Anda di halaman 1dari 25

FIQH PADA MASA KHULAFA’UR AL RASYIDIN

MAKALAH USHUL FIQH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas nilai mata kuliah


Bahasa Indonesia dengan Dosen Pengampu oleh
Nizam Ubaidillah,S.H,M.Pd.I,

Disusun Oleh :

HARJUNADI (23)

KHOIRUL RUDIN (24)

KPI_SEMESTER 2

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM PANGERAN DIPONEGORO

2023/2024

1|MAKALAH FIQH PADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN


KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah patut penulis ucapkan kehadirat allah SWT,


karena atas segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Fiqih Pada Masa Khulafa’ur Rasyidin” ini dengan
lancar. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak-pihak yang
telah membantu dalam pembuatan makalah ini baik secara langsung maupun
tidak langsung. Penulisan makalah ini dalam rangka untuk memenuhi tugas
Studi Hukum Islam dan diharapkan dengan adanya makalah ini pembaca dapat
menambah wawasan.

Perlu di ketahui bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak amat penulis harapkan
untuk tugas-tugas selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi dunia
pendidikan pada umumnya dan bagi diri penulis pada khususnya.

Nganjuk, 13 Juni 2023

Penulis

2|MAKALAH FIQH PADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN


DAFTAR ISI

MAKALAH USHUL FIQH


FIQH PADA MASA KHULAFA'UR RASYIDIN
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ 2
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 3

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG......................................................................................................... 4
B. RUMUSAN MASALAH .................................................................................................... 5
C. TUJUAN ............................................................................................................................. 5

BAB II
PEMBAHASAN
A. KONDISI HUKUM ISLAM PADA MASA KHULAFA'UR RASYIDIN .................... 6
1. Aspek Politik ....................................................................................................................... 6
2. Aspek Fiqih ....................................................................................................................... 16
3. Aspek Akidah .................................................................................................................. 164
B. SUMBER HUKUM ISLAM MADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN ................. 15
1. Al Qur'an ........................................................................................................................... 15
2. Hadits ................................................................................................................................ 16
3. Ijtihad Sahabat ................................................................................................................... 16
C. CONTOH IJTIHAD PARA SAHABAT DALAM MENGHADAPI
PROBLEMATIKA HUKUM ISLAM .................................................................................. 18
1. Kekhalifahan Abu Bakar As-Syiddiq ................................................................................ 18
2. Kekhalifahan Umar bin Khattab ........................................................................................ 19
3. Kekhalifahan Utsman bin Affan ........................................................................................ 20
4. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib ....................................................................................... 21

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN ................................................................................................................. 23
B. SARAN ............................................................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 25

3|MAKALAH FIQH PADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Periode kedua pada masa perkembangan fiqih atau hukum islam bermula sejak
wafatnya Nabi Muhammad Saw pada tahun 11 H dan berakhir ketika Mu‟awiyah bin
Abi Sufyan menjabat sebagai khalifah pada tahun 41 H. Pada periode – periode ini
hiduplah sahabat – sahabat Nabi terkemuka yang mengibarkan bendera dakwah islam
setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw.
Masa Khulafaur Rasyidin atau masa Kibarus Sahabat, bisa dibilang sebagai masa
yang penuh dengan kekuatan sekaligus perpecaha. Disebut sebagai masa kekuatan
islam, karena pada masa ini, jiwa dan akidah umat islam masih melekat erat pada diri
masing – masing identitas masyarakat islam pada masa itu sebagai hasil usaha keras
Nabi dalam menyebarkan agama islam dan mengajarkan ketauhidan pada diri
mereka, sehingga akidah umat islam masa ini masih kuat. Namun, masa ini disebut
juga masa permulaan perpecahan umat islam, karena setelah Nabi Muhammad SAW
meninggal dunia, para sahabat mulai berselisih mengenai siapakah yang akan menjadi
pemimpin umat islam berikutnya, yang bermula dari peristiwa Tsaqifah bani Sa‟idah
yang berjarak beberapa kilometer dari kediaman Nabi di Madinah saat masa wafatnya.
Hal ini muncul karena Nabi Muhammad, sebagai panutan dan petunjuk bagi mereka
tidak mewasiatkan atau menunjuk seseorang sebagai penggantinya kelak. Beberapa
pendapat mengatakan bahwa hal ini dilakukan agar para sahabat dapat berijtihad sesuai
dengan perkembangan zaman masing – masing sahabat itu.

4|MAKALAH FIQH PADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN


B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kondisi hukum Islam pada masa Khulafa‟ur Rasyidin?
2. Apa saja yang menjadi sumber hukum Islam pada masa Khulafa‟ur Rasyidin?
3. Bagaimana Ijtihad para sahabat dalam menghadapi problematika hukum
Islam?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui kondisi hukum Islam pada masa Khulafa‟ur Rasyidin.
2. Untuk mengetahui sumber hukum Islam pada masa Khulafa‟ur Rasyidin.
3. Untuk mengetahui Ijtihad para sahabat dalam menghadapi problematika
hukumIslam.

