Anda di halaman 1dari 8

Penyaluran Wakaf dan Pemanfaatannya di salah satu Masjid yang ada di Kabupaten

Ponorogo
Small Riset

Di susun Oleh Kelompok 2:

Muhammad Alwan Hafifudin 101190063


Muhammad Amzad 101190064
Muhamad Muhibbudin 101190065

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo


Oktober 2021
Pengantar

Wakaf bisa diartikan sebagai Sesutu yang ditahan, yang dapat diberikan kepada orang lain
sebagai hadaih, dan diambil kemanfaatannya untuk disalurkan kepada siapa pun. Pada dasarnya
wakaf diberikan kepada suatu lembaga agama itu bertujuan untuk membantu perjuangannya
dijalan Allah, seperti untuk beribadah di masjid atau mushola bahkan bisa juga pesantren. Disini
kami akan membahas tentang wakaf untuk masjid atau mushola.

Upaya yang dilakukan untuk mengumpulkan dana/daya wakaf yang diperlukan untuk tujuan
memperoleh dana/daya , menghimpun wakif, serta untuk kemajuan lembaga dan juga bertujuan
untuk memuaskan wakif. Strategi menggalang dana diperlukan untuk menarik minat wakaf
untuk bersedia mewakafkan atau diwakafi sebagian harta yang dia miliki jika ia mewakafkan dan
bersedia diwakafi harta dan mengelolanya untuk kemajuan lembaga atau tempat ibadah untuk
berjuang dijalan Allah. Adapun strateginya yaitu dengan beberapa hal, seperti calon waqif,
pengelolaan dan silahturahmi wakif, penggunaan metode fundraising dan monitoring serta
evaluasi fundraising wakaf.

Sebelum mengelola sumber wakaf maka, yang paling utama adalah mengumpulkan sumber
wakaf terlebih dahulu. Para pengurus masjid al-ma’ruf menerima semua bentuk wakaf, baik
berupa tanah, atau benda tidak bergerak dan sebagainya.

Pertanyaan Riset
1.

2.

3.

4.

5.

Perspektif Teoritis
Hukum Wakaf
‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذي َْن ٰا َمنُوا ارْ َكع ُْوا َوا ْس ُج ُد ْوا َوا ْعبُ ُد ْوا َربَّ ُك ْم َوا ْف َعلُوا ْال َخي َْر لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِح ُْو َن‬
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, sujudlah, dan sembahlah Tuhanmu; dan
berbuatlah kebaikan, agar kamu beruntung. (qs. Al-Hajj ayat 77)
Orang beriman diperintahkan untuk beribadah kepada Allah Yang Maha Mengetahui keadaan
manusia. Wahai orang-orang yang beriman, karena kamu sudah membenarkan dan meyakini
bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan selain Allah, maka rukuk, sujud, dan beribadahlah kepada
Tuhanmu dengan melaksanakan salat wajib dan berbagai salat sunah, dan sebagai dampak
ketekunan beribadah tersebut, maka berbuatlah kebaikan kepada sesama manusia agar kamu
beruntung dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.

۟ ُ‫وا ِم َّما تُ ِحبُّونَ ۚ َوما تُنفِق‬


‫وا ِمن َش ْى ٍء فَإ ِ َّن ٱهَّلل َ بِِۦه َعلِي ٌم‬ ۟ ُ‫وا ْٱلب َّر َحتَّ ٰى تُنفِق‬
۟ ُ‫لَن تَنَال‬
َ ِ
 Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka
sesungguhnya Allah mengetahuinya.(qs. Ali-imran ayat 92)

Ayat ini menjelaskan tentang dorongan Allah kepada hamba-hamba-Nya untuk menginfakkan
harta pada jalan-jalan kebaikan. Orang yang lebih mencintai Allah akan rela mengorbankan harta
yang dicintainya dengan menginfakkannya di jalan-jalan yang diridhai-Nya. Termasuk ke dalam
menginfakkan harta yang dicintainya adalah berinfak ketika orang yang berinfak
membutuhkannya dan berinfak ketika kondisi sehat dan berat mengeluarkannya dalam kondisi di
mana ia khawatir miskin dan mengharap kaya.

Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Tentang Wakaf


BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Wakaf adalah perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan
umum menurut Syariah.
2. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
3. Ikrar Wakaf adalah pernyataan kehendak Wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau
tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
4. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan
dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
5. Mauquf alaih adalah pihak yang ditunjuk untuk memperoleh manfaat dari peruntukan
harta benda wakaf sesuai pernyataan kehendak Wakif yang dituangkan dalam Akta Ikrar
Wakaf.
6. Akta Ikrar Wakaf adalah bukti pernyataan kehendak Wakif untuk mewakafkan harta
benda miliknya guna dikelola Nazhir sesuai dengan peruntukan harta benda wakaf yang
dituangkan dalam bentuk akta.
7. Sertifikat Wakaf Uang adalah surat bukti yang dikeluarkan oleh Lembaga Keuangan
Syariah kepada Wakif dan Nazhir tentang penyerahan wakaf uang.
8. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, yang selanjutnya disingkat PPAIW, adalah pejabat
berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk membuat Akta Ikrar Wakaf.
9. Lembaga Keuangan Syariah, yang selanjutnya disingkat LKS adalah badan hukum
Indonesia yang bergerak di bidang keuangan Syariah.
10. Bank Syariah adalah Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah dari Bank Umum
konvensional serta Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
11. Badan Wakaf Indonesia, yang selanjutnya disingkat BWI, adalah lembaga independen
dalam pelaksanaan tugasnya untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia.
12. Kepala Kantor Urusan Agama yang selanjutnya disingkat dengan Kepala KUA adalah
pejabat Departemen Agama yang membidangi urusan agama Islam di tingkat kecamatan.

13. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.

Seperti penjelasan diatas yaitu qs. Al-hajj ayat 77, qs. Ali-imran ayat 92 dan Peraturan
Pemerintah No. 42 tahun 2006 bahwa hukum wakaf itu adalah sunnah. Karena dengan wakaf
kita bisa membawanya dan menikmatinya ketika kita sudah mati.

Sketsa Sejarah Nadzir Wakaf


Nadzir = nadzara-
yandzuru-nadzaran
(menjaga, memelihara,
mengelola,dan
mengawasi

Posisi nadzir itu sebagai


Nadzir Wakaf = orang atau
pengelola asset wakaf amat
badan yang memelihara Nadzir berperan penting
menentukan pada berhasil
atau mengurus harta wakaf dalam mengelola asset atau tidaknya
sesuai dengan wujud dan wakaf pemberdayaan wakaf itu
tujuan wakaf
sendiriri

Deskripsi Hukum dan Tata Kelola Wakaf Data Dokumen


1. Jenis Wakaf Berdasarkan Peruntukan

1) Wakaf ahli (wakaf Dzurri/wakaf ’alal aulad) yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi
kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga, dan lingkungan kerabat
sendiri.
2) Wakaf Khairi (kebajikan) adalah wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama
(keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum).
2. Jenis Wakaf Berdasarkan Jenis Harta
1) Benda tidak bergerak:
Hak atas tanah : hak milik, strata title, HGB/HGU/HP
Bangunan atau bagian bangunan atau satuan rumah susun
Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah
2) Benda tidak bergerak lain
3. Jenis Wakaf Berdasarkan Waktu:
1) Muabbad , wakaf yang diberikan untuk selamanya
2) Mu’aqqot, wakaf yang diberikan dalam jangka waktu tertentu
4. Jenis Wakaf Berdasarkan penggunaan harta yang diwakafkan

1) Ubasyir/dzati; harta wakaf yang menghasilkan pelayanan masyarakat dan bisa


digunakan secara langsung seperti madrasah dan rumah sakit) .

2) Mistitsmary, yaitu harta wakaf yang ditujukan untuk penanaman modal dalam
produksi barang-barang dan pelayanan yang dibolehkan syara’ dalam bentuk apapun
kemudian hasilnya diwakafkan sesuai keinginan pewakaf

Harta benda wakaf dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf adalah harta benda yang
memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi
menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif, oleh karena itu agar mempunyai kekuatan hukum
tetap hendaknya didaftarkan pada kantor pertanahan, agar tidak menimbulkan sengketa di
kemudian hari.

Sejarah telah mencatat bahwa di Mesir, pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah,
perhatian terhadap wakaf nampak cukup tinggi sehingga masalah wakaf diserahkan kepada
sebuah lembaga khusus untuk menangani wakaf di bawah pengawasan hakim. Menurut Abu
Zahra, orang yang pertama kali melakukan hal tersebut adalah Taubah ibn Numairi, seorang
Qadli Mesir di masa pemerintahan Hisyam ibn Abdul Malik. Taubah menegaskan bahwa tujuan

utama dari peruntukan sedekah/wakaf ini adalah untuk orang-orang fakir dan orang-orang
miskin. Untuk itu, lembaga ini diorientasikan pada pembelaan rakyat yang tidak mampu.

Menurut kesimpulan para ahli, lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam
administrasi wakaf di Mesir dan bahkan di seluruh negera Islam. Pendirian lembaga khusus yang
serupa juga telah dilakukan oleh hakim Taubah di Basrah sehingga sejak saat itu harta benda
wakaf mulai dikelola dengan baik dan hasilnya didistribusikan sebagaimana mestinya.

