Anda di halaman 1dari 17

HUKUM ISLAM PADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

“Studi Hukum Islam”

Dosen Pengampu:

Drs. H. Samun, M.Ag.

Disusun oleh:

1. Namira Putri Amerni C71218078


2. Naura Zida Shabrina C71218079
3. Nurul Hidayati Inayah C71218082

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM PERDATA ISLAM

PRODI HUKUM KELUARGA

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah patut penulis ucapkan kehadirat allah SWT, karena atas
segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Hukum Islam Pada Masa Khulafa’ur Rasyidin” ini dengan lancar. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada seluruh pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini baik
secara langsung maupun tidak langsung. Penulisan makalah ini dalam rangka untuk memenuhi
tugas Studi Hukum Islam dan diharapkan dengan adanya makalah ini pembaca dapat menambah
wawasan.

Perlu di ketahui bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak amat penulis harapkan untuk tugas-tugas selanjutnya.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi dunia pendidikan pada umumnya dan bagi diri
penulis pada khususnya.

Surabaya, 9 November 2018

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Periode kedua pada masa perkembangan fiqih atau hukum islam bermula sejak wafatnya
Nabi Muhammad Saw pada tahun 11 H dan berakhir ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan
menjabat sebagai khalifah pada tahun 41 H. Pada periode – periode ini hiduplah sahabat –
sahabat Nabi terkemuka yang mengibarkan bendera dakwah islam setelah wafatnya Nabi
Muhammad Saw.
Masa Khulafaur Rasyidin atau masa Kibarus Sahabat, bisa dibilang sebagai masa yang
penuh dengan kekuatan sekaligus perpecaha. Disebut sebagai masa kekuatan islam, karena
pada masa ini, jiwa dan akidah umat islam masih melekat erat pada diri masing – masing
identitas masyarakat islam pada masa itu sebagai hasil usaha keras Nabi dalam menyebarkan
agama islam dan mengajarkan ketauhidan pada diri mereka, sehingga akidah umat islam
masa ini masih kuat. Namun, masa ini disebut juga masa permulaan perpecahan umat islam,
karena setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia, para sahabat mulai berselisih
mengenai siapakah yang akan menjadi pemimpin umat islam berikutnya, yang bermula dari
peristiwa Tsaqifah bani Sa’idah yang berjarak beberapa kilometer dari kediaman Nabi di
Madinah saat masa wafatnya. Hal ini muncul karena Nabi Muhammad, sebagai panutan dan
petunjuk bagi mereka tidak mewasiatkan atau menunjuk seseorang sebagai penggantinya
kelak. Beberapa pendapat mengatakan bahwa hal ini dilakukan agar para sahabat dapat
berijtihad sesuai dengan perkembangan zaman masing – masing sahabat itu.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kondisi hukum Islam pada masa Khulafa’ur Rasyidin?
2. Apa saja yang menjadi sumber hukum Islam pada masa Khulafa’ur Rasyidin?
3. Bagaimana Ijtihad para sahabat dalam menghadapi problematika hukum Islam?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui kondisi hukum Islam pada masa Khulafa’ur Rasyidin.
2. Untuk mengetahui sumber hukum Islam pada masa Khulafa’ur Rasyidin.
3. Untuk mengetahui Ijtihad para sahabat dalam menghadapi problematika hukum
Islam.
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONDISI HUKUM ISLAM PADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN


Periode Khulafa’ur Rasyidin ini dimulai sejak wafatnya Rasulullah SAW pada
tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H atau 632 M, dan diakhiri pada akhir abad pertama
Hijriyah (11 – 41 H atau 632 – 661 M). Menurut para ahli sejarah islam, periode ini
adalah periode penafsiran undang – undang dan terbukanya pintu – pintu Istinbath
Hukum dalam kejadian – kejadian yang tidak ada nash hukumnya. Dari pemuka –
pemuka sahabat timbullah banyak pendapat dalam menafsirkan nash – nash hukum
dalam al – Quran dan al – Hadits yang dapat dipandang sebagai pandangan yuridis bagi
penafsiran – penafsiran nash serta sebagai penjelasannya.1 Setelah wafatnya Nabi, umat
islam menghadapi banyak masalah. Hal ini dikarenakan semakin meluasnya
pemerintahan islam hingga melampaui semenanjung Arabiyah, itu juga tentunya
membawa dampak yang begitu besar bagi perkembangan pemikiran umat islam pada
masa itu. Berbagai macam permasalahan yang timbul dikarenakan vakumnya
pemerintahan dan karena perluasan wilayah islam semakin memaksa para sahabat untuk
benar – benar berijtihad dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Secara umum
permasalahan – permasalahan itu dapat diklasifikasikan menjadi beberapa aspek, yaitu:
1. Aspek Politik
a. Kekhalifahan Abu Bakar (11 – 13 H atau 632 – 634 M)
Masalah yang paling urgen di kalangan umat islam pasca wafatnya
Nabi SAW adalah masalah politik, terutama masalah imamah atau
kekhalifahan. Dalam masa kevakuman pemerintahan ini, masyarakat islam
membutuhkan sosok pemimpin baru, karena tanpa kehadiran seorang
pemimpin baru, wilayah kekuasaan islam yang telah membentang sampai
wilayah sebagian besar jazirah Arab, akan dengan mudah hancur atau
terpecah – belah kembali, di samping kekhawatiran adanya serangan dari
bangsa – bangsa lain, seperti dari bangsa Romawi dan Persia, sehingga
stabilitas keamanan umat islam saat itu terancam. Namun yang menjadi
persoalan adalah bahwa Nabi Muhammad di akhir hayatnya tidak
meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan meneruskan perjuangannya
menjadi khalifah dan menyebarkan agama islam ke seluruh Dunia. Hal ini
kemudian menjadi tanda tanya sekaligus tugas terbesar bagi umat islam
saat itu terutama para Sahabat Nabi Saw, Meskipun ada satu riwayat
bahwa Nabi Saw telah menulis sebuah wasiat untuk menjadikan Ali bin
Abi Thalib sebagai khalifah pertama, namun kemudian dicegah oleh Umar
bin Khattab.2

