Anda di halaman 1dari 15

Wahdatul Wujud; Kritik

Konsep
Ibn Taimiyah terhadap Ibn
Arobi
Oleh: Rifai1

‫فإذا سويته ونفخت فيه من روحي فقعوا له ساجدين‬.


Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan
kepadanya rohKu; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud
kepadaNya.
(QS. As-Shaad: 72)

Prolog

Terma Wahdatul Wujud (pantheisme) merupakan terma yang amat pelik


sekaligus menarik, diperbincangkan serta dikaji dari zaman ke zaman
dan dari generasi ke generasi. Hangatnya perbincangan serta pengkajian
terma ini memiliki pengaruh besar bagi khazanah teologi Islam. Sebab
pergolakan terma ini sangat layak untuk diteliti secara mendalam,
menjabarkan perbedaan pendapat antara ahli sufi sendiri, dalam
memahami dan menyikapi konsep Wahdatul Wujud ini. Ketika ajaran
tasawwuf ini dikupas melalui berbagai pisau analisa para ahli sufi, akan
terkuak dengan sendirinya letak pergolakan pengkajian amat sangat
menarik itu.

Ya! para ahli sufi dalam realitanya beragam dalam memandang terma
Wahdatul Wujud, ada yang memiliki serta sampai pada konsep 'wahdah',
dan tidak. Karena memang para ahli sufi memiliki maqamat dan ahwal
kesufiannya tersendiri melalui eksperimen rohani (tajribah ruhiyah) yang
dilakukan secara pribadi maupun dalam komunitas (tarekat). Disinilah
mengapa tidak semua ahli sufi dapat dinisbatkan terhadap adanya
konsep 'wahdah' ini, melainkan sebagian saja. Dalam Risalah Wahdatul
Wujudnya Imam al-Jurjani mengemukakan adanya madhab as-Shufiyah
al-Muwahhidin sebagai ahli Tauhid yang diibaratkan dengan Wahdatul
Wujud, sebuah istilah para ahli sufi untuk sebutan bagi sang empunya
madhab konsep at-Tauhid (madhab at-tauhid) dalam tasawwuf.2

1
Mahasiswa Ushuluddin al-Azhar Kairo.
2
Said Abdul Latif Faudah, Fathu al-Wadud bi Syarhi Risalati as-Syarif al-Jurjani fi Wahdati al-
Wujud, 2013, Daaru al-Fatah, Oman. Hal; 56.
1
Istilah as-Shufiyah al-Muwahhidin jika ditelusuri dalam ramainya
perbincangan Wahdatul Wujud, akan mengantarkan kita kepada seorang
tokoh besar yang memiliki julukan “Muhyiddin”, yang berarti “Sang
Penghidup Agama” selain disebut sebagai “Syeikhul Akbar”, Syeikh
Agung. Ya, nama beliau Abu Bakar Muhammad Ibn Arobi al-Hatimi
seorang ahli tasawwuf yang populer dengan sebutan Ibn Arobi
(560- 638 H). Dalam 'Fathu al-Wadud'nya, Said Faudah menjelaskan
penisbatan terhadap madhab as-Shufiyah al-Muwahhidin sebagai ahli
Wahdatul Wujud, yang dikenal secara populer penisbatannya kepada Ibn
Arobi shohibul fushus wa al-futuhat, sebab sedikit para ahli sufi
sebelumnya (al-mutaqaddimun) yang menggunakan istilah ini.3

Sedikitnya para kaum sufi yang menggunakan dan memiliki konsep


Wahdatul Wujud juga berpengaruh terhadap banyaknya penolakan kaum
sufi terhadap konsep yang dianggap absurd, serta bercampur dengan
nalar filsafat, yang berakhir pada konsep meniadakan Tuhan (atheis
filosofis). Karena menyamakan Tuhan dengan mahluk, begitupula
sebaliknya menganggap mahluk sebagai jelmaan Tuhan. Diperparah lagi
dengan statemen-statemen ekstatif (al-kalimat as-syathahat), ungkapan
yang diluar jangkauan nalar kaum mayoritas (awam). Lengkaplah lebel
pengkafiran, pengutukan serta kata laknat lainnya yang menghujam
kepada para sufi sang empunya konsep Wahdatul Wujud terutama Ibn
Arobi dan pengikutnya Shadru ad-Din al-Qanawi, Afif at-Tilmisani, Ibn
Sab'in, at-Tasytiri, Abdullah al-Balyani. Bahkan sampai pengeksekusian
hukuman kematian sebagaimana al-Hallaj dan Syeikh Siti Jenar.

Teringat dengan jelas, ketika SAS (Said Aqil Siradj) Center Kairo
mengadakan simposium pemikiran konsep Wihdatul Wujud Ibn Arobi
pada tahun 2010 lalu, adalah Syeikh Mahmud Ghurab tokoh sufi yang
sudah lama mendalami dan menekuni ajaran Ibn Arobi sebagai pemateri
simposium tunggal ini. Dengan tegas beliau menentang keras para ulama
yang mengkafirkan dan menganggap zindiq Ibn Arobi, sebagaimana Ibn
Taimiyah dan muridnya Ibn Qayyim.

“Barang siapa yang mengkafirkan imam al-Akbar (Ibn Arobi) seperti Ibn
Taimiyah dan Ibn al-Qoyyim, sebenarnya mengkafirkan atas pembacaan
yang tidak dipahaminya atau pembacaan dan perkataan yang tidak
dikatakan ar-Rojul (Ibn Arobi) secara mutlak dan tidak memiliki dasar
untuk dibenarkan (pengkafirannya),” ujarnya dengan nada cukup
lantang.

