Disusun Oleh :
HARJUNADI (23)
KPI_SEMESTER 2
2023/2024
Perlu di ketahui bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak amat penulis harapkan
untuk tugas-tugas selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi dunia
pendidikan pada umumnya dan bagi diri penulis pada khususnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG......................................................................................................... 4
B. RUMUSAN MASALAH .................................................................................................... 5
C. TUJUAN ............................................................................................................................. 5
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONDISI HUKUM ISLAM PADA MASA KHULAFA'UR RASYIDIN .................... 6
1. Aspek Politik ....................................................................................................................... 6
2. Aspek Fiqih ....................................................................................................................... 16
3. Aspek Akidah .................................................................................................................. 164
B. SUMBER HUKUM ISLAM MADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN ................. 15
1. Al Qur'an ........................................................................................................................... 15
2. Hadits ................................................................................................................................ 16
3. Ijtihad Sahabat ................................................................................................................... 16
C. CONTOH IJTIHAD PARA SAHABAT DALAM MENGHADAPI
PROBLEMATIKA HUKUM ISLAM .................................................................................. 18
1. Kekhalifahan Abu Bakar As-Syiddiq ................................................................................ 18
2. Kekhalifahan Umar bin Khattab ........................................................................................ 19
3. Kekhalifahan Utsman bin Affan ........................................................................................ 20
4. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib ....................................................................................... 21
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN ................................................................................................................. 23
B. SARAN ............................................................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 25
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui kondisi hukum Islam pada masa Khulafa‟ur Rasyidin.
2. Untuk mengetahui sumber hukum Islam pada masa Khulafa‟ur Rasyidin.
3. Untuk mengetahui Ijtihad para sahabat dalam menghadapi problematika
hukumIslam.
1
Abdul Wahab Khallaf. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam. 1985. Yogyakarta: CV. Bayu
Grafika Offset. Hal. 21.
2
O. Hashem. SAQIFAH: Awal Perselisihan Umat. Cet. Kedua. 1989. Jakarta: Yapi. Hal.
240-241.
10 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
meninggal dunia, maka dia pun mewasiatkan tampuk
kekhalifahannya pada 6 orang sahabat yang termasuk dalam orang –
orang yang akan masuk surga berdasarkan hadits Rasulullah, yaitu :
Utsman bin Affan, Ali bin abi Thalib, Thalhah, Zubair, Abdur
Rahman bin Auf dan Sa‟ad bin Abi Waqosh. Kepada 6 orang ini
umar berwasiat untuk memilih salah satu di antara mereka sebagai
khalifah penerusnya. Umar bin Khattab Wafat pada bulan Dzulhijjah
23 H atau 643 M dan memerintah selama 10 tahun lamanya.
11 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
– gubernur di berbagai daerah tersebut, hal ini dimanfaatkan oleh
seorang yahudi, Abdullah bin Saba‟ untuk menyebarkan fitnah di
kalangan umat islam Mesir, Kufah dan Bashrah, yang pada
prinsipnya bahwa Utsman telah merebut hak Ali bin Abi Thalib
sebagai seorang khalifah, maka pasukan pemberontak dari Mesir,
Kuffah dan Bashrah secara bersamaan datang bersama – sama
menyerbu Madinah untuk mendebat Khalifah, namun Ali yang
mengetahui hal ini segera menenagkan mereka dan menjelaskan
duduk persoalannya, sehingga mereka sadar dan kemudian kembali
ke masing – masing daerah. Namun lagi-lagi Abdullah bin Saba‟
membuat surat fitnah atas nama khalifah, Ali dan Aisyah yang di
dalamnya berisi tulisan bahwa khalifah akan mengundurkan diri dan
Ali akan jadi Khalifah, barangsiapa yang tidak setuju, maka dia akan
dibunuh. Maka mereka pun kembali ke Madinah dan
mengepung kediaman khalifah, hal ini dimanfaatkan sangat baik
oleh Abdullah bin saba‟ yang kemudian mengisukan kedatangan
pasukan pembela khalifah dari berbagai daerah, para pemberontak
ini pun khawatir hingga akhirnya mereka mendesak masuk ke rumah
khalifah Utsman dan kemudian membunuhnya pada saat dia sedang
membaca al – Quran mushaf Utsmaninya.
