Disusun Oleh :
Kelompok 1
Tingkat 2A
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Manajemen
Konflik dan Kolaborasi”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen
Keperawatan pada Program Studi D3 Keperawatan Bandung Poltekkes Kemenkes
Bandung.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Yosep Rohyadi S.Kp.,M.Kep
selaku dosen pembimbing mata kuliah Manajemen Keperawatan yang telah
membimbing kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Terima kasih pula kepada teman-teman yang sudah bekerja sama dengan baik.
Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, maka kami menerima
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................4
1.3 Tujuan..........................................................................................................................5
1.4 Metode penulisan.........................................................................................................5
1.5 Sistematika Penulisan..................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................6
PEMBAHASAN........................................................................................................................6
2.1 Definisi Konflik...........................................................................................................6
2.2 Aspek Positif Konflik..................................................................................................6
2.3 Aspek Negatif Konflik................................................................................................7
2.4 Penyebab Konflik........................................................................................................7
2.5 Solusi atau Langkah Pemecahan Konflik....................................................................9
2.6 Kolaborasi .................................................................................................................11
2.7 Komponen utama kolaborasi.....................................................................................13
2.8 Nilai – Nilai Dasar Collaborative..............................................................................14
2.9 Keuntungan kolaborasi..............................................................................................15
2.10 Contoh Kolaborasi.....................................................................................................16
BAB III.....................................................................................................................................18
PENUTUP................................................................................................................................18
3.1 Kesimpulan................................................................................................................18
3.2 Saran..........................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................20
ii
BAB I
PENDAHULUAN
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
5. Persaingan yang menyebabakan timbulnya konflik tentang salah satu tujuan atau
lebih dapat menimbulkan efek menguntungkan. Para karyawan yang mengalami
susasana kompetitif antara para pekerja dapat dimotivasi untuk mencurahkan upaya
lebih intensif guna memenangkan persaingan.
6. Bukti-bukti empirik yang dilakukan di luar negeri membuktikan bahwa persaingan
menyebabkan meningkatnya produk yang diproduksi per periode waktu.
7. Apabila tujuan suatu organisasi adalah berupa menghasilkan sejumlah besar
kesatuan per periode waktu tertentu maka sangat disarankan untuk suatu suasana
yang kompetitif. Sebagai contoh karyawan yan berhasil menghasilkan satuan
terbanyak akan diberi bonus.
7
1) Perbedaan interpersonal pada setiap dimensi-umur, jenis kelamin, ras, pandangan,
perasaan, pendidikan, pengalaman, tingkah laku, pendapat, budaya, kebangsaan,
keyakinan, dll,
2) Perbedaan kepentingan dalam hubungan antar manusia karena perbedaan budaya,
posisi, peran, status, dan tingkat hirarki.
Menurut Robbins (2008), konflik muncul karena ada kondisi yang
melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang isebut juga
sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu : komunikasi,
struktur, dan variabel pribadi.
1) Komunikasi
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan
kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu
hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang
tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap
komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
2) Struktur
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran
(kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan
jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok,
gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok.
Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan
variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin
terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.
3) Variabel Pribadi
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi:
sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang
menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan
individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya,
individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan
sumber konflik yang potensial.
8
2.5 Solusi atau Langkah Pemecahan Konflik
Terdapat 2 hal yang memegang peranan penting dalam keberhasilan penyelesaian
konflik, yaitu menentukan besarnya konflik dan gaya penanganan konflik (Rahim,
2002). Yang dimaksud dengan besarnya konflik terkait dengan jumlah individu yang
terlibat, apakah konflik mengarah pada intrapersonal, interpersonal, intra kelompok,
atau antar kelompok. Kreitner dan Kinicki (2005) mengungkapkan lima gaya
penanganan konflik (Five Conflict Handling Styles). Model ini ditujukan untuk
menangani konflik disfungsional dalam organisasi. Menggambarkan sisi pemecahan
masalah yang berorientasi pada orang lain (concern for others) dan pemecahan masalah
yang berorientasi pada diri sendiri (concern for self). Kombinasi dari kedua variabel ini
menghasilkan lima gaya penanganan masalah yang berbeda, yaitu: integrating,
obliging, dominating, avoiding, dan compromising.
1) Integrating (Problem Solving)
Proses integrasi berkaitan dengan mekanisme pemecahan masalah (problem
solving), seperti dalam menentukan diagnosis dan intervensi yang tepat dalam suatu
masalah. Dalam gaya ini pihakpihak yang berkepentingan secara bersama-sam
mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, bertukar informasi, kemudian mencari,
mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok
untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham
(misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang terjadi
karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu
yang lama dalam penyelesaian masalah (Rahim, 2002).