5|MAKALAH FIQH PADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN


BAB II
PEMBAHASAN

A. KONDISI HUKUM ISLAM PADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN


Periode Khulafa‟ur Rasyidin ini dimulai sejak wafatnya Rasulullah SAW
pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H atau 632 M, dan diakhiri pada akhir abad
pertama Hijriyah (11 – 41 H atau 632 – 661 M). Menurut para ahli sejarah islam,
periode ini adalah periode penafsiran undang – undang dan terbukanya pintu –
pintu Istinbath Hukum dalam kejadian – kejadian yang tidak ada nash hukumnya.
Dari pemuka – pemuka sahabat timbullah banyak pendapat dalam menafsirkan nash
– nash hukum dalam al – Quran dan al – Hadits yang dapat dipandang sebagai
pandangan yuridis bagi penafsiran – penafsiran nash serta sebagai penjelasannya. 1
Setelah wafatnya Nabi, umat islam menghadapi banyak masalah. Hal ini
dikarenakan semakin meluasnya pemerintahan islam hingga melampaui
semenanjung Arabiyah, itu juga tentunya membawa dampak yang begitu besar bagi
perkembangan pemikiran umat islam pada masa itu. Berbagai macam permasalahan
yang timbul dikarenakan vakumnya pemerintahan dan karena perluasan wilayah
islam semakin memaksa para sahabat untuk benar – benar berijtihad dalam
menyelesaikan permasalahan tersebut. Secara umum permasalahan – permasalahan
itu dapat diklasifikasikan menjadi beberapa aspek, yaitu:
1. Aspek Politik
a. Kekhalifahan Abu Bakar (11 – 13 H atau 632 – 634 M)
Masalah yang paling urgen di kalangan umat islam pasca
wafatnya Nabi SAW adalah masalah politik, terutama masalah
imamah atau kekhalifahan. Dalam masa kevakuman pemerintahan
ini, masyarakat islam membutuhkan sosok pemimpin baru, karena
tanpa kehadiran seorang pemimpin baru, wilayah kekuasaan islam
yang telah membentang sampai wilayah sebagian besar jazirah Arab,
akan dengan mudah hancur atau terpecah – belah kembali, di
samping kekhawatiran adanya serangan dari bangsa – bangsa lain,
seperti dari bangsa Romawi dan Persia, sehingga stabilitas keamanan
umat islam saat itu terancam. Namun yang menjadi persoalan adalah
bahwa Nabi Muhammad di akhir hayatnya tidak meninggalkan

6|MAKALAH FIQH PADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN


wasiat tentang siapa yang akan meneruskan perjuangannya menjadi
khalifah dan menyebarkan agama islam ke seluruh Dunia. Hal ini
kemudian menjadi tanda tanya sekaligus tugas terbesar bagi umat
islam saat itu terutama para Sahabat Nabi Saw, Meskipun ada satu
riwayat bahwa Nabi Saw telah menulis sebuah wasiat untuk
menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pertama, namun
kemudian dicegah oleh Umar bin Khattab.2
Sampai akhirnya muncullah suatu peristiwa bersejarah yang
terkenal dengan sebutan “Tsaqifah”. Peristiwa ini terjadi di
Madinah, tepatnya di daerah Tsaqifah dengan penduduk sekitarnya
adalah mayoritas keturunan suku „Aus dan suku Khazraj yang secara
historis telah menjadi musuh bebuyutan semenjak pra-islam. Kedua
suku yang terkenal dengan sebutan kaum Anshor, merasa paling
berhak untuk menyatakan dan mengangkat diri mereka sebagai
seorang khalifah sebagai penerus dan pengganti Nabi SAW, karena
atas jasa merekalah umat islam bisa terus Berjaya hingga saat itu.
Meskipun sebenarnya kedatangan Nabi dan Para Muhajirin Lainnya
ke kota yang dulu terkenal dengan nama Yatsrib itu adalah atas
permintaan dari kedua kelompok sosial itu, dengan tujuan agar
perseteruan di antara kedua suku itu berhenti, karena kalau
peperangan antar kedua suku itu terjadi terus – menerus maka kedua
suku itu akan punah. Dan benar saja Nabi Muhammad dengan
kekuatan Islam dan akhlaknya yang luhur mampu mendamaikan
kedua suku itu selama 13 tahun lebih.

1
Abdul Wahab Khallaf. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam. 1985. Yogyakarta: CV. Bayu
Grafika Offset. Hal. 21.
2
O. Hashem. SAQIFAH: Awal Perselisihan Umat. Cet. Kedua. 1989. Jakarta: Yapi. Hal.
240-241.

7|MAKALAH FIQH PADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN


Beralih ke masalah Tsaqifah, pada peristiwa ini, kedua suku
itu serasa dikembalikan kembali ke adat jahiliyah mereka, untuk
saling bertarung dan bermusuhan kembali walaupun dalam diri
mereka telah tertanam nilai – nilai islam yang menjunjung tinggi
perdamaian dan persaudaraan. Bagi mereka, bila Nabi Muhammad
telah wafat berarti tidak ada lagi seorang pendamai di antara mereka,
sehingga hal itu membuat mereka bermusuhan kembali. Pada saat itu
datanglah para sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, yang dipimpin
oleh Abu Bakar dan Umar. Umar dan sahabat lainnya kemudian
langsung memproklamirkan Abu Bakar dari golongan Muhajirin
sebagai Pengganti Nabi sebagai Khalifah Umat Islam. tentu saja hal
ini tidak di setujui oleh kaum anshor, yaitu kedua suku „Aus dan
Khazraj, karena menurut mereka, mereka tidak lebih baik dari
golongan anshor. Namun, meskipun demikian, ternyata pada
akhirnya kedua suku itu - dikatakan - menyetujui Abu Bakar sebagai
khalifah pengganti Nabi SAW. Namun sebenarnya tindakan mereka
yang turut membai‟at Abu Bakar sebagai khalifah pertama tidak
lebih hanyalah sebuah perfect disguise (Pura – pura yang sempurna).

b. Kekhalifahan Umar bin Khattab (13 – 23 H atau 634 – 643 M)


Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza dari bani Adi
bin Ka‟ab. Bani Ka‟ab juga termasuk keturunan Quraisy. Dalam
Islam, sebenarnya masalah – masalah kekhalifahan yang termasuk
masalah keduniawian harus melalui ijma‟ atau musyawarah.
Sebagaimana firman Allah (‫)رمأال يف مهزواشى‬. Namun agaknya dalam
pengangkatan Umar bin Khattab ini terjadi sedikit permainan Politik
di tangan kaum Quroisy. Sebuah makalah yang ditulis oleh Henri
Lammens yang berjudul Kelompok Politik Tiga Orang (triumvirat)
Abu Bakar, Umar bin Khattab

8|MAKALAH FIQH PADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN


dan abu Ubaidah, yang menceritakan keakraban mereka bertiga
sejak awal masuk islam, dalam peperangan, hingga kepergiannya ke
pertemuaan saqifah tanpa memberitahu sahabat lainnya termasuk Ali
bin Abi Thalib, untuk mengajukan Abu Bakar sebagai Khalifah
Pertama, ternyata tidak berhenti sampai di sini saja, persekongkolan
politik mereka berlanjut hingga saat pemberian wasiat Abu Bakar
kepada Umar di tengah – tengah sahabat yang lain sebagai khalifah
penggantinya.
Meskipun Abu Bakar beralasan agar tidak terjadi konflik
politik lagi seperti dahulu, namun sebagai manusia berjiwa Arab
yang menjunjung kesukuan Quraisy, tentu saja dia tidak ingin
masyarakat islam dipimpin oleh selain Suku Quraisy, sehingga dia
kemudian berinisiatif untuk mewariskan kekhalifahannya kepada
Umar bin Khattab. Diriwayatkan pula bahwa pada masa – masa
menjelang kematiannya, Umar bin Khattab berencana ingin
mewasiatkan kekhalifahannya pada Abu Ubaidah, kalau saja saat itu
dia masih hidup dan Umar tidak megutusnya sebagai panglima
pasukan untuk berperang dengan pasukan Romawi yang kemudian
berakhir dengan kematian Abu Ubaidah.
Berbeda dengan Abu Bakar yang tidak terlalu suka dengan
Politik, Umara‟ adalah sosok sahabat yang memiliki naluri
negarawan atau jiwa nasionalis yang besar, arif akan liku – liku
kekuasaan dan lebih paham tentang bagaimana caranya menangani
penduduk Arab yang berjiwa pengembala yang keras. Umar
bukanlah prajurit yang hebat di medan peperangan, bila
dibandingkan dengan Ali bin Abi Thalib atau Hamzah, namun dalam
mengatasi kemelut politik ini, dia termasuk pemberani yang sedia
juga menerjang bahaya. Ia malah berani menghapus kalimat adzan
(‫ )لمعال ريخ ىلع ايح‬yang artinya : “marilah melakukan amal yang baik”,
konon untuk mengarahkan semangat perang jihad dan agar lebih
memompa semangat kaum muslimin yang disebarkan ke berbagai
penjuru, ia juga berani menambahkan kalimat (‫ )مىنال نم ريخ ةالصال‬yang
artinya : ”Shalat itu lebih baik daripada tidur”, dia juga orang

9|MAKALAH FIQH PADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN


pertama yang menjuluki didrinya sebagai Amiru al – mukminin,
orang pertama yang membuat Penanggalan Islam atau Kalender
Hijriyah yang dimulai awal Hijrah Nabi Muhammad SAW,
memelopori perluasan masjidil haram, membentuk kantor
pemerintahan, mata uang dan masih banyak lagi.
Kekhalifahannya berakhir setelah kematian syahidnya akibat
sebuah konspirasi politik yang dirancang oleh musuh – musuh islam,
terutama kalangan Yahudi dan Persia, yang sangat membencinya
karena pada kekhalifahannya, Kekaisaran Persia telah dihilangkan
dari muka Bumi. Beliau Mati syahid terkena tikaman belati beracun
saat sedang melakukan sholat subuh, oleh seorang mantan budak
Persia, Abu Lu‟luah al – Majusi. Sebelum naza‟ dia sempat ingin
memilih Abu Ubaidah sebagai penerusnya, karena hubungan
dekatnya dengan abu ubaidah dari semenjak awal masuk islam,
pembaia‟atan Abu Bakar dan pengangkatannya. Namun karena
sahabat terdekat seperjuangannya telah

10 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
meninggal dunia, maka dia pun mewasiatkan tampuk
kekhalifahannya pada 6 orang sahabat yang termasuk dalam orang –
orang yang akan masuk surga berdasarkan hadits Rasulullah, yaitu :
Utsman bin Affan, Ali bin abi Thalib, Thalhah, Zubair, Abdur
Rahman bin Auf dan Sa‟ad bin Abi Waqosh. Kepada 6 orang ini
umar berwasiat untuk memilih salah satu di antara mereka sebagai
khalifah penerusnya. Umar bin Khattab Wafat pada bulan Dzulhijjah
23 H atau 643 M dan memerintah selama 10 tahun lamanya.

c. Kekhalifahan Utsman bin Affan (23 – 35 H atau 644 – 656 M)


