Anda di halaman 1dari 12

‫‪Kesatuan Subjek-Objek‬‬

‫‪Epistemik‬‬
‫) العاقل و المعقول متحدان‪/‬اتحاد العاقل باالمعقول(‬

‫‪Rainhard‬‬
Pertama kali dikatakan oleh Porphyry, filsuf Yunani. Ia juga
meneruskan dan menulis banyak karya dari tradisi filsafat Plato serta
Neo-Platonis.

Salah satu indikasi mengapa Porphyry dilirik sebagai orang yang memegang pendapat seperti
demikian karena perkataannya: “akal merupakan segala sesuatu, maka siapapun yang
memikirkan dzatnya sendiri sama saja dengan memikirkan segala sesuatu di luar dirinya (inna al-
aql kullu al-asyaa’, fa man aqala dzatahu faqad aqala kulla al-asyaa’)”.
Akan tetapi, Ibn Sina memahami perkataan tersebut dengan ‘perubahan subjek inteleksi menjadi
objeknya ketika kesatuan terealisasi’.

Maka dari itu klasifikasi pengetahuan dalam Filsafat ada dua jenis yang tertera
sebagai berikut:
1) Ilmu dzat bi al-dzatiha
2) Ilmu dzat bi al-ghairiha
Sejarah mengenai kritik atas kesatuan subjek dan objek epistemik
dilontarkan oleh Ibn Sina. Sedikitnya terdapat 2 alasan mengapa Ibn
Sina menolak pandangan ini : 1) merusak prinsip identitas, 2)
ketidakmungkinan satu hal terkomposisi (tarkib) dengan hal lainnya.
Atau, dengan kata lain, gagasan kesatuan subjek-objek inteleksi,
yang—salah satunya—dipelopori oleh Porphyry, adalah
terealisasinya perubahan subjek menjadi objek, dan, karena hal
itulah, Ibn Sina menolak gagasan kesatuan subjek-objek.

Eksplanasi:
Substansi subjek-inteleksi mustahil menjadi objek-inteleksi (ma’qul) karena Ibn Sina
memandang bahwa, pengetahuan adalah 1) kualitas jiwa (kaif nafsani) yang mana
kualitas salah satu kategori aksiden, dan oleh karena hal tersebut, konsekuensi
selanjutnya, 2) memastikan bahwa substansi subjek-inteleksi tidak akan terangkap oleh
apapun yang dengannya identitas subjek-inteleksi berubah secara total.
Ta’liqat al-Syifa

Adalah hal yang sangat amat Jika sesuatu menjadi sesuatu lainnya
mustahil jika mempertahankan (karena hasil dari inteleksi), boleh
pendapat bahwa, tindakan jadi sesuatu (objek) tersebut adalah
intelektif atas objeknya eksistensi atau non-eksistensi. Jika
bersatunya eksistensi dengan
mengimplikasikan perubahan atas
eksistensi lainnya konsekuensinya
subjek ke objek. adalah eksistensi tersebut bukanlah
Alasannya; Jika kita menginteleksi realitas tunggal melainkan terdiri dari
Tuhan, maka—konsekuensinya— dua eksistensi. Lalu, jika objeknya
bersatu denganNya sekaligus adalah ketiadaan maka eksistensi
menjadi diriNya. tersebut menjadi eksistensi sekaligus
non-eksistensi,.
Realis Sadrian menekankan bahwa kesatuan subjek dan
objek pengetahuan tidak sama dengan kesatuan kuiditas
subjek dengan kuiditas objek. Mengasumsikan kesatuan
kuiditas subjek dengan kuiditas objek hanya berimplikasi
pada ‘inqilab’.
Maka dari pada ketidakmungkinan tersebut, kesatuan
yang disuguhkan oleh Sadra dan para realis setelahnya
adalah kesatuan eksistensiil subjek dan objek,
sedangkan kuiditas mental, yang merupakan titik pijak
kebenaran-korespondensial, hanyalah unsur intrinsik dari
kehadiran eksistensi mental.
a) Kesatuan kuiditas utuh atau spesies
(mahiyyah tammah) dengan kuiditas utuh
lainnya

b) Kesatuan kuiditas subjek-inteleksi (mahiyyah


al-’alim) dengan kuiditas objek
inteleksi/intelligible (mahiyyah al-ma’lum)