1
Abdul Wahab Khallaf. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam. 1985. Yogyakarta: CV. Bayu Grafika Offset. Hal. 21.
2
O. Hashem. SAQIFAH: Awal Perselisihan Umat. Cet. Kedua. 1989. Jakarta: Yapi. Hal. 240-241.
Sampai akhirnya muncullah suatu peristiwa bersejarah yang
terkenal dengan sebutan “Tsaqifah”. Peristiwa ini terjadi di Madinah,
tepatnya di daerah Tsaqifah dengan penduduk sekitarnya adalah mayoritas
keturunan suku ‘Aus dan suku Khazraj yang secara historis telah menjadi
musuh bebuyutan semenjak pra-islam. Kedua suku yang terkenal dengan
sebutan kaum Anshor, merasa paling berhak untuk menyatakan dan
mengangkat diri mereka sebagai seorang khalifah sebagai penerus dan
pengganti Nabi SAW, karena atas jasa merekalah umat islam bisa terus
Berjaya hingga saat itu. Meskipun sebenarnya kedatangan Nabi dan Para
Muhajirin Lainnya ke kota yang dulu terkenal dengan nama Yatsrib itu
adalah atas permintaan dari kedua kelompok sosial itu, dengan tujuan agar
perseteruan di antara kedua suku itu berhenti, karena kalau peperangan
antar kedua suku itu terjadi terus – menerus maka kedua suku itu akan
punah. Dan benar saja Nabi Muhammad dengan kekuatan Islam dan
akhlaknya yang luhur mampu mendamaikan kedua suku itu selama 13
tahun lebih.
Beralih ke masalah Tsaqifah, pada peristiwa ini, kedua suku itu
serasa dikembalikan kembali ke adat jahiliyah mereka, untuk saling
bertarung dan bermusuhan kembali walaupun dalam diri mereka telah
tertanam nilai – nilai islam yang menjunjung tinggi perdamaian dan
persaudaraan. Bagi mereka, bila Nabi Muhammad telah wafat berarti tidak
ada lagi seorang pendamai di antara mereka, sehingga hal itu membuat
mereka bermusuhan kembali. Pada saat itu datanglah para sahabat dekat
Nabi Muhammad SAW, yang dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar. Umar
dan sahabat lainnya kemudian langsung memproklamirkan Abu Bakar dari
golongan Muhajirin sebagai Pengganti Nabi sebagai Khalifah Umat Islam.
tentu saja hal ini tidak di setujui oleh kaum anshor, yaitu kedua suku ‘Aus
dan Khazraj, karena menurut mereka, mereka tidak lebih baik dari
golongan anshor. Namun, meskipun demikian, ternyata pada akhirnya
kedua suku itu - dikatakan - menyetujui Abu Bakar sebagai khalifah
pengganti Nabi SAW. Namun sebenarnya tindakan mereka yang turut
membai’at Abu Bakar sebagai khalifah pertama tidak lebih hanyalah
sebuah perfect disguise (Pura – pura yang sempurna).

b. Kekhalifahan Umar bin Khattab (13 – 23 H atau 634 – 643 M)


Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza dari bani Adi bin
Ka’ab. Bani Ka’ab juga termasuk keturunan Quraisy. Dalam Islam,
sebenarnya masalah – masalah kekhalifahan yang termasuk masalah
keduniawian harus melalui ijma’ atau musyawarah. Sebagaimana firman
Allah (‫)رمألا يف مهرواشو‬. Namun agaknya dalam pengangkatan Umar bin
Khattab ini terjadi sedikit permainan Politik di tangan kaum Quroisy.
Sebuah makalah yang ditulis oleh Henri Lammens yang berjudul
Kelompok Politik Tiga Orang (triumvirat) Abu Bakar, Umar bin Khattab
dan abu Ubaidah, yang menceritakan keakraban mereka bertiga sejak awal
masuk islam, dalam peperangan, hingga kepergiannya ke pertemuaan
saqifah tanpa memberitahu sahabat lainnya termasuk Ali bin Abi Thalib,
untuk mengajukan Abu Bakar sebagai Khalifah Pertama, ternyata tidak
berhenti sampai di sini saja, persekongkolan politik mereka berlanjut
hingga saat pemberian wasiat Abu Bakar kepada Umar di tengah – tengah
sahabat yang lain sebagai khalifah penggantinya.
Meskipun Abu Bakar beralasan agar tidak terjadi konflik politik
lagi seperti dahulu, namun sebagai manusia berjiwa Arab yang
menjunjung kesukuan Quraisy, tentu saja dia tidak ingin masyarakat islam
dipimpin oleh selain Suku Quraisy, sehingga dia kemudian berinisiatif
untuk mewariskan kekhalifahannya kepada Umar bin Khattab.
Diriwayatkan pula bahwa pada masa – masa menjelang kematiannya,
Umar bin Khattab berencana ingin mewasiatkan kekhalifahannya pada
Abu Ubaidah, kalau saja saat itu dia masih hidup dan Umar tidak
megutusnya sebagai panglima pasukan untuk berperang dengan pasukan
Romawi yang kemudian berakhir dengan kematian Abu Ubaidah.
Berbeda dengan Abu Bakar yang tidak terlalu suka dengan Politik,
Umara’ adalah sosok sahabat yang memiliki naluri negarawan atau jiwa
nasionalis yang besar, arif akan liku – liku kekuasaan dan lebih paham
tentang bagaimana caranya menangani penduduk Arab yang berjiwa
pengembala yang keras. Umar bukanlah prajurit yang hebat di medan
peperangan, bila dibandingkan dengan Ali bin Abi Thalib atau Hamzah,
namun dalam mengatasi kemelut politik ini, dia termasuk pemberani yang
sedia juga menerjang bahaya. Ia malah berani menghapus kalimat adzan
(‫ )لمعلا ريخ ىلع ايح‬yang artinya : “marilah melakukan amal yang baik”,
konon untuk mengarahkan semangat perang jihad dan agar lebih
memompa semangat kaum muslimin yang disebarkan ke berbagai penjuru,
ia juga berani menambahkan kalimat (‫ )مونلا نم ريخ ةالصلا‬yang artinya :
”Shalat itu lebih baik daripada tidur”, dia juga orang pertama yang
menjuluki didrinya sebagai Amiru al – mukminin, orang pertama yang
membuat Penanggalan Islam atau Kalender Hijriyah yang dimulai awal
Hijrah Nabi Muhammad SAW, memelopori perluasan masjidil haram,
membentuk kantor pemerintahan, mata uang dan masih banyak lagi.
Kekhalifahannya berakhir setelah kematian syahidnya akibat
sebuah konspirasi politik yang dirancang oleh musuh – musuh islam,
terutama kalangan Yahudi dan Persia, yang sangat membencinya karena
pada kekhalifahannya, Kekaisaran Persia telah dihilangkan dari muka
Bumi. Beliau Mati syahid terkena tikaman belati beracun saat sedang
melakukan sholat subuh, oleh seorang mantan budak Persia, Abu Lu’luah
al – Majusi. Sebelum naza’ dia sempat ingin memilih Abu Ubaidah
sebagai penerusnya, karena hubungan dekatnya dengan abu ubaidah dari
semenjak awal masuk islam, pembaia’atan Abu Bakar dan
pengangkatannya. Namun karena sahabat terdekat seperjuangannya telah
meninggal dunia, maka dia pun mewasiatkan tampuk kekhalifahannya
pada 6 orang sahabat yang termasuk dalam orang – orang yang akan
masuk surga berdasarkan hadits Rasulullah, yaitu : Utsman bin Affan, Ali
bin abi Thalib, Thalhah, Zubair, Abdur Rahman bin Auf dan Sa’ad bin
Abi Waqosh. Kepada 6 orang ini umar berwasiat untuk memilih salah satu
di antara mereka sebagai khalifah penerusnya. Umar bin Khattab Wafat
pada bulan Dzulhijjah 23 H atau 643 M dan memerintah selama 10 tahun
lamanya.

c. Kekhalifahan Utsman bin Affan (23 – 35 H atau 644 – 656 M)