Dia bernama Utsman bin Affan bin Abi ‟Ash bin Umayyah
bin Abdu Syams, berasal dari bani Umayyah. Setelah kematian
Umar, para sahabat enam yang ditunjuknya ternyata sama – sama
tidak berhasrat untuk menjadi khalifah, satu persatu di antara mereka
mengundurkan diri hingga akhirnya hanya tinggal Utsman dan Ali,
kemudian mereka pun mengadakan voting (pengambilan suara) di
mana mereka bertanya pada penduduk muslim setempat, manakah
yang mereka pilih sebagai khalifah, Utsman atau Ali. Setelah
dilakukan pengambilan suara oleh keempat sahabat yang
mengundurkan diri tersebut yang ternyata langsung mengajukan diri
mereka menjadi dewan pemilihan umum, akhirnya mayoritas umat
islam menginginkan Utsman bin Affan sebagai Khalifah karena
usianya yang lebih tua dibandingkan dari Ali, tentunya akan lebih
menjadi pemimpin yang bijaksana.
Dia dibai‟at sebagai khalifah saat berusia 70 tahun. Pada
masa pemerintahannya jumlah kekayaan kaum muslimin sangat
banyak sekali dan dia melihat bahwa banyak gubernur – gubernur
yang kurang cakap memerintah dijadikan gubernur, sehingga yang
terjadi adalah korupsi dan penggelapan uang Negara, hingga
akhirnya dia memutuskan untuk mengganti gubernur – gubernur
yang tidak kompetitif tersebut dengan gubernur – gubernur baru,
yang tentu saja berasal dari keturunan bani Umayyah. Permainan
politik ini tentu saja diprotes oleh mantan gubernur

11 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
– gubernur di berbagai daerah tersebut, hal ini dimanfaatkan oleh
seorang yahudi, Abdullah bin Saba‟ untuk menyebarkan fitnah di
kalangan umat islam Mesir, Kufah dan Bashrah, yang pada
prinsipnya bahwa Utsman telah merebut hak Ali bin Abi Thalib
sebagai seorang khalifah, maka pasukan pemberontak dari Mesir,
Kuffah dan Bashrah secara bersamaan datang bersama – sama
menyerbu Madinah untuk mendebat Khalifah, namun Ali yang
mengetahui hal ini segera menenagkan mereka dan menjelaskan
duduk persoalannya, sehingga mereka sadar dan kemudian kembali
ke masing – masing daerah. Namun lagi-lagi Abdullah bin Saba‟
membuat surat fitnah atas nama khalifah, Ali dan Aisyah yang di
dalamnya berisi tulisan bahwa khalifah akan mengundurkan diri dan
Ali akan jadi Khalifah, barangsiapa yang tidak setuju, maka dia akan
dibunuh. Maka mereka pun kembali ke Madinah dan
mengepung kediaman khalifah, hal ini dimanfaatkan sangat baik
oleh Abdullah bin saba‟ yang kemudian mengisukan kedatangan
pasukan pembela khalifah dari berbagai daerah, para pemberontak
ini pun khawatir hingga akhirnya mereka mendesak masuk ke rumah
khalifah Utsman dan kemudian membunuhnya pada saat dia sedang
membaca al – Quran mushaf Utsmaninya.
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa yang membunuh
Utsman adalah al – Ghafiqi. Khalifah Utsman wafat pada bulam
Dzulhijjah tahun
35 H atau 656 M, usia kekuasaannya adalah 12 tahun. Salah satu
kebijakan Utsman selama memerintah adalah penyatuan bacaan al –
Quran dalam satu mushaf setelah khawatir terjadinya perbedaan cara
baca dalam qiroah sab‟ah, kemudian menamainya dengan Rasm
Utsmani dan membakar al – Quran yang lainnya untuk memelihara
persamaan bacaan di antara kaum muslimin yang pada saat itu sudah
sangat luas sekalikekuasaannya.

12 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
d. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (35 – 40 H atau 656 – 661 M)
Namanya Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib, sepupu
Rasulullah, keturunan Quraisy. Dia dibaiat menjadi khalifah bukan
atas kemauan sendiri, namun karena kemauan para sahabat lain
karena kekhawatiran mereka mengenai konflik yang sedang terjadi
di kalangan umat islam. Ali bukanlah orang yang pandai dalam hal
politik, dia lebih dikenal sebagai sosok “pintu ilmu” dan juga
seorang pemberani dan tangkas sebagai prajurit dalam medan
perang, banyak orang yang terbunuh di tangannya, termasuk paman,
kakek dan saudara Mu‟awiyah yang ketiganya meninggal akibat
pedang Ali. Namun tanpa sadar hal itu malah membuat Ali seolah –
olah sedang menumbuhkan musuh – musuh di sekelilingnya, seperti
Mu‟awiyah yang saat itu sangat membencinya. Ali terbunuh oleh
seorang Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam pada saat
akan melaksanakan shalat subuh. Peristiwa ini dipicu oleh adanya
peristiwa pemberontakan sampai perang jamal antara Ali dan Aisyah
serta Mu‟awiyah, yang dikonspirasi oleh Mu‟awiyah sebagai usaha
balas dendamnya atas darah keluarganya yang tewas di tangan Ali
bin Abi Thalib. Peristiwa pembunuhan ini terjadi pada bulan
Ramadhan tahun 40 H atau 661 M. Dengan meninggalnya Ali bin
Abu Thalib berakhirlah periode khulafaur Rasyidin yang kenudian
dilanjutkan oleh periode Bani Umayyah.

2. Aspek Fiqih
Semakin luasnya wilayah islam, maka perkembangan ijtihad para
sahabat pun semakin besar, hal ini disebabkan munculnya masalah –
masalah baru terkait dengan budaya bangsa era itu sendiri, sebagaimana
yang kita ketahui daerah Makkah mempunyai keberbedaan budaya dengan
daerah Mesir. Namun justru hal inilah yang kemudian semakin memperkaya
Tsarwah Fiqhiyyah umat islam pada zaman tersebut. Fiqih atau penggalihan
hukum islam pada periode Khulafa‟ur Rasyidin ini terasa sangat hidup dan
semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul, meskipun lebih kecil dibanding
periode berikutnya, seiring dengan perkembangan fiqih itu sendiri.

