Anda di halaman 1dari 10

Peradilan Pada Masa Bani Abbasiyah

Ikrom Ibrahim

Ahmad Nurisshofa

Ahlam Dita Putri

HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

Email: ditaahlam@gmail.com

Abstrak

Peradilan pada masa Dinasti Abbasiyah mengalami kemajuan. Selain karena ijtihad para
Khalifah, perkembangan peradilan pada dinasti ini juga dipengaruhi karena perkembangan
zaman, mengingat Dinasti Abbasiyah ini menguasai selama 524 tahun. Diawali dari
menerapkan sistem peradilan Bani Umayyah, kemudian seiring berjalannya waktu mulai
meninggalkan sistem peraadilan sebelumnya yang dinilai tidak sesuai dan tidak efektif,
sampai dimana pada masa mulai melemahnya semangat para khalifah dan pemimpin dalam
berijtihad untuk mempertahankan kekuasaan. Dari uraian tersebut, jurnal ini ditulis untuk
menjawab pertanyaan bagaimana sistem peradilan pada masa Dinasti Abbasiyah? Kemudian
problem apa yang terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah? Apa kelebihan dan kelemahan dari
sistem peradilan yang diterapkan pada masa Dinasti Abbasiyah?

Pendahuluan

Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, islam mengalami perkembangan dibeberapa


bidang. Dinasti Abbasiyah meraih kejayaan intelektual tidak lama dari berdirinya dinasti ini.
Dinasti Abbasiyah berdiri dari tahun 750 M sampai 1258 M, sekitar 524 tahun Dinasti
Abbasiyah memegang kekuasaan. Pada tahun 775 M sampai 785 M, kekhalifahan Baghdad
dengan khalifah ke-tiga nya telah berhasil meraih masa kejayaannya. Tidak berhenti disitu,
Dinasti Abbasiyah kembali mencapai masaa kejayaanya pada khalifah yang ke Sembilan
yakni pada tahun 842 M sampai 847 M. Kemudian puncak kejayaan Dinasti Abbasiyah
adalah ketika kepemimpinan dipegang oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Khalifah Al-
Ma’mun. Oleh karena itu, Dinasti Abbasiyah diingat oleh umat muslim sebagai dinasti yang
hebat dan dikenal dengan istilah The Golden Age of Islam.

Peradilan pada masa ini juga mengalami kemajuan, dimana sistem administrasi peradilan
tersusun dengan rapi dan untuk menjadikan sistem peradilan lebih terkondisi maka dilakukan
pemisahan kekuasaan, dimana Lembaga peradilan yang berada di Ibukota memiliki
kewenangan mengawasi Qadhi atau Hakim yang ada di daerah kekuasaan islam.
Masa pemerintahan 524 tahun bukanlah waktu yang pendek, terjadi tuntutan zaman yang
mengharuskan adanya perubahan untuk mengikuti perkembangan zaman itu sendiri 1. Sistem
peradilan pada masa ini berkembang dengan pesat, sehoingga tidak menutup kemungkinan
untuk terjadinya permasalahan hukum yang kompleks. Pada awal pemerintahan dinasti ini,
khalifah berusaha mengendalikan putusan peradilan dengan maksud tertentu. Akan tetapi,
menjelang akhir dari masa keemasannya terjadi kejumudan berfikir karena mulai hilangnya
semangat ijtihad, dan hal inilah yang merupakan awal dari kehancuran Dinasti Abbasiyah.

Pembahasan

A. Peradilan Pada Masa Bani Abbasiyah Pertama dan Kedua

Peradilan pada awal pemerintahan Bani Abbasiyah masih banyak terpengaruh oleh praktik
peradilan penguasa sebelumnya, yakni pemerintahan Bani Umayah yang mana sistem
peradilannya cenderung beracuan pada kebiasaan orang arab dan kebiasaan orang jahiliyah
yang semakin berkembang. Akan tetapi, semakin berjalannya waktu sistem peradilan pada
masa Dinasti Abbasiyah berubah menjadi peradilan yang dipengaruhi oleh hukum islam dan
menjadi lebih sistemais. Hal ini terjadi karena banyaknya pembaharuan yang merupakan
perkembangan ilmu dalam bidang ekonomi dan ilmu sosial kemasyarakatan2. Oleh sebab itu,
peradilan pada masa ini dijalankan sesuai dengan madzhab yang dianut oleh masing-masing
daerah, seperti pada daerah Irak yang menganut Madzhab Hanafi, kemudian daerah Syam
dan Maghrib menganut Madzhab Maliki, dan di Mesir yang menganut Madzhab Syafi’i3.

