Dosen Pengampu:
Disusun oleh:
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah patut penulis ucapkan kehadirat allah SWT, karena atas
segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Hukum Islam Pada Masa Khulafa’ur Rasyidin” ini dengan lancar. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada seluruh pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini baik
secara langsung maupun tidak langsung. Penulisan makalah ini dalam rangka untuk memenuhi
tugas Studi Hukum Islam dan diharapkan dengan adanya makalah ini pembaca dapat menambah
wawasan.
Perlu di ketahui bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak amat penulis harapkan untuk tugas-tugas selanjutnya.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi dunia pendidikan pada umumnya dan bagi diri
penulis pada khususnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Periode kedua pada masa perkembangan fiqih atau hukum islam bermula sejak wafatnya
Nabi Muhammad Saw pada tahun 11 H dan berakhir ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan
menjabat sebagai khalifah pada tahun 41 H. Pada periode – periode ini hiduplah sahabat –
sahabat Nabi terkemuka yang mengibarkan bendera dakwah islam setelah wafatnya Nabi
Muhammad Saw.
Masa Khulafaur Rasyidin atau masa Kibarus Sahabat, bisa dibilang sebagai masa yang
penuh dengan kekuatan sekaligus perpecaha. Disebut sebagai masa kekuatan islam, karena
pada masa ini, jiwa dan akidah umat islam masih melekat erat pada diri masing – masing
identitas masyarakat islam pada masa itu sebagai hasil usaha keras Nabi dalam menyebarkan
agama islam dan mengajarkan ketauhidan pada diri mereka, sehingga akidah umat islam
masa ini masih kuat. Namun, masa ini disebut juga masa permulaan perpecahan umat islam,
karena setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia, para sahabat mulai berselisih
mengenai siapakah yang akan menjadi pemimpin umat islam berikutnya, yang bermula dari
peristiwa Tsaqifah bani Sa’idah yang berjarak beberapa kilometer dari kediaman Nabi di
Madinah saat masa wafatnya. Hal ini muncul karena Nabi Muhammad, sebagai panutan dan
petunjuk bagi mereka tidak mewasiatkan atau menunjuk seseorang sebagai penggantinya
kelak. Beberapa pendapat mengatakan bahwa hal ini dilakukan agar para sahabat dapat
berijtihad sesuai dengan perkembangan zaman masing – masing sahabat itu.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kondisi hukum Islam pada masa Khulafa’ur Rasyidin?
2. Apa saja yang menjadi sumber hukum Islam pada masa Khulafa’ur Rasyidin?
3. Bagaimana Ijtihad para sahabat dalam menghadapi problematika hukum Islam?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui kondisi hukum Islam pada masa Khulafa’ur Rasyidin.
2. Untuk mengetahui sumber hukum Islam pada masa Khulafa’ur Rasyidin.
3. Untuk mengetahui Ijtihad para sahabat dalam menghadapi problematika hukum
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
1
Abdul Wahab Khallaf. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam. 1985. Yogyakarta: CV. Bayu Grafika Offset. Hal. 21.
2
O. Hashem. SAQIFAH: Awal Perselisihan Umat. Cet. Kedua. 1989. Jakarta: Yapi. Hal. 240-241.
Sampai akhirnya muncullah suatu peristiwa bersejarah yang
terkenal dengan sebutan “Tsaqifah”. Peristiwa ini terjadi di Madinah,
tepatnya di daerah Tsaqifah dengan penduduk sekitarnya adalah mayoritas
keturunan suku ‘Aus dan suku Khazraj yang secara historis telah menjadi
musuh bebuyutan semenjak pra-islam. Kedua suku yang terkenal dengan
sebutan kaum Anshor, merasa paling berhak untuk menyatakan dan
mengangkat diri mereka sebagai seorang khalifah sebagai penerus dan
pengganti Nabi SAW, karena atas jasa merekalah umat islam bisa terus
Berjaya hingga saat itu. Meskipun sebenarnya kedatangan Nabi dan Para
Muhajirin Lainnya ke kota yang dulu terkenal dengan nama Yatsrib itu
adalah atas permintaan dari kedua kelompok sosial itu, dengan tujuan agar
perseteruan di antara kedua suku itu berhenti, karena kalau peperangan
antar kedua suku itu terjadi terus – menerus maka kedua suku itu akan
punah. Dan benar saja Nabi Muhammad dengan kekuatan Islam dan
akhlaknya yang luhur mampu mendamaikan kedua suku itu selama 13
tahun lebih.