Dia bernama Utsman bin Affan bin Abi ’Ash bin Umayyah bin
Abdu Syams, berasal dari bani Umayyah. Setelah kematian Umar, para
sahabat enam yang ditunjuknya ternyata sama – sama tidak berhasrat
untuk menjadi khalifah, satu persatu di antara mereka mengundurkan diri
hingga akhirnya hanya tinggal Utsman dan Ali, kemudian mereka pun
mengadakan voting (pengambilan suara) di mana mereka bertanya pada
penduduk muslim setempat, manakah yang mereka pilih sebagai khalifah,
Utsman atau Ali. Setelah dilakukan pengambilan suara oleh keempat
sahabat yang mengundurkan diri tersebut yang ternyata langsung
mengajukan diri mereka menjadi dewan pemilihan umum, akhirnya
mayoritas umat islam menginginkan Utsman bin Affan sebagai Khalifah
karena usianya yang lebih tua dibandingkan dari Ali, tentunya akan lebih
menjadi pemimpin yang bijaksana.
Dia dibai’at sebagai khalifah saat berusia 70 tahun. Pada masa
pemerintahannya jumlah kekayaan kaum muslimin sangat banyak sekali
dan dia melihat bahwa banyak gubernur – gubernur yang kurang cakap
memerintah dijadikan gubernur, sehingga yang terjadi adalah korupsi dan
penggelapan uang Negara, hingga akhirnya dia memutuskan untuk
mengganti gubernur – gubernur yang tidak kompetitif tersebut dengan
gubernur – gubernur baru, yang tentu saja berasal dari keturunan bani
Umayyah. Permainan politik ini tentu saja diprotes oleh mantan gubernur
– gubernur di berbagai daerah tersebut, hal ini dimanfaatkan oleh seorang
yahudi, Abdullah bin Saba’ untuk menyebarkan fitnah di kalangan umat
islam Mesir, Kufah dan Bashrah, yang pada prinsipnya bahwa Utsman
telah merebut hak Ali bin Abi Thalib sebagai seorang khalifah, maka
pasukan pemberontak dari Mesir, Kuffah dan Bashrah secara bersamaan
datang bersama – sama menyerbu Madinah untuk mendebat Khalifah,
namun Ali yang mengetahui hal ini segera menenagkan mereka dan
menjelaskan duduk persoalannya, sehingga mereka sadar dan kemudian
kembali ke masing – masing daerah. Namun lagi-lagi Abdullah bin Saba’
membuat surat fitnah atas nama khalifah, Ali dan Aisyah yang di
dalamnya berisi tulisan bahwa khalifah akan mengundurkan diri dan Ali
akan jadi Khalifah, barangsiapa yang tidak setuju, maka dia akan dibunuh.
Maka mereka pun kembali ke Madinah dan mengepung kediaman
khalifah, hal ini dimanfaatkan sangat baik oleh Abdullah bin saba’ yang
kemudian mengisukan kedatangan pasukan pembela khalifah dari
berbagai daerah, para pemberontak ini pun khawatir hingga akhirnya
mereka mendesak masuk ke rumah khalifah Utsman dan kemudian
membunuhnya pada saat dia sedang membaca al – Quran mushaf
Utsmaninya.
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa yang membunuh Utsman
adalah al – Ghafiqi. Khalifah Utsman wafat pada bulam Dzulhijjah tahun
35 H atau 656 M, usia kekuasaannya adalah 12 tahun. Salah satu
kebijakan Utsman selama memerintah adalah penyatuan bacaan al –
Quran dalam satu mushaf setelah khawatir terjadinya perbedaan cara baca
dalam qiroah sab’ah, kemudian menamainya dengan Rasm Utsmani dan
membakar al – Quran yang lainnya untuk memelihara persamaan bacaan
di antara kaum muslimin yang pada saat itu sudah sangat luas sekali
kekuasaannya.

d. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (35 – 40 H atau 656 – 661 M)


Namanya Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib, sepupu
Rasulullah, keturunan Quraisy. Dia dibaiat menjadi khalifah bukan atas
kemauan sendiri, namun karena kemauan para sahabat lain karena
kekhawatiran mereka mengenai konflik yang sedang terjadi di kalangan
umat islam. Ali bukanlah orang yang pandai dalam hal politik, dia lebih
dikenal sebagai sosok “pintu ilmu” dan juga seorang pemberani dan
tangkas sebagai prajurit dalam medan perang, banyak orang yang terbunuh
di tangannya, termasuk paman, kakek dan saudara Mu’awiyah yang
ketiganya meninggal akibat pedang Ali. Namun tanpa sadar hal itu malah
membuat Ali seolah – olah sedang menumbuhkan musuh – musuh di
sekelilingnya, seperti Mu’awiyah yang saat itu sangat membencinya. Ali
terbunuh oleh seorang Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam
pada saat akan melaksanakan shalat subuh. Peristiwa ini dipicu oleh
adanya peristiwa pemberontakan sampai perang jamal antara Ali dan
Aisyah serta Mu’awiyah, yang dikonspirasi oleh Mu’awiyah sebagai
usaha balas dendamnya atas darah keluarganya yang tewas di tangan Ali
bin Abi Thalib. Peristiwa pembunuhan ini terjadi pada bulan Ramadhan
tahun 40 H atau 661 M. Dengan meninggalnya Ali bin Abu Thalib
berakhirlah periode khulafaur Rasyidin yang kenudian dilanjutkan oleh
periode Bani Umayyah.

2. Aspek Fiqih
Semakin luasnya wilayah islam, maka perkembangan ijtihad para sahabat
pun semakin besar, hal ini disebabkan munculnya masalah – masalah baru terkait
dengan budaya bangsa era itu sendiri, sebagaimana yang kita ketahui daerah
Makkah mempunyai keberbedaan budaya dengan daerah Mesir. Namun justru hal
inilah yang kemudian semakin memperkaya Tsarwah Fiqhiyyah umat islam pada
zaman tersebut. Fiqih atau penggalihan hukum islam pada periode Khulafa’ur
Rasyidin ini terasa sangat hidup dan semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul,
meskipun lebih kecil dibanding periode berikutnya, seiring dengan perkembangan
fiqih itu sendiri.
Selain periwayatan hadits yang sangat ketat, pada periode ini ijtihad
seringkali dilakukan secara jama’i sehingga ruang ijtihad yang begitu luas itu
jarang menimbulkan ikhtilaf. Pada periode ini fatwa – fatwa dan masa’il fiqih
belum ditulis seperti juga sunnah. Kendati demikian, kita mulai dapat
mengklasifikasikan kaidah – kaidah ushuliyah dan metode ijtihad yang digunakan
oleh fuqaha’ sahabat dalam melakukan ijtihad. Dalam banyak hal, fatwa-fatwa
dan masa’il fiqhiyah itu memang masih bercampur dengan dalil – dalil dan kaidah
– kaidah Istidlal.

