PANCASILA
Disusun oleh:
NIFDELMITA
NIM.
(STIT-YPI) KERINCI
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk memenuhi nilai tugas yang diberikan oleh Bapak Yuliantoro dalam Mata Kuliah
Pancasila.
2. Untuk menambah pengetahuan penulis tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat.
3. Untuk menambah pemahaman penulis tentang Pancasila dari aspek Filsafat.
4. Untuk mengetahui pengertian Pancasila secara Filsafat.
5. Untuk mengetahui peranan Filsafat pancasila bagi bangsa dan Negara Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sistem
Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan, yang bagian dan unsurnya saling
berkaitan (singkron), saling berhubungan (konektivitas), dan saling bekerjasama satu
sama lain untuk satu tujuan tertentu dan merupakan keseluruhan yang utuh.
C. Defenisi Filsafat
a. Secara etimologi
Kata falsafah/filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu: philosophia,
philo/philos/philein yang artinya cinta /pencinta/mencintai dan Sophia, yang berarti
kebijakan/ wisdom /kearifan/ hikamah / hakikat kebenaran. Jadi filsafat artinya cinta akan
kebijaksanaan atau hakikat kebenaran.
Beberapa istilah filsafat dalam berbagai bahasa, misalnya “falsafah” dalam bahasa
arab, “philosophie” bahasa belanda, “philosophy” dalam bahasa inggris dan masih
banyak lagi istilah dalam bahasa lain, yang pada hakekatnya semua istilah itu mempunyai
arti yang sama.
D. Sistem Filsafat
Sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling
bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Secara keseluruhan merupakan suatu
kesatuan yang utuh.
Suatu system filsafat sedikitnya mengajarkan tentang sumber dan hakikat realitas, falsafat hidup,
dan tata nilai (etika),termasuk teori terjadinya pengetahuan manusia dan logika.
E. Pancasila sebagai sistem filsafat
Sila-sila Pancasila yang merupakan sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu
kesatuan organik. Sila-sila dalam pancasila saling berkaitan, saling berhubungan bahkan saling
mengkualifikasi. Sila yang satu senantiasa dikualifikasikan oleh sila-sila lainnya. Dengan
demikian, Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu sistem, dalam pengertian bahwa bagian-
bagian (sila-silanya) saling berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu struktur yang
menyeluruh. Pancasila sebagai suatu sistem juga dapat dipahami dari pemikiran dasar yang
terkandung dalam Pancasila, yaitu pemikiran tentang manusia dalam hubungannya dengan
Tuhan Yang Maha Esa, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan masyarakat
bangsa dan negara.
Kenyataan Pancasila yang demikian ini disebut kenyataan yang obyektif, yaitu bahwa
kenyataan itu ada pada Pancasila sendiri terlepas dari sesuatu yang lain atau terlepas dari
pengetahuan orang. Sehingga Pancasila sebagai suatu sistem filsafat bersifat khas dan berbeda
dengan sistem-sistem filsafat yang lain misalnya: liberalisme, materialisme, komunisme, dan
aliran filsafat yang lain.
Kesatuan sila-sila Pancasila pada hakekatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang
bersifat formal logis saja, namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, dasar epistimologis,
serta dasar aksiologis dari sila Pancasila.
a. Dasar Ontologis
Dasar Ontologis Pancasila pada hakekatnya adalah manusia yang memiliki
hakekat mutlak. Subyek pendukung pokok-pokok Pancasila adalah manusia, hal ini
dijelaskan sebagai berikut :
“Bahwa yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan
beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
permusyawaratan/perwakilan, serta yang berkeadilan social adamah manusia
(Notonegoro, 1975:23). Demikian juga jikalau kita pahami dari segi filsafat Negara,
adapun pendukung pokok Negara adalah rakyat, dan unsure rakyat adalah manusia itu
sendiri, sehingga tepatlah jikalau dalam filsafat Pancasila bahwa hakekat dasar
ontopologis sila-sila pancasila adalah manusia.
Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila pancasila secara ontologism memiliki
hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani,
sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk social, serta
kedudukan kodrat manusia sebagai pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa. Oleh karena itu kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi
berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan inilah maka secara hirarkis sila pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila-sila pancasila lainnya
(notonegoro, 1975-53).
b. Dasar Epistemologis
Dasar epistimologis Pancasila sebagai suatu system filsafat pada hakekatnya juga
merupakan suatu system pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari pancasila merupakan
pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta,
manusia, masyarakat, bangsa dan Negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi
manusia dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dalam hidup dan kehidupan.
Pancasila dalam pengertian yang demikian ini telah menjadi suatu system cita-cita atau
keyakinan-keyakinan yang telah menyengkut praksis, karena dijadikan landasan bagi cara
hidup manusia atau suatu kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat. Hal ini berarti filsafat telah menjelma menjadi ideology (Abdul Gani, 1998).
Sebagai suatu ideology maka panasila memiliki 3 unsur pokok agar dapat menarik
loyalitas dari para pendukungnya yaitu :
1. Logos, yaitu rasionalitas atau penalarannya
2. Pathos, yaitu penghayatannya
3. Ethos, yaitu kesusilaannya (Wibisono, 1996:3)
Sebagai suatu system filsafat atau ideology maka pancasila harus memiliki unsur
rasional terutama dalam kedudukannya sebagai suatu system pengetahuan.
c. Dasar Aksiologis
Sila-sila pancasila sebagai suatu system filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar
aksiologisnya, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila pada hakekatnya
juga merupakan satu kesatuan. Pada hakekatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai
macam apa saja yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia.
Nilai-nilai pancasila termasuk nilai kerohanian, tetapi nilai-nilai kerohanian yang
mengakui nilai material dan vital. Dengan demikian nilai-nilai pancasila tergolong nilai
kerohanian, yang juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, yaitu
nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan, atau estetis, nilai kebaikan atau
nilai moral ataupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistematik hierarkhis,
dimana sila pertama sebagai basisnya sampai sila kelima sebagai tujuannya (Darmo
diharjo).
Pancasila sebagai sistem filsafat yaitu suatu konsep tentang dasar negara yang
terdiri dari lima sila sebagai unsur yang mempunyai fungsi masing-masing dan satu
tujuan yang sama untuk mengatur dan menyelenggarakan kehidupan bernegara di
Indonesia. Filsafat negara kita ialah Pancasila, yang diakui dan diterima oleh bangsa
Indonesia sebagai pandangan hidup. Dengan demikian, Pancasila harus dijadikan
pedoman dalam kelakuan dan pergaulan sehari-hari.
Sebagaimana telah dirumuskan oleh Presiden Soekarno, Pancasila pada
hakikatnya telah hidup sejak dahulu dalam moral, adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat
Indonesia. “Dengan adanya kemerdekaan Indonesia, Pancasila bukanlah lahir, atau baru
dijelmakan, tetapi sebenarnya Pancasila itu bangkit kembali”.
Sebagaimana pandangan hidup bangsa, maka sewajarnyalah asas-asas pancasila
disampaikan kepada generasi baru melalui pengajaran dan pendidikan. Pansila
menunjukkan terjadinya proses ilmu pengetahuan, validitas dan hakikat ilmu
pengetahuan (teori ilmu pengetahuan).
Pancasila menjadi daya dinamis yang meresapi seluruh tindakan kita, dan kita
harus merenungkan dan mencerna arti tiap-tiap sila dengan berpedoman pada uraian
tokoh nasional, agar kita tidak memiliki tafsiran yang bertentangan. Dengan pancasila
sebagai filsafat negara dan bangsa Indonesia, kita dapat mencapai tujuan bangsa dan
negara kita.
Pancasila sebagai sistem filsafat memberi arah agar kesejahteraan dan
kemakmuran bertolak dari keyakinan manusia yang percaya kepada kebesaran Tuhan,
kesejahteraan yang berlandaskan paham kemanusiaan, kesejahteraan yang memihak pada
kesatuan dan persatuan serta kebersamaan sebagai suatu kesatuan bangsa yang utuh dan
bulat.
Hamid Darmadi, (2010), Pendidikan Pancasila, Konsep Dasar dan Implementasi, Alfabeta;
Bandung. 144-163