Dari sinilah kajian kali ini akan diulas secara khusus membahas
pengkafiran Ibn Taimiyah dalam konsep Wahdatul Wujud Ibn Arobi, yang
dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Mengungkap bagaimana
sebenarnya pandangan konsep Wahdatul Wujud ala Ibn Taimiyah yang
kemudian dijadikan legetimasi pengkafiran sang empunya Konsep
Wahdatul Wujud Ibn Arobi. Tentunya perlu penjabaran yang jelas
3
Said Abdul Latif Faudah, Ibid.
2
mengenai pemahaman yang dimaksudkan Ibn Taimiyah terhadap
pemahaman konsep Wahdatul Wujud Ibn Arobi, yang kemudian
dikomparasikan dengan konsep ahli sufi yang bersepakat dengan Ibn
Arobi. Sehingga diantara pemahaman konsep ini bisa diketahui apakah
yang dimaksudkan Ibn Taimiyah sudah tepat ditujukan kepada Ibn Arobi
atau tidak? Serta mengetahui cara menyikapi pengkafiran yang marak di
kalangan umat Islam terhadap Wahdatul Wujud ini dengan bijak.

Kritik Konsep Wahdatul Wujud ala Ibn Taimiyah

Ibn Taimiyah merupakan tokoh terkemuka dalam madhab Wahabi,


madhab Islam yang bersarang di Arab Saudi. Kitab-kitab karya buah
pikirnya selalu menjadi bahan pegangan dalam memahami ajaran yang
Islami. Fatwa-fatwanya selalu dianggap urgen bagi kalangan Islam
penganut paham ini.

Fatwa-fatwa Ibn Taimiyah bisa dibilang sangat keras dan ekstrem


terhadap teori yang mereka anggap menyimpang dari ajaran Islam,
karena tidak memiliki landasan yang kokoh dan jelas melalui nash (al-
Qur'an dan Sunnah). Bahkan sampai pada pengkafiran, pengutukan dan
pelaknatan seorang ulama yang dianggap memiliki ajaran di dalamnya
mengandung ajaran batil, delusi (wahm) dan khurafat di dalam agama
Islam. Termasuk fatwa pengkafiran dan pelaknatan Syaikhul Akbar Ibn
Arobi diberbagai karyanya. Karena memang banyak sekali terma dan
istilah yang dikemukakan oleh Ibn Arobi dalam karyanya Futuhat al-
Makkiyah, disalahkan dan dibantah oleh Ibn Taimiyah.

Konsep Wahdatul Wujud dalam pemahaman Ibn Taimiyah, antara sang


Pencipta (kholik) dan ciptaan (mahluk), yang di utarakan Ibn Arobi serta
pengikutnya ahli Wahdatul Wujud adalah sebuah kerancuan dalam
menggunakan nalar berfikir dan tidak bisa diterima Islam. Karena
mengandung kebatilan yang bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan
agama Yahudi dan Nashrani sekalipun, sebagaimana pandangannya
tentang Ittihad4 dan Hulul5.

Ibn Taimiyah menganggap Ittihad dan Hulul yang di kemukakan oleh ahli
Wahdatul Wujud adalah, menyatunya eksistensi antara Tuhan dan
ciptaanNya. Lihatlah petikan pemahaman Ibn Taimiyah dalam kitab
Majmu'ah ar-Rasail wa al-Masail yang di dalamnya terdapat pembahasan
khusus bantahan terhadap konsep Wahdatul Wujud:

4
Ittihad adalah penyatuan kedalam asalnya yaitu proses dua hal yang berbeda menjadi satu.
Dan memiliki derajat tingkat penyatuan berbeda, yang terendah dalam urusan duniawi dan
tertinggi tingkat penyatuannya dalam sufi. Lihat; Jamil Saliba, al-Mu'jam al-Falsafi, juz 1.
1982, Daaru al-Kitab al-Lubnani. Beirut. Hal; 34.
5
Hulul adalah perwujudan Tuhan kedalam materi yang berjumlah dari hamba(makhluk)Nya
atau dengan perwujudan lainnya. Lihat; Majma' al-Lughah al-Arabiyah, Mu'jam al-Falsafah,
1983, Haiah Ammah. Kairo. Hal; 72.
3
"‫الحلول والتاحاد وما يقارب ذلك كالقول بوحدة الوجود كالذين يقولون إن الوجود واحد فالوجود الواجب‬
‫ كما يقول ذلك أهل الوحدة كابن عربي وصاحبه‬،‫للخالق هو الوجود الممكن للمخلوق‬..."6
"Hulul dan Ittihad serta yang mendekati itu seperti ungkapan dalam
Wahdatul Wujud, seperti yang dikatakan mereka sesungguhnya 'wujud
itu satu', maka wujud yang waji bagi Pencipta adalah wujud yang
mungkin bagi ciptaanNya, Seperti Itu yang dikatakan ahli wahdah
seperti Ibn Arobi dan sahabatnya..."

Disinilah letak pemahaman Ibn Taimiyah terhadap adanya eksistensi


yang satu dalam Wahdatul Wujud, yang merupakan penyamaan serta
penyatuan secara mutlak eksistensi Tuhan dan eksistensi mahlukNya,
antara wujud yang wajib (al-wujud al-wajib) bagi Pencipta (li al-kholik)
dan wujud yang mungkin (al-wujud al-mumkin) bagi ciptaanNya (li al-
makhluk).

