Anda di halaman 1dari 4

1.

Takabur

1.1 Pengertian Takabur

Dalam kitab Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali menyebut ujub sebagai


penyakit kronis (ad-daul 'idlal). Kepada diri sendiri, pengidap penyakit ini merasa
mulia dan dan besar diri, sementara kepada orang lain ada kecenderungan untuk
meremehkan dan merendahkan. Menurut Muzammil bin Abdul Razak yang ditulis
dalam skripsinya disebutkan bahwa Pangkal semua akhlak yang tercela ialah
kesombongan dan kehinaan. Buya Hamka dalam tafsirnya menyebutkan bahwa
takabur artinya membesarkan diri atau berdagang diri karena lupa hakikatnya diri
itu siapa. Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani mengatakan bahwa sifat
sombong merupakan pandangan hamba kepada dirinya sebagai orang mulia dan
pandangannya kepada orang lain dengan penghinaan.1 Sehingga dapat kami
simpulkan bahwa sikap takabur adalah merasa bahwa diri sendiri derajatnya lebih
tinggi daripada orang lain.

Dalam majelis-majelis, pengidap penyakit ujub juga suka meninggikan diri


sendiri, serta ingin selalu menonjol dan terdepan. Saat bercakap-cakap atau
berdialog umumnya orang seperti ini tak mau kalah dan dibantah. Dalam kitab
yang sama Imam al-Ghazali menerangkan takabbur dan ujub dengan definisi yang
mirip yaitu orang yang takabur (mutakabbir) gusar ketika menerima nasihat tapi
kasar saat memberi nasihat. Siapa saja yang menganggap dirinya lebih baik dari
hamba Allah yang lain, itulah mutakabbir.

Menurut Imam Al Ghazali akibat dari sikap takabur adalah obral keakuan: gemar
mengatakan aku begini, aku begitu. Seperti yang Iblis laknatullah katakan ketika
menolak perintah Allah untuk hormat kepada Nabi Adam, "aku lebih baik dari
Adam. Kau ciptakan aku dari api sementara Kau ciptakan dia dari tanah" (QSal-
A'raf:12).2

Sikap takabur sangat bertolak belakang dengan posisi kita sebagai hamba Allah.
Bagaimana mungkin seorang hamba bisa memiliki kepercayaan diri bahwa dia
1
Muzammil bin Abd Razak, Muhammad, Takabur Menurut Al-Quran Pada Surah Al-A’raf Ayat
146 (Banda Aceh : UIN Ar Raniry, 2019), hlm. 12-13
2
https://islam.nu.or.id/post/read/79737/lima-jurus-imam-al-ghazali-agar-terhindar-dari-ujub
diakses pada 13 April 2020 pukul 16.30 WIB
berkedudukan atau dipandang mulia oleh Tuhannya. Hakikat seorang hamba
adalah secara kasarnya kita hanya dititipi nyawa oleh Tuan kita. Dunia yang kita
miliki saat ini adalah sementara sifatnya dan sejatinya itu bukan milik kita yang
sangat tidak pantas untuk kita bangga-banggakan. Secara simpelnya sikap takabur
akan menyebabkan seorang hamba mengemis pengakuan kepada makhluk yang
lain.

1.2 Bentuk dan Contoh Takabbur

Hakikat sifat ujub adalah, kesombongan batin atas kesempurnaan ilmu atau amal
atau apapun yang digambarkannya melalui lisan maupun perbuatan (tindakan).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa orang yang bersikap ujub
pada hakekatnya ia tak melakukan firman-firman Allah, dan barangsiapa yang
melaksanakan firman Allah maka ia telah keluar dari sifat ujub.3 Sedangkan
contoh perilaku sombong adalah sebagai berikut :

1. Merasa dirinya lebih mulia daripada orang lain.


2. Membanggakan amal perbuatannya. Sebagaimana puisi Gus Mus “lebih
baik semalam malam an aku tidur akan tetapi paginya menyesalinya
daripada semalam malaman aku beribadah akan tetapi aku membanggakan
diri”
3. Tidak mau mendengar nasihat orang lain
4. Merasa paling benar

1.3 Dampak Buruk kesombongan

Di hadapan Allah, orang yang memiliki sifat ujub melupakan bahwa apa yang ia
peroleh baik dari segi ibadah yang telah dilakukannya, sehingga ia tidak memiliki
kesungguhan untuk bertobat. Lebih jauh lagi, ia lupa bahwa apa yang telah
diperoleh baik dari segi ibadah, kekayaan, maupun kesuksesan merupakan nikmat
dari Allah. Ia meyakini bahwa apa yang telah diperoleh dan lakukan merupakan
usaha diri sendiri. Orang seperti ini juga tidak takut azab dan kemurkaan Allah
karena ia meyakini bahwa ia telah mendapat kedudukan mulia disisinya.4
3
Dj. Nurkamidien, Ulfa, Cara Mendiagnosa Penyakit Ujub dan Takabu, TADBIR : Jurnal
Manajemen Pendidikan Islam Volume 4, Nomor 2 : Agustus 2016 (Gorontalo, 2016), hlm. 119
4
Dj. Nurkamidien, Ulfa, Cara Mendiagnosa Penyakit Ujub dan Takabu, TADBIR : Jurnal
Manajemen Pendidikan Islam Volume 4, Nomor 2 : Agustus 2016 (Gorontalo, 2016), hlm. 118
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi Isa a.s. mengatakan bahwa betapa
banyak lampu yang padam ditiup angin. Dan betapa banyak ibadah yang hancur
dirusak ujub (berbangga diri). Inilah contoh kehancuran yang disebabkan oleh
sifat ujub kehancuran yang paling besar adalah ia merasa dirinya telah sukses,
hingga tidak mau lagi berusaha. Ia merasa dirinya sudah cukup, sehingga tidak
mau mencari lagi. Setelah itu, ia akan merasa jenuh dan bosan, lebih dari itu, ia
juga akan merasa malas dan putus asa atau bahkan berhenti sama sekali dari amal
dan nyaris apatis karena merasa dirinya sudah cukup banyak amal.

