Pemilihan Umum kedua terjadi pada Masa Orde Baru. Pemilu tersebut
dilaksanakan pada 5 Juli 1971 untuk pemilihan anggota DPR dengan sistem
perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar. Terdapat 10 parpol
yang mengikuti pemilu tersebut, antara lain: Partai Nadhalatul Ulama, Partai
Muslim Indonesia, Partai Serikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiiah,
Partai Nasionalis Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katholik, Partai
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Murba dan Sekber Golongan
Karya.
Mereka yang terpilih akan menempati Lembaga perwakilan daerah
maupun pusat, termasuk MPR yang akan diduduki 920 orang. Adapun 920 orang
tersebut diisi oleh 460 anggota DPR, 112 orang tambahan dari golongan politik
dan golongan karya, 207 anggota tambahan merupakan utusan golongan karya,
ankatan bersenjata, dan bukan angkatan bersenjata yang diangkat, 10 orang
anggota tambahan dari golongan politik maupun golongan karya yang tidak
mendapat wakil dalam DPR, serta 131 orang anggota tambahan utusan daerah.
Adapun dari 460 kursi anggota DPR, 360 kursi akan diisi anggota yang
terpilih dalam pemilu ditambah 100 orang anggota yang diangkat. Dalam Pemilu
1971, kursi legislatif dibagi dalam beberapa daerah pemilihan. DKI Jakarta
memiliki 11 orang wakil, Jawa Barat 43 orang wakil, Jawa Tengah 57 orang, DIY
9 orang, Jawa Timur 64 orang, Lampung 6 orang, Sumatera Selatan 10 orang,
Riau 6 orang, Bengkulu 4 orang, Sumatera Barat 14 orang, Sumatera Utara 17
orang, dan Daerah Istimewa Aceh 9 orang.
Lebih lanjut, Bali memiliki 8 orang wakil, Nusa Tenggara Barat 6 orang,
Nusa Tenggara Timur 12 orang, Kalimantan Timur 6 orang, Kalimantan Tengah 6
orang, Kalimantan Selatan 11 orang, Kalimantan Barat 7 orang, Sulawesi Utara 6
orang, Sulawesi Tengah 4 orang, Sulawesi Tenggara 4 orang, Sulawesi Selatan 23
orang, Maluku 4 orang, serta Irian Barat 9 orang. Pemilu 1971 tampak lebih
tenang dari 1955. Pemilu berjalan lancar, sehingga pada pukul 12.00 siang rata-
rata TPS sudah selesai menerima para pemilih.
Presiden Soeharto sendiri tidak memberikan hak pilihnya saat itu. Dia
hanya memberikan amanat untuk masyarakat pada 2 Juli 1971. Dalam amanat
tersebut ia menyampaikan “Besok pagi Bangsa Indonesia akan menancapkan satu
tonggak sejarah baru, satu tonggak baru daripada perjalanan Orde Baru yang
harus berarti memperkuat pelaksanaan Pancasila dan UU 1945 serta memperhebat
pelaksanaan pembangunan selanjutnya”. Pemilu tersebut dimenangkan oleh
Golkar.
Pada pemilu 1971 pejabat harus bersifat nertal meski pada kenyataannya
tak sedikit menunjukkan keperpihakan dalam satu partai. pembagian kursi pada
pemilu 1971 berbeda dengan pemilihan 1955. Pemilu 1955 menggunakan UU no
15 tahun 1969 sebagai dasar semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan.
Pada Pemilu kedua yang terjadi di Masa Orde Baru, pemilihan tahun 1977
diselenggarakan pada 2 Mei 1977. Pemilu ini masih menggunakan sistem yang
serupa dengan Pemilu 1971 yaitu, perwakilan berimbang (propporsional). Terjadi
fusi (peleburan) partai politik peserta Pemilu 1971, sehingga hanya diikuti 3
peserta, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari partai NU,
Parmusi, Perti, dan PSII.
Meski formulir CA-1 tidak ditandatangani saksi seperti yang diminta PDI
dan PPP, Soeharto menjamin perhitungan suara berjalan sesuai dengan aturan. Ia
juga mengungkapkan kalau Pemilu 1977 tidak jauh berbeda dengan Pemilu 1971.
Pemilu diikuti oleh 70.664.155 warga yang terdaftar. Golkar masih superior
dalam pemilu tersebut dengan meraih 36.666.575 suara (61,55% atau 232 kursi),
PPP 17.543.606 suara (29,5% atau 99 kursi), serta PDI memperoleh 5.253.876
suara (8,84% atau 29 kursi).
Pemilihan Umum 1982.
Dalam pemilu 1987, lagi-lagi tidak ada hal yang benar-benar mengejutkan.
Pemilu yang digelar masih didominasi oleh Golkar. Hanya saja perolehan suara
PPP mulai menurun, sedangkan perolehan suara PDI mulai merangkan naik.
Sedangkan perolehan suara Golkar masih tetap tidak tertandingi. Adapun
perolehan suara pada Pemilu 1987 yaitu Golongan Karya (Golkar): 62.783.680
suara atau 299 kursi, Partai Persatuan Pembangunan (PPP): 13.701.428 suara atau
61 kursi, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI): 9.384.816 suara atau 40 kursi.
Pemilu ke-5 pada Masa Orde Baru ini, diselenggarakan pada 9 Juni 1992.
Sistem yang digunakan belum mengalami perubahan yaitu sistem perwakilan
berimbangan (porporsional) dengan peserta yang masih serupa dengan pemilihan
umum sebelumnya, yaitu PPP, Golkar dan PDIP.
Pemilu kali ini juga digelar untuk memilih Anggota DPR Pusat, DPRD Tingkat I
Provinsi, dan DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya. Dalam Pemilu ini, suara Golkar
merosot cukup tajam dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, meski masih
mendominasi. Adapun perolehan suara masing-masing kontestan pemilu adalah sebagai
berikut : Golongan Karya (Golkar): 66.599.331 suara atau 282 kursi, Partai Persatuan
Pembangunan (PPP): 16.624.647 suara atau 62 kursi, Partai Demokrasi Indonesia (PDI):
14.565.556 suara atau 56 kursi.
Pemilu terakhir pada Masa Orde Baru ini dilaksankan pada 29 Mei 1997.
Belum terjadi perubahan pada sistem pemilihan dan juga peserta pemilihan.
Parpol yang mengikuti pemilu 1997 adalah PPP, Golkar dan PDIP.
Peserta pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2009 diikuti oleh 44
Partai Politik (Parpol), yang terdiri dari 38 partai nasional dan 6 partai lokal Aceh.
Sedangkan untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, terdiri dari 3 pasangan
calon , yaitu, Pasangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto, Pasangan
SBY dan Boediono, serta Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Wiranto.
Terdapat sepuluh Partai Politik yang mengikuti Pemilu 2014, yaitu : Partai
Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai
Demokrat, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya
(Golkar), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (Nasdem) serta
Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Selain itu, terdapat dua pasangan peserta yang mengikuti pemilu 2014,
antara lain Joko Widodo dengan Jusuf Kalla melawan pasangan Prabowo
Subianto dan Hatta Rajasa. Joko Widodo dan Jusuf Kalla meraih suara
70.997.833 suara atau 53,15%, sedangkan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa
memperoleh suara 62.576.44 suara atau 46,85%. Sedangkan pemilu legislatif yang
dilaksanakan 9 Juli memperebutkan 560 kursi DPR RI, 132 kursi DPD, 2.112
kursi DPRD Provinsi, dan 16.895 kursi DPRD Kabupaten.