Dari sini pemahaman Ibn Taimiyah berlanjut pada anggapan ahli wahdah
yang membedakan antara wujud eksistensi dengan ketetapan, seperti
yang dipahami tentang entitas-entitas archetipal (a`yan as-tsabitah)
dalam ketiadaan melebihi Tuhan dalam eksistensiNya. Maka wujud
Tuhan (wujud al-haq) adalah sebuah eksistensi (karena bukan ketiadaan).
Dan tentunya Pencipta (kholik) membutuhkan konkriditas untuk
membuktikan eksistensiNya, dan itu untuk mencapai eksistensi sebagai
diriNya sendiri serta keberadaaNya. Maka, ketiadaan adalah sesuatu
dan eksistensi mahluk adalah bukti adanya Pencipta. Dari sini bisa
disimpulkan eksistensi ciptaan merupakan eksistensi Pencipta dan
sebaliknya eksistensi pencipta merupakan eksistensi ciptaan. 7

Setelah memahami maksud Ibn Taimiyah tentang wujud diatas maka


tibalah saatnya melihat analisa kritik penyatuan konsep Wahdatul Wujud
ala Ibn Taimiyah. Beliau menyatakan bahwa jika yang dimaksud 'wujud
itu satu' (al-wujud wahid) dalam artian segala sesuatu yang ada (al-
maujudat) kesatuan dalam eksistensinya masing-masing (isytirakat)
dalam arti eksistensinya 'ada', maka ini benar. Tapi jika segala sesuatu
menyatu dalam kesatuan yang utuh (musytarakat) maka ini bukan
eksistensi dari eksistensi konkrit, maka persatuan ini merupakan
persatuan umum universal bersatu hanya dalam nama yang disebut
dengan nama jenis, dan dibagi lagi oleh para logikawan sebagai jenis
bentuk, bagian, khusus dan presentasi umum. Penyatuan dalam sebutan
nama-mana itu menjelaskan, konkriditas dan kosmos sebagai salah satu
bagian yang menyatu. Bukan ini akhirnya, sebagaimana yang
diketahuinya, membuktikan bahwa eksistensi Tuhan (wujud al-haq) untuk
menjelaskan adanya mahluk, melebihi dari penjelasan terhadap sesuatu
yang diadakan itu, untuk sesuatu yang diadakan (al-maujud li al-maujud).
Maka, jika ada eksistensi antrosfisika menerangkan perbedaan bagi
6
Taqiyu ad-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah al-Harani, Majmu`ah ar-
Rasail wa al-Masail, Jilid 1. Lajnah at-Turats al-Arabi. Hal; 66.
7
Taqiyu ad-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah al-Harani, Ibid. Hal; 66.
4
eksistensi semut dan nyamuk, maka eksistensi Tuhan melebihi
penjelasan untuk seluruh eksistensi mahluk, dari penjelasan eksistensi
mahluk itu bagi eksistensi mahluk sendiri.8

Darisinilah Ibn Taimiyah mempertanyakan ketauhidan Ibn Arobi


sekaligus mengkafirkannya, dengan menjabarkan ungkapannya 'tidak
mengetahui tauhid kecuali satu' (la ya'rifu at-tauhid illa wahid).
Penjabaran Ibn Taimiyah tentang ungkapan ini menjelaskan adanya
absurditas penalaran, bagaimana bisa menetapkan sesuatu sebagai satu
yang ada, dan menafikan lainnya padahal disana ada entitas yang lain.9

Bila dijabarkan kembali anggapan Ibn Taimiyah diatas, maka


keterangannya akan menjelaskan bahwa, jika ada entitas selain entitas
Tuhan dan dinafikan, maka ini sama halnya menganggap semua
eksistensi sama dengan entitas Tuhan. Sehingga jika tidak mengakui
adanya entitas selain entitas Tuhan padahal disana ada entitas selain
Tuhan, maka ini sama halnya menganggap entitas mahluk sebagai Tuhan
dan sebaliknya. Inilah yang dijadikan alasan kenapa Ibn Arobi dikafirkan
oleh Ibn Taimiyah.

Secara garis besar Ibn Taimiyah membagi konsep Wahdatul Wujud dibagi
menjadi dua bagian10; yang pertama, adalah 'wahdah khusus' seperti
pemahaman kaum Nasrani terhadap ketuhanan nabi Isa as. Dapat
dipahami bahwa pandangan ini menerangkan adanya Hulul perwujudan
Tuhan hanya pada orang tertentu saja. Dan yang kedua, adalah konsep
wahdah secara umum, dimana ini dituduhkan kepada konsep Ibn Arobi
dan kepada pengikutnya. Sebagaimana penjelasan diatas yang berakhir
pada menyatukan Tuhan dengan seluruh mahlukNya. Maka dari itulah,
Ibn Taimiyah menyebut ahli wahdah, lebih parah daripada pandangan
Hulul umat nashrani, begitupula kekafirannya.

Demikianlah penjabaran singkat dan sederhana terhadap pemahaman


kritik konsep Wahdatul Wujud Ibn Taimiyah terhadap Ibn Arobi, analisa
awal untuk memasuki dan menganalisa lebih mendalam lagi pemahaman
konsep yang lain atas terma Wahdatul Wujud ini.

Konsep Wahdatul Wujud Ahli Suf

Dalam pembahasan selanjutnya, akan memberikan gambaran konsep


Wahdatul Wujud ahli sufi sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil
sikap pengkafiran dan pengutukan as-Shufiyah al-Muwahhidin sang
empunya Wahdatul Wujud. Perlu diketahui penjabaran ini bukan berarti
balasan serta bahan bantahan terhadap semua penjelasan dan analisa
Ibn Taimiyah terhadap konsep Wahdatul Wujud Ibn Arobi di atas, dan
juga bukan sebuah pembenaran terhadap pemahaman Ibn Taimiyah.

8
Taqiyu ad-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah al-Harani, Ibid. Hal; 110.
9
Taqiyu ad-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah al-Harani, Ibid. Hal; 111.
10
Taqiyu ad-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah al-Harani, Ibid. Hal; 87.
5
Karena banyak pembacaan yang berbeda dan lebih mendalam atas terma
Wahdatul Wujud, dalam menyingkap rahasia di balik hakekat terma yang
menarik dan menggelitik ini, yang perlu dijabarkan secara gamblang
satu persatu.