Untuk menjalankan sistem peradilan, Dinasti Abbasiyah menetapkan beberapa kebijakan


sebagai berikut:

1) Dibentuknya sebuah Lembaga tertinggi atau Mahkamah Agung yang bernama Qadhi Al-
Qudat.

Qadhi Al-Qudat ini didirikan pada masa kepemimpiman Harun Al-Rasyid. Abu Yusuf
adalah orang pertama yang diangkat oleh Harun Al-Rasyid dan diberi keistimewaan bahwa
segala keputusan mahkamah Baghdad harus disandarkan kepada beliau, baik di daerah barat
maupun timur. Lembaga peradilan ini memiliki empat tingkatan kepemimpinan, yakni4:

a) Diwan Qadhi Al-Qudat (Ketua Mahkamah Agung)


b) Qudah Al-Aqali, hakim pengadilan tinggi yang berada di wilayah provinsi.
c) Qudah Al-Amsar, hakim pengadilan negeri yang berada di daerah.
d) As-Sultah Al-Qadaiyyah, Jaksa Agung yang berada di ibu kota negara dan Jaksa yang
berada di setiap kota.

2) Wilayah Hisbah.
1
Suleman, Frangky. Peradilan Masa Bani Abbasiyah. Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah. Manado. Vol 14 No 1. 2016.
2
Ulumiyah, Miftakhus Sifa’ Bahrul. Perkembangan Hukum dan Pengadilan Pada Masa Abbasiyah. Qurthuba:
The Journal of History and Islamic Civilization. Vo. 3 No. 4. 2021.
3
Madzkur, Muhammad Salam. Peradilan dalam Islam, Terjemahan. Bina Ilmu. Surabaya. 1993.
4
Hasymi, A. Sejarah Kebudayaan Islam. Bulan Bintang. Jakarta. 1995.
Lembaga ini berada dibawah Qadhi Al-Qudat yang bertugas meminimalisir perkara yang
harus diselesaikan Lembaga peradilan. Hakim pada wilayah hisab ini bergelar muhtasib yang
bertugas dalam ruang lingkup kesusilaan dan keselamatan masyarakat terutama dalam
pelanggaran moral dan bersikap tegas kepada orang-orang yang menyepelekan hukum atau
syari’at5.

3) Wilayah Al-Mazhalim.

Wilayah Al-Mazhalim merupakan Lembaga yang terpisah dari wilayah qadha’ (peradilan).
Lembaga ini memiliki yang lebih tinggi dari pada wilayah qadha’ dan wilayah hisbah. Karena
Lembaga ini bertugas mengatasi penyelewengan dan penganiayaan yang dilakukan oleh
pemerintah. Selain itu, Lembaga ini juga bertugas meninjau kembali putusan-putusan yang
telah ditentukan oleh hakim dan memutuskan perkara banding6. Adapun syarat-syarat untuk
menjadi Qadhi Al-Mazhalim adalah sebagai berikut7:

a) Memiliki keahlian dibidang hukum


b) Mampu melaksanakan tugas dengan baik
c) Berwibawa dan membawa pengaruh besar
d) Terkenal bersih dan lurus
e) Tidak thama’ atau serakah
f) Sangat Wara’

4) Al-Mahkamah Al-Askariyah.

Lembaga ini adalah peradilan militer yang bertugas menghadiri siding yang
diselenggarakan di Dar Al-Adl, terutama jika sidang bersangkutan dengan anggota militer8.

5) Badan Arbitrase

Badan Arbitrase bukan termasuk dalam Lembaga peradilan. Badan Arbitrase ini bertugas
untuk memutuskan perkara-perkara yang diserahkan kepadanya atas kerelaan dua pihak.
Akan tetapi keputusan badan arbitrase ini memiliki kedudukan yang lebih rendah dari pada
keputusan Lembaga peradilan.

6) Hakim.

Pada masa ini, Hakim berperan penuh dalam penyelesaian sebuah perkara. Bukan lagi
Khalifah sebagaimana pada masa Khulafaur Rasyidin. Hal ini terjadi karena Khalifah
Abbasiyah sibuk berkecimpung didunia politik, sehingga tidak mempunyai waktu untuk

5
Koto, Alaidin. Sejarah Peradilan Islam. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2011.
6
Ash-Shiddiqie, Teuku Muhammad Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Pustaka Rizki Putra. Semarang
1997.
7
Ash-Shiddiqie, Teuku Muhammad Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Pustaka Rizki Putra. Semarang.
2001.
8
Aripin, Jaaenal. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Indonesia. Kencana. Jakarta. 2008.
membina Lembaga peradilan. Penyebaran hakim disetiap daerah ditetapkan hanya satu
hakim.

