi oleh 460 anggota DPR, 112 orang tambahan dari golongan politik
dan golongan karya, 207 anggota tambahan merupakan utusan golongan karya,
ankatan bersenjata, dan bukan angkatan bersenjata yang diangkat, 10 orang
anggota tambahan dari golongan politik maupun golongan karya yang tidak
mendapat wakil dalam DPR, serta 131 orang anggota tambahan utusan daerah.

Adapun dari 460 kursi anggota DPR, 360 kursi akan diisi anggota yang
terpilih dalam pemilu ditambah 100 orang anggota yang diangkat. Dalam Pemilu
1971, kursi legislatif dibagi dalam beberapa daerah pemilihan. DKI Jakarta
memiliki 11 orang wakil, Jawa Barat 43 orang wakil, Jawa Tengah 57 orang, DIY
9 orang, Jawa Timur 64 orang, Lampung 6 orang, Sumatera Selatan 10 orang,
Riau 6 orang, Bengkulu 4 orang, Sumatera Barat 14 orang, Sumatera Utara 17
orang, dan Daerah Istimewa Aceh 9 orang.
Lebih lanjut, Bali memiliki 8 orang wakil, Nusa Tenggara Barat 6 orang,
Nusa Tenggara Timur 12 orang, Kalimantan Timur 6 orang, Kalimantan Tengah 6
orang, Kalimantan Selatan 11 orang, Kalimantan Barat 7 orang, Sulawesi Utara 6
orang, Sulawesi Tengah 4 orang, Sulawesi Tenggara 4 orang, Sulawesi Selatan 23
orang, Maluku 4 orang, serta Irian Barat 9 orang. Pemilu 1971 tampak lebih
tenang dari 1955. Pemilu berjalan lancar, sehingga pada pukul 12.00 siang rata-
rata TPS sudah selesai menerima para pemilih.
Presiden Soeharto sendiri tidak memberikan hak pilihnya saat itu. Dia
hanya memberikan amanat untuk masyarakat pada 2 Juli 1971. Dalam amanat
tersebut ia menyampaikan “Besok pagi Bangsa Indonesia akan menancapkan satu
tonggak sejarah baru, satu tonggak baru daripada perjalanan Orde Baru yang
harus berarti memperkuat pelaksanaan Pancasila dan UU 1945 serta memperhebat
pelaksanaan pembangunan selanjutnya”. Pemilu tersebut dimenangkan oleh
Golkar.
Pada pemilu 1971 pejabat harus bersifat nertal meski pada kenyataannya
tak sedikit menunjukkan keperpihakan dalam satu partai. pembagian kursi pada
pemilu 1971 berbeda dengan pemilihan 1955. Pemilu 1955 menggunakan UU no
15 tahun 1969 sebagai dasar semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan.

 Pemilhan Umum 1977

Pada Pemilu kedua yang terjadi di Masa Orde Baru, pemilihan tahun 1977
diselenggarakan pada 2 Mei 1977. Pemilu ini masih menggunakan sistem yang
serupa dengan Pemilu 1971 yaitu, perwakilan berimbang (propporsional). Terjadi
fusi (peleburan) partai politik peserta Pemilu 1971, sehingga hanya diikuti 3
peserta, yaitu:

1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari partai NU,
Parmusi, Perti, dan PSII.

2. Partai Golongan Karya (GOLKAR)


3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi dari PNI, Parkindo,
Partai Katolik, Partai IPKI dan Partai Murba.

Meski formulir CA-1 tidak ditandatangani saksi seperti yang diminta PDI
dan PPP, Soeharto menjamin perhitungan suara berjalan sesuai dengan aturan. Ia
juga mengungkapkan kalau Pemilu 1977 tidak jauh berbeda dengan Pemilu 1971.
Pemilu diikuti oleh 70.664.155 warga yang terdaftar. Golkar masih superior
dalam pemilu tersebut dengan meraih 36.666.575 suara (61,55% atau 232 kursi),
PPP 17.543.606 suara (29,5% atau 99 kursi), serta PDI memperoleh 5.253.876
suara (8,84% atau 29 kursi).
 Pemilihan Umum 1982.

Pemilu 1982 diselenggarakan pada 4 Mei 1982. Sistem yang digunakan


pada pemilu ketiga Masa Orde Baru ini, masih serupa dengan Pemilu dua periode
sebelumnya. Jumlah peserta pada Pemilu ke-3 ini juga masih berjumlah tiga
peserta, yaitu PPP, Golkar, dan juga PDIP.