3. Aspek Aqidah
Aspek akidah pada masa setelah wafatnya Rasul menjadi hal yang sangat
menggelisahkan umat islam. berawal dari berita wafatnya Nabi Muhammad yang
tersebar di kalangan para sahabat, membuat mereka merasa kehilangan yang
sangat besar karena secara historis Nabi Muhammad – lah yang mampu
mengangkat mereka dari keterpurukan dan kesesatan serta kekufuran menuju
ketauhidan dan agama islam yang rohmatan lil alamin itu. Bagi mereka Nabi
adalah sesosok agung yang senantiasa memberikan cahaya petunjuk dan keadilan
bagi seluruh lapisan masyarakat islam zaman itu. Sehingga ketika mendengar
Nabi yang begitu mereka cintai itu, yang telah memimpin dan menjadi petunjuk
bagi mereka selama 38 tahun (25 – 63 tahun), hati dan iman mereka mulai
gelisah.
Hal ini juga yang dialami sahabat Umar ketika mendengar Nabi wafat, dia
langsung berkata : ’’barang siapa yang berkata bahwa nabi Muhammad telah
wafat maka akan kutebas lehernya”. Namun akhirnya hati Umar pun luluh
manakala mendengar pidato abu Bakar : “Barang siapa yang menyembah Allah,
sesungguhnya Allah Hidup, tetapi barangsiapa yang menyembah Muhammad
sesungguhnya Muhammad telah wafat”. Tidak hanya sampai di sini, persoalan
akidah menjadi sangat berat manakala ada beberapa oknum islam yang
memanfaatkan kegelisahan iman dan akidah umat islam saat itu dengan
memanfaatkannya untuk menyampaikan dan mengumandangkan pendapat –
pendapatnya, di antara mereka ada beberapa pimpinan rakyat yang kemudian
mengaku dirinya telah diangkat menjadi Nabi penerus Muhammad, seperti
Musailamah al – Kadzab.
Selain itu ada juga beberapa orang yang menyerukan bahwa kewajiban
menunaikan zakat itu telah berhenti setelah wafatnya nabi, karena menurut
mereka zakat itu diberikan utuk kepentingan nabi. Hal – hal ini lah yang
kemudian mamaksa Abu Bakar untuk memerangi mereka dengan tujuan untuk
melenyapkan penyakit – penyakit kekufuran dan pemberontakan dari tubuh islam
atau yang biasa kita sebut orang munafik, karena dikhawatirkan hal ini akan
merambat dan mempengaruhi umat islam yang lain.