Beralih ke masalah Tsaqifah, pada peristiwa ini, kedua suku itu
serasa dikembalikan kembali ke adat jahiliyah mereka, untuk saling
bertarung dan bermusuhan kembali walaupun dalam diri mereka telah
tertanam nilai – nilai islam yang menjunjung tinggi perdamaian dan
persaudaraan. Bagi mereka, bila Nabi Muhammad telah wafat berarti tidak
ada lagi seorang pendamai di antara mereka, sehingga hal itu membuat
mereka bermusuhan kembali. Pada saat itu datanglah para sahabat dekat
Nabi Muhammad SAW, yang dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar. Umar
dan sahabat lainnya kemudian langsung memproklamirkan Abu Bakar dari
golongan Muhajirin sebagai Pengganti Nabi sebagai Khalifah Umat Islam.
tentu saja hal ini tidak di setujui oleh kaum anshor, yaitu kedua suku ‘Aus
dan Khazraj, karena menurut mereka, mereka tidak lebih baik dari
golongan anshor. Namun, meskipun demikian, ternyata pada akhirnya
kedua suku itu - dikatakan - menyetujui Abu Bakar sebagai khalifah
pengganti Nabi SAW. Namun sebenarnya tindakan mereka yang turut
membai’at Abu Bakar sebagai khalifah pertama tidak lebih hanyalah
sebuah perfect disguise (Pura – pura yang sempurna).
2. Aspek Fiqih
Semakin luasnya wilayah islam, maka perkembangan ijtihad para sahabat
pun semakin besar, hal ini disebabkan munculnya masalah – masalah baru terkait
dengan budaya bangsa era itu sendiri, sebagaimana yang kita ketahui daerah
Makkah mempunyai keberbedaan budaya dengan daerah Mesir. Namun justru hal
inilah yang kemudian semakin memperkaya Tsarwah Fiqhiyyah umat islam pada
zaman tersebut. Fiqih atau penggalihan hukum islam pada periode Khulafa’ur
Rasyidin ini terasa sangat hidup dan semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul,
meskipun lebih kecil dibanding periode berikutnya, seiring dengan perkembangan
fiqih itu sendiri.
Selain periwayatan hadits yang sangat ketat, pada periode ini ijtihad
seringkali dilakukan secara jama’i sehingga ruang ijtihad yang begitu luas itu
jarang menimbulkan ikhtilaf. Pada periode ini fatwa – fatwa dan masa’il fiqih
belum ditulis seperti juga sunnah. Kendati demikian, kita mulai dapat
mengklasifikasikan kaidah – kaidah ushuliyah dan metode ijtihad yang digunakan
oleh fuqaha’ sahabat dalam melakukan ijtihad. Dalam banyak hal, fatwa-fatwa
dan masa’il fiqhiyah itu memang masih bercampur dengan dalil – dalil dan kaidah
– kaidah Istidlal.
3. Aspek Aqidah
Aspek akidah pada masa setelah wafatnya Rasul menjadi hal yang sangat
menggelisahkan umat islam. berawal dari berita wafatnya Nabi Muhammad yang
tersebar di kalangan para sahabat, membuat mereka merasa kehilangan yang
sangat besar karena secara historis Nabi Muhammad – lah yang mampu
mengangkat mereka dari keterpurukan dan kesesatan serta kekufuran menuju
ketauhidan dan agama islam yang rohmatan lil alamin itu. Bagi mereka Nabi
adalah sesosok agung yang senantiasa memberikan cahaya petunjuk dan keadilan
bagi seluruh lapisan masyarakat islam zaman itu. Sehingga ketika mendengar
Nabi yang begitu mereka cintai itu, yang telah memimpin dan menjadi petunjuk
bagi mereka selama 38 tahun (25 – 63 tahun), hati dan iman mereka mulai
gelisah.
Hal ini juga yang dialami sahabat Umar ketika mendengar Nabi wafat, dia
langsung berkata : ’’barang siapa yang berkata bahwa nabi Muhammad telah
wafat maka akan kutebas lehernya”. Namun akhirnya hati Umar pun luluh
manakala mendengar pidato abu Bakar : “Barang siapa yang menyembah Allah,
sesungguhnya Allah Hidup, tetapi barangsiapa yang menyembah Muhammad
sesungguhnya Muhammad telah wafat”. Tidak hanya sampai di sini, persoalan
akidah menjadi sangat berat manakala ada beberapa oknum islam yang
memanfaatkan kegelisahan iman dan akidah umat islam saat itu dengan
memanfaatkannya untuk menyampaikan dan mengumandangkan pendapat –
pendapatnya, di antara mereka ada beberapa pimpinan rakyat yang kemudian
mengaku dirinya telah diangkat menjadi Nabi penerus Muhammad, seperti
Musailamah al – Kadzab.