Ada beberapa konsep ahli sufi dalam membaca dan menganalisa ajaran
Wahdatul Wujud Ibn Arobi secara mendalam, dan para ahli sufi ini
memiliki pisau analisa yang berbeda walaupun kesemuanya berkait
berkelindan dalam menyingkap rahasia konsep Wahdatul Wujud ala Ibn
Arobi. Sehingga walaupun mereka memiliki sikap yang berbeda, mereka
memiliki tujuan yang sama dalam menyingkap derajat maqamat tertinggi
kedekatan seorang pecinta sejati para ahli sufi, terhadap Sang cinta
sejati, Ilahi.

Pertama, Analisa konsep Wahdatus Syuhud sebagai alternatif ala Imam


Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi (971-1034 H), tokoh terkemuka dalam
tarekat Naqsyabandiyah. Walaupun beliau memiliki anggapan tidak
bersepakat dengan konsep Wahdatul Wujud yang berakhir pada kesatuan
eksistensi (at-tauhid al-wujudi) secara konkrid ala Ibn Arobi, tapi beliau
menawarkan konsep Wahdatus Syuhudnya sebagai alternatif dari
pembacaan ekstrem terhadap Wahdatul Wujud. Sebagaimana beliau
memandang kesatuan eksistensi (at-tauhid al-wujudi) sebagai
pengetahuan tingkatan dalam hati dan kebutuhan bagi para ahli wilayah,
akan tetapi kesempurnaanlah yang melatarbelakangi itu. Sehingga
tampaklah sesungguhnya hamba adalah hamba dan Tuhan adalah Tuhan,
sebagaimana yang dinisbatkan para sahabat dan semua pengikut Nabi. 11

Pemaparan Wahdatus Syuhud Imam al-Faruqi pada Risalah Kasyfu as-


Syuhud fi Ma`rifati al-Maula Wajibu al- Wujud-nya cukup memberikan
gambaran yang jelas tentang hakekat posisi eksistensi Tuhan dan
mahlukNya. Beliau menjelaskan eksistensi Tuhan dari sebuah perubahan
yang merupakan sumber kebaikan keindahan dan eksistensi dari
keberadaan itu. Dimana semua ini merupakan penyatuan secara umum
terhadap adannya eksistensi bayangan (al-wujud ad-dhilli), sebagai
eksistensi khusus melalui atribusi entitas Tuhan yang Maha Tinggi dan
Maha suci12.

Penjelasan eksistensi bayangan inilah yang akan mengantarkan kita pada


sebuah konsep Wahdatus Syuhud sebagai alternatif Wahdatul Wujud Ibn
Arobi. Eksistensi bayangan akan memunculkan kehadiran Tuhan melalui
segala atributNya. Sehingga kita bisa membedakan antara tingkat asli
dan tingkat bayangan, terhadap eksistensi umum pada Tuhan dan khusus
pada mahluk. Dalam tingkat asli, kita harus mengatakan ‘Tuhan ada’

11
Imam Al-Faruqi as-Sirhindi, Kasyfu as-Syuhud fi Ma`rifati al-Maula Wajibu al- Wujud.
Tahqiq; D. Muhammad al-Qadir an-Nasshar. 2011, Darat al-Karaz, Kairo. Hal; 14.
12
Imam Al-Faruqi as-Sirhindi, Ibid. Hal 122
6
(Allah wujud), tidak boleh mengatakan ‘Tuhan diadakan’ (Allah maujud).
Tapi dalam tingkat eksistensi bayangan, bisa dibenarkan ‘Tuhan
diadakan’ (Allah maujud), bukan ‘Allah ada’ (Allah wujud).13 Dalam artian
dengan mengatakan seperti itu, kita bisa melihat keberadaan Tuhan
melalui diri kita sebagai eksistensi bayangan dari Tuhan yang diadakan,
dan bukan eksistensi asli dari Tuhan yang ada pada diri kita.

Disinilah letak tidak berkesepakatan Imam al-Faruqi terhadap


pemahaman Wahdatul Wujud ala Ibn Arobi, yang dianggap sebagai
thaifah asshufiyah yang menetapkan konkriditas wujud tanpa menelisik
perbedaan serta pemisahan terhadap adanya eksistensi asli dari
eksistensi bayangan. Serta menetapkan semuanya dari atribusi
univositas (al-hamla al-muwathaah) serta atribusi derivatif (al-hamla al-
isytiqoqi), dalam tingkatan yang sama. Oleh karenanya, butuh perbaikan
dalam derivatif (al-hamla isytiqoqi), terhadap penemempatan dan
kemampuannya.14

Eksistensi asli dan eksistensi bayangan ini bagaikan seluruh keaslian


sifat dan hakekat dengan bayangannya sendiri, maka sesungguhnya
atribut sifat dalam tingkat asli merupakan habitat yang umum serta
ghaib, adalah sebagai atribusi univositas bukan atribusi derivatif. Oleh
karenanya, yang dikatakan Tuhan adalah entitas ilmu (Allah `ilmu), tidak
mungkin dikatakan Tuhan sesuatu yang berpengetahuan (Allah `alim).15
Sebab, yang berpengetahuan itu akan memiliki perubahan sesuai dengan
ilmu yang diketahui, sedangkan Tuhan adalah entitas dari ilmu sendiri
yang tetap dan absolut. Oleh karenanya atribusi derivatif (al-hamla al-
isytiqoqi) ini benar pada tingkat eksistensi bayangan, yang merupakan
pembagi atas predikat itu sendiri dan bukan predikat sebagai pijakan.
Akan tetapi, kongkriditas nyata sifat itu berada dalam tingkat cabang,
dari kongkriditas eksistensi Tuhan yang Maha Tinggi, yang merupakan
sumber dari seluruh kebaikan dan kesempurnaan, serta sumber dari
kebagusan dan keindahan.16