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa yang membunuh
Utsman adalah al – Ghafiqi. Khalifah Utsman wafat pada bulam
Dzulhijjah tahun
35 H atau 656 M, usia kekuasaannya adalah 12 tahun. Salah satu
kebijakan Utsman selama memerintah adalah penyatuan bacaan al –
Quran dalam satu mushaf setelah khawatir terjadinya perbedaan cara
baca dalam qiroah sab‟ah, kemudian menamainya dengan Rasm
Utsmani dan membakar al – Quran yang lainnya untuk memelihara
persamaan bacaan di antara kaum muslimin yang pada saat itu sudah
sangat luas sekalikekuasaannya.
12 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
d. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (35 – 40 H atau 656 – 661 M)
Namanya Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib, sepupu
Rasulullah, keturunan Quraisy. Dia dibaiat menjadi khalifah bukan
atas kemauan sendiri, namun karena kemauan para sahabat lain
karena kekhawatiran mereka mengenai konflik yang sedang terjadi
di kalangan umat islam. Ali bukanlah orang yang pandai dalam hal
politik, dia lebih dikenal sebagai sosok “pintu ilmu” dan juga
seorang pemberani dan tangkas sebagai prajurit dalam medan
perang, banyak orang yang terbunuh di tangannya, termasuk paman,
kakek dan saudara Mu‟awiyah yang ketiganya meninggal akibat
pedang Ali. Namun tanpa sadar hal itu malah membuat Ali seolah –
olah sedang menumbuhkan musuh – musuh di sekelilingnya, seperti
Mu‟awiyah yang saat itu sangat membencinya. Ali terbunuh oleh
seorang Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam pada saat
akan melaksanakan shalat subuh. Peristiwa ini dipicu oleh adanya
peristiwa pemberontakan sampai perang jamal antara Ali dan Aisyah
serta Mu‟awiyah, yang dikonspirasi oleh Mu‟awiyah sebagai usaha
balas dendamnya atas darah keluarganya yang tewas di tangan Ali
bin Abi Thalib. Peristiwa pembunuhan ini terjadi pada bulan
Ramadhan tahun 40 H atau 661 M. Dengan meninggalnya Ali bin
Abu Thalib berakhirlah periode khulafaur Rasyidin yang kenudian
dilanjutkan oleh periode Bani Umayyah.
2. Aspek Fiqih
Semakin luasnya wilayah islam, maka perkembangan ijtihad para
sahabat pun semakin besar, hal ini disebabkan munculnya masalah –
masalah baru terkait dengan budaya bangsa era itu sendiri, sebagaimana
yang kita ketahui daerah Makkah mempunyai keberbedaan budaya dengan
daerah Mesir. Namun justru hal inilah yang kemudian semakin memperkaya
Tsarwah Fiqhiyyah umat islam pada zaman tersebut. Fiqih atau penggalihan
hukum islam pada periode Khulafa‟ur Rasyidin ini terasa sangat hidup dan
semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul, meskipun lebih kecil dibanding
periode berikutnya, seiring dengan perkembangan fiqih itu sendiri.
13 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
Selain periwayatan hadits yang sangat ketat, pada periode ini ijtihad
seringkali dilakukan secara jama‟i sehingga ruang ijtihad yang begitu luas
itu jarang menimbulkan ikhtilaf. Pada periode ini fatwa – fatwa dan masa‟il
fiqih belum ditulis seperti juga sunnah. Kendati demikian, kita mulai dapat
mengklasifikasikan kaidah – kaidah ushuliyah dan metode ijtihad yang
digunakan oleh fuqaha‟ sahabat dalam melakukan ijtihad. Dalam banyak
hal, fatwa-fatwa dan masa‟il fiqhiyah itu memang masih bercampur dengan
dalil – dalil dan kaidah
– kaidah Istidlal.