Langkah-langkah untuk mencapai solusi ini antara lain adalah mulai dengan
berdiskusi, dengan waktu dan tempat yang kondusif, menghargai perbedaan individu,
bersikap empati dengan semua pihak, menggunakan komunikasi asertif dengan
mamaparkan isu dan fakta dengan jelas, membedakan sudut pandang, meyakinkan
bahwa tiap individu dapat menyampaikan idenya masing-masing, membuat kerangka
isu utama berdasarkan prinsip yang umum, menjadi pendengar yang baik. Setuju
terhadap solusi yang menyeimbangkan kekuatan dan memuaskan semua pihak
sehingga dicapai “win-win solution”.
2) Obliging (Smoothing)
9
Seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk
memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering pula disebut smothing
(melicinkan), karena berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan
pada persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan
strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya kerjasama.
Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan tidak menyentuh masalah pokok
yang ingin dipecahkan.
3) Dominating (Forcing)
Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian terhadap
kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik “saya
menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena
menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok
digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam penyelesaian
masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan harus mengambil
keputusan dalam waktu yang cepat. Namun, teknik ini tidak tepat untuk menangani
masalah yang menghendaki adanya partisipasi dari mereka yang terlibat dan juga
tidak tepat untuk konflik yang bersifat kompleks . Kekuatan utama gaya ini terletak
pada minimalnya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik.
Kelemahannya, sering menimbulkan, kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima
keputusan oleh mereka yang terlibat.
4) Avoiding
Teknik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah
yang sederhana, atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih
besar daripada keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang sulit atau “buruk”. Teknik ini kurang tepat
pada konflik yang menyangkut isu-isu penting, dan adanya tuntutan tanggung jawab
untuk menyelesaikan masalah secara tuntas (Rahim, 2002). Kekuatan dari strategi
penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang membingungkan atau mendua
(ambiguous situations). Sedangkan kelemahannya, penyelesaian masalah hanya
bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalah.
5) Compromising
10
Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang
memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan
pendekatan saling memberi dan menerima (give and take approach) dari pihak-pihak
yang terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan
pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama.
Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada
pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat sementara
dan mencegah munculnya kreativitas dalam penyelesaian masalah. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Hendel (2005), gaya ini merupakan gaya yang paling
banyak dipilih oleh perawat dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.
2.6 Kolaborasi
11
Sedangkan dalam istilah administrasi, pengertian kolaborasi sebagaimana yang
dijelaskan oleh Hadari Nawawi adalah usaha untuk mencapai tujuan bersama yang
telah ditetapkan melalui pembagian tugas atau pekerjaan, tidak sebagai pengkotakan
kerja akan tetapi sebagai satu kesatuan kerja, yang semuanya terarah pada pencapaian
tujuan.
Secara epistimologi, kata kolaborasi berasal dari bahas Inggris yaitu ‘co-labour’
yang artinya bekerja bersama. Pada abad ke-19 kata kolaborasi mulai digunakan ketika
industrialisasi mulai berkembang. Organisasi pada masa itu menjadi semakin kompleks.
Divisi-divisi dalam pembuatan struktur organisasi mulai dibuat untuk pembagian tugas
bagi tenaga kerja dalam organisasi tersebut. Kompleksitas organisasi menjadi titik awal
sering digunakannya kolaborasi dalam berbagai organisasi (Wanna, 2008: 3)
Secara filosofis, kolaborasi merupakan upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak
untuk mencapai tujuan yang sama. Menurut Schrage dalam Harley dan Bisman, (2010:
18), kolaborasi merupakan upaya penyatuan berbagai pihak untuk mencapai tujuan
yang sama. Kolaborasi membutuhkan berbagai macam aktor, baik individu maupun
organisasi yang saling bahu membahu mengerjakan tugas demi tercapainya tujuan
bersama.
Ilmuwan lain mendefinisikan kolaborasi sebagai instrumen yang digunakan untuk
menyatukan perbedaan sudut pandang demi terciptanya solusi bersama. Menurut
Samatupang dan Menurut Samatupang dan Sridharan (2008), kolaborasi merupakan
upaya mengumpulkan berbagai pihak dengan kepentingan berbeda untuk menghasilkan
visi bersama, membangun kesepakatan mengenai suatu masalah, menciptakan solusi
untuk masalah tersebut, dan mengedepankan nilai-nilai bersama untuk menghasilkan
keputusan yang menguntungkan semua pihak.