13 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
Selain periwayatan hadits yang sangat ketat, pada periode ini ijtihad
seringkali dilakukan secara jama‟i sehingga ruang ijtihad yang begitu luas
itu jarang menimbulkan ikhtilaf. Pada periode ini fatwa – fatwa dan masa‟il
fiqih belum ditulis seperti juga sunnah. Kendati demikian, kita mulai dapat
mengklasifikasikan kaidah – kaidah ushuliyah dan metode ijtihad yang
digunakan oleh fuqaha‟ sahabat dalam melakukan ijtihad. Dalam banyak
hal, fatwa-fatwa dan masa‟il fiqhiyah itu memang masih bercampur dengan
dalil – dalil dan kaidah
– kaidah Istidlal.

3. Aspek Aqidah
Aspek akidah pada masa setelah wafatnya Rasul menjadi hal yang
sangat menggelisahkan umat islam. berawal dari berita wafatnya Nabi
Muhammad yang tersebar di kalangan para sahabat, membuat mereka
merasa kehilangan yang sangat besar karena secara historis Nabi
Muhammad – lah yang mampu mengangkat mereka dari keterpurukan dan
kesesatan serta kekufuran menuju ketauhidan dan agama islam yang
rohmatan lil alamin itu. Bagi mereka Nabi adalah sesosok agung yang
senantiasa memberikan cahaya petunjuk dan keadilan bagi seluruh lapisan
masyarakat islam zaman itu. Sehingga ketika mendengar Nabi yang begitu
mereka cintai itu, yang telah memimpin dan menjadi petunjuk bagi mereka
selama 38 tahun (25 – 63 tahun), hati dan iman mereka mulaigelisah.
Hal ini juga yang dialami sahabat Umar ketika mendengar Nabi
wafat, dia langsung berkata : ‟‟barang siapa yang berkata bahwa nabi
Muhammad telah wafat maka akan kutebas lehernya”. Namun akhirnya hati
Umar pun luluh manakala mendengar pidato abu Bakar : “Barang siapa
yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Hidup, tetapi barangsiapa
yang menyembah Muhammad sesungguhnya Muhammad telah wafat”.
Tidak hanya sampai di sini, persoalan akidah menjadi sangat berat manakala
ada beberapa oknum islam yang memanfaatkan kegelisahan iman dan akidah
umat islam saat itu dengan memanfaatkannya untuk menyampaikan dan
mengumandangkan pendapat – pendapatnya, di antara mereka ada beberapa
pimpinan rakyat yang kemudian mengaku dirinya telah diangkat menjadi

14 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
Nabi penerus Muhammad, seperti Musailamah al – Kadzab. Selain itu ada
juga beberapa orang yang menyerukan bahwa kewajiban menunaikan zakat
itu telah berhenti setelah wafatnya nabi, karena menurut mereka zakat itu
diberikan utuk kepentingan nabi. Hal – hal ini lah yang kemudian mamaksa
Abu Bakar untuk memerangi mereka dengan tujuan untuk melenyapkan
penyakit – penyakit kekufuran dan pemberontakan dari tubuh islam atau
yang biasa kita sebut orang munafik, karena dikhawatirkan hal ini akan
merambat dan mempengaruhi umat islam yang lain.

B. SUMBER HUKUM ISLAM MADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN


1. Al – Qur’an
Al – Quran adalah sumber primer dalam penggalian atau
pembentukan hukum islam, apakah itu pada masa Nabi, Sahabat, Tabi‟in
hingga sekarang peran al – Quran sebagai Sumber Hukum Islam Pertama
atau primer yang wajib didahulukan daripada sumber hukum lainnya. Al –
Quran adalah kalam Allah yang diimplementasikan dalam bentuk kalam
insan yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW bertahap – tahap
sesuai dengan permasalahan yang terjadi di sekitar Nabi pada masa itu, atau
permasalahan yang ditanyakan kepada Nabi, atau hal – hal lainnya yang
belum diketahui manusia. Pengimplementasian al – Quran dalam bentuk
kalam insan ini terjadi karena Sang Pemilik Kalam (Allah swt)
menghendaki agar kalamNya dapat dipahami untuk dijadikan sebuah
pedoman, disebarkan, diajarkan kepada seluruh umat manusia. Sehingga
jika hal ini yang dinginkan maka tentu saja didalam kalam Insan tersebut
harus memuat unsur – unsur esensial yang dapat diterima dan diterapkan di
berbagai space, time and people di seluruh dunia. Oleh karena itu, walaupun
kalam insan ini diturunkan di sosio – kultural suatu daerah yang terkenal
dengan padang pasirnya yang panas, namun unsur – unsur esensial atau
filosofi dalam kalam insan ini pasti berlaku umum bagi seluruh lapisan
manusia di berbagai daerah dan waktu. Hanya saja yang dibutuhkan adalah
pemahaman nilai – nilai ajarannya dengan menggunakan pemahaman atau
tafsir yang sesuai dengan jiwa hukumnya. Hal ini semakin dipermudah
terutama setelah dibukukannya atau dikumpulkannya ayat – ayat al – Quran

15 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
dalam satu mushaf pada masa Abu Bakar, sehingga proses penggalian
hukum pada masa ini semakin memperoleh kemudahan.

