Anda di halaman 1dari 8

Paradoks Yang Tidak Paradoks;

Membincang Kesatuan dan Keberagaman


Eksistensi

Oleh Rainhard

Bila membaca atau mendengar kata paradoks seringkali kita mengacu pada
makna yang menunjukan pertentangan sebuah pernyataan semisal, A adalah
putih sekaligus hitam atau A itu satu sekaligus banyak. Namun sebelum jauh,
ada baiknya melihat makna paradoks yang disusun secara resmi oleh kamus
resmi bahasa. Hal ini harus dilakukan agar pemahaman kita terhadap
paradoks tidak melenceng jauh dari yang ingin penulis sampaikan.

Setidaknya ada banyak macam pengertiaan paradoks, dari masalah


pertentangan pernyataan atau proposisi sampai dengan suatu sikap filosofis,
seperti kalangan Nihilisme yang berlanjut hingga Post-Modernisme. Meski
demikian, tulisan ini hanya akan mengadopsi satu pengertian dari kata
paradoks, yaitu “satu situasi dimana dua pernyataan yang aneh (Bertentang
i: eksklusif terhadap satu sama lain) keduanya tampak benar; dan keduanya
harus diterima dalam tindakan.”1

Berdasarkan pengertian tersebut kiranya dipahami bahwa paradoks berarti


juga bisa berupa satu kondisi yang bertentangan satu sama lain, tapi benar-
benar terjadi dalam realitas. Adapun kata ‘eksistensi’ sendiri mengacu pada
realitas eksternal in concreto berdasarkan pandangan filosofis realisme-
eksistensial Mulla Shadra dan para penerusnya yang membuktikan realitas
fundamental (maujud bi al-dzatih) adalah eksistensi setelah membedah satu
benda menjadi dua konsep berbeda.2

Nah, setelah pembuktian atas realitas fundamental itu, para filsuf-realis


Shadrian melanjutkan pencarian mereka bahwa realitas atau eksistensi
mengandung semacam paradoks yang terjadi di realitas sekaligus tidak

1 http://arti-definisi-pengertian.info/arti-paradoks/

2 Mengenai pandangan ini, penulis sering menuliskannya di rainhardvidi.tumblr.com


1
paradoks. Bagi penulis sendiri, paradoks, sebagaimana definisi di atas,
adalah kata yang tepat untuk menggambarkan situasi yang akan dibahas.

Universal; Gradasi (musyakkik) dan Seragam (mutawaathiy)3

Dalam bahasa arab, tasykik artinya ragu atau curiga yang kata dasarnya
adalah syak sehingga terdapat satu istilah yang disematkan pada seseorang
karena keragu-raguannya atas berbagai proposisi filosofis hingga mendapat
julukan imam Musyakkikin atau bapak keraguan. Oleh sebab itu, pengertian
tersebut bersifat linguistik atau lughawi.

Kemudian, pengertian lainnya mengenai tasykik adalah sifat atas konsep


universal yang ekstensinya (mishdaq) beragam berdasarkan lebih-kurang
atau dahulu-kemudian seperti warna merah yang kewujudannya di realitas in
concreto berbeda-beda dari segi warna itu sendiri. Dari sini dapat dilihat
bahwa pengertian tasykik secara umum adalah gradasi, yaitu mendapati
fenomena yang berderajat.

Dengan berderajat seperti demikian, gradasi mengimplikasikan sebuah


keberagaman atau pluralitas dari sesuatu yang secara dzati, yakni bukan
aksidental, memiliki derajat-derajat yang berbeda.

Berlawanan dengan tasykik atau Musyakkik, konsep universal juga berupa


seragam (mutawathi’i) dimana semua predikasi konsep atas ekstensinya tidak
mengandaikan ‘lebih’ dan ‘kurang’ seperti, samanya sisi kemanusiaan
(insaniyyah) yang terdapat pada Amir dan Ali.4 Sederhananya, konsep
seragam diaplikasikan pada ekstensinya pada ranah esensialitasnya
(dzatiyyat).