3. Aspek Aqidah
Aspek akidah pada masa setelah wafatnya Rasul menjadi hal yang
sangat menggelisahkan umat islam. berawal dari berita wafatnya Nabi
Muhammad yang tersebar di kalangan para sahabat, membuat mereka
merasa kehilangan yang sangat besar karena secara historis Nabi
Muhammad – lah yang mampu mengangkat mereka dari keterpurukan dan
kesesatan serta kekufuran menuju ketauhidan dan agama islam yang
rohmatan lil alamin itu. Bagi mereka Nabi adalah sesosok agung yang
senantiasa memberikan cahaya petunjuk dan keadilan bagi seluruh lapisan
masyarakat islam zaman itu. Sehingga ketika mendengar Nabi yang begitu
mereka cintai itu, yang telah memimpin dan menjadi petunjuk bagi mereka
selama 38 tahun (25 – 63 tahun), hati dan iman mereka mulaigelisah.
Hal ini juga yang dialami sahabat Umar ketika mendengar Nabi
wafat, dia langsung berkata : ‟‟barang siapa yang berkata bahwa nabi
Muhammad telah wafat maka akan kutebas lehernya”. Namun akhirnya hati
Umar pun luluh manakala mendengar pidato abu Bakar : “Barang siapa
yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Hidup, tetapi barangsiapa
yang menyembah Muhammad sesungguhnya Muhammad telah wafat”.
Tidak hanya sampai di sini, persoalan akidah menjadi sangat berat manakala
ada beberapa oknum islam yang memanfaatkan kegelisahan iman dan akidah
umat islam saat itu dengan memanfaatkannya untuk menyampaikan dan
mengumandangkan pendapat – pendapatnya, di antara mereka ada beberapa
pimpinan rakyat yang kemudian mengaku dirinya telah diangkat menjadi
14 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
Nabi penerus Muhammad, seperti Musailamah al – Kadzab. Selain itu ada
juga beberapa orang yang menyerukan bahwa kewajiban menunaikan zakat
itu telah berhenti setelah wafatnya nabi, karena menurut mereka zakat itu
diberikan utuk kepentingan nabi. Hal – hal ini lah yang kemudian mamaksa
Abu Bakar untuk memerangi mereka dengan tujuan untuk melenyapkan
penyakit – penyakit kekufuran dan pemberontakan dari tubuh islam atau
yang biasa kita sebut orang munafik, karena dikhawatirkan hal ini akan
merambat dan mempengaruhi umat islam yang lain.
15 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
dalam satu mushaf pada masa Abu Bakar, sehingga proses penggalian
hukum pada masa ini semakin memperoleh kemudahan.
2. Hadits
Bila ada suatu masalah hukum yang tidak terdapat pada al – Quran,
maka selanjutnya para sahabat selalu mengembalikan permasalahan hukum
tersebut kepada al – Hadits selaku sumber hukum kedua (Sekunder). Hal ini
juga berlaku umum untuk seluruh masa perkembangan hukum islam. Pada
masa Khulafa‟ur Rasyidin, proses Takhrijul Hadits Listinbatil Hukmi benar
– benar diawasi dengan sangat ketat, agar tidak ada satupun hadits yang
diriwayatkan oleh perowi dalam keadaan maudhu‟ atau dibuat – buat.