2. Hadits
Bila ada suatu masalah hukum yang tidak terdapat pada al – Quran,
maka selanjutnya para sahabat selalu mengembalikan permasalahan hukum
tersebut kepada al – Hadits selaku sumber hukum kedua (Sekunder). Hal ini
juga berlaku umum untuk seluruh masa perkembangan hukum islam. Pada
masa Khulafa‟ur Rasyidin, proses Takhrijul Hadits Listinbatil Hukmi benar
– benar diawasi dengan sangat ketat, agar tidak ada satupun hadits yang
diriwayatkan oleh perowi dalam keadaan maudhu‟ atau dibuat – buat.
Bahkan sahabat Abu bakar dan Umar pun mensyaratkan para perowi untuk
menyebutkan para rijalul haditsnya ketika meriwayatkan suatu hadits
tertentu. Kelemahan dari penggunaan dalil hukum islam ini belum
dibukukannya hadits, sehingga tiap – tiap sahabat memiliki kuantitas
hafalan dan pengetahuan yang berbeda – beda antara satu dengan yang lain,
sehingga hasil ijtihad yang diambil pun kadang – kadang bertentangan
dengan pendapat sahabat yang lain. Namun, untuk mengatasi masalah ini,
para sahabat sering menggunakan metode ijma‟ atau diskusi serta tanya
jawab dengan sahabat yang lainnya. Sehingga akan tercipta khazanah
keilmuan yang mumpuni pada diri masing – masing sahabat dengan adanya
diskusi atau periwayatan hadits.

3. Ijtihad Sahabat
Jika dalam suatu permasalahan yang muncul itu tidak ditemukan
hukumnya dalam al – Quran maupun Hadits, maka para sahabat pun
berijtihad dengan menggunakan Ro‟yu atau buah pemikiran mereka. Ijtihad
adalah mencurahkan segenap kesungguhan dalam penggalian hukum syar‟i
yang bersumber dari al – Quran dan Hadits yang telah ditetapkan sebagai
dalil hukum. Ijtihad yang dilakukan para sahabat dalam periode ini biasanya
menggunakan metode ijma‟ atau qiyas, baru kemudian maslahah. Ijma‟
terjadi secara jama‟i terhadap suatu permasalahan, namun pada masa ini
ijma‟ tidak harus dalam suatu acara yang formal namun bisa berbentuk

16 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
diskusi atau tanya jawab antara dua orang sahabat atau lebih, yang
walaupun biasanya masing – masing punya metode sendiri – sendiri
sehingga jarang sekali terjadi penyatuan pendapat, namun perbedaan ini
tidak sampai menimbulkan konflik di kalangan umat islam itu sendiri, hal ini
malah mampu menambah tsarwah fiqhiyyah mereka. Dalam metode qiyas
para sahabat mengambil hukum dari nash-nash yang bisa dikaji ulang,
dengan asumsi bahwa setiap nash itu punya illat (sebab hukum) yang
menjelaskan sebab hukumnya, punya illat yang bisa dijadikan dasar
penggalian hukumnya, punya illat yang bisa memungkinkan masuknya
kategori permasalah baru yang di dalamnya dijumpai adanya illat tersebut,
sedangkan nash itu tidak menghukumi perkara baru tersebut. Bila kedua hal
itu tidak bisa dilakukan maka biasanya para Kaba‟irus Shohabah mencari
jiwa hukumnya atau subtansi hukumnya yang menurut mereka pasti akan
mempunyai satu arah tujuan yaitu kemaslahatan dan keadilan hukum.
Metode maslahah ini banyak digunakan sahabat ketika melihat bahwa
dalam masyarakatnya yang baru dan majemuk, serta perbedaan sosio-
kultural di antara masyarakat satu dengan yang lainnya, membutuhkan
dinamisasi hukum, karena permasalahan-permasalahan sosial yang bersifat
dinamis itu tidak mungkin dihukumi dengan nash-nash syar‟i yang statis,
yang hanya diberlakukan pada suatu daerah hukum dan masyarakat di
Makkahdan Madinah saja.
Para sahabat pada masa ini tidak berijtihad atau mengeluarkan
pendapat terhadap suatu perkara sehingga perkara itu muncul/ ada yang
menanyakannya, jika hal itu terjadi maka mereka berijtihad untuk menggali
hukumnya, jika tidak maka mereka tidak pernah membuat suatu institusi
hukum semisal MUI, untuk membuat masalah sekaligus menghukuminya.
Hal inilah yang menyebabkan fatwa-fatwa hukum yang dinukil dari para
sahabat di periode tersebut sangat sedikit sekali.3 Dasar penggunaan ketiga
sumber hukum ini adalah hadits yang menceritakan tentang pengutusan
Mu‟adz bin Jabal ke Syam oleh Nabi Huhammad SAW, sebelum
mengutusnya Nabi menanyainya : “bila engkau menemukan masalah di sana
apa yang akan kau lakukan?”, maka Mu‟adz pun menjawab : “aku akan
menghukuminya dengan Kitab Allah, dan jika aku tidak menemukan

17 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
hukumnya, maka aku akan kembali pada sunnah RasulNya, dan jika aku
tidak berhasil, maka aku akan berijtihad (untuk menghukuminya) dengan
pikiranku”. Kemudian rasul menepuk bahunya sebagai tanda persetujuan
beliau terhadap Mu‟adz bin Jabal.

C. CONTOH IJTIHAD PARA SAHABAT DALAM MENGHADAPI


PROBLEMATIKA HUKUM ISLAM

1. Kekhalifahan Abu Bakar As – Shiddiq


a. Penghimpunan Al-Quran
Setelah Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, banyak sekali terjadi
pemberontakan serta penyelewengan akidah di beberapa daerah
kekuasaan islam, termasuk diantaranya adalah seorang Musailamah
al- Kadzab yang mengaku menjadi Nabi setelah Nabi Muhammad,
kemudian Abu Bakar pun memerintahkan untuk memerangi
kelompok penyeleweng tersebut hingga akhirnya setelah
pertempuran yang sengit, kemenangan diraih pasukan Abu Bakar
dengan meninggalkan banyak syuhada‟, termasuk di antaranya
jumlah besar para penghafal al-Quran.4 Karena kekhawatiran akan
hilangnya al-Quran bersamaan dengan semakin berkurangnya para
penghafal al-Quran, maka Umar bin Khattab pun mengusulkan
pengumpulan al-Quran dalam satu kumpulan (mushaf) kepada Abu
Bakar, tentu saja Abu Bakar menolak usulan umar tersebut, karena
sebagai sahabat yang selalu dekat dengan Nabi, yang selalu
mematuhi dan membenarkan segala perkataan dan perbuatan Nabi
SAW, pantang bagi Abu Bakar untuk melakukan hal-hal yang tidak
pernah dilakukan oleh Nabi SAW, apalagi hal-hal yang berkenaan
dengan al- Quran selaku sumber hukum Primer Islam.