Namun demikian, dua jenis universal di atas termasuk dalam kategori logis,
sebab ia tidak mengacu pada sisi instrinsik ontologis. Sedangkan jika kita
mengacu pada sisi intrisik ontologis, sudah barang tentu akan mendapatkan
aspek-aspek yang tidak keluar dari kewujudan segala sesuatu. Selain itu
tasykik yang baru saja dijelaskan termasuk tasykik ‘am (gradasi khusus).

3 Selain dibagi menjadi dzaty dan ‘aradhi’, universal juga dibagi menjadi gradatif dan
seragam. Lihat Misbah Yazdi, Philosophical Instructions, hal 258.

4 Lihat Jamaludin Hasan bin Yusuf al-Hilliy, al-Jauhar al-Nadidh; Syarah Mantiq al-Tajrid
(Intisarat Bidar; Qum, 1435 H) hal 27.
2
Dua Jenis Aspek Pluralitas (haitsiyyah fi al-katsrah)

Telah disinggung sedikit bahwa tasykik adalah gradasi. Akan tetapi, gradasi
yang ingin diungkap di sini adalah gradasi eksistensi yang kerap disebut
sebagai gradasi khusus (tasykik khas). Gradasi jenis ini berbeda dari gradasi
yang mengacu pada warna, panjang, kualitas atau hal-hal lainnya sebagai
fenomena yang muncul dari kuiditas.

Adapun yang diinginkan oleh para filsuf Shadrian adalah gradasi yang secara
langsung mengacu pada realitas eksistensi sebagai sturktur dasar realitas itu
sendiri.

Kemudian untuk memasuki tahap perbincangan mengenai gradasi tersebut,


Thabathaba’i, dalam Nihayah al-Hikmah5, menjelaskan dengan singkat
bahwa terdapat keragaman—atau fakta yang tidak dapat dihindari—yang
dicontohhkan dengan kebergamanan benda-benda seperti, manusia, kuda,
langit, bumi, dan matahari yang mana kebergaman ini menyifati eksistensi.

Di samping kebergaman itu, nyatanya terdapat kebergaman lainnya, yang


mengacu secara langsung pada keberagaman eksistensial yang hakikatnya
beragam berdasarkan esensi ontologisnya sendiri, seperti, niscaya,
kontingen, potensi, aktual, sebab-akibat, dan lain sebagainya.

Nah, keberagaman yang disebut pertama adalah keberagaman kuiditatif,


sebuah fenomena keberagaman yang ‘membutuhkan’ eksistensi untuk
terealisasi. Sedangkan keberagaman kedua adalah keberagaman eksistensial
yang, menurut Thabathaba’i, merupakan hakikat eksistensi itu sendiri yang
tidak membutuhkan kuiditas.

Dalam studi eksistensialisme dari metafisika Islam mazhab Sadrian, apa


yang ditekankan sebagai entitas yang berderajat adalah eksistensi, sebab
realitas yang sesungguhnya adalah eksistensi. Sedangkan—seperti telah
disinggung di atas—realisasi kuiditas bergantung pada eksistensi, dan inilah
sebabnya mengapa dikatakan al-mahiyyah maujudah bi al-wujud.

Paradoks Yang Tidak Paradoks

5 Muhammad Husayn Thabathaba’i, Nihayah al-Hikmah; tashih wa ta’liq Abbas al-Za’iri


al-Sabzawari, hal 33.
3
Kiranya jelas bahwa keberagaman sangat nyata. Lebih-lebih, apa yang dapat
kita lihat dari keberagaman eksistensi adalah keberagaman yang hanya bisa
dicapai hanya dengan kejelian analisis mental. Sebab, seperti kita lihat
dicontoh, sifat-sifat eksistensi yang disebut adalah apapun yang digambarkan
oleh inteligibilitas sekunder filosofis (ma’qul tsani falsafi).

Gradasi semacam ini memainkan peran “kuat-lemah” (syiddah wa dha’f)


yang terdapat di realitas in concreto, seperti, niscaya yang “lebih kuat” dari
pada realitas-realitas kontingen yang kadarnya lemah (dha’f). Potensi “lebih
lemah” dari pada aktaualitas. Meski demikian, apa yang tetap (tsubut) pada
realitas-realitas itu adalah hakikatnya yang tidak keluar eksistensi. 6 Hal ini
selayaknya “ayniyyat al-shifat wa al-dzat” dalam teori Ketuhanan.