Selain itu ada juga beberapa orang yang menyerukan bahwa kewajiban
menunaikan zakat itu telah berhenti setelah wafatnya nabi, karena menurut
mereka zakat itu diberikan utuk kepentingan nabi. Hal – hal ini lah yang
kemudian mamaksa Abu Bakar untuk memerangi mereka dengan tujuan untuk
melenyapkan penyakit – penyakit kekufuran dan pemberontakan dari tubuh islam
atau yang biasa kita sebut orang munafik, karena dikhawatirkan hal ini akan
merambat dan mempengaruhi umat islam yang lain.
3
Muhammad Hudhori. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Tanpa Tahun. Jeddah: Al-Haromain. Hal. 114.
4
Ahmad Al-Usairy. SEJARAH ISLAM (Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX). Cet. Keenam. 2008. Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana. Hal. 188.
dilakukan oleh Nabi SAW, apalagi hal-hal yang berkenaan dengan al-
Quran selaku sumber hukum Primer Islam.
Atas kegigihan Umar dalam memberikan argument, bahwa hal itu
untuk menghindari punahnya ayat-ayat al-Quran yang disebabkan oleh
berkurangnya para penghafal al-Quran, dan hal itu akan menjadikan
kemaslahatan umat islam, maka Abu Bakar pun menyetujui usulan Umar
tersebut. Dia pun memerintahkan kepada sang penulis wahyu terbanyak,
Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan al-Quran dalam satu kumpulan atau
dalam satu mushaf.
5
Muhammad Zuhri. Hukum islam dalam lintasan sejarah. 1996. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hal. 40.
orang-orang islam sudah sangat banyak sekali sehingga pada saat itu Umar
memang benar-benar ingin mengetahui apakah mereka mau masuk islam
karena kesadaran sendiri atau karena iming-iming zakat yang diberikan
islam.
A. KESIMPULAN
Sejarah hukum islam pada masa Khulafaur Rasyidin secara periodik terbagi
menjadi 4, yaitu periode Abu Bakar, Periode Umar bin Khattab, periode Utsman bin
Affan dan periode Ali bin Abu Thalib. Yang perlu digaris bawahi dalam pemahaman
mengenai tasyri’ pada masa ini adalah bahwa meskipun disebut periode Khulafa’ur
Rasyidin, namun dalam praktisnya para mujtahid hukum bukan hanya para Amirul
Mukminin yang 4 saja, akan tetapi seluruh kibarus sahabat yang hidup pada masa ini juga
sering berijtihad terhadap semua permasalahan yang dirasa aktual dan dibutuhkan di
antara umat islam.
Dalam hal permasalahan hukum itu telah ada hukumnya dalam nash al-Quran,
maka digunakanlah hukum yang didapat dari nash tersebut. Dan bila hukum
permasalahan itu tidak ditemukan dalam al-Quran maka mereka mencari hukumnya di
dalam Hadits, namun karena hadits masih belum dibukukan, maka sering terjadi
perbedaan pendapat mengenai satu persoalan yang sama tetapi menghasilkan produk
hukum yang berbeda, tergantung kapasitas hadits yang dimiliki masing-masing sahabat.
Untuk menghadapai masalah ini, para sahabat seringkali berdiskusi untuk saling bertukar
wawasan tentang hadits yang mereka hafal. Dan bila mereka tidak dapat menemukan
hukumnya di dalam al-Quran dan Hadits maka mereka berijtiad dengan menggunakan
Ro’yu mereka sendir-sendiri, maka kemudian terciptalah metode Qiyas, penggalihan illat
hukum, ijma’, hingga akhirnya pada tahap penelusuran substansi syari’at dengan
menggunakan metode maslahah, yaitu mencari hal yang maslahat bagi manusia secara
umum.
Beberapa contoh hasil ijtihad para sahabat dalam penentuan hukum islam
terhadap suatu persoalan. Contohnya pembukuan al-Quran dalam satu mushaf oleh Abu
bakar karena kekhawatirannya akan hilangnya al-Quran dengan hilangnya para syuhada’
yang hafal al-Quran. Contoh lain penulisan al-Quran dalam satu huruf atau qiro’ah untuk
menyeragamkan bacaan al-Quran secara menyeluruh bagi umat islam yang pada saat itu
semakin luas wilayahnya.
B. SARAN
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah “Hukum Islam Pada
Masa Khulafa’ur Rasyidin” di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentu
dapat di pertanggungjawabkan oleh penulis. Untuk saran bisa berisi kritik atau saran
terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan
makalah yang telah di jelaskan. Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar
pustaka.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam (Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX). Cet. Keenam.
2008. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Hashem, O. SAQIFAH: Awal Perselisihan Umat. Cet. Kedua. 1989. Jakarta: Yapi.
Khallaf, Abdul Wahab. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam. 1985. Yogyakarta: CV. Bayu Grafika
Offset.
Zuhri, Muhammad. Hukum islam dalam lintasan sejarah. 1996. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.