3
Muhammad Hudhori. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Tanpa Tahun. Jeddah: Al-Haromain.
Hal. 114.
4
Ahmad Al-Usairy. SEJARAH ISLAM (Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX). Cet.
Keenam. 2008. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. Hal. 188.

18 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
Atas kegigihan Umar dalam memberikan argument, bahwa
hal itu untuk menghindari punahnya ayat-ayat al-Quran yang
disebabkan oleh berkurangnya para penghafal al-Quran, dan hal itu
akan menjadikan kemaslahatan umat islam, maka Abu Bakar pun
menyetujui usulan Umar tersebut. Dia pun memerintahkan kepada
sang penulis wahyu terbanyak, Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan
al-Quran dalam satu kumpulan atau dalam satu mushaf.

2. Kekhalifahan Umar bin Khattab


a. Tentang Satu Orang Yang Dibunuh Oleh Beberapa Orang
Pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab, Khalifah
kedua setelah Abu Bakar, terjadi suatu peristiwa hukum berupa
pembunuhan massal, atau pembunuhan yang dilakukan oleh
beberapa orang sekaligus terhadap satu orang, bagaimana
hukumnya?. Ketika dihadapkan pada masalah tersebut, Umar merasa
bimbang, kemudian dia pun mendiskusikannya dengan Ali bin Abi
Thalib, maka Ali bertanya: “Apa pendapatmu jika ada sekelompok
orang yang bersama-sama mencuri Unta, apakah engkau akan
memotong tangan mereka semua?”, Umar menjawab: “Ya”. Ali
pun berkata: ”Begitulah . . . . ,”. Kemudian atas dasar pola pikir
atau analogi terebut, maka Umar menetapkan hukum bagi mereka,
“Andaikata penduduk Shan‟a itu semua bersama-sama membunuh
pria itu, sungguh akan aku bunuh mereka semua”5

b. Tentang Pencuri Pada Masa Paceklik


Khalifah umar tidak menghukum potong tangan seorang
pencuri yang mencuri makanan di musim paceklik, karena
mempertimbangkan kemaslahatan umat, disamping bahwa
memelihara nafs (jiwa) itu lebih didahulukan daripada memelihara
mal (harta). Jadi, perlindungan terhadap nyawa manusia saat itu lebih
dipentingakan daripada harta.

19 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
c. Bagian Zakat Orang Mu‟allaf
Terhadap orang mu‟allaf, di masa kekhalifahannya Umar
tidak memberi bagian zakat kepada mereka, pada zaman Nabi
Muhammad mu‟allaf adalah mereka yang diambil simpatinya agar
masuk islam dengan memberikan zakat kepada mereka. Terhadap
mu‟allaf umar berkata: ”Sesungguhnya Allah telah menguatkan
islam dan tidak membutuhkan kamu. Jika kamu bertaubat, silahkan,
tetapi jika tidak maka antara kamu dan kami adalah pedang.” Di sini
umar melihat bahwa yang paling maslahat pada saat perluasan islam
saat itu adalah dengan tidak memberikan zakat atau harta kepada
orang muallaf karena pada saat itu orang-orang islam sudah sangat
banyak sekali sehingga pada saat itu Umar memang benar-benar
ingin mengetahui apakah mereka mau masuk islam karena kesadaran
sendiri atau karena iming-iming zakat yang diberikan islam.

3. Kekhalifahan Utsman bin Affan


a. Mushaf Utsmani
Pembukuan atau penulisan al-Quran dengan satu macam versi qiroah
dan membuang mushaf versi lain merupakan salah satu bentuk
ijtihad Usman dalam menghadapi keanekaragaman bacaan al-Quran
yang mengarah kepada keragaman pemahaman terhadap islam,
selanjutnya, pertentangan di kalangan umat islam. Dan ijtihad itu
pun disetujui oleh para sahabatnya. Seperti diketahui bahwa al-Quran
diturunkan atas 7 macam huruf (qiroah), artinya dengan dialek dan
redaksi yang bermacam-macam, sehingga terbuka peluang
berbedanya hafalan seorang sahabat dengan sahabat yang lain.
Misalnya, dalam surah al-Jumu‟ah disebut (‫)هلالركذ ىإل اوعساف‬, ada
sahabat lain yang membacanya (‫)هلال ركذ ىإل اوضماف‬. Perbedaan
redaksi di sini tidak mengubah makna, namun demi keutuhan,
keseragaman al- Quran dilaksanakan oleh Khalifah Utsman bin
Affan.

5
Muhammad Zuhri. Hukum islam dalam lintasan sejarah. 1996. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada. Hal. 40.