Di Indonesia, praktek wakaf dikenal seiring dengan perkembangan dakwah Islam di Nusantara.
Di samping melakukan dakwah Islam, para ulama juga sekaligus memperkenalkan ajaran wakaf.
Hal ini terbukti dari banyaknya masjid-masjid yang bersejarah yang dibangun di atas tanah
wakaf. Ajaran wakaf ini terus berkembang di bumi Nusantara, baik pada masa dakwah pra
kolonial, masa kolonial maupun pasca-kolonial (Indonesia merdeka). Sehingga harta benda
wakaf sudah menyebar di negeri ini, mulai dari Aceh, Gayo, Tapanuli, Gorontalo, Lombok, Jawa
Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan lain-lain. Di antara beberapa daerah tersebut berbeda-beda
dalam menyebut harta benda wakaf. Di Aceh wakaf disebut dengan Wakeuh, di Gayo disebut
dengan Wakos, di Payakumbuh disebut dengan Ibah dan lain-lain.

Namun karena sejak semula tidak diiringi dengan kebijakan dan peraturan perundang-
undangan yang memadai, harta benda wakaf tersebut tidak teradministrasikan dengan baik, dan
bahkan tidak sedikit yang sering menimbulkan permasalahan (sengketa).
Hal inilah antara lain yang memunculkan kesadaran pemerintah Hindia Belanda untuk
menertibkan tanah wakaf di Indonesia. Pada waktu Priesterraad (Pengadilan Agama) didirikan
berdasarkan Staatsblad  No. 152 Tahun 1882, salah satu yang menjadi wewenangnya adalah
menyelesaikan masalah wakaf.

Pasca-kemerdekaan, Pemerintah RI juga mengeluarkan peraturan-peraturan perwakafan, namun


kurang memadai. Karena itu, dalam rangka pembaharuan Hukum Agraria di Indonesia,
persoalan perwakafan tanah diberi perhatian khusus sebagaimana terlihat dalam Undang-undang
No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Bab II, bagian XI, Pasal 49.
Dalam pasal itu disebutkan bahwa untuk melindungi berlangsungnya perwakafan tanah di
Indonesia, pemerintah akan memberikan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah (PP). PP
tersebut baru dikeluarkan setelah 17 tahun berlakunya UU Pokok Agraria itu, yakni PP Nomer
28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik

Di samping Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik,
ada beberapa peraturan lain yang mengatur masalah perwakafan di Indonesia, antara lain
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah mengenai
Perwakafan tanah milik; Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan
Pelaksanaan PP. No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik; Peraturan Direktur
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D/75/1978 tentang Formulir dan Pedoman
Pelaksanaan Peraturan-peraturan tentang Perwakafan Tanah Milik; Keputusan Menteri Agama
No. 73 Tahun 1978 tentang Pendelegasian wewenang kepada Kepala Kanwil Departemen
Agama Propinsi/setingkat di seluruh Indonesia untuk mengangkat/memberhentikan setiap kepala
KUA Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, dan lain-lain.
Perhatian pemerintah terhadap perwakafan di tanah air tampak lebih jelas lagi dengan
ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. UU itu, dalam Bab III tentang
Kekuasaan Pengadilan, Pasal 49 ayat (1) menyebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a). perkawinan; (b). kewarisan, wasiat, dan hibah,
yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; (c). wakaf dan shadaqah. Dengan adanya berbagai
peraturan itu, diharapkan pelaksanaan perwakafan di Indonesia dapat berjalan tertib. Namun
kenyataannya, peraturan-peraturan yang berkenaan dengan wakaf tersebut sampai dengan tahun
1990 belum sepenuhnya mampu mengatasi masalah perwakafan.
Untuk mengefektifkan peraturan-peraturan yang telah ada, pada tanggal 30 November 1990
dikeluarkan Instruksi Bersama Menteri Agama RI dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Nomor: 4 Tahun 1990 tentang Sertifikat Tanah Wakaf. Di samping itu, agar terjamin adanya
kesatuan dan kepastian hukum dalam masalah perwakafan, dalam Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia Buku III juga dimuat hal-hal yang berkenaan dengan Hukum Perwakafan.

Untuk itu, menciptakan tertib hukum dan tertib administrasi sangatlah penting guna melindungi
harta benda wakaf. Upaya demikian, saat ini, akan menemui tantangan yang lebih berat lagi,
karena harta benda wakaf, sebagaimana dijelaskan dalan Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf tersebut, tidak hanya benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, tetapi
juga benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan dan lain sebagainya.
Selain itu, dalam UU tersebut juga mengamanatkan kepada Menteri Agama dan Badan Wakaf
Indonesia (BWI) untuk mengadministrasikan harta benda wakaf serta mengumumkan harta
benda wakaf yang telah terdaftar. Dengan adanya upaya demikian, tertib administrasi
perwakafan diharapkan dapat terwujud.

Anda mungkin juga menyukai