Hal serupa diungkapkan oleh Leever (2010) yang menyatakan bahwa, kolaborasi
adalah konsep yang digunakan untuk menjelaskan hubungan kerja sama yang dilakukan
selama usaha penggabungan pemikiran oleh pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak tersebut
mencoba mencari solusi dari perbedaan cara pandang terhadap suatu permasalahan.
Dari dua definisi tersebut, dapat dilihat bahwa kolaborasi merupakan solusi atas
keterbatasan yang dialami oleh individu atau organisasi. Ahli yang lain menyatakan
bahwa kolaborasi merupakan instrumen yang dipakai untuk mengatasi keterbatasan.
Menurut Schrage dalam Aggranoff dan McGuire (2003:4), kolaborasi adalah hubungan
yang dirancang untuk menyelesaikan suatu masalah dengan cara menciptakan solusi
12
dalam kondisi keterbatasan misalnya keterbatasan informasi, waktu dan ruang. Hal ini
serupa dengan pendapat Grey dalam Fendt (2010:19), yang menyatakan bahwa
kolaborasi adalah sebuah proses ada kesadaran dari berbagai pihak yang memiliki
keterbatasan dalam melihat suatu permasalahan untuk kemudian mencoba
mengeksplorasi perbedaan tersebut untuk mencari solusi. Raharja (2008:8) juga
mengungkapkan hakikat kolaborasi adalah suatu kerjasama yang dilakukan antar
organisasi untuk mencapai tujuan bersama yang sulit dicapai secara individual.
Berdasarkan definisi tersebut dapat kita ketahu bahwa, awalnya organisasi adalah
otonom, lalu ada keterbatasan dalam mencapai tujuan. Kebutuhan untuk mencapai
tujuan tersebut melatarbelakangi organisasi melakukan kerjasama dengan organisasi
atau individu lain.
1. Collaborative Culture.
Seperangkat nilai-nilai dasar yang membentuk tingkah laku dan sikap bisnis. Di sini yang
dimaksudkan adalah budaya dari orang-orang yang akan berkolaborasi.
2. Collaborative Leadership.
Suatu kebersamaan yang merupakan fungsi situasional dan bukan sekedar hirarki dari
setiap posisi yang melibatkan setiap orang dalam organisasi.
3. Strategic Vision.
Prinsip-prinsip pemandu dan tujuan keseluruhan dari organisasi yang bertumpu pada
pelajaran yang berdasarkan kerjasama intern dan terfokus secara strategis pada kekhasan
dan peran nilai tambah di pasar.
Sekumpulan proses kerja non birokrasi yang dikelola oleh tim-tim kolaborasi dari
kerjasama profesional yang bertanggung jawab penuh bagi keberhasilannya dan
mempelajari keterampilan-keterampilan yang memungkinkan mereka menjadi mandiri.
5. Collaborative Structure.
13
Pembenahan diri dari sistem-sistem pendukung bisnis (terutama sistem informasi dan
sumberdaya manusia) guna memastikan keberhasilan tempat kerja yang kolaboratif. Para
anggotanya merupakan kelompok intern yang melihat organisasi sebagai pelanggan dan
terfokus pada kualitas di segala aspek kerjanya
Ada sejumlah nilai yang menjadi dasar dalam melakukan kolaborasi. Nilai (value)
tersebut harus menjadi pegangan bagi kolaborator sehingga apa yang menjadi tujuan
bersama dapat tercapai. Menurut Djumara, terdapat tujuh nilai dasar (The seven core
values) yang digunakan untuk mengembangkan hubungan kerja dengan konsep
kolaborasi, yaitu;
4. Konsensus (Consensus).
Ini adalah kesepakatan umum bahwa kegunaan yang amat besar adalah hubungan
kerja yang dilandasi oleh keinginan untuk menang-menang (win-win amounts to).
Dalam tempat kerja yang kolaboratif keputusan 100% harus fullyagreed untuk
mencapai win-win. Ini artinya mereka harus melewati ketidaksetujuannya sebagai
usaha kuat dalam mencapai tujuan.
14
5. Penuh rasa tanggung jawab dan tanggung-gugat (Full responsibility and
Accountability).
Dalam paradigma hirarki biasanya orang menjadi tertutup satu dengan yang lainnya,
karena uraian pekerjaannya, karena tugas-tugasnya dan karena unit organisasinya.
Faktanya setiap orang hanya akan bertanggung jawab pada daftar tugas pekerjaannya
saja.