Bahkan sahabat Abu bakar dan Umar pun mensyaratkan para perowi untuk
menyebutkan para rijalul haditsnya ketika meriwayatkan suatu hadits
tertentu. Kelemahan dari penggunaan dalil hukum islam ini belum
dibukukannya hadits, sehingga tiap – tiap sahabat memiliki kuantitas
hafalan dan pengetahuan yang berbeda – beda antara satu dengan yang lain,
sehingga hasil ijtihad yang diambil pun kadang – kadang bertentangan
dengan pendapat sahabat yang lain. Namun, untuk mengatasi masalah ini,
para sahabat sering menggunakan metode ijma‟ atau diskusi serta tanya
jawab dengan sahabat yang lainnya. Sehingga akan tercipta khazanah
keilmuan yang mumpuni pada diri masing – masing sahabat dengan adanya
diskusi atau periwayatan hadits.
3. Ijtihad Sahabat
Jika dalam suatu permasalahan yang muncul itu tidak ditemukan
hukumnya dalam al – Quran maupun Hadits, maka para sahabat pun
berijtihad dengan menggunakan Ro‟yu atau buah pemikiran mereka. Ijtihad
adalah mencurahkan segenap kesungguhan dalam penggalian hukum syar‟i
yang bersumber dari al – Quran dan Hadits yang telah ditetapkan sebagai
dalil hukum. Ijtihad yang dilakukan para sahabat dalam periode ini biasanya
menggunakan metode ijma‟ atau qiyas, baru kemudian maslahah. Ijma‟
terjadi secara jama‟i terhadap suatu permasalahan, namun pada masa ini
ijma‟ tidak harus dalam suatu acara yang formal namun bisa berbentuk
16 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
diskusi atau tanya jawab antara dua orang sahabat atau lebih, yang
walaupun biasanya masing – masing punya metode sendiri – sendiri
sehingga jarang sekali terjadi penyatuan pendapat, namun perbedaan ini
tidak sampai menimbulkan konflik di kalangan umat islam itu sendiri, hal ini
malah mampu menambah tsarwah fiqhiyyah mereka. Dalam metode qiyas
para sahabat mengambil hukum dari nash-nash yang bisa dikaji ulang,
dengan asumsi bahwa setiap nash itu punya illat (sebab hukum) yang
menjelaskan sebab hukumnya, punya illat yang bisa dijadikan dasar
penggalian hukumnya, punya illat yang bisa memungkinkan masuknya
kategori permasalah baru yang di dalamnya dijumpai adanya illat tersebut,
sedangkan nash itu tidak menghukumi perkara baru tersebut. Bila kedua hal
itu tidak bisa dilakukan maka biasanya para Kaba‟irus Shohabah mencari
jiwa hukumnya atau subtansi hukumnya yang menurut mereka pasti akan
mempunyai satu arah tujuan yaitu kemaslahatan dan keadilan hukum.
Metode maslahah ini banyak digunakan sahabat ketika melihat bahwa
dalam masyarakatnya yang baru dan majemuk, serta perbedaan sosio-
kultural di antara masyarakat satu dengan yang lainnya, membutuhkan
dinamisasi hukum, karena permasalahan-permasalahan sosial yang bersifat
dinamis itu tidak mungkin dihukumi dengan nash-nash syar‟i yang statis,
yang hanya diberlakukan pada suatu daerah hukum dan masyarakat di
Makkahdan Madinah saja.
Para sahabat pada masa ini tidak berijtihad atau mengeluarkan
pendapat terhadap suatu perkara sehingga perkara itu muncul/ ada yang
menanyakannya, jika hal itu terjadi maka mereka berijtihad untuk menggali
hukumnya, jika tidak maka mereka tidak pernah membuat suatu institusi
hukum semisal MUI, untuk membuat masalah sekaligus menghukuminya.