Namun demikian, kita coba untuk melihat kembali, bagaimana konsep


univokal eksistensi dapat diterapkan pada semua entitas tanpa terkecuali
sehingga semua entitas—katakanlah—mengandung unsur eksistensi. Akan
tetapi, pada realitas yang dapat dipredikasikan dengan hal yang sama,
nyatanya memiliki berbagai perbedaan7. Dari sinilah kita mendapatkan
‘kesamaan’ dan ‘keberagaman’. Dan dapat dibayangkan kembali pada
realitas yang sama itu, terdapat perbedaan-perbedaan esensial satu sama lain.

Keberagaman eksistensi merupakan modus eksistensi yang muncul dari


eksistensi itu sendiri atau tidak terlepas dari eksistensi. Inilah yang disebut
oleh para filsuf, maa bihi imtiyaas (yang denganya berbeda). Namun, pada
saat bersamaan, terdapat pula maa bihi isytirak (yang dengannya sama).
Sederhananya, eksistensi merupakan “yang dengannya perbedaan terealisasi
sekaligus terealisasinya kesatuan” (al-wujud maa bihi imtiyaz ‘ain maa bihi
isytirak).

Paradoks yang dimaksud penulis tentu saja dikonsiderasi dari kesatuan


eksistensi serta juga keberagamannya. Apa yang membuat para filsuf Sadrian
yakin bahwa eksistensi merupakan realitas yang tunggal dengan mengacu
6 Seperti dikatakan oleh Thabathaba’i, “cahaya yang lebih kuat itu kuat dalam
kecahayaannya” yang mana kekuatan cahaya itu adalah esensi dari cahaya itu dan bukan
tambahan dalam makna qiyam hululi

7 Keberagaman dalam konteks ini diacu kembali pada keberagaman kuiditatif, sebagaimana
di bahas dalam kitab-kitab filsafat yang kerap memperbandingkan kesatuan konsep
eksistensi dengan perbedaan berbagai esensi kuiditas.
4
pada predikasi konsep eksistensi terhadap seluruh entitas yang bereksisten
(maujud). Namun demikian, bagaimana pikiran mendapatakan konsep
ketunggalan eksistensi sehingga menjadi konsep yang univok?

Dalam satu pasasi di Bidayah al-Hikmah, Thabathaba’i mengatakan;

‫من الدليل عليه أنا نقسم الوجود إلى أقسامه المختلفة كتقسيمه إلى وجود الواجب ووجود الممكن وتقسيم وجود‬
‫الممكن إلى وجود الجوهر ووجود العرض ثم وجود الجوهر إلى أقسامه ووجود العرض إلى أقسامه ومن‬
.‫المعلوم أن التقسيم يتوقف في صحته على وحدة المقسم ووجوده في القسام‬

Singkatnya, dari pasasi tersebut Thabathaba’i memandang bahwa eksistensi


dibagi menjadi niscaya dan kontigensi. Kemudian kontigensi dibagi lagi
menjadi substansi dan aksiden yang mana kedua bagian dari kontigensi itu
juga terbagi menjadi sub-bagian dari substansi dan aksiden. Jadi, semua
bagian-bagian itu dapat dipredikasi oleh eksistensi dengan “tingkatan yang
sama,” dan inilah yang dikaji dalam bagian isytirak ma’nawi, kesamaan
makna dalam mental.