Hal yang tidak kalah penting dalam tempat kerjayang kolaboratif adalah adanya
upaya mendorong orang untuk mau bekerja, dan segera memberi pengakuan terhadap
hasil kerja seseorang bagi semua anggota tim atau kelompok
2. Keputusan lebih cepat, kualitas lebih bagus dan terfokus pada pelanggan
4. Energi tenaga kerja terfokus pada pelanggan bukan pada konflik intern
5. Siklus waktu berkurang secara substansial, karena tidak ada nilai tambah yang
dihilangkan
15
8. Perputaran investasi meningkat tajam. Misalnya beranjak dan perbandungan 1:5
menjadi 1:50
10. Tenagaa kerja memukul tanggung jawab penuh dan bisa dipertanggungjawabkan
sukses mencapaui sasaran oerusahaan
11. Konflik berkurang karena hubungan kerja terbuka dan kepercayaan telah
terbangun
12. Perpaduan antara kolaboratif dengan kemitraan membuat setiap anggota menuju
kearah yang sama
Koordinasi lintas sektor menjadi peranan penting dalam upaya penanganan Covid-
19 di wilayah Kecamatan Cilincing. Berkolaborasi dengan semua unsur untuk memutus
mata rantai penyebaran Covid-19. Kepala Puskesmas Kecamatan Cilincing, dr Edison
Syahputra menyatakan, dengan menguatkan koordinasi lintas sektor juga membantu
untuk mengurangi stigma negatif terhadap pasien Covid-19 di wilayah.
Pelaporan ODP dan PDP dilakukan secara berjenjang dari wilayah oleh Puskesmas
Kelurahan. PDP dari RS Jejaring dilaporkan kepada tim surveilans untuk selanjutnya
dikoordinasikan dengan tim pemantau. Jika ditemukan kasus positif Covid-19, pihak
puskesmas langsung berkoordinasi dengan lintas sektor untuk segera melaksanakan
desinfeksi wilayah. Kemudian Puskesmas Kecamatan Cilincing memberikan
disinfektan (peroksida 6 persen) dan hand sanitizer rekomendasi WHO kepada pasien
terdampak,
Dalam pengawasan pasien COVID-19 yang menjalani isolasi mandiri dirumahnya
masing-masing. Puskesmas Cilincing juga melibatkan Puskesmas Kelurahan dan lintas
sektor yang sudah membentuk gugus tugas sampai ke tingkat RT/RW. Pihak
puskesmas cilincing juga menyarankan kepada pasien yang sedang dipantau untuk
rutin mengkonsumsi air hangat, lemon, konsumsi makanan gizi seimbang, vitamin C
1000 mg/hari, dan vitamin E.
16
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan penyebaran Covid-19 di wilayah
Kecamatan Cilincing. Seperti melakukan desinfeksi di lingkungan tempat tinggal
terjadinya kasus, pelacakan kontak erat kasus positif, pelaksanaan rapid test massal
sebagai upaya deteksi kasus, pembagian masker kain dan lain-lain.Dalam masa
pemantauan, tim medis akan menanyakan keluhan kepada ODP kemudian melakukan
pelayanan konsultasi dokter, dan pelayanan psikososial oleh psikolog.
Apabila ada pasien yang bergejala ringan akan diberikan pengobatan sesuai dengan
hasil konsultasi dengan dokter. Untuk gejala sedang dikoordinasikan dan dirujuk ke
wisma atlet. Sedangkan gejala berat dikoordinasikan untuk dirujuk ke rumah sakit
rujukan infeksi Covid-19.
Sebelumnya Puskesmas Cilincing juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat
mengenai Covid-19 di 16 titik di wilayah Cilincing, Jakarta Utara.16 titik ini terdiri dari
beragam jenis lokasi antara lain perusahaan, sekolah, rumah susun, pos kesehatan,
kantor Rukun Warga (RW), hingga pasar. Sosialisasi ini dilakukan oleh Puskesmas
Cilincing yang berkolaborasi dengan petugas Puskesmas tingkat kelurahan.
Dalam sosialisasi itu petugas memberikan edukasi agar masyarakat tak panik
dengan cara mulai beri pengertian, tanda gejala, hingga upaya pencegahan virus corona.
Bahkan peserta juga diajarkan cara enam langkah benar cuci tangan dengan sabun.
Termasuk penggunaan masker yang benar dan etika batuk. Pihak Puskemas Cilincing
juga berkolaborasi dengan pihak sekolah di SMKN 4 Rorotan, yang dilanjutkan ke
SMKN 49 Marunda dan Madrasah Tsanawiyah (Mts) Negeri 5 Cilincing dalam
melakukan sosialiasi covid 19 kepada para siswa.