Sesungguhnya kehadiran entitas habitat itu dengan kesempurnaanNya


sebagai ilmu, sebagaimana pula dengan kesempurnaanNya sebagai
kemampuan (qudrah). Bukan berarti sebagian adalah entitas ilmu, dan
bagian entitas lain adalah sebagai kemampuan, sebab terbagi-bagiNya
entitas itu adalah mustahil bagiNya. Inilah sebuah kesempurnaan yang
seakan-akan ada sebuah pemisahan dari sebuah kehadiran entitas dan
demontrasi bagiNya, sebagai spesifikasi dalam kehadiran ilmu serta
menghasilkan pembedaNya dengan menetapkan kehadiran entitas yang
Maha Tinggi dan Maha Suci, atas perubahan tanpa adanya pembauran
universalitas kesatuan (al-wahdaniyah). Dan tidak ditetapkan terhadap
sesuatu di dalam habitat itu, kecuali atermasuk dalam spesifikasinya dan
13
Imam Al-Faruqi as-Sirhindi Ibid.
14
Imam Al-Faruqi as-Sirhindi Ibid.
15
Imam Al-Faruqi as-Sirhindi Ibid.
16
Imam Al-Faruqi as-Sirhindi Ibid.
7
bukan pembeda. Disinilah terpancar seluruh kesempurnaan yang terjadi
semuanya satu, darinya konkriditas nyata sebuah entitas terhadap
tingkatan sebuah ilmu. Dan bisa dicapai kesempurnaan yang spesifik
dalam tingkatan kedua, dengan adanya eksistensi bayangan dan
dinamakannya dengan sifat, bisa mencapai baginya untuk mendirikan
kehadiran entitas aslinya.17

Setelah mengetahui hakekat eksistensi asli pada Tuhan dan eksistensi


bayangan pada mahluk, Imam al-Faruqi memberikan penjelasan tentang
hakekat sesuatu yang mungkin (al-mumkinat) sebagai sebuah ketiadaan,
yang merupakan sumber dari semua keburukan dan kekurangan,
bersamaan dengan kesempurnaan itu sebagai lawannya. 18 Disinilah letak
keberadaan seorang hamba yang merupakan sumber dari segala
kekurangan, keburukan dan kemusnahan itu berada.

Posisi Wahdatus Syuhud ini merupakan sebuah pencapaian tertinggi


akan makrifat keberadaan Tuhan, serta benar-benar menjiwai bahwa
Tuhan adalah yang wajib wujudNya sebagai sumber kesempurnaan,
keindahan dan keberadaan iu sendiri. Sehingga ketika melihat terhadap
semua yang ada dan diadakan oleh Tuhan merupakan sebuah nisbi,
ketiadaan, yang keberadaanya adalah hanya sebuah bayangan dari
keberadaan asli zat yang Maha Tinggi dan Maha suci.

II

Kedua, analisa konsep penakwilan Wahdatul Wujud ala Imam Burhan ad-
Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani (w. 1101 H), seorang tokoh
sufi yang terkemuka dalam tarekat Sathariyah. Beliau merupakan ahli
sufi yang bersepakat dengan konsep Wahdatul Wujud Ibn Arobi, akan
tetapi masih perlu adanya penakwilan terhadap terma yang sering
dianggap absurd bagi kebanyakan kalangan yang kontra, sekaligus
sebagai pembeda dengan konsep penyatuan yang atheistik.

Memang posisi takwil memiliki peran yang sangat urgen, terutama dalam
menyikapi statemen ekstatif dari ahli wahdah dalam keadaan sadar
maupun tidak sadar. Terkadang ketika seorang sufi bertaqarrub, ada
yang menganggap pendekatan diri kepada Tuhan ini bersamaan dengan
adanya hayalan Hulul, Ittihad dan Wushul. Tentunya ini salah, walaupun
pendekatan diri itu adalah suatu yang benar. Dan ketika sebuah
ungkapan itu telah terucap dan mempersempit kedalam statemen
ekstatif yang didapat, dari segi yang tidak diragukan lagi ke-absurd-
annya. Sebagaimana Imam an-Nanawi, mewajibkan takwil terhadap
perkataan para auliya’ ini, sebab yang dirasakan dalam hati itu sebuah
kebenaran, dan pengungkapan rasa perlu dijabarkan lebih mendalam
agar terhindar dari anggapan yang disalah pahami. Maka ketika seorang
pendengar yang tidak bisa merasakannya, menganggap itu sebagai Hulul

17
Imam Al-Faruqi as-Sirhindi Ibid. Hal; 124
18
Imam Al-Faruqi as-Sirhindi Ibid.
8
atau Ittihad sedangkan perkara ini bukanlah seperti itu. 19 Sebagaimana
dalam kasus statemen ekstatif yang menyatakan:

‫ ونحن نفسنه ووجوده‬,‫إن ا تاعالى نفسنا ووجودنا‬.20


“Sesungguhnya Allah yang Maha Tinggi jiwa kita dan eksistensi kita, dan
kita jiwaNya dan eksistensiNya”.

