Abstrak
Selama kurang lebih enam ratus tahun kerajaan Turki Usmani bertahan dengan berbagai
kejayaan dan kelemahan yang dihadapi. Dalam perkembangannya Turki Usmani melewati
beberapa periode kepemimpinan. Tidak kurang dari 37 sultan yang memimpin sejak pertama
berdirinya tahun 1299 M hingga 1922 M. Bahkan kekuasaannya terbentang luas, meliputi
dataran Eropa, Mesir, Afrika Utara, Asia hingga Persia, lautan Hindia hingga Laut Hitam.
Tiga benua menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Utsmani. Lamanya waktu tersebut tentu saja
memberikan catatan sejarah yang menarik untuk dikaji, terutama bagi umat Islam. Selain itu,
banyak kontribusi yang telah dihasilkan dari peradaban Turki Usmani di berbagai bidang,
salah satunya perjalanan peradilan Islam dimasa itu. Dari uraian tersebut artikel ini di tulis
untuk menjawab pertanyaan bagaimana sistem peradilan pada masa Turki Usmani?
Kemudian bagaimana perkembangan sitem peradilan pada masa Turki Usmani? Apa
kelebihan dan kelemahan dari sistem Peradilan pada masa Turki? Serta apa macam-macam
sitem peradilan pada masa Turki usmani?.
Keyword: Sejarah, Peradilan Islam, turki
PENDAHULUAN
Turki Usmani merupakan kerajaan yang paling lama bertahan dan paling luas wilayah
kekuasaannya sepanjang milenium kedua. Dikatakan demikian karena kerajaan usmani
(otonom empire) dapat bertahan lebih dari enam ratus tahun yakni mulai dari tahun 1299
sampai 1924 M1
Selama lebih dari enam abad kekuasaannya, turki usmani telah berhasil
mengembangkan kekuasaannya terhadap tiga benua yakni Asia, Eropa dan Afrika. Di Asia,
wilayah Usmani meliputi Armenia, Irak, Syria, Hijaz dan Yaman. Di Eropa, Usmani berhasil
1
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), h. 307.
menguasai Bulgaria, Yunani, Albania, Yugoslavia, Hongaria dan Rumania. Sementara di
Afrika, Usmani mengembangkan sayapnya hingga Libya, Mesir, Tunisia dan Aljazair.2
2
Ibid., h. 308-311
3
Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, (Bandung: Ghalia Indonesia, 2012), h. 93.
PEMBAHASAN
A. Bentuk Peradilan Pada Masa Turki Usmani
Kewenangan peradilan Islam selama masa Turki Usmani dibagi menjadi dua, yaitu
kewenangan hukum/peradilan syari‘ah yang disebut qadhi dan kewenangan dalam
hukum-hukum non-syari‘ah yang disebut syurthah. Kedua kewenangan tersebut masing-
masing diserah kan kepada lembaga dan pejabat yang berbeda. Kedua kelembagaan ini
ialah:
1. Al-Qadhi
4
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1984), h.
112.
5
Abd. Mukhsin, TURKI USMANI DAN POLITIK HUKUMNYA,” MIQOT: jurnal Ilmu-ilmu keislaman, Vol. XXXIII
No.2, Juli-Desember 2009. h. 219.
2. Syirthah
Kelembagaan ini di beri kewenangan dalam pelaksanaan hukum- hukum yang non
syariah, misalnya bidang keagamaan dan ketertiban, khususnya yang menyangkut tugas-
tugas kepolisian. Lembaga ini di kepalai oleh Shahib al- Syurthah. Kadang-kadang di sebut
juga dengan Shahib al Mu'unah yang tugasnya ialah mencegah munculnya kejahatan
kriminal, memeriksa pelanggaran-pelanggaran hukum, dan memberi sanksi kepada siapa
yang melanggar. Hukum yang di pakainya dalam hal ini ialah hukum adat setempat.
Agama mempunyai peranan besar dalam lapangan sosial dan politik dalam tradisi
masyarakat Turki. Masyarakat digolongkan berdasarkan agama. Kerajaan sendiri sangat
terikat dengan syari’at sehingga fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku. Oleh karena itu
ulama mempunyai tempat tersendiri dan berperan besar dalam kerajaan dan masyarakat.
Tanpa adanya mufti, keputusan hukum kerajaan bisa tidak berjalan.6
Perkembangan hukum Islam di Turki dibagi ke dalam tiga periode besar oleh Harun
Nasution yaitu periode awal (650-1250 M), periode pertengahan (1250- 1800 M), dan periode
modern (1800 sampai sekarang).7
Dalam periode ini syariat Islam masih dilaksanakan dengan murni sesuai dengan ajaran
Al-Quran dan sunah.
Pada periode ini sudah mulai ada usaha untuk memasukkan hukum kedalam perundang-
undangan negara, yaitu ketika khalifah al- Manshur menyerukan untuk membuat suatu
undang-undang yang diambil dari Alquran dan Sunnah yang berlaku untuk semua negeri. 8
Usaha ini dilakukan setelah melihat adanya perbedaan pendapat di kalangan fuqaha dan
perbedaan putusan di kalangan hakim-hakim dalam memutuskan suatu persoalan yang sama.