Hakim memiliki pakaian tertentu yang digunakan dalam persidangan dengan alasan untuk
membedakan dengan masyarakat umum. Pada masa ini pula, persidangan dilakukan digedung
peradilan yang berada ditengah kota dan administrasi peradilan mulai diperhatikan. Seperti
ditetapkannya hari persidangan dan adanya pembukuan putusan yang sempurna.

Peradilan pada masa Bani Abbasiyah kedua mengalami kemunduran dalam hal peradilan.
Hal ini pula yang akhirnya menyebabkan keruntuhan Dinasti Abbasiyah. Pada masa ini,
Khalifah dan Qadhi’ mengalami kelemahan dan pada akhirnya daerah operasional peradilan
menjadi sempit9. Dengan semakin menyempitnya daerah operasional peradilan, sampai pada
akhirnya hanya menyelesaikan masalah tentang sengketa dan tentang hukum keluarga saja.
Selain itu, orang-orang yang terpilih menjadi Qadhi atau hakim, diwajibkan membayar
kepada pemerintah setiap tahunnya10.

B. Perkembangan Peradilan Pada Masa Dinasti Abbasiyah

Di awal abad ke-18, ketika Dinasti Abbasiyah berdiri, terjadi perebutan kekuasaan, antara
kekuasaan Dinasti Bani Umayyah yang mengalami kelemahan tetapi masih dianggap serius
dan ancaman terhadap kedaulatan dinasti Abbasiyah yang baru lahir dan sedang brusaha
bangkit. Untuk menghadapi kekuasaan Dinasti Bani Umayyah, Abu al-Abbas menyiapkan
prajurit di bawah Abdullah bin Ali. Sampai pada akhirnya, sebuah pertempuran yang dahsyat
antara pasukan Bani Abbasiyah dan pasukan Bani Umayyah terjadi di lembah Sungai Az-
Zab. Dalam pertempuran ini, pasukan Bani Umayyah berhasil dikalahkan dan Khalifah
Marwan II berhasil meloloskan diri. Peristiwa ini terjadi pada tahun 123 H. /750 M Artinya,
dinasti Abbasiyah mampu menguasai wilayah-wilayah Syam, termasuk pusat pemerintahan
dinasti Bani Umayyah. Upaya pembersihan keturunan Dinasti Bani Umayyah dan pengejaran
terhadap Khalifah Marwan II terus dilakukan. Akhirnya pada tahun 123 H/750 M, pasukan
Abbasiyah di bawah Saleh bin Ali berhasil membunuh Khalifah Marwan II. Dengan
terbunuhnya Khalifah Marwan II, maka berakhirlah kekuasaan Dinasti Bani Umayyah dalam
sejarah peradaban Islam.

Di sisi lain, keberhasilan politik pada masa dinasti Abbasiyah adalah kebangkitan bangsa
Persia. Dinasti ini memberikan peluang yang sangat besar bagi masyarakat Mawali keturunan
Persia untuk menempati posisi-posisi penting dan strategis seperti posisi Wazir. Wazir adalah
orang yang menjalankan tugas menurut aturan syariat Islam sebagai orang yang bertanggung

9
Suleman, Frangky. Peradilan Masa Bani Abbasiyah. Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah. Manado. Vol 14 No 1. 2016.
10
http://anshorudin.blogspot.com/2012/06/peradilan-islam-setelah-rosul-dan.html.
jawab mengangkat dan memberhentikan pejabat. Ada dua jenis wazir, yaitu wazir tafwid
yang sering disebut perdana menteri yang memiliki kekuasaan sangat besar dan wazir tanfiz
yang kekuasaannya terbatas.11

Selain jabatan wazir, terdapat jabatan penting lain. Seperti Hajib, yakni perantara rakyat
dan khalifah. Saat seseorang dari mancanegara datang, maka harus berhadapan dengan hajib
terlebih dahulu sebelum diizinkan untuk bertemu khalifah. Kemudian adalah jallad, jallad
adalah pelaksana hukuman terhadap terdakwa. Jallad sering juga disebut dengan algojo atau
eksekutor yang selalu berada di belakang khalifah.