Pemilu 1982 tidak jauh berbeda dengan pemilu-pemilu lain di bawah


rezim Orde Baru. Golkar masih dominan dalam pemilu yang digelar pada 4 Mei
1982 ini. Pemilu kali ini juga digelar untuk memilih Anggota DPR Pusat, DPRD
Tingkat I Provinsi, dan DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya. Peserta pemilu
juga masih, yakni Golkar, PPP, dan PDI, dimana perolehan kursi Golkar masih
yang terbanyak. Adapun perolehan kursi di DPR masing-masing partai adalah
sebagai berikut : Golongan Karya (Golkar): 242 kursi, Partai Persatuan
Pembangunan (PPP): 94 kursi, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI): 24 kursi.

Pemilihan Umum 1987

Pemilu tahun 1987 diselenggarakan pada 23 April 1987. Tidak ada


perbedaan yang terlihat pada Pemilu tahun 1987 karena sistem yang digunakan
serta peserta parpol yang sama, yaitu PPP, Golkar, dan PDIP.

Dalam pemilu 1987, lagi-lagi tidak ada hal yang benar-benar mengejutkan.
Pemilu yang digelar masih didominasi oleh Golkar. Hanya saja perolehan suara
PPP mulai menurun, sedangkan perolehan suara PDI mulai merangkan naik.
Sedangkan perolehan suara Golkar masih tetap tidak tertandingi. Adapun
perolehan suara pada Pemilu 1987 yaitu Golongan Karya (Golkar): 62.783.680
suara atau 299 kursi, Partai Persatuan Pembangunan (PPP): 13.701.428 suara atau
61 kursi, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI): 9.384.816 suara atau 40 kursi.

 Pemilihan Umum 1992.

Pemilu ke-5 pada Masa Orde Baru ini, diselenggarakan pada 9 Juni 1992.
Sistem yang digunakan belum mengalami perubahan yaitu sistem perwakilan
berimbangan (porporsional) dengan peserta yang masih serupa dengan pemilihan
umum sebelumnya, yaitu PPP, Golkar dan PDIP.

Pemilu kali ini juga digelar untuk memilih Anggota DPR Pusat, DPRD Tingkat I
Provinsi, dan DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya. Dalam Pemilu ini, suara Golkar
merosot cukup tajam dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, meski masih
mendominasi. Adapun perolehan suara masing-masing kontestan pemilu adalah sebagai
berikut : Golongan Karya (Golkar): 66.599.331 suara atau 282 kursi, Partai Persatuan
Pembangunan (PPP): 16.624.647 suara atau 62 kursi, Partai Demokrasi Indonesia (PDI):
14.565.556 suara atau 56 kursi.

 Pemilihan Umum 1997.

Pemilu terakhir pada Masa Orde Baru ini dilaksankan pada 29 Mei 1997.
Belum terjadi perubahan pada sistem pemilihan dan juga peserta pemilihan.
Parpol yang mengikuti pemilu 1997 adalah PPP, Golkar dan PDIP.

Dengan peserta pemilu yang masih sama dengan pemilu-pemilu


sebelumnya, Golkar masih mendominasi perolehan kursi di parlemen. Bahkan
suaranya melonjak tajam dibandingkan pemilu sebelumnya. Bahkan sebelum
penghitungan suara rampung, Golkar sudah dapat dipastikan sebagai pemenang
pemilu. Adapun perolehan kursi dan suara pada Pemilu 1997 adalah sebagai berikut :
Golongan Karya (Golkar): 84.187.907 suara atau 325 kursi, Partai Persatuan
Pembangunan (PPP): 25.340.028 suara atau 89 kursi, dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI): 3.463.225 suara atau 11 kursi.

 Pemilihan Umum 1999.

Pemilihan Umum 1999 menjadi pemilihan pertama pada Masa Reformasi


Pasca lengsernya Presiden Soeharto, pemilu pertama di bawah pemerintahan

Presiden B. J. Habibie.. Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999 yang dilakukan


serentak di seluruh Indonesia. Pemilu ini sudah diselenggarakan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU) untuk memilih 462 anggota DPR Pusat dan DPRD

Kabupaten/Kota.Pemilu 1999 menjadi awal kebangkitan demokrasi yang terbukti


melalui jumlah peserta yang ikut dalam pemilihan. Terdapat 48 Partai Politik
menjadi peserta pemilu saat itu.