Hal tersebut tidak berhasil karena para fuqaha tidak memaksakan pendapatnya untuk diikuti
6
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 137
7
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996) h.
12-13
8
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, cet. V, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989), h. 216.
dan karena menyadari bahwa ijtihad yang dilakukannya bisa saja salah. Maka dari itu baru
terwujud setelah munculnya buku Al-Majallah al- Ahkam al-Adliyah pada tahun 1823.
Dengan demikian dikeluarkanlah keputusan pemerintah Turki Usmani untuk memakai kitab
undang-undang tersebut sebagai pegangan para hakim di pengadilan. Dengan demikian kitab
Undang- Undang ini merupakan kitab Undang- Undang Hukum Perdata Umum (positif)
pertama yang diambil dari ketentuan hukum Islam, dan diambil dari mazhab Hanafi sebagai
mazhab resmi negara pada waktu itu.
Pada akhir periode pertengahan mulai muncul pemikiran pembaharuan. Hal tersebut
dikarenakan mulai adanya penetrasi Barat (Eropa) terhadap dunia Islam. Namun ide tentang
pembaharuan itu mendapat tantangan dari kaum ulama, karena bertentangan dengan faham
tradisionalis yang terdapat di kalangan umat Islam. Kaum ulama dalam menentang usaha
tersebut ialah dengan menjalin kerja sama dengan Yeniseri. 9 Hal ini membuat gagalnya usaha
pembaharuan pertama di Kerajaan Usmani.
Kelebihan:
1. Sistem hukum yang luas: Sistem peradilan pada masa Turki Utsmani memiliki banyak
variasi hukum berdasarkan agama, etnis, dan kelas sosial. Ini memungkinkan orang untuk
memilih untuk diadili di pengadilan sesuai dengan keyakinan mereka, dan memastikan
bahwa mereka diadili oleh hakim yang memahami konteks budaya mereka.
2. Sistem peradilan yang adil: Hakim pada masa Turki Utsmani dianggap objektif dan
adil. Mereka ditunjuk berdasarkan kemampuan mereka dan memiliki otoritas independen
dalam menjalankan tugas mereka. Hal ini memastikan bahwa pengadilan tidak dapat
dimanipulasi oleh kepentingan politik atau pribadi.
Kekurangan:
9
Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 18.
1. Ketergantungan pada hukum Islam: Meskipun sistem hukum Turki Utsmani mencakup
banyak variasi hukum, mereka semuanya berdasarkan pada hukum Islam. Ini berarti
bahwa ketika hukum Islam tidak memecahkan masalah, tidak ada hukum lain yang dapat
diandalkan. Hal ini dapat menjadi masalah bagi mereka yang tidak mengikuti ajaran
Islam.
2. Tidak adanya pengadilan juri: Sistem peradilan pada masa Turki Utsmani tidak
melibatkan juri dalam proses pengadilan. Sebaliknya, hakim secara langsung membuat
keputusan. Hal ini berarti bahwa keputusan hakim dapat dipengaruhi oleh pendapat
pribadi atau politik, dan tidak selalu mewakili pandangan masyarakat secara keseluruhan.
Lembaga peradilan pada masa Turki Usmani di bagi kedalam tiga periode:
1. Sebelum Tanzimat
Kerajaan Turki Usmani di pimpin oleh sultan yang memiliki kekuasaan duniawi dan
spiritual, untuk kekuasaan duniawi digunakanlah jabatan ”sultan” dan untuk kepala
rohani umat islam atau spiritual digunakanlah gelar “khalifah”. Maka dari itu raja-raja
Turki memiliki dua bentuk kekuasaan, mengatur negara dan juga membela agama islam10
Dalam melaksanakan kedua kekuasaan itu, sultan dibantu oleh dua pegawai tinggi,
sadrazam untuk urusan pemerintahan dan syaikh al-Islam untuk urusan keagamaan.
Keduanya tidak punya hak suara dalam pemerintahan, mereka hanya menjalankan tugas
atas perintah sultan. Ketika sultan berhalangan atau bepergian ia digantikan oleh
sadrazam dalam menjalankan pemerintahannya. Adapun Syaikh al-Islam yang mengurusi
bidang keagamaan dibantu oleh qadhi askar-al-Rumali yang membawahi qadhi-qadhi
wilayah Utsmaniyah bagian Eropa, beliau membawahi qadhi-qadhi wilayah Utsmaniyah
bagian Asia dan Mesir.
10
Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 92
Syaikh al-Islam adalah seorang pejabat tinggi negara. Selain sebagai pengawas atas
pemberlakuan hukum islam, juga mengawasi kinerja para qadhi dalam menjalankan
tugasnya. Demikian juga jika ada keputusan srategis yang akan diambil oleh pihak
penguasa Utsmani, sultan akan berkonsultasi dengan Syaikh al-Islam dan meminta
pertimbangan, apakah keputusannya bertentangan dengan syari’at Islam atau tidak.