Secara umum, Philip K. Secara efektif, pemerintahan dipimpin oleh khalifah sendiri.
Selama operasi, urusan sipil ditangani oleh wazir (menteri), urusan hukum diserahkan kepada
qadi (hakim) dan urusan militer diserahkan kepada Amir (jenderal). Sistem pemerintahan
Abbasiyah bersifat terpusat. Di masa krisis, khalifah sering mengalihkan pemerintahan
kepada panglima tentara dan menerima gelar ‘Amiru al-Umara’.12

Salah satu ciri dinasti Abbasiyah dan Umayyah adalah banyaknya kementerian besar yang
terbentuk. Pada masa Bani Umayyah terdapat lima kementerian, pada masa Abbasiyah
ditambahkan beberapa kementerian yaitu:

(1) Diwan al-Jund (Kantor Militer). (2) Diwan al-Kharaj (Kementerian Keuangan). (3)
Diwan al-Rasa'il (Dewan Sastra). (4) Diwan al-Khatam (Pemerintah Segel). (5) Diwan al-
Barid (Departemen Pos). Kemudian salah satu periode tambahan dinasti Abbasiyah (6)
adalah Diwan al-Azimah (Badan Pemeriksa dan Pembukuan). Para menteri departemen pada
masa Abbasiyah terdiri dari:

1. Diwan al-Kharaj (Departemen Keuangan)

2. Diwan al-Diyah (Kementerian Kehakiman)

3. Diwan al-Zimam (Departemen Pengawasan Urusan Negara)

4. Diwan al-Jund (Departemen Militer)

5. Diwan al-Mawali wa al-Ghilman (Departemen Perburuan)

11
Siti Syaidariyah Hasibuan, “PERKEMBANGAN ISLAM ZAMAN KEEMASAN BANI ABBASIYAH (650 M – 1250 M)”
Edu-Riligia: Jurnal Kajian Pendidikan Islam dan Keagamaan Vol.5, No.4, h.364
12
Naila Farah, ”PERKEMBANGAN EKONOMI DAN ADMINISTRASI PADA MASA BANI UMAYYAH DAN BANI
ABBASIYAH”. h.45
6. Diwan al-Barid (Dinas Pos dan Telekomunikasi)

7. Diwan al-Ziman wa al-Nafakat (Departemen Pengendalian Keuangan)

8. Diwan al-Rasail (Departemen Arsip)

9. Diwan al-Toukia (Departemen Aplikasi)

10. Diwan al-Nazr fi al-Mazalim (Departemen Pertahanan Rakyat Tertindas)

11. Diwan al-Ahdas wa al-Shurta (Departemen Keamanan dan Kepolisian)

12. Diwan al-'Ata (Departemen Sosial)

13. Diwan al-Akhsyam (Departemen Keluarga dan Wanita)

14. Diwan al-Akarah (Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Kerja).

Total ada empat belas kementerian. Untuk kelancaran administrasi daerah, khalifah
Abbasiyah membagi struktur pemerintahan menjadi pemerintahan pusat dan daerah. Satu
wilayah dianggap satu provinsi. Setiap provinsi dipimpin oleh seorang amir yang memenuhi
kewajiban dan bertanggung jawab kepadanya.13

Kewenangan Hakim

Perbedaan antara masa Abbasiyah dengan masa sebelumnya adalah pada masa Khulafa al-
Rasyidin dan Umayyah, mereka memiliki kekuasaan hukum dan eksekutif, sehingga khalifah
tidak lagi terlibat dalam urusan hukum. Dalam artian khalifah tidak lagi mengurusi dan
menyelidiki perkara yang dibawa ke pengadilan oleh umat Islam. Setiap perkara yang masuk
ke pengadilan disidangkan oleh hakim yang ditunjuk oleh khalifah. Hal ini bisa dimaklumi
jika mengingat khalifah Abbasiyah saat itu sedang aktif mempertimbangkan persoalan politik
baik di dalam maupun di luar negeri, sehingga tidak memiliki cara untuk mengarahkan
peradilan. Sehingga terjadilah khalifah tidak lagi memiliki kemampuan ijtihad dan ilmu
hukum Islam seperti Khulafa' alRasyidin yang tidak hanya khalifah tetapi juga ahli hukum.
Itu akhirnya dibatalkan pada musim berikutnya karena berbagai faktor yang mempengaruhi
jangkauan.