Adapun penentuan kursi dilakukan secara proporsional berdasarkan


persentasi suara nasional. Dalam pemilu pertama di masa reformasi ini, Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI) keluar sebagai pemenang pemilu dengan
perolehan suara terbanyak. Adapun perolehan suara masing-masing partai adalah
sebagai berikut.

Partai Keadilan dan Persatuan: 4 kursi, Partai Demokrasi Kasih Bangsa


dan Partai Nahdlatul Ummat: 5 kursi, Partai Keadilan: 7 kursi, Partai Bulan
Bintang: 13 kursi, Partai Amanat Nasional: 34 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa:
51 kursi, Partai Persatuan Pembangunan: 58 kursi, Partai Golongan Karya: 120
kursi, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan: 153 kursi.
Partai dengan perolehan 1 kursi: Partai Kebangkitan Ummat; Partai
Syarikat Islam Indonesia; Partai Politik Islam Indonesia Masyumi; Partai Nasional
Indonesia - Front Marhaenis; Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia;
Partai Nasional Indonesia - Massa Marhaen; Partai Persatuan, dan Partai
Bhinneka Tunggal Ika.
Adapun partai yang tidak memperoleh kursi: Partai Indonesia Baru, Partai
Kristen Nasional Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Partai Aliansi Demokrat
Indonesia, Partai Kebangkitan Muslim Indonesia, Partai Ummat Islam, Partai
Masyumi Baru, Partai Abul Yatama, Partai Kebangsaan Merdeka, Partai Rakyat
Demokratik, Partai Syarikat Islam Indonesia 1905, Partai Katolik Demokrat,
Partai Pilihan Rakyat, Partai Rakyat Indonesia, Partai Solidaritas Pekerja Seluruh
Indonesia, Partai Republik; Partai Islam Demokrat, Partai Musyawarah Rakyat
Banyak, Partai Uni Demokrasi Indonesia, Partai Buruh Nasional, Partai
Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong, Partai Cinta Damai, Partai
Solidaritas Pekerja, Partai Nasional Bangsa Indonesia, Partai Solidaritas Uni
Nasional Indonesia, Partai Nasional Demokrat, Partai Ummat Muslimin
Indonesia, dan Partai Pekerja Indonesia.
 Pemilihan Umum 2004.

Pada Pemilihan Umum 2004 memungkinkan masyarakat dapat secara


langsung memilih DPR, DPD, DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu
2004 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih
550 anggota DPR, 128 Anggota DPD serta DPRD periode 2004-2009.

Berdasarkan UU No. 23 tahun 2003 tentang Pemiihan Presiden dan Wakil


Presiden, syarat terpilih sebagai presiden adalah kandidat harus memperoleh
minimal 50 persen dari jumlah suara sah dan mendapatkan minimal 20 persen
suara di sepertiga provinsi yang ada di Indonesia. Jika tidak ada kandidat yang
memenuhi syarat tersebut, maka akan dilaksanakan pemilihan putaran kedua.
Kandidat dengan perolehan suara terbanyak akan menjadi presiden.

Sedangkan untuk pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan


pada 5 Juli 2004 (putaran I) dan 20 September 2004 (putaran II). Sistem yang
digunakan pada pemilu 2004 adalah perwakilan berimbang (proporsional) dengan
sistem daftar calon terbuka. Peserta Pemilu untuk Calon Anggota DPR, DPD,
serta DPRD diikuti sebanyak 48 partai politik. Sedangkan untuk Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden terdapat 5 peserta pada putaran I dan hanya ada 2
pasangan yang lolos pada putaran ke-2 yaitu, Megawati Soekarnoputri yang
berpasangan dengan K.H Ahmad hasyim Muzadi serta pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) dengan Jusuf Kalla.
 Pemilihan Umum 2009.

Pemilu 2009 merupakan Pemilihan Umum ketiga pada masa reformasi


yang diselenggarakan serentak pada tanggal 9 April 2009 untuk memilih 560
anggota DPR, 132 Anggota DPD serta DPRD se-Indonesia periode 2009-2014.
Sedangkan untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan pada 8 Juli
2009 yang hanya berlangsung satu putaran.