20 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
b. Tentang Unta Yang Berkeliaran
Masalah unta yang berkeliaran dan tidak diketahui pemiliknya,
apakah boleh “diamankan” seperti barang temuan lainnya atau tidak.
Ikhtilaf terjadi karena ada hadits Nabi yang menyebutkan bahwa
unta – unta itu harus dibiarkan hingga ditemukan oleh pemiliknya
sendiri. Ketika kondisi pemerintahan mulai mengalami goncangan
keamanan, Utsman berpendapat bahwa unta-unta itu sebaiknya
diamankan. ”Rasulullah melarang untuk mengamankannya, karena
tidak mungkin ada yang mencurinya. Namun Sekarang, dalam
suasan melemahnya ghirah keagamaan ini unta-unta harus
diamankan untuk kemaslahatan. Kalau tidak ia akan dicuri orang.”
Sikap Utsman ini bertentangan dengan kebijaksanaan Umar yang
mengamalkan hadits Nabi tadi. Di sini Utsman tampaknya
menerapkan illat. Umar melaksanakan nash dari hadits Nabi karena
adanya illat, yaitu “suasana aman”, ketika illat itu tidak ada, maka
nash tidak cukup syaratnya untuk diterapkan. Jika tetap diamalkan
maka pengamalan nash itu tidak akan mewujudkan kemaslahatan
yang merupakan tujuan utama nash tadi.

4. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib


a. Tentang Wanita Yang Ditinggal Mati Suaminya
Para fuqoha sahabat berbeda pendapat tentang bagaimana hukum
seorang wanita yang ditinggal mati suaminya sebelum melakukan
hubungan suami-istri, padahal belum juga ditentukan kadar mas
kawin atau maharnya. Menurut ibnu Mas‟ud, wanita itu berhak
mengambil maskawin seperti biasa dari harta peninggalan suaminya
seperti terjadi pada Barwa‟ binti Wasyik al-Aslamiyah di zaman
Rasulullah. Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa, ketentuan seperti
itu merugikan satu pihak. Karenanya, menurut Ali, wanita itu tidak
berhak mengambil maskawin dari harta peninggalan suaminya
sebelum terjadi hubungan suami-istri. “Kami tidak akan
meninggalkan al-Quran hanya karena pernyataan seorang saja”, kata
Ali. Dari sini nampak bahwa Ali telah sampai pada penggunaan

21 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
qiyas, sebab dalam al-Quran tidak ada ketentuan tentang masalah
ini, yang ada hanyalah wanita yang ditalak oleh suaminya sebelum
melakukan hubungan suami-istri. Dan rupanya Ali mengqiyaskan
wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sebelum melakukan
hubungan tadi dengan wanita yang ditalak dalam keadaan yang
sama.

22 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Sejarah hukum islam pada masa Khulafaur Rasyidin secara periodik terbagi
menjadi 4, yaitu periode Abu Bakar, Periode Umar bin Khattab, periode Utsman
bin Affan dan periode Ali bin Abu Thalib. Yang perlu digaris bawahi dalam
pemahaman mengenai tasyri‟ pada masa ini adalah bahwa meskipun disebut
periode Khulafa‟ur Rasyidin, namun dalam praktisnya para mujtahid hukum bukan
hanya para Amirul Mukminin yang 4 saja, akan tetapi seluruh kibarus sahabat yang
hidup pada masa ini juga sering berijtihad terhadap semua permasalahan yang dirasa
aktual dan dibutuhkan di antara umat islam.
Dalam hal permasalahan hukum itu telah ada hukumnya dalam nash al-
Quran, maka digunakanlah hukum yang didapat dari nash tersebut. Dan bila
hukum permasalahan itu tidak ditemukan dalam al-Quran maka mereka mencari
hukumnya di dalam Hadits, namun karena hadits masih belum dibukukan, maka
sering terjadi perbedaan pendapat mengenai satu persoalan yang sama tetapi
menghasilkan produk hukum yang berbeda, tergantung kapasitas hadits yang
dimiliki masing-masing sahabat. Untuk menghadapai masalah ini, para sahabat
seringkali berdiskusi untuk saling bertukar wawasan tentang hadits yang mereka
hafal. Dan bila mereka tidak dapat menemukan hukumnya di dalam al-Quran dan
Hadits maka mereka berijtiad dengan menggunakan Ro‟yu mereka sendir-sendiri,
maka kemudian terciptalah metode Qiyas, penggalihan illat hukum, ijma‟, hingga
akhirnya pada tahap penelusuran substansi syari‟at dengan menggunakan metode
maslahah, yaitu mencari hal yang maslahat bagi manusia secara umum.

Beberapa contoh hasil ijtihad para sahabat dalam penentuan hukum islam
terhadap suatu persoalan. Contohnya pembukuan al-Quran dalam satu mushaf oleh
Abu bakar karena kekhawatirannya akan hilangnya al-Quran dengan hilangnya para
syuhada‟ yang hafal al-Quran. Contoh lain penulisan al-Quran dalam satu huruf
atau qiro‟ah untuk menyeragamkan bacaan al-Quran secara menyeluruh bagi umat
islam yang pada saat itu semakin luas wilayahnya.

23 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
B. SARAN
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah “Hukum
Islam Pada Masa Khulafa‟ur Rasyidin” di atas dengan sumber-sumber yang lebih
banyak yang tentu dapat di pertanggungjawabkan oleh penulis. Untuk saran bisa
berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap
kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan. Untuk bagian terakhir dari
makalah adalah daftar pustaka.

24 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
DAFTAR PUSTAKA

Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam (Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX). Cet.
Keenam.2008. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.

Hashem, O. SAQIFAH: Awal Perselisihan Umat. Cet. Kedua. 1989. Jakarta: Yapi.
Hudhori, Muhammad. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Tanpa Tahun. Jeddah: Al-
Haromain.

Khallaf, Abdul Wahab. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam. 1985. Yogyakarta: CV. Bayu
GrafikaOffset.

Zuhri, Muhammad. Hukum islam dalam lintasan sejarah. 1996. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.

25 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N

Anda mungkin juga menyukai