B. SUMBER HUKUM ISLAM MADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN


1. Al – Qur’an
Al – Quran adalah sumber primer dalam penggalian atau pembentukan
hukum islam, apakah itu pada masa Nabi, Sahabat, Tabi’in hingga sekarang peran
al – Quran sebagai Sumber Hukum Islam Pertama atau primer yang wajib
didahulukan daripada sumber hukum lainnya. Al – Quran adalah kalam Allah
yang diimplementasikan dalam bentuk kalam insan yang diberikan kepada Nabi
Muhammad SAW bertahap – tahap sesuai dengan permasalahan yang terjadi di
sekitar Nabi pada masa itu, atau permasalahan yang ditanyakan kepada Nabi, atau
hal – hal lainnya yang belum diketahui manusia. Pengimplementasian al – Quran
dalam bentuk kalam insan ini terjadi karena Sang Pemilik Kalam (Allah swt)
menghendaki agar kalamNya dapat dipahami untuk dijadikan sebuah pedoman,
disebarkan, diajarkan kepada seluruh umat manusia. Sehingga jika hal ini yang
dinginkan maka tentu saja didalam kalam Insan tersebut harus memuat unsur –
unsur esensial yang dapat diterima dan diterapkan di berbagai space, time and
people di seluruh dunia. Oleh karena itu, walaupun kalam insan ini diturunkan di
sosio – kultural suatu daerah yang terkenal dengan padang pasirnya yang panas,
namun unsur – unsur esensial atau filosofi dalam kalam insan ini pasti berlaku
umum bagi seluruh lapisan manusia di berbagai daerah dan waktu. Hanya saja
yang dibutuhkan adalah pemahaman nilai – nilai ajarannya dengan menggunakan
pemahaman atau tafsir yang sesuai dengan jiwa hukumnya. Hal ini semakin
dipermudah terutama setelah dibukukannya atau dikumpulkannya ayat – ayat al –
Quran dalam satu mushaf pada masa Abu Bakar, sehingga proses penggalian
hukum pada masa ini semakin memperoleh kemudahan.
2. Hadits
Bila ada suatu masalah hukum yang tidak terdapat pada al – Quran, maka
selanjutnya para sahabat selalu mengembalikan permasalahan hukum tersebut
kepada al – Hadits selaku sumber hukum kedua (Sekunder). Hal ini juga berlaku
umum untuk seluruh masa perkembangan hukum islam. Pada masa Khulafa’ur
Rasyidin, proses Takhrijul Hadits Listinbatil Hukmi benar – benar diawasi dengan
sangat ketat, agar tidak ada satupun hadits yang diriwayatkan oleh perowi dalam
keadaan maudhu’ atau dibuat – buat. Bahkan sahabat Abu bakar dan Umar pun
mensyaratkan para perowi untuk menyebutkan para rijalul haditsnya ketika
meriwayatkan suatu hadits tertentu. Kelemahan dari penggunaan dalil hukum
islam ini belum dibukukannya hadits, sehingga tiap – tiap sahabat memiliki
kuantitas hafalan dan pengetahuan yang berbeda – beda antara satu dengan yang
lain, sehingga hasil ijtihad yang diambil pun kadang – kadang bertentangan
dengan pendapat sahabat yang lain. Namun, untuk mengatasi masalah ini, para
sahabat sering menggunakan metode ijma’ atau diskusi serta tanya jawab dengan
sahabat yang lainnya. Sehingga akan tercipta khazanah keilmuan yang mumpuni
pada diri masing – masing sahabat dengan adanya diskusi atau periwayatan
hadits.
3. Ijtihad Sahabat
Jika dalam suatu permasalahan yang muncul itu tidak ditemukan
hukumnya dalam al – Quran maupun Hadits, maka para sahabat pun berijtihad
dengan menggunakan Ro’yu atau buah pemikiran mereka. Ijtihad adalah
mencurahkan segenap kesungguhan dalam penggalian hukum syar’i yang
bersumber dari al – Quran dan Hadits yang telah ditetapkan sebagai dalil hukum.
Ijtihad yang dilakukan para sahabat dalam periode ini biasanya menggunakan
metode ijma’ atau qiyas, baru kemudian maslahah. Ijma’ terjadi secara jama’i
terhadap suatu permasalahan, namun pada masa ini ijma’ tidak harus dalam suatu
acara yang formal namun bisa berbentuk diskusi atau tanya jawab antara dua
orang sahabat atau lebih, yang walaupun biasanya masing – masing punya metode
sendiri – sendiri sehingga jarang sekali terjadi penyatuan pendapat, namun
perbedaan ini tidak sampai menimbulkan konflik di kalangan umat islam itu
sendiri, hal ini malah mampu menambah tsarwah fiqhiyyah mereka. Dalam
metode qiyas para sahabat mengambil hukum dari nash-nash yang bisa dikaji
ulang, dengan asumsi bahwa setiap nash itu punya illat (sebab hukum) yang
menjelaskan sebab hukumnya, punya illat yang bisa dijadikan dasar penggalian
hukumnya, punya illat yang bisa memungkinkan masuknya kategori permasalah
baru yang di dalamnya dijumpai adanya illat tersebut, sedangkan nash itu tidak
menghukumi perkara baru tersebut. Bila kedua hal itu tidak bisa dilakukan maka
biasanya para Kaba’irus Shohabah mencari jiwa hukumnya atau subtansi
hukumnya yang menurut mereka pasti akan mempunyai satu arah tujuan yaitu
kemaslahatan dan keadilan hukum. Metode maslahah ini banyak digunakan
sahabat ketika melihat bahwa dalam masyarakatnya yang baru dan majemuk,
serta perbedaan sosio-kultural di antara masyarakat satu dengan yang lainnya,
membutuhkan dinamisasi hukum, karena permasalahan-permasalahan sosial yang
bersifat dinamis itu tidak mungkin dihukumi dengan nash-nash syar’i yang statis,
yang hanya diberlakukan pada suatu daerah hukum dan masyarakat di Makkah
dan Madinah saja.
Para sahabat pada masa ini tidak berijtihad atau mengeluarkan pendapat
terhadap suatu perkara sehingga perkara itu muncul/ ada yang menanyakannya,
jika hal itu terjadi maka mereka berijtihad untuk menggali hukumnya, jika tidak
maka mereka tidak pernah membuat suatu institusi hukum semisal MUI, untuk
membuat masalah sekaligus menghukuminya. Hal inilah yang menyebabkan
fatwa-fatwa hukum yang dinukil dari para sahabat di periode tersebut sangat
sedikit sekali.3 Dasar penggunaan ketiga sumber hukum ini adalah hadits yang
menceritakan tentang pengutusan Mu’adz bin Jabal ke Syam oleh Nabi
Huhammad SAW, sebelum mengutusnya Nabi menanyainya : “bila engkau
menemukan masalah di sana apa yang akan kau lakukan?”, maka Mu’adz pun
menjawab : “aku akan menghukuminya dengan Kitab Allah, dan jika aku tidak
menemukan hukumnya, maka aku akan kembali pada sunnah RasulNya, dan jika
aku tidak berhasil, maka aku akan berijtihad (untuk menghukuminya) dengan
pikiranku”. Kemudian rasul menepuk bahunya sebagai tanda persetujuan beliau
terhadap Mu’adz bin Jabal.

C. CONTOH IJTIHAD PARA SAHABAT DALAM MENGHADAPI


PROBLEMATIKA HUKUM ISLAM

1. Kekhalifahan Abu Bakar As – Shiddiq


a. Penghimpunan Al-Quran
Setelah Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, banyak sekali
terjadi pemberontakan serta penyelewengan akidah di beberapa daerah
kekuasaan islam, termasuk diantaranya adalah seorang Musailamah al-
Kadzab yang mengaku menjadi Nabi setelah Nabi Muhammad, kemudian
Abu Bakar pun memerintahkan untuk memerangi kelompok penyeleweng
tersebut hingga akhirnya setelah pertempuran yang sengit, kemenangan
diraih pasukan Abu Bakar dengan meninggalkan banyak syuhada’,
termasuk di antaranya jumlah besar para penghafal al-Quran.4 Karena
kekhawatiran akan hilangnya al-Quran bersamaan dengan semakin
berkurangnya para penghafal al-Quran, maka Umar bin Khattab pun
mengusulkan pengumpulan al-Quran dalam satu kumpulan (mushaf)
kepada Abu Bakar, tentu saja Abu Bakar menolak usulan umar tersebut,
karena sebagai sahabat yang selalu dekat dengan Nabi, yang selalu
mematuhi dan membenarkan segala perkataan dan perbuatan Nabi SAW,
pantang bagi Abu Bakar untuk melakukan hal-hal yang tidak pernah