Jika sebelumnya batas kekuasaan hakim begitu luas, pada periode ini semakin
berkembang. Selama periode ini, selain mengadili perkara perdata, hakim juga memutus

13
Ibid, h.46
perkara wakaf dan menunjuk wali bagi anak di bawah umur. Bahkan terkadang para hakim
ini juga diserahkan ke urusan kepolisian, penganiayaan (mazalim) penguasa, qishas, hisbah,
pemalsuan uang dan al-mal (perbendaharaan). Perubahan lain yang terjadi pada masa
Dinasti Abbasiyah adalah hakim tidak lagi berijtihad dalam memutus perkara, melainkan
berpedoman kitab-kitab mazhab.14

C. Kelebihan dan Kelemahan Peradilan Pada Masa Bani Abbasiyah

Kelebihan

1. Intervensi Penguasa
Pada masa Abbasiyah, terdapat intervensi dari pihak penguasa terhadap peradilan, di mana
mereka memaksa penggunaan Mazhab Kalam Mu'tazilah dan mengadakan pengadilan
Mihnah. Pengadilan tersebut menuntut orang untuk setuju dengan pandangan bahwa al-Quran
bukanlah hadis yang qadim. Orang yang tidak setuju dengan pandangan penguasa akan
dikenakan hukuman, termasuk para ulama yang menentang pandangan tersebut. Salah satu
ulama yang menjadi korban adalah Imam Hambali, yang dipenjara dan dicambuk setiap hari
di depan publik karena menentang pandangan penguasa.
2. Lahirnya Qadhi Al-Qudhat
Pada masa pemerintahan Abu Yusuf, Qadhi al-Qudhat dilahirkan dan lembaga peradilan
digunakan untuk menyebarkan Mazhab Hanafiyah. Abu Yusuf mensyaratkan bahwa hakim
yang diangkat harus menganut Mazhab Hanafiyah.
3. Kriteria Hakim
Kalau kriteria hakim pada masa pemerinthan Bani Umayah adalah mujtahid mustaqil
(mujtahid independen) maka kriteria hakim pada masa Abbasiyah tidak lagi mujtahid
mustaqil tetapi cukup menjadi mujtahid fil mazhab karena sulit mencari orang yang
memenuhi kriteria tersebut.
4. Wewenang Hakim Diperluas untuk Masalah Perdata dan Pidana.
5. Administrasi Peradilan
Diperbaiki dengan pembukuan hasil keputusan hakim, hakim memakai pakaian khusus,
adanya penjara dan petugas penjaga sidang, serta jadwal sidang.
6. Kodifikasi dan Unifikasi Hukum
Pada tahun 120 H, Ibn Muqoffa memiliki gagasan untuk mengkodifikasikan hukum dalam
satu buku. Harun al-Rasyid pernah mencoba memaksa imam Malik untuk menjadikan
"Muwattha" nya sebagai referensi resmi, tetapi imam Malik menolak15.