Kendati demikian, mencakupnya eksistensi atau eksistensi sebagai realitas


yang “mengalir” tidaklah seperti universal yang diterapkan pada berbagai
individunya (afrad) sebagaimana dikatakan oleh Mulla Sadra di dalam al-
Masya’ir8;

‫ و صدقه عليهّا –كما نببهّناك عليه‬,‫شمول حقيقة الوجود لل شياء ا لموجودة ليس كشمول معنى الكلي للجزئيات‬
.‫ بل شموله ضرب آخر من شمول‬,‫ضا إذ كلايا طبيعيباا‬ ‫—من ابن حقيقة الوجود ليست جناسا و ل نواعا ول عر ا‬

Kemudian, berdasarkan tesis fundamentalitas eksistensi, seluruh realitas—


sejuah ia benar-benar bereksisten—adalah eksistensi itu sendiri, sehingga
tidaklah mustahil realitas in concreto merupakan eksistensi yang tunggal
meski memiliki perbedaan kuiditas dan derajat eksistensi yang berbeda.

Dalam gugatannya atas pemikir paripatetik yang meyakini eksistensi berbeda


satu sama lain secara esensial (mutabayyinah bi tamami dzawatiha),
Thabathaba’i memberikan satu argumentasi bahwa konsep ketunggalan
eksistensi tidak mungkin diraih dari realitas yang berbeda-beda secara
esensial. Sebab, jika demikian, konsep yang tunggal per se itu adalah konsep
yang plural dan tidak mungkin dipredikasi secara isytirak pada seluruh
realitas ekstra-mental absolut.

8 Mulla Shadra, al-Masya’ir, (Birgham University; Utah, 2014) hal 9


5
‫بيان الساتحالة أن المفهّوم والمصداق واحد ذاتا وإنما الفارق كون الوجود ذهنيححا أو خارجيححا فلحو انحتزع الواحححد‬
‫ وأيضححا لححو انححتزع‬.‫بما هو واحد من الكثير بما هو كثير كان الواحد بما هو واحد كثيرا بما هو كثير وهو محححال‬
‫المفهّوم الواحد بما هو واحد من المصححاديق الكححثيرة بمححا هححي كححثيرة فححإم أن تعتحبر فححي صححدقه خصوصحية هححذا‬
‫المصداق لم يصدق على ذلك المصحداق وإن اعتحبر فيحه خصوصحية ذاك لححم يصححدق علحى هحذا وإن اعتحبر فيحه‬
‫الخصوصيتان معا لم يصدق على شححيء منهّمححا وإن لححم يعتححبر شححيء مححن الخصوصححيتين بححل انححتزع مححن القححدر‬
‫المشترك بينهّما لم يكن منتز اعا من الكثير بما هو كثير بل بما هو واحد كالكلي المنتزع من الجهّة المشتركة بين‬
.‫الفراد الصادق على الجميع هذا خلف‬

Dari paparan pasasi tersebut, kiranya jelas mengapa predikasi eksistensi


dapat dilakukan pada semua eksisten (maujud). Terlebih lagi—menurut
penalaran filosofis semacam ini—realitas eksistensi adalah realitas yang
tunggal sehingga predikasi eksistensi atas entitas-entitas yang bereksisten
bukanlah predikasi yang aksidental.

Adapun argumentasi yang digunakan di dalam Nihayah al-Hikmah adalah


sebagai berikut;

‫الحق أنها حقيقة واحدة في عين أنها كثيرة لنا نننتزع مننن جميننع مراتبهنا ومصنناديقها مفهنوم الوجننود العنام‬
.‫الواحد البديهي ومن الممتنع انتزاع مفهوم واحد من مصاديق كثيرة بما هي كثيرة غير راجعة إلى وحدة ما‬

Lalu, bagaimana dengan fenomena perbedaan efek yang terealisasi dari


modus eksistensi (anha’ al-wujud) yang sebenarnya menegaskan terdapat
perbedaan eksistensi, terlebih lagi jika kita umpakan eksistensi berbeda satu
sama lain, maka eksistensi sendiri memiliki individuasi pada esensinya
(dzatuhu) sendiri?

Bukankah ini sebuah paradoks yang menggambarkan pada kita bahwa,


realitas eksistensi tunggal sekaligus, apakah keberagamannya itu mengacu
pada kuiditas yang membuat partikularisasi (takhashus) ataukah dari sifat
eksistensi itu sendiri yang meniscayakan gradasi?