Untuk menyingkap rahasia yang ada dalam statemen itu, mendesak


untuk mengungkap secara jelas makna yang terkandung dalam tiga kata
kuncinya; Tuhan (Allah), jiwa (nafs), dan eksistensi (wujud), serta kata
ganti dari manusia yang mengucapkannya kepada orang lain. Maka
kedudukan lafad Allah, merupakan yang wajib eksistensinya (al-wajib al-
wujud), yang disembah dengan kebenaran. Dan hakekatnya adalah
eksistensi yang murni (al-wujud al-mahdla) mutlak dengan keabsolutan
yang haqiqi, yakni sesuatu yang bukanlah menerima keterikatan pada
sesuatu, tapi menerima segala sesuatu terikat padaNya dengan mutlak.
Dia adalah suatu eksistensi yang teridentifikasi melalui entitasnya sendiri
dan bukan dengan suatu tambahan atas entitasNya. Seluruh
kesempurnaan berkumpul dan teridentifikasi atas entitasNya yang
berbeda dari segala yang bersifat kurang. Dan sesuai dengan
keabsolutanNya, bermanifestasi (at-tajalli) dengan segala bentuk yang
tampak sesuai kehendakNya dengan menetapkan pembedaan ‘laisa
kamitslihi sai’un’ tidak ada sesuatu yang bisa menyerupaiNya.21

Jiwa (nafs) pada hakekatnya ditetapkan pada entitas yang haqiqi. Maka
jika dimasuki kata imbuhan kata ganti Tuhan (dalam kata nafsuhu)
sebenarnya itu adalah hakekat entitasNya sendiri. Sedangkan jika kata
imbuhannya merupakan kata ganti dari manusia (nafsuna) yang
mengatakan, maka itu merupakan roh yang memberikan kehidupan
sesuatu yang ada dalam diri manusia22 itu sendiri sebagaimana
firmanNya; ‘wanafakhtu fihi min ruhi’ dan Kutiupkan kepadanya rohKu.

Dan yang dimaksud sebagai eksistensi (wujud) pada hakekatnya akan


selalu bersanding dengan Sang Empunya wujud mutlak, menjelaskan
sesuatu yang berbeda dari semua yang teraksioma secara nyata. Dan
kata ini bukanlah seperti yang ada dalam pemahaman, tapi dapat
diketahui darinya sesuatu yang ada di luar pikiran entitasnya secara
nyata, serta teridentifikasi keberadaannya dengan segala yang berbeda
selainnya. Karena memang menjadi sumber bagi segala yang ada, yang

19
Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, al-Maslaku al-Jali fi Hukmi Syathi al-
Wali. Tahqiq; D. Muhammad al-Qadir an-Nasshar. 2011, Darat al-Karaz, Kairo. Hal; 47.
20
Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, Ibid.
21
Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, Ibid. Hal 27
22
Menurut imam ahmad al-furghoni (w. 669 H) nafs yang memiliki imbuhan kata ganti
manusia, mengistilahkan sebagai asap embun yang diletakan dalam bathin hati sanubari yang
membawa kekuatan untuk hidup, sesuai dengan jenis napak tilas ruh rohani. Lihat : Burhan
ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, Ibid.
9
keberadaannya adalah sebuah keniscayaan. Dan ini merupakan wajib
keberadaannya secara mutlak.23

Sedangkan penjelasan dalam kenyataan manusia (al-Insan). Pada


hakekatntya manusia yang ditetapkan padanya adalah sebuah ketiadaan,
nisbi, dalam ilmu Allah yang azali. Dan ketiadaan yang mutlak itu, tidak
ada perbedaan baginya sendiri secara asal. Dan jika tidak, manakala ada
ketiadaan mutlak itu, maka tidak sah ada eksistensi yang dinisbahkan
padanya. Maka semua yang terkait dengan ilmu Ilahi harus membedakan
pada entitasNya serta tiada keraguan bahwa Allah Maha mengetahui
sejak azali, dan tidak ada sifat-sifat yang mungkin sejak azali. Maka wajib
perkara yang diketahui Allah itu sejak zaman azali, bukan pada
pembedaan entitasNya dengan zat yang dijadikan. Maka perkara selain
yang dijadikan sejak zaman azali pada ketetapannya dia itu dijadikan
dalam eksistensinya secara khurus merupakan hal yang baru (al-
haditsah).24 Sebagaimana yang dinukilkan dari kata Ibn Arobi dalam
‘Futuhat’nya; sesungguhnya perkara yang diartikan sesuatu yang
mungkin (al-mumkinat), perbedaan dalam entitasnya ada dalam posisi
ketiadaannya.25

Sedangkan hakekat wujud yang digabungkan dengan kata ganti kepada


manusia (wujudu al-insan), dalam artian eksistensi manusia. Merupakan
sebuah kesempatan dari eksistensi pancaran (emanasi) Tuhan terhadap
kosmos, yang teridentifikasi sesuai dengan kesiapan entitas-entitas
archetypal itu sendiri. Disinilah maksud dari ungkapan Ibn Arobi yang
menyatakan bahwa entitas archetypal hanya memiliki sebuah ketiadaan,
didalamnya hanya mencium bau keberadaan, dan pada posisinya di
dalam ketiadaan bersamanya keberagaman bentuk tampilan
sebagaimana hukum keberadaan perannya.26

Jadi yang dimaksud dari kata Allah adalah jiwa kita (innallaha nafsuna),
entah jiwa itu dimaksudkan sebagai entitas yang haqiqi ataupun yang
ada dalam tubuh manusia, tidak bisa dibenarkan penggunaannya atas
keberadaan Tuhan. Sebab Tuhan adalah eksistensi mutlak, yang tidak
bisa disandingkan dengan eksistensi yang nisbi. Begitupun jika
dimaksudkan terhadap jiwa manusia, bukan berarti itu adalah Tuhan.
Sebab eksistensi Tuhan wajib atas entitasNya sendiri dan eksistensi yang
manusia yang merupakan perkara yang mungkin (al-mumkinat)
eksistensinya terikat, berbeda dengan entitasNya. Maka maksud dari
statemen ekstatif diatas, sesungguhnya eksistensi yang absolut (pada
manusia) itu adalah eksistensi yang dikaitkan (al-wujud al-muyayyad),