Sebagai pakar penyakit jiwa, Al-Muhasibi mengatakan jika dirimu mendapatkan


pujian dan penyucian maka janganlah lantas menjadi ujub, karena bila engkau
menjadi ujub sangat merugikan dan mudharat bagi agama dan jika engkau telah
merasa senang dengan pujian itu, maka segera hilang kan perasaan tersebut dan
alihkanlah perasaan senang itu menjadi senang dengan ilmu pengetahuan karena
betapa bahayanya perasaan ujub terhadap agama.5

1.4 Cara Menghindarkan diri dari Takabur

Salah satu cara untuk menghindarkan diri dari sikap takabur yaitu dengan
melaksanakan sholat, karena dalam sholat kita akan mengucapkan takbiratul
ihram ((‫ هللا اكبر‬sebagai pengakuan kita bahwa hanyalah Allah yang Maha Besar
dan mengakui diri kita adalah hina. Menurut Imam Al Ghazali ada beberapa
langkah yang bisa dilakukan untuk menghindarkan diri dari sifat takabur yaitu
dengan mengembalikan kepada manajemen pikiran.

‫ وهو موقوف على الخاتمة؛‬،‫ وذلك غيب‬،‫بل ينبغي لك أن تعلم أن الخير من هو خير عند هللا في دار اآلخرة‬
،‫ بل ينبغي أال تنظر إلى أحد إال وترى أنه خير منك‬،‫فاعتقادك في نفسك أنك خير من غيرك جهل محض‬
‫وأن الفضل له على نفسك‬

"Ketahuilah bahwa kebaikan adalah kebaikan menurut Allah di akhirat kelak. Itu
perkara ghaib (tidak diketahui) dan karenanya menunggu peristiwa kematian.
Keyakinan bahwa dirimu lebih baik dari selainmu adalah kebodohan belaka.
Sepatutnya kau tidak memandang orang lain kecuali dengan pandangan bahwa ia
lebih baik ketimbang dirimu dan memiliki keutamaan di atas dirimu."
5
Ibid.,
Ujub dan takabur adalah tentang dua entitas antara diri sendiri dan orang lain.
Yang ditekankan adalah bagaimana yang pertama menata pikiran agar terhindar
dari perasaan lebih istimewa dari yang kedua. Secara praktis, kiat-kiat yang
ditawarkan Imam al-Ghazali adalah sebagai berikut:

1. Bila bertemu orang lain yaitu anak kecil maka sadarlah bahwa ia belum
pernah bermaksiat kepada Allah, sementara kita yang lebih tua sebaliknya.
Tak diragukan lagi, anak kecil itu lebih baik dari kita.
2. Bila orang lain itu lebih tua, anggaplah bahwa ia beribadah kepada Allah
lebih dulu daripada kita, sehingga tentu orang tersebut lebih baik dari kita.
3. Bila orang lain itu berilmu, maka anggaplah bahwa ia telah menerima
anugerah yang tidak kita peroleh, menjangkau apa yang belum kita capai,
mengetahui apa yang tidak kita ketahui. Jika sudah begini, bagiamana
mungkin kita sepadan dengan dirinya, apalagi lebih unggul?
4. Bila orang lain itu bodoh, beranggapanlah bahwa kalaupun bermaksiat
orang bodoh berbuat atas dasar kebodohannya, sementara kita berbuat
maksiat justru dengan bekal ilmu. Ini yang menjadi alasan atau dasar
(hujjah) pada pengadilan di akhirat kelak.
5. Bila orang lain itu kafir, beranggapanlah bahwa kondisi akhir hayat
seseorang tidak ada yang tahu. Bisa jadi orang kafir itu dikemudian hari
masuk Islam lalu meninggal dunia dengan amalan terbaik (husnul
khâtimah). Jika demikian, ia keluar dari dosa-dosa masa lalu. Sementara
kita? Bisa jadi Allah sesatkan kita diujung kehidupan, berubah haluan
menjadi kafir, lalu menutup usia kita dengan amal terburuk (sûul
khâtimah). Naudzubillah.6

6
https://islam.nu.or.id/post/read/79737/lima-jurus-imam-al-ghazali-agar-terhindar-dari-ujub
diakses pada 13 April 2020 pukul 20.20 WIB

Anda mungkin juga menyukai