Walaupun sudah ada lembaga peradilan pada masa ini. Namun dalam praktiknya
belum berjalan secara maksimal, karena intervensi pihak pemerintah begitu kuat. Tidak
hanya itu, sistem peradilan pun dikuasai oleh kroni-kroni dan pejabat pemerintah, belum
tampak pemisahan antara urusan agama dan pemerintahan.
2. Masa Tanzimat
Pembaharuan ini dipelopori oleh Raja Utsmani, sultan Mahmud II pada abad ke-19.
Reformasi yang cukup mendasar dalam bidang pemerintahan adalah dengan
menggabungkan dua kekuasaan yang dipegang seorang sultan: kekuasaan sebagai
pemimpun duniawi dan sebagai pemimpin spiritual kekuasaan yudikatif yang dipegang
oleh sadrazam dialihkan kepada syaikh al-Islam.
3. Setelah Tanzimat
Pada akhir periode Turki Utsmani, persoalan paradilan semakin banyak dan pelik.
Sumber hukum yang dipegang pun tidak hanya sebatas pada syari’at Islam, tetapi diambil
dari hukum Barat (Eropa). Hal ini diakibatkan adanya penetrasi Eropa terhadap dunia
Islam yang diwakili oleh kerajaan Utsmani, sehingga memunculkan lembaga peradilan
yang sumber hukumnya saling berbeda. Yaitu:
11
Munir, Abdul, Tanzimat, dalam http://dorokabuju.blogspot.com/2012/02/tanzimat-iagam-gulhane-dan -
humayun.html , 23 oktober 2014
e. Majlis al-Syar’i al-Syarif, mengadili perkara umat Islam khusus masalah
keluarga sumbernya fiqh Islam.
Dalam lembaga peradilan pun sudah banyak perubahan. Pada masa itu sudah ada
mahkamah biasa , banding dan mahkamah agung. Dengan demikian qadha pada masa ini
sudah beragam. Dan ini merupakan pembaharuan yang dicapai pada periode sebelum dan
sesudah tanzimat. Pembaharuan yang diadakan pada masa tanzimat tidak seluruhnya
mendapat penghargaan dari pemuka masyarakat Islam, bahkan mendapat kritikan dari
cendekiawan Islam kerajaan Utsmani. Kedua piagam yang dikeluarkan kerajaan Utsmani
sebagai dasar pembaharuan tanzimat menjunjung tinggi syari’at, namun dalam praktiknya
banyak mengadopsi hukum Barat, bahkan dilanggarnya. Mustafa Kemal al-Taturk adalah
tokoh utama gerakan nasionalisme. Ide pembaharuan banyak dipengaruhi oleh Barat.
Dampak nyata dari pemikiran politik keagamaan.
Kesimpulan
Kebangkitan Pemerintah Utsmani berawal dari hancurnya kerajaan Bani Abbasiyah
yang ditandai dengan kematiannya khalifah Abbasiyah setelah ada serbuan dari raja Khulagu
Khan yang dimulai dengan pembantaian dan perampokkan di Baghdad tahun 1258 Masehi.
Hukum materil yang digunakan oleh peradilan dan lembaga kehakiman tersebut adalah
hukum-hukum fiqih dari mazhab Imâm Abû Hanifah sebagai mazhab resmi yang berlaku di
Turki Usmani. Periode Pertengahan ( 1250- 1800 M). Pada periode ini sudah mulai ada usaha
untuk memasukkan hukum kedalam perundang-undangan negara, yaitu ketika khalifah al-
Manshur menyerukan untuk membuat suatu undang-undang yang diambil dari Alquran dan
Sunnah yang berlaku untuk semua negeri. Dengan demikian kitab Undang- Undang ini
merupakan kitab Undang- Undang Hukum Perdata Umum (positif) pertama yang diambil
dari ketentuan hukum Islam, dan diambil dari mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi negara
pada waktu itu. Kelebihan dan Kelemahan Peradilan Pada Masa Turki Usmani Dalam bidang
kemiliteran kerajaan Turki Usmani berhasil membangun Angkatan bersenjata yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. M. A. Tihami, M. (1994). Hukum dan Peradilan Islma Pada Masa Turki Usmani. Al-
Qalam No. 50, 13-21.
Hanafi, A. (1989). Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Lapidus, I. M. (1993). A History of Islamic Society. Cambridge: University press.
Mukhlas, O. S. (2012). Perkembangan Peradilan Islam. Bandung: Galia Indonesia.
Mukhsin, a. (2009). TURKI USMANI DAN POLITIK HUKUMNYA. MIQOT vol. XXXIII
No.2, 216-224.
Nasution, H. (1984). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Nasution, H. (1996). Pembaruan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta:
Bulan Bintang.
Yatim, B. (1999). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Pesada.