23
Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, Ibid. Hal; 28.
24
Lihat penjelasan esensi yang mungkin (al-mahiat al-mumkinah), Burhan ad-Din Ibrahim bin
Hasan al-Kuroni al-Madani, Mathla`u al-Wujud bi Tahqiqi at-Tanzih `an Wahdatu al-Wujud.
Daar Jawami` al-Kalam. Kairo. Hal; 155.
25
Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, Ibid. Hal; 157.
26
Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, Ibid. Hal; 170.
10
dan yang mutlak dari segi keabsolutannya (Tuhan) tidak bisa dikatakan
bahwasanya keterikatan secara akal.27

Sedangkan kata kita dan jiwa kita adalah eksistensiNya (nahnu nafsuhu
wa wujuduhu). Jika kata itu dimaksudkan kita sebagai entitas archetypal,
tidak diragukan lagi ketidak benarannya menggunakan hakekat Tuhan
serta eksistensiNya kepada perkara yang nisbi. Sedangkan jika
dimaksudkan kita sebagai sebuah tampilan yang tampak atas sebuah
eksistensi, maka tidak diragukan sesungguhnya teridentifikasi oleh
dengan yang lain, adalah hal yang baru (haditsah). Sedangkan wajib
eksistensi yang teridentifikasi dengan entitasnya sendiri adalah
terdahulu (qadim). Maka tiadalah sesuatu dalam keterbaruan itu bisa
dilihat dari segi keterbaruannya dan yang terdahulu dari segi
keterdahuluannya.28

Sebenarnya, secara eksplisit Ittihad ala Ibn Arobi sebagaimana yang


telah ditetapkan dalam Futuhat al-Makkiyah-nya dalam bab Kitab al-
Ma`rifah, sebenarnya merupakan integrasi sifat antara Tuhan dengan
hambaNya. Maka sesungguhnya Allah memberikan sifat terhadap
mahluknya sebagaimana sifat bagi diriNya, seperti hidup, ilmu dan
lainnya. Begitupun sebaliknya, Allah mensifati diriNya sebagaimana sifat
bagi hamba, seperti marah, ridlo dan sebagainya. Maka ketika integrasi
sifat antara hamba dan Tuhan disebut, Ittihad (penyatuan), merupakan
sebagai pentunjuk keberadaaNya kepada kita dan penampakan kita
(sebagai hamba) kepadaNya, maka ini benar. 29

Ada 3 opsi terhadap pentakwilan statemen ekstatif yang dikemukakan


oleh imam al-Kuroni; pertama, pentakwilan perkataan auliya` yang jelas
absurditasnya tanpa diragukan lagi, adalah wajib. Kedua, tidak ada
pengaruh ekstatifitas wali pada keadaan sadar dan tidak. Disini
pentakwilannya sesuai dengan statemen ekstatif milik mereka, jika wali
itu mengatakan Aku Allah (ana Allah) dalam saat tidak sadarnya dan
sadarnya perlu pentakwilan dengan takwilan yang bisa diterima serta
tidaklah dikafirkan, sedangkan jika dalam keadaan tak sadar maka itu
sudah jelas pentakwilannya. Ketiga, barang siapa yang mengutarakan
statemen ekstatif para wali, seperti yang ada dalam kitab mereka
sebagimana tulisan bagi wali itu, dengan kebodohannya tentang
ungkapan itu, maka ini tidak diperbolehkan. Dan harus diperbaiki
pemahamannya dalam menggunakan statemen ekstatif ini sesuai dengan
ajaran Islam secara baik.30

27
Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, al-Maslaku al-Jali fi Hukmi Syathi al-
Wali.
28
Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, al-Maslaku al-Jali fi Hukmi Syathi al-
Wali.
29
Lihat penjelasan Ittihad di catatan kaki keterangan Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-
Kuroni al-Madani, Ibid. Hal; 37.
30
Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, al-Maslaku al-Jali fi Hukmi Syathi al-
Wali. Hal 149-150.
11
III

Ketiga, menyingkap manipulasi konsep Wahdatul Wujud Ibn Arobi oleh


Ibn Taimiyah, adalah titah dan petuah Syeikh Mahmud al-Ghurab sang
sufi pewaris Futuhat masa kini. Lain dengan kedua pemikiran diatas,
beliau melihat bahwasanya konsep wahdah Ibn Arobi tidak boleh
ditakwilkan, apalagi dengan gegabah. Beliau lebih sepakat jika konsep
wahdah itu dipahami secara mendalam agar tidak terjadi keraguan dan
salah pemahaman, yang berujung pada pelaknatan dan pengkafiran
secara sepihak sebagaimana Ibn Taimiyah dan muridnya Ibn Qayyim.

Syeikh al-Ghurab menyayangkan banyaknya pengikut Ibn Taimiyah


menyerang Ibn Arobi dengan membabi buta atas tuduhan yang tidak
benar, dengan memanipulasi serta banyak pemikiran Ibnal-Arobi yang
telah disalahtafsirkan dan diselewengkan. Beliau memandang bahwa
pada masa Ibn Taimiyah teks (Futuhat al-Makkiyah) tidak tersedia
seperti saat ini, walaupun banyak manuskripnya tapi disana banyak
manipulasi dan penyelewengan. Tapi zaman sekarang sudah tumbuh dan
berkembang institusi penelitian ilmiah, sehingga memudahkan untuk
mendapati teks dan manuskrip yang terjaga dengan rapi di dalam
perpustakaan di dunia. Dan disana sudah ditetapkan keberadaan
(otentisitas) Futuhat al-Makkiyah dari tulisan tangan Ibn Arobi Sendiri.
Tetapi permasalahanya tidak berhenti disini, sebab tidak mudah untuk
memposisikan terhadap pemahaman yang sudah terkandung di
dalamnya, sedangkan para pengikut Ibn Taimiyah berpegang kuat
terhadap teks dan manuskrip yang selalu dimanipulasi dan
diselewengkan itu.31