Peserta pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2009 diikuti oleh 44
Partai Politik (Parpol), yang terdiri dari 38 partai nasional dan 6 partai lokal Aceh.
Sedangkan untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, terdiri dari 3 pasangan
calon , yaitu, Pasangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto, Pasangan
SBY dan Boediono, serta Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Wiranto.

Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono menjadi pemenang dalam


pemilu tersebut dengan perolehan suara 73.874.562 suara atau 60,8%. Diikuti
oleh Megawati – Prabowo dengan 32.548.105 suara atau 26,79%, dan Jusuf Kalla
– Wiranto dengan 15.081.814 suara atau 12,41%.

 Pemilihan Umum 2014.

Pemilu 2014 dilaksanakan serentak pada tanggal 9 April 2014 untuk


memilih 560 anggota DPR dan 132 anggota DPD serta DPRD se-Indonesia
periode 2014-2019. Tiga bulan setelah penyelenggaran Pemilu legislatif, atau
tepatnya pada 9 Juli 2014 Pemilihan Umum untuk Presiden dan Wakil Presiden
dilakukan.

Terdapat sepuluh Partai Politik yang mengikuti Pemilu 2014, yaitu : Partai
Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai
Demokrat, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya
(Golkar), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (Nasdem) serta
Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Selain itu, terdapat dua pasangan peserta yang mengikuti pemilu 2014,
antara lain Joko Widodo dengan Jusuf Kalla melawan pasangan Prabowo
Subianto dan Hatta Rajasa. Joko Widodo dan Jusuf Kalla meraih suara
70.997.833 suara atau 53,15%, sedangkan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa
memperoleh suara 62.576.44 suara atau 46,85%. Sedangkan pemilu legislatif yang
dilaksanakan 9 Juli memperebutkan 560 kursi DPR RI, 132 kursi DPD, 2.112
kursi DPRD Provinsi, dan 16.895 kursi DPRD Kabupaten.

 Pemilihan Umum 2019.