14
Miftakhus Sifa’ Bahrul Ulumiyah, “PERKEMBANGAN HUKUM DAN PENGADILAN PADA ERA ABBASIYAH”
Qurthuba: The Journal of History and Islamic Civilization, Vol.3, No.4, March 2021, h.200
15
Sopyan, Yayan. Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Gramata Publishing. Jakarta. 2010. Hal 29
Kelemahan
1. Ulama tidak lagi mengambil hukum dari sumber utama, yaitu al-Qur'an dan hadis,
melainkan beralih ke pendapat-pendapat imam mazhab.
2. Munculnya kekakuan berpikir karena hilangnya semangat ijtihad. Ulama mengalami
kemandegan akibat kelelahan berpikir sehingga tidak mampu menghadapi perkembangan
zaman dengan menggunakan akal yang sehat dan bebas serta bertanggung jawab.
3. Para ulama terdahulu (pendiri mazhab dan pengikutnya) sangat produktif dan kreatif,
hampir seluruh lapangan ijtihad dijajaki sehingga seolah-olah tidak memberikan sisa untuk
melakukan ijtihad bagi ulama sesudah mereka, bahkan ijtihad mereka sudah mencakup hal-
hal yang belum ada dan terjadi (fiqh iftiradhi).
4. Munculnya ulama yang tidak mampu, yaitu orang-orang yang sebenarnya tidak memiliki
kelayakan untuk berijtihad, namun memaksakan diri untuk melakukan ijtihad dan
mengeluarkan produk hukum serta fatwa yang membingungkan masyarakat.
5. Adanya intervensi kekuasaan (Khalifah) yang menganjurkan agar mengikuti mazhab
yang dianutnya. Hal ini sangat berpengaruh terhadap taklid. Selain itu, khalifah hanya akan
mengangkat qadhi dan mufti yang seagama dengannya.
6. Adanya fatwa yang menyatakan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup, dan cukuplah
berpegang teguh pada ijtihad-ijtihad yang telah dilakukan oleh ulama terdahulu.
7. Munculnya saling curiga antar pengikut mazhab, bahkan saling menghina, yang bertujuan
untuk meninggikan mazhab yang dianutnya dan merendahkan mazhab yang lainnya16.
Kesimpulan
Peradilan pada awal pemerintahan Bani Abbasiyah masih banyak terpengaruh oleh praktik
peradilan pemerintahan Bani Umayah yang mana sistem peradilannya cenderung beracuan
pada kebiasaan orang arab dan kebiasaan orang jahiliyah yang semakin berkembang. Akan
tetapi, semakin berjalannya waktu sistem peradilan pada masa Dinasti Abbasiyah berubah
menjadi peradilan yang dipengaruhi oleh hukum islam dan menjadi lebih sistemais. Hal ini
terjadi karena mengikuti perkembangan zaman. Oleh sebab itu, peradilan pada masa ini
dijalankan sesuai dengan madzhab yang dianut oleh masing-masing daerah.
Jika sebelumnya batas kekuasaan hakim begitu luas, pada periode ini semakin
berkembang. Selama periode ini, selain mengadili perkara perdata, hakim juga memutus
perkara wakaf dan menunjuk wali bagi anak di bawah umur. Bahkan terkadang para hakim
ini juga diserahkan ke urusan kepolisian, penganiayaan (mazalim) penguasa, qishas, hisbah,
pemalsuan uang dan al-mal (perbendaharaan). Perubahan lain yang terjadi pada masa Dinasti
Abbasiyah adalah hakim tidak lagi berijtihad dalam memutus perkara, melainkan
berpedoman pada kitab-kitab mazhab.

16
Sopyan, Yayan. Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Gramata Publishing. Jakarta. 2010. Hal
137.
Manajemen hakim dan sistem peradilan pada masa Dinasti Abbasiyah ternyata jauh lebih
modern. Apabila diidentikkan dengan sistem peradilan di Indonesia, pada masa Abbasiyh
sudah ada Mahkamah Agung dan Jaksa Agung serta peradilan-peradilan ditingkat provinsi
dan kota/kabupaten. Artinya setiap wilayah sudah memiliki peradilan Penyempurnaan
administrasi dan pembukuan hasil keputusan hakim, adanya penjara tahanan. Hakim
memakai pakaian khusus untuk membedakan dengan masyarakat biasa, ada petugas penjaga
kelancaran sidang, juru panggil, dan ditetapkannya jadwal sidang.

Daftar Pustaka
Ulumiyah, Miftakhus Sifa’ Bahrul. Perkembangan Hukum dan Pengadilan Pada Masa
Abbasiyah. Qurthuba: The Journal of History and Islamic Civilization. Vo. 3 No. 4. 2021.
Madzkur, Muhammad Salam. Peradilan dalam Islam, Terjemahan. Bina Ilmu. Surabaya.
1993.
Hasymi, A. Sejarah Kebudayaan Islam. Bulan Bintang. Jakarta. 1995.
Koto, Alaidin. Sejarah Peradilan Islam. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2011.
Ash-Shiddiqie, Teuku Muhammad Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Pustaka Rizki
Putra. Semarang 1997.
Ash-Shiddiqie, Teuku Muhammad Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Pustaka Rizki
Putra. Semarang. 2001.
Aripin, Jaaenal. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Indonesia. Kencana.
Jakarta. 2008.
Suleman, Frangky. Peradilan Masa Bani Abbasiyah. Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah. Manado. Vol
14 No 1. 2016.
Siti Syaidariyah Hasibuan, “Perkembangan Islam Zaman Kemasan Bani Abbasiyah (650 M –
1250 M)” Edu-Riligia: Jurnal Kajian Pendidikan Islam dan Keagamaan Vol.5, No.4, h.364
Naila Farah. ”Perkembangan Ekonomi dan Administrasi pada Masa Bani Umayyah dan Bani
Abbasiyah”. h.45
Sopyan, Yayan. Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Gramata Publishing.
Jakarta. 2010.

Anda mungkin juga menyukai