Dengan adanya kolaborasi yang baik antara pihak puskesmas dengan tim medis
serta masyarakat diharapkan penyebaran covid 19 dapat berkurang.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
konflik adalah perselihan yang terjadi antar individu atau kelompok dalam suatu
organisasi yang disebabkan oleh pertentangan keingininan, tujuan ataupun nilai. Ketika
konflik dapat ditangani dengan baik maka konflik akan menimbulkan dampak positif,
kebutuhan untuk menyelesaikan konflik menyebabkan orang untuk mencari jalan untuk
mengubah cara-cara berlaku dalam hal melaksanakan tugas-tugas, proses penyelesaian
konflik dapat merangsang timbulnya perubahan positif di dalam organisasi yang
bersangkutan, upaya untuk mencari cara- cara menyelesaikan konflik, bukan saja
membuahkan inovasi dan perubahan tetapi hal tersebut dapat menyebabkan perubahan
lebih dapat diterima bahkan diinginkan. Penyebab konflik menurut Shetach (2012)
menyatakan bahwa konflik terjadi disebabkan karena perbedaan interpersonal, perbedaan
kepentingan dalam hubungan antar manusia. Menurut Kreitner dan Kinicki (2005)
mengungkapkan lima gaya penanganan konflik (Five Conflict Handling Styles).
Kombinasi dari kedua variabel ini menghasilkan lima gaya penanganan masalah yang
berbeda, yaitu: integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising.
Ada sekian banyak pengertian tentang kolaborasi yang dikemukakan oleh berbagai
ahli dengan sudut pandang yang beragam. Beragamnya pengertian tersebut didasari oleh
prinsip yang sama yaitu mengenai kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas, kesetaraan,
tanggung jawab dan tanggung gugat. Secara umum kolaborasi adalah hubungan antar
organisasi yang saling berpartisipasi dan saling menyetujui untuk bersama mencapai
tujuan, berbagi informasi, berbagi sumber daya, berbagi manfaat, dan bertanggungjawab
dalam pengambilan keputusan bersama untuk menyelesaikan berbagai masalah.
Komponen utama kolaborasi yaitu Collaborative Cultur, Collaborative Leadership,
Strategic Vision., Collaborative Team Process, Collaborative Structure. Nilai – nilai dasar
collaborative yaitu, menghormati orang lain (Respect for people), penghargaan dan
integritas rnemberikan pengakuan, etos kerja (Honor and integrity), rasa memiliki dan
bersekutu (Ownership and alignment), konsensus (Consensus), penuh rasa tanggung jawab
dan tanggung-gugat (Full responsibility and Accountability), hubungan saling
mempercayai (Trust-based Relationship), pengakuan dan pertumbuhan (Recognition and
Growth). Keuntungan kolaborasi, organisasi bekerja sama secara intern untuk bersaing
18
secara eksterna, keputusan lebih cepat, kualitas lebih bagus dan terfokus pada pelanggan,
keputusan dibuat berdasarkan prinsip pribadi, bukan kekuasaan pribadi, energi tenaga
kerja terfokus pada pelanggan bukan pada konflik intern, siklus waktu berkurang secara
substansial, karena tidak ada nilai tambah yang dihilangkan, produktifitas tenaga kerja
menjadi dua kali lipat. Contoh kolaborasi yang ada di puskesmas Kecamatan Cilincing
yaitu dengan cara berkolaborasi dengan semua unsur untuk memutus mata rantai
penyebaran Covid-19. Kepala Puskesmas Kecamatan Cilincing, dr Edison Syahputra
menyatakan, dengan menguatkan koordinasi lintas sektor juga membantu untuk
mengurangi stigma negatif terhadap pasien Covid-19 di wilayah. Pelaporan ODP dan PDP
dilakukan secara berjenjang dari wilayah oleh Puskesmas Kelurahan. PDP dari RS
Jejaring dilaporkan kepada tim surveilans untuk selanjutnya dikoordinasikan dengan tim
pemantau. Jika ditemukan kasus positif Covid-19, pihak puskesmas langsung
berkoordinasi dengan lintas sektor untuk segera melaksanakan desinfeksi wilayah.
Kemudian Puskesmas Kecamatan Cilincing memberikan disinfektan (peroksida 6 persen)
dan hand sanitizer rekomendasi WHO kepada pasien terdampak.
3.2 Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-
sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
19
DAFTAR PUSTAKA
Fitrijanti, Popy. 2013. Kolaborasi dan Pengembangan Budaya Kerja dan Tempat Kerja yang
Kolaboratif.
https://www.academia.edu/36315398/KOLABORASI_DAN_PENGEMBANGAN_B
UDAYA_KERJA_DAN_TEMPAT_KERJA_YANG_KOLABORATIF_-_pdf.pdf .
Di akses pada tanggal 1 Juli 2020.
20
21