Pemilu 2019 kembali mencatatakan sejarah dalam perjalanan demokrasi di


Indonesia. Pemilu 2019 merupakan pemilu serentak pertama, dimana Pemilu
Legislatif dan Pilpres dilaksanakan secara bersamaan pada 17 April 2019. Hal ini
menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam gugatan nomor
14/PUU-XI/2013 yang diputus pada 23 Januari 2014. Karena itu, dalam Pemilu
2019 ini pemilih akan menerima 5 lembar surat suara sekaligus yaitu surat suara
DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI, DPD, dan calon presiden dan
wakil presiden. Total ada 16 partai politik peserta pemilu ditambah 4 partai politik
lokal di Aceh.
Karena dilaksanakan secara serentak, pemilu kali ini menggunakan sistem
Presidential Threshold, dimana hasil Pileg 2014 digunakan sebagai syarat
pendaftaran capres dan cawapres. Sementara itu, Parlementary Threshold naik
menjadi 4%. Dalam Pemilu Presiden 2019, ada dua pasangan capres dan
cawapres. Pasangan nomor urut 01 adalah Joko Widodo dan Ma’ruf Amin
sedangkan pasangan nomor urut 02 adalah Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Adapun hasil rekapitulasi suara akan diumumkan pada 22 Mei 2019.
Sementara itu, Pemilu Legislatif tahun 2019 diikuti oleh 20 partai politik
nasional dan 4 partai politik lokal di Aceh. Adapun partai politik tersebut adalah
PKB, Gerindra, PDIP, Partai Golkar, Partai NasDem, Partai Garuda, Partai
Berkarya, PKS, Perindo, PPP, PSI, PAN, Hanura, Partai Demokrat, PBB, dan
PKPI. Sedangkan 4 partai politik lokal di Aceh adalah Partai Aceh, Partai SIRA,
Partai Daerah Aceh, dan Partai Nanggroe Aceh.
F. Penyelesaian Sengketa pemilu.
Pemilihan umum (Pemilu) sejatinya diwarnai dengan hiruk pikuk, baik
dalam persiapannya maupun dalam pelaksanaannya. Kesuksesan dari suatu
pemilihan umum tidak hanya ditentukan dari bagaimana jalannya pemungutan
suara. Namun dilihat pula dari penyelesaian sengketa yang terjadi. Untuk
mengetahui apa saja jenis-jenis sengketa pemilihan umum, yuk simak
pembahasannya. Terdapat dua jenis sengketa dalam pemilihan umum, yaitu
sengketa dalam proses pemilu dan sengketa atas perselisihan hasil pemilu
(PHPU).
Sengketa dalam proses pemilu umumnya terjadi di antara para peserta
pemilu. Selain itu sengketa dapat juga terjadi antara peserta pemilu dengan
penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU
Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota.
Berdasarkan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum (UU Pemilu), penindakan sengketa dalam proses pemilihan
umum dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dalam melakukan
pencegahan dan penindakan, tugas Bawaslu terbagi menjadi dua yaitu untuk
melakukan penindakan atas pelanggaran pemilu dan penindakan atas sengketa
proses pemilu. Terdapat tiga pelanggaran pemilu yaitu pelanggaran administrasi,
pelanggaran kode etik dan pelanggaran tindak pidana pemilu.
Pelanggaran Pemilu Contoh kasus pelanggaran administrasi pemilu seperti
kampanye yang didukung dengan pemanfaatan fasilitas atau aset milik negara.
Selain itu, kampanye dengan membawa anak di bawah umur juga merupakan
pelanggaran. Atas pelanggaran administrasi pemilu, Bawaslu memeriksa,
mengkaji dan memutus pelanggaran terkait. Putusan Bawaslu dapat berupa sanksi
administratif pembatalan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD
kabupaten/kota, dan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu seperti KPU dan
Bawaslu, pelanggaran tersebut diselesaikan oleh Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP). DKPP kemudian melakukan sidang untuk
selanjutnya menetapkan putusan DKPP. Putusan biasanya berupa sanksi atau
rehabilitasi diambil dalam rapat pleno DKPP.
Sedangkan yang termasuk pelanggaran tindak pidana pemilu yaitu
melakukan politik uang atau biasa disebut Money Politics. Misalnya kasus suap
seorang tim sukses calon Bupati Garut kepada oknum anggota KPUD dan Panitia
Pengawas Pemilu Kabupaten Garut. Pelanggaran tindak pidana pemilu
selanjutnya diselesaikan dalam peradilan umum sesuai dengan hukum acara
pidana.
Pada sengketa proses pemilu, sengketa dibawa oleh pemohon kepada
Bawaslu untuk dikaji. Tahap pertama penyelesaian adalah dengan melakukan
mediasi antar kedua belah pihak. Jika mediasi gagal, para pihak dapat memilih
melakukan ajudikasi atas putusan yang dikeluarkan oleh Bawaslu, para pihak
dapat mengajukan upaya hukum atas ketidaksetujuannya terhadap putusan
tersebut kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Tenggang waktu proses penyelesaian sengketa pemilu di Bawaslu adalah
12 hari, mulai dari menerima permohonan penyelesaian sengketa hingga memutus
penyelesaian sengketa. Putusan Bawaslu sendiri bersifat final dan binding, kecuali
terhadap putusan mengenai verifikasi partai politik peserta pemilu, penetapan
daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota, serta penetapan pasangan calon.
Contoh kasus dari sengketa pemilu adalah sengketa antara Ketua Umum
Partai Bulan Bintang (PBB) sebagai pemohon dan Komisi Pemilihan Umum
sebagai termohon. Dalam permohonannya, pemohon menolak isi Surat Keputusan
dan Berita Acara KPU RI No. 1129/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang Daftar
Calon Tetap (DCT) Anggota DPR RI pada Pemilihan Umum Tahun 2019
dikarenakan telah menyerahkan kelengkapan dokumen bakal calon Anggota DPR
sebanyak 510 (lima ratus sepuluh) dokumen di 80 (delapan puluh) daerah
pemilihan. Tetapi ternyata termohon menolak untuk melakukan verifikasi
terhadap 95 (sembilan puluh lima) dokumen bakal Calon Legislatif DPR RI yang
diserahkan Ketua Umum PBB tersebut.
Pada putusannya, Bawaslu memerintahkan termohon untuk membatalkan
Surat Keputusan KPU RI yang menjadi objek sengketa, memberikan kesempatan
kepada pemohon untuk mengajukan dokumen persyaratan kembali dan
menetapkan 95 (sembilan puluh lima) bakal calon dari pemohon untuk masuk
dalam Daftar calon tetap.

Anda mungkin juga menyukai