3
Muhammad Hudhori. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Tanpa Tahun. Jeddah: Al-Haromain. Hal. 114.
4
Ahmad Al-Usairy. SEJARAH ISLAM (Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX). Cet. Keenam. 2008. Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana. Hal. 188.
dilakukan oleh Nabi SAW, apalagi hal-hal yang berkenaan dengan al-
Quran selaku sumber hukum Primer Islam.
Atas kegigihan Umar dalam memberikan argument, bahwa hal itu
untuk menghindari punahnya ayat-ayat al-Quran yang disebabkan oleh
berkurangnya para penghafal al-Quran, dan hal itu akan menjadikan
kemaslahatan umat islam, maka Abu Bakar pun menyetujui usulan Umar
tersebut. Dia pun memerintahkan kepada sang penulis wahyu terbanyak,
Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan al-Quran dalam satu kumpulan atau
dalam satu mushaf.

2. Kekhalifahan Umar bin Khattab


a. Tentang Satu Orang Yang Dibunuh Oleh Beberapa Orang
Pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab, Khalifah kedua
setelah Abu Bakar, terjadi suatu peristiwa hukum berupa pembunuhan
massal, atau pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa orang sekaligus
terhadap satu orang, bagaimana hukumnya?. Ketika dihadapkan pada
masalah tersebut, Umar merasa bimbang, kemudian dia pun
mendiskusikannya dengan Ali bin Abi Thalib, maka Ali bertanya: “Apa
pendapatmu jika ada sekelompok orang yang bersama-sama mencuri
Unta, apakah engkau akan memotong tangan mereka semua?”, Umar
menjawab: “Ya”. Ali pun berkata: ”Begitulah . . . . ,”. Kemudian atas
dasar pola pikir atau analogi terebut, maka Umar menetapkan hukum bagi
mereka, “Andaikata penduduk Shan’a itu semua bersama-sama
membunuh pria itu, sungguh akan aku bunuh mereka semua”5
b. Tentang Pencuri Pada Masa Paceklik
Khalifah umar tidak menghukum potong tangan seorang pencuri
yang mencuri makanan di musim paceklik, karena mempertimbangkan
kemaslahatan umat, disamping bahwa memelihara nafs (jiwa) itu lebih
didahulukan daripada memelihara mal (harta). Jadi, perlindungan terhadap
nyawa manusia saat itu lebih dipentingakan daripada harta.
c. Bagian Zakat Orang Mu’allaf
Terhadap orang mu’allaf, di masa kekhalifahannya Umar tidak
memberi bagian zakat kepada mereka, pada zaman Nabi Muhammad
mu’allaf adalah mereka yang diambil simpatinya agar masuk islam dengan
memberikan zakat kepada mereka. Terhadap mu’allaf umar berkata:
”Sesungguhnya Allah telah menguatkan islam dan tidak membutuhkan
kamu. Jika kamu bertaubat, silahkan, tetapi jika tidak maka antara kamu
dan kami adalah pedang.” Di sini umar melihat bahwa yang paling
maslahat pada saat perluasan islam saat itu adalah dengan tidak
memberikan zakat atau harta kepada orang muallaf karena pada saat itu

5
Muhammad Zuhri. Hukum islam dalam lintasan sejarah. 1996. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hal. 40.
orang-orang islam sudah sangat banyak sekali sehingga pada saat itu Umar
memang benar-benar ingin mengetahui apakah mereka mau masuk islam
karena kesadaran sendiri atau karena iming-iming zakat yang diberikan
islam.

3. Kekhalifahan Utsman bin Affan


a. Mushaf Utsmani
Pembukuan atau penulisan al-Quran dengan satu macam versi qiroah dan
membuang mushaf versi lain merupakan salah satu bentuk ijtihad Usman
dalam menghadapi keanekaragaman bacaan al-Quran yang mengarah
kepada keragaman pemahaman terhadap islam, selanjutnya, pertentangan
di kalangan umat islam. Dan ijtihad itu pun disetujui oleh para sahabatnya.
Seperti diketahui bahwa al-Quran diturunkan atas 7 macam huruf (qiroah),
artinya dengan dialek dan redaksi yang bermacam-macam, sehingga
terbuka peluang berbedanya hafalan seorang sahabat dengan sahabat yang
lain. Misalnya, dalam surah al-Jumu’ah disebut (‫)هللاركذ ىلإ اوعساف‬, ada
sahabat lain yang membacanya (‫)هللا ركذ ىلإ اوضماف‬. Perbedaan redaksi
di sini tidak mengubah makna, namun demi keutuhan, keseragaman al-
Quran dilaksanakan oleh Khalifah Utsman bin Affan.
b. Tentang Unta Yang Berkeliaran
Masalah unta yang berkeliaran dan tidak diketahui pemiliknya, apakah
boleh “diamankan” seperti barang temuan lainnya atau tidak. Ikhtilaf
terjadi karena ada hadits Nabi yang menyebutkan bahwa unta – unta itu
harus dibiarkan hingga ditemukan oleh pemiliknya sendiri. Ketika kondisi
pemerintahan mulai mengalami goncangan keamanan, Utsman
berpendapat bahwa unta-unta itu sebaiknya diamankan. ”Rasulullah
melarang untuk mengamankannya, karena tidak mungkin ada yang
mencurinya. Namun Sekarang, dalam suasan melemahnya ghirah
keagamaan ini unta-unta harus diamankan untuk kemaslahatan. Kalau
tidak ia akan dicuri orang.” Sikap Utsman ini bertentangan dengan
kebijaksanaan Umar yang mengamalkan hadits Nabi tadi. Di sini Utsman
tampaknya menerapkan illat. Umar melaksanakan nash dari hadits Nabi
karena adanya illat, yaitu “suasana aman”, ketika illat itu tidak ada, maka
nash tidak cukup syaratnya untuk diterapkan. Jika tetap diamalkan maka
pengamalan nash itu tidak akan mewujudkan kemaslahatan yang
merupakan tujuan utama nash tadi.

4. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib


a. Tentang Wanita Yang Ditinggal Mati Suaminya
Para fuqoha sahabat berbeda pendapat tentang bagaimana hukum seorang
wanita yang ditinggal mati suaminya sebelum melakukan hubungan
suami-istri, padahal belum juga ditentukan kadar mas kawin atau
maharnya. Menurut ibnu Mas’ud, wanita itu berhak mengambil maskawin
seperti biasa dari harta peninggalan suaminya seperti terjadi pada Barwa’
binti Wasyik al-Aslamiyah di zaman Rasulullah. Ali bin Abi Thalib
berpendapat bahwa, ketentuan seperti itu merugikan satu pihak.
Karenanya, menurut Ali, wanita itu tidak berhak mengambil maskawin
dari harta peninggalan suaminya sebelum terjadi hubungan suami-istri.
“Kami tidak akan meninggalkan al-Quran hanya karena pernyataan
seorang saja”, kata Ali. Dari sini nampak bahwa Ali telah sampai pada
penggunaan qiyas, sebab dalam al-Quran tidak ada ketentuan tentang
masalah ini, yang ada hanyalah wanita yang ditalak oleh suaminya
sebelum melakukan hubungan suami-istri. Dan rupanya Ali mengqiyaskan
wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sebelum melakukan hubungan
tadi dengan wanita yang ditalak dalam keadaan yang sama.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Sejarah hukum islam pada masa Khulafaur Rasyidin secara periodik terbagi
menjadi 4, yaitu periode Abu Bakar, Periode Umar bin Khattab, periode Utsman bin
Affan dan periode Ali bin Abu Thalib. Yang perlu digaris bawahi dalam pemahaman
mengenai tasyri’ pada masa ini adalah bahwa meskipun disebut periode Khulafa’ur
Rasyidin, namun dalam praktisnya para mujtahid hukum bukan hanya para Amirul
Mukminin yang 4 saja, akan tetapi seluruh kibarus sahabat yang hidup pada masa ini juga
sering berijtihad terhadap semua permasalahan yang dirasa aktual dan dibutuhkan di
antara umat islam.
Dalam hal permasalahan hukum itu telah ada hukumnya dalam nash al-Quran,
maka digunakanlah hukum yang didapat dari nash tersebut. Dan bila hukum
permasalahan itu tidak ditemukan dalam al-Quran maka mereka mencari hukumnya di
dalam Hadits, namun karena hadits masih belum dibukukan, maka sering terjadi
perbedaan pendapat mengenai satu persoalan yang sama tetapi menghasilkan produk
hukum yang berbeda, tergantung kapasitas hadits yang dimiliki masing-masing sahabat.
Untuk menghadapai masalah ini, para sahabat seringkali berdiskusi untuk saling bertukar
wawasan tentang hadits yang mereka hafal. Dan bila mereka tidak dapat menemukan
hukumnya di dalam al-Quran dan Hadits maka mereka berijtiad dengan menggunakan
Ro’yu mereka sendir-sendiri, maka kemudian terciptalah metode Qiyas, penggalihan illat
hukum, ijma’, hingga akhirnya pada tahap penelusuran substansi syari’at dengan
menggunakan metode maslahah, yaitu mencari hal yang maslahat bagi manusia secara
umum.
Beberapa contoh hasil ijtihad para sahabat dalam penentuan hukum islam
terhadap suatu persoalan. Contohnya pembukuan al-Quran dalam satu mushaf oleh Abu
bakar karena kekhawatirannya akan hilangnya al-Quran dengan hilangnya para syuhada’
yang hafal al-Quran. Contoh lain penulisan al-Quran dalam satu huruf atau qiro’ah untuk
menyeragamkan bacaan al-Quran secara menyeluruh bagi umat islam yang pada saat itu
semakin luas wilayahnya.

B. SARAN
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah “Hukum Islam Pada
Masa Khulafa’ur Rasyidin” di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentu
dapat di pertanggungjawabkan oleh penulis. Untuk saran bisa berisi kritik atau saran
terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan
makalah yang telah di jelaskan. Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar
pustaka.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam (Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX). Cet. Keenam.
2008. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.

Hashem, O. SAQIFAH: Awal Perselisihan Umat. Cet. Kedua. 1989. Jakarta: Yapi.

Hudhori, Muhammad. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Tanpa Tahun. Jeddah: Al-Haromain.

Khallaf, Abdul Wahab. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam. 1985. Yogyakarta: CV. Bayu Grafika
Offset.

Zuhri, Muhammad. Hukum islam dalam lintasan sejarah. 1996. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.

Anda mungkin juga menyukai