Syeikh al-Ghurab meyakini bahwa Ibn Taimiyah belum membaca dan


mentelaah secara mendalam Futuhat al-Makkiyah yang tertulis dengan
tulisan tangan Ibn Arobi sendiri. Karena beliau sudah membandingkan
semua sangkaan Ibn Taimiyah terhadap Ibn Arobi dengan teks asli
tulisan Ibn Arobi, dan semuanya tidak benar. Sehingga memunculkan dua
anggapan Syeikh Mahmud al-Ghurab terhadap apa yang sudah dilakukan
oleh Ibn Taimiyah terhadap Ibn Arobi; pertama, Ibn Taimiyah
memfatwakan terhadap apa yang dinisbahkan perkataan Ibn Arobi, dan
itu adalah fitnah terhadap apa yang sudah dimanipulasi terhadapnya.
Kedua, sesungguhnya dia membaca tapi tidak memahami apa yang
dimaksud Ibn Arobi di dalamnya.32

Mari kita tinjau kembali konsep wahdah Ibn Taimiyah, untuk bahan
komparasi terhadap pemahaman konsep wahdah Syeikh al-Ghurab
sebagai pewaris dan pemurni ajaran Ibn Arobi. Sebagaimana yang
dianggapkan Ibn Taimiyah Ittihad Ibn Arobi sebagai sang empunya
Wahdah Wujud berujung pada pemahaman bahwa entitas mahluk adan
31
Mahmud al-Ghurab, Syarhu Kalimat as-Shufiyah ar-Raddu `ala Ibn Taimiyah, cet. Kedua.
1993, Daaru al-Iman, Siria. Hal; 110-111.
32
Mahmud al-Ghurab, Ibid. Hal; 111-112.
12
entitas Tuhan, dalam Majmu` Fatawa-nya di jilid 10 halaman 95 yang
menyatakan; dan sedangkan penyatuan secara mutlak, yang itu adalah
perkataan ahli Wahdatul Wujud, yang mereka anggapkan sesungguhnya
eksistensi mahluk adalah eksistensi Tuhan, dan ini adalah kebodohan
terhadap Sang Pencipta dan eksistensiNya, ini merupakan kumpulan dari
semua kesyirikan.

Untuk meluruskan anggapan itu Syeikh al-Ghurab menyarankan agar


langsung membuka kembali Futuhat al-Makkiyah juz 4 halaman 372 yang
menyatakan;

‫ بقوله إن كنت تانتبه‬,‫ أل تاراه تاعالى قد أثبت عينك وفصل كونك‬,‫فصل بينه وبينك أثبت عينك وعينه‬
‫))كنت سمعه الذى يسمع به(( فأثبتك بإعادة الضمير إليك ليدل عليك‬.33
“Pemisahan antara kamu dan Dia (Tuhan) menetapkan entitas kamu dan
Dia. Jangan kau melihatNya sudah menetapkan entitasmu dan
pemisahan atas keadaan dirimu, dengan firmanNya jika kau
memperhatikannya ‘Saya akan menjadi telinga yang dengannya ia
mendengar’. Maka menetapkanmu dengan mengulang kata ganti
kepadamu untuk menunjukkan atasmu.”

Keterangan diatas sangatlah jelas bukanlah seperti anggapan Ibn


Taimiyah sebagai penyatuan entitas secara mutlak, tapi diatas
merupakan penjelasan sebuah pemisahan entitas secara mutlak antara
entitas Tuhan dan entitas mahluk, sekaligus juga menjelaskan sisi
dimana Tuhan tak terpisah dari mahluknya yang menyatakan ‘Saya akan
menjadi telinga yang dengannya ia mendengar’. Dimanakah sisi yang tak
terpisahkan antara Tuhan dan mahlukNya itu? Mari kita perhatikan
penjelasan Syeikh al-Ghurab dibawah ini.

Penjelasan ini akan langsung menunjukan konsep wahdah ala Ibn Arobi,
tanpa adanya penyelewegan pemahaman dan manipulasi. Untuk
mengetahui pemahaman Ittihad antara Tuhan dan mahluk, Syeik al-
Ghurab menunjukan langsung letak pemahaman itu dalam kitab Futuhat
al-Makkiyah pada juz pertama halaman 496 dalam bab puasa, yang
menyatakan;

‫ ففي السرار نتحد‬# ‫إذا صحت عزائمنا‬34


“Jika telah benar niat kita # maka di dalam kerahasiaan kita bersatu”

Untuk mememahami maksud ungkapan itu Syeikh al-Ghurab


membeberkan, maksud al-azimah sebagai niat, dan niat adalah syarat
dalam puasa. Maka ketika kita dalam keadaan puasa sebenarnya
bersama Tuhan, sebagaimana pengakuan Allah bahwa puasa milikKu.
Jadi, jika kau katakkan orang yang berpuasa itu adalah manusia (bukan

33
Sesuai yang dinukil Syeikh Mahmud al-Ghurab, Ibid. Hal; 103.
34
Sesuai yang dinukil Syeikh Mahmud al-Ghurab, Ibid. Hal; 105.
13
menjadi Tuhan) maka kau benar. Dan jika kau katakan, berpuasa itu
untuk Allah bukan untuk manusia itu, maka kau juga benar. Intinya, tidak
ada makna bagi penyatuan kecuali benar penisbahan setiap satu dari
kedua yang bersatu itu, bersama dengan pembeda setiap satu dan
lainnya dalam entitas penyatuannya. Jadi Dia (Tuhan) adalah Dia, bukan
dia (manusia) Dia.35

Epilog

Penjabaran Wahdatul Wujud tak akan habis termakan waktu