Ya, dari keberagaman itulah mengapa eksistensi masuk dalam konsep yang
bergradatif (musyakkik) yang aplikasinya tidak bisa sama, sebab realitas in
concreto terisi oleh berbagai entitas yang mengandung eksistensi qua
potensi, eksistensi qua aktual, eksistensi qua agen (fa’il), eksistensi qua
reseptif (qabil), dan berbagai eksistensi lainnya. Namun, dari seluruh entitas
yang bereksisten tersebut adalah realitas eksistensi yang tunggal
sebagaimana dijelaskan dalam argumentasi di atas.

6
Dari hal demikianlah mengapa eksistensi adalah ketunggalan dalam realisasi
keberadaan sekaligus modus-modus yang menampakan perbedaan efek
(atsar) yang mana efek-efek itu bukanlah tambahan aksidental melainkan
seperti apa yang digambarkan oleh para ahli filosofico-theologico sebagai
‘ainiyyinat al-dzat wa al-shifat.’

Jadi eksistensi bisa dipandang sebagai yang dengannya kesatuan terealisasi


sekaligus perbedaan yang gradatif, dan aspek gradasi yang meniscayakan
perbedaan serta keberagaman realitas in concreto bukanlah ‘aksiden’ yang
datang dari luar eksistensi melainkan sifat-sifat yang hakikatnya bersatu
dengan realitas eksistensi.

‫وأما أن حقيقته مشككة فلما يظهّر من الكمالت الحقيقية المختلفة التي هحي صحفات متفاضححلة غيححر خارجححة عحن‬
‫الحقيقة الواحدة كالشدة والضعف والتقدم والتأخر والقوة والفعل وغير ذلك فهّي حقيقة واحححدة متكححثرة فحي ذاتهّححا‬
.‫يرجع فيهّا كل ما به المتياز إلى ما به الشتراك وبالعكس وهذا هو التشكيك‬

Berdasarkan paparan di atas, penulis ingin memperlihatkan bahwa, 1) konsep


eksistensi yang tunggal dan aksioma di abstraksi dari realitas yang tunggal,
meski 2) terdapat perbedaan dalam hakikat eksistensi tersebut yang 3)
menegaskan terjadinya kesatuan sekaligus keberagaman yang mana
keduanya kembali lagi pada eksistensi. Sebab konklusi tersebut
memperlihatkan sejenis paradoks yang tidak paradoks lantaran memiliki
argumentasi kefilsafatan khas filsuf realis Shadiran.

Dikotomi pembahasan

Satu hal penting yang harus digaris bawahi ialah sebuah dikotomi
pembahasan tentang eksistensi yang menjadi aspek konseptual dan aspek
realitas. Para filsuf Sadrian telah mewanti-wanti hal ini, sebab jika pengkaji
filsafat eksistensi gagal memahami dikotomi pembahasan aspek-aspek
tersebut, maka tidak akan terjadi kerancuan di seputar “keseragaman” dan
“berderajat” dalam konsep dan acuan-acuannya.

Menurut Izutsu, karakteristik skolatisisme filsafat hikmah secara umum


adalah para pemikirnya memisahkan dua tingkatan referensi, (1) tingkatan
gagasan (mafhum) dan (2) tingkatan realitas eksternal, dan mencoba
konsisten dan sadar agar tidak kehilangan pandangan atas dasar pembagian

7
ini.9 Kemudian, Izutsu melanjutkan bahwa, gagasan tentang eksistensi yang
memiliki pengertian pra-konseptual atas makna mengenai kata itu, yakni
kesadaran langsung dan paling mendasar mengenai apa yang dimaksud
dengan kata tersebut.10

Di samping itu, kita juga tahu bahwa predikasi eksistensial pada berbagai
macam kuiditas mengadung makna yang sama, adapun eksistensi di realitas
in concreto tidaklah sama. Namun, jika kita memandang realitas in concreto
tanpa embel-embel sifat eksistensi seperti prioritas-posterioritas, sebab-
akibat, dan lain sebagainya, maka realisasi keberadaan dari secuil debu
sampai martabat intelek akan sama sebagai realitas yang sama-sama eksisten.

9 Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence, (Keio University; Tokyo) hal 68.

10 Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence, hal 76.


8

Anda mungkin juga menyukai