c) Kesatuan eksistensi tunggal dengan


kuiditasnya
• Substansi dan aksiden
jauhar wa ‘aradh

• Materi dan bentuk


maddah wa shurah

• Relasi Iluminatif
al-idhafah al-israqiyyah
A) Pembagian Dua Objek inteleksi;
Bentuk sesuatu (suwarul asyaa’) ada dua jenis, 1) bersatu dengan materi, 2) bebas dari materi.
Bentuk yang pertama terkungkung oleh materi, tempat, posisi dan lainnya sehingga tidak bisa
menjadi objek inteleksi (ma’qulah) secara aktual , tidak juga menjadi yang terindra maupun
imajinatif, oleh karenanya ia hanya berupa objek-objek aksidental. Sedangkan yang kedua, kontra
dari pada yang pertama, meniscayakan ia bisa menjadi objek aktual (ma’qul bi’ fi’i). Terhadap
bentuk yang kedua ini; jika bebas dari materi secara utuh/komprehensif (taam) maka ia adalah
objek aktual, sedangkan jika tidak utuh (naqsh) maka ia merupakan pengetahuan imajinatif dan
indrawi. (Shadra)

B) Ketidakmungkinan benda materi menjadi objek aktual;


.... dikarenakan benda-benda materi merupakan hal yang benar-benar sama dengan ketertutupan
(ihtijab) dan ketidakhadiran yang maknanya sama dengan ketiadaan, yang sebenarnya eksistensi
setiap benda materi adalah ketiadaan bagi lainnya, dan hadirnya setiap bagian dari (berbagai)
eksistensi tersebut melazimkan ketiadaan bagi yang lainnya. Namun, ilmu tidak seperti demikian,
sebab, ia layaknya sesuatu pada sesuatu lainnya atau hadirnya sesuatu tersebut pada sesuatu (yang
lain). Oleh karenanya, jika ilmu bukan sesuatu (eksistensi) bagaimana ia bisa (mengada) pada
yang lain? Dari hal itu pula, tidaklah mungkin mempersepsi bentuk material kecuali hadirnya
sesuatu yang lain, yaitu bentuk yang sama dalam konsep, namun berbeda dalam tingkatan
eksistensi (rutbah al-wujud).
(Majmu’ah Rasa’il)
Berdasarkan pemilahan jenis objek tersebut,
maka kondisi eksistensi objek inteleksi
berimplikasi menjadi;
1) Eksistensi pada dirinya sekaligus pada yang
lain
2) Eksistensi pada dirinya tapi tidak pada yang
lain
Qiyam Shuduri Ta’alluq
Sebab kebergantungan murni

Subjek Objek
- Membedakan eksistensi akibat dengan eksistensi aksiden
-Eksistensi akibat, dalam pandangan Shadra, adalah kebergantungan murni yang mana ia
ekuivalen dengan relasi atau hubungan. Seandainya, hubungan tersebut dikatakan wujud
maka tidak lain hanyalah kata khiasan.
-Subjek inteleksi dalam masalah kesatuan epistemik adalah sebab dalam ‘memunculkan’ objek
aktualnya sehingga konsekuensinya—jika kita berpijak pada dasar relasi iluminatif—adalah
subjek dan objek adalah ketunggalan ontologis, dan hanya terpisah-pisah dalam
pembedahan mental (fi intaza’i aql).
-Oleh karena proses kausasi tersebut terjadi dalam jiwa manusia maka kesimpulannya adalah
Ilm al-Dzat bi ghoiriha adalah mungkin
Potensialitas Aktualitas
Materi Bentuk

Subjek Objek
Pengetahuan adalah hadirnya bentuk-bentuk sesuatu (esensial) kepada
akal (mental/pikiran). Relasi antara pengetahuan dengan objeknya
layaknya relasi antara eksistensi dan kuiditas. Eksistensi sesuatu dan
kuiditasnya berbeda satu sama lain dalam pembedahan mental (i’tibaran).
Lalu, pengetahuan tersebut dan apapun yang diketahui dengannya (al-
ma’lum bihi) merupakan ketunggalan secara esensial ( amr wahid bi al-
dhat) dan berbeda satu sama lain dalam pembedahan atau analisis
mental. Hal ini sama dengan –jika kita menelisik ulang fundamentalitas
eksistensi—eksistensi yang eksis dengan dirinya sendiri, sedangkan kuiditas
eksis—secara aksidental—via eksistensi. Maka dengan demikian,
pengetahuan (realitasnya) diketahui dengan dirinya sendiri dan tersingkap
(kepada kita) melalui esensinya sendiri (bi dhatih), dan berbagai objek
lainnya diketahui melalui pengetahuan tersebut.

(Majmu’ah Rasa’il Falsafiyyah li Sadruddin Muhammad al-Shirazi)

Anda mungkin juga menyukai