Hal inilah yang menyebabkan fatwa-fatwa hukum yang dinukil dari para
sahabat di periode tersebut sangat sedikit sekali.3 Dasar penggunaan ketiga
sumber hukum ini adalah hadits yang menceritakan tentang pengutusan
Mu‟adz bin Jabal ke Syam oleh Nabi Huhammad SAW, sebelum
mengutusnya Nabi menanyainya : “bila engkau menemukan masalah di sana
apa yang akan kau lakukan?”, maka Mu‟adz pun menjawab : “aku akan
menghukuminya dengan Kitab Allah, dan jika aku tidak menemukan
17 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
hukumnya, maka aku akan kembali pada sunnah RasulNya, dan jika aku
tidak berhasil, maka aku akan berijtihad (untuk menghukuminya) dengan
pikiranku”. Kemudian rasul menepuk bahunya sebagai tanda persetujuan
beliau terhadap Mu‟adz bin Jabal.
3
Muhammad Hudhori. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Tanpa Tahun. Jeddah: Al-Haromain.
Hal. 114.
4
Ahmad Al-Usairy. SEJARAH ISLAM (Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX). Cet.
Keenam. 2008. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. Hal. 188.
18 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
Atas kegigihan Umar dalam memberikan argument, bahwa
hal itu untuk menghindari punahnya ayat-ayat al-Quran yang
disebabkan oleh berkurangnya para penghafal al-Quran, dan hal itu
akan menjadikan kemaslahatan umat islam, maka Abu Bakar pun
menyetujui usulan Umar tersebut. Dia pun memerintahkan kepada
sang penulis wahyu terbanyak, Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan
al-Quran dalam satu kumpulan atau dalam satu mushaf.
19 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
c. Bagian Zakat Orang Mu‟allaf
Terhadap orang mu‟allaf, di masa kekhalifahannya Umar
tidak memberi bagian zakat kepada mereka, pada zaman Nabi
Muhammad mu‟allaf adalah mereka yang diambil simpatinya agar
masuk islam dengan memberikan zakat kepada mereka. Terhadap
mu‟allaf umar berkata: ”Sesungguhnya Allah telah menguatkan
islam dan tidak membutuhkan kamu. Jika kamu bertaubat, silahkan,
tetapi jika tidak maka antara kamu dan kami adalah pedang.” Di sini
umar melihat bahwa yang paling maslahat pada saat perluasan islam
saat itu adalah dengan tidak memberikan zakat atau harta kepada
orang muallaf karena pada saat itu orang-orang islam sudah sangat
banyak sekali sehingga pada saat itu Umar memang benar-benar
ingin mengetahui apakah mereka mau masuk islam karena kesadaran
sendiri atau karena iming-iming zakat yang diberikan islam.
5
Muhammad Zuhri. Hukum islam dalam lintasan sejarah. 1996. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada. Hal. 40.
20 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
b. Tentang Unta Yang Berkeliaran
Masalah unta yang berkeliaran dan tidak diketahui pemiliknya,
apakah boleh “diamankan” seperti barang temuan lainnya atau tidak.
Ikhtilaf terjadi karena ada hadits Nabi yang menyebutkan bahwa
unta – unta itu harus dibiarkan hingga ditemukan oleh pemiliknya
sendiri. Ketika kondisi pemerintahan mulai mengalami goncangan
keamanan, Utsman berpendapat bahwa unta-unta itu sebaiknya
diamankan. ”Rasulullah melarang untuk mengamankannya, karena
tidak mungkin ada yang mencurinya. Namun Sekarang, dalam
suasan melemahnya ghirah keagamaan ini unta-unta harus
diamankan untuk kemaslahatan. Kalau tidak ia akan dicuri orang.”
Sikap Utsman ini bertentangan dengan kebijaksanaan Umar yang
mengamalkan hadits Nabi tadi. Di sini Utsman tampaknya
menerapkan illat. Umar melaksanakan nash dari hadits Nabi karena
adanya illat, yaitu “suasana aman”, ketika illat itu tidak ada, maka
nash tidak cukup syaratnya untuk diterapkan. Jika tetap diamalkan
maka pengamalan nash itu tidak akan mewujudkan kemaslahatan
yang merupakan tujuan utama nash tadi.
21 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
qiyas, sebab dalam al-Quran tidak ada ketentuan tentang masalah
ini, yang ada hanyalah wanita yang ditalak oleh suaminya sebelum
melakukan hubungan suami-istri. Dan rupanya Ali mengqiyaskan
wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sebelum melakukan
hubungan tadi dengan wanita yang ditalak dalam keadaan yang
sama.
22 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sejarah hukum islam pada masa Khulafaur Rasyidin secara periodik terbagi
menjadi 4, yaitu periode Abu Bakar, Periode Umar bin Khattab, periode Utsman
bin Affan dan periode Ali bin Abu Thalib. Yang perlu digaris bawahi dalam
pemahaman mengenai tasyri‟ pada masa ini adalah bahwa meskipun disebut
periode Khulafa‟ur Rasyidin, namun dalam praktisnya para mujtahid hukum bukan
hanya para Amirul Mukminin yang 4 saja, akan tetapi seluruh kibarus sahabat yang
hidup pada masa ini juga sering berijtihad terhadap semua permasalahan yang dirasa
aktual dan dibutuhkan di antara umat islam.
Dalam hal permasalahan hukum itu telah ada hukumnya dalam nash al-
Quran, maka digunakanlah hukum yang didapat dari nash tersebut. Dan bila
hukum permasalahan itu tidak ditemukan dalam al-Quran maka mereka mencari
hukumnya di dalam Hadits, namun karena hadits masih belum dibukukan, maka
sering terjadi perbedaan pendapat mengenai satu persoalan yang sama tetapi
menghasilkan produk hukum yang berbeda, tergantung kapasitas hadits yang
dimiliki masing-masing sahabat. Untuk menghadapai masalah ini, para sahabat
seringkali berdiskusi untuk saling bertukar wawasan tentang hadits yang mereka
hafal. Dan bila mereka tidak dapat menemukan hukumnya di dalam al-Quran dan
Hadits maka mereka berijtiad dengan menggunakan Ro‟yu mereka sendir-sendiri,
maka kemudian terciptalah metode Qiyas, penggalihan illat hukum, ijma‟, hingga
akhirnya pada tahap penelusuran substansi syari‟at dengan menggunakan metode
maslahah, yaitu mencari hal yang maslahat bagi manusia secara umum.
Beberapa contoh hasil ijtihad para sahabat dalam penentuan hukum islam
terhadap suatu persoalan. Contohnya pembukuan al-Quran dalam satu mushaf oleh
Abu bakar karena kekhawatirannya akan hilangnya al-Quran dengan hilangnya para
syuhada‟ yang hafal al-Quran. Contoh lain penulisan al-Quran dalam satu huruf
atau qiro‟ah untuk menyeragamkan bacaan al-Quran secara menyeluruh bagi umat
islam yang pada saat itu semakin luas wilayahnya.
23 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
B. SARAN
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah “Hukum
Islam Pada Masa Khulafa‟ur Rasyidin” di atas dengan sumber-sumber yang lebih
banyak yang tentu dapat di pertanggungjawabkan oleh penulis. Untuk saran bisa
berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap
kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan. Untuk bagian terakhir dari
makalah adalah daftar pustaka.
24 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N
DAFTAR PUSTAKA
Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam (Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX). Cet.
Keenam.2008. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Hashem, O. SAQIFAH: Awal Perselisihan Umat. Cet. Kedua. 1989. Jakarta: Yapi.
Hudhori, Muhammad. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Tanpa Tahun. Jeddah: Al-
Haromain.
Khallaf, Abdul Wahab. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam. 1985. Yogyakarta: CV. Bayu
GrafikaOffset.
Zuhri, Muhammad. Hukum islam dalam lintasan sejarah. 1996. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
25 | M A K A L A H F I Q H P A D A M A S A K H U L A F A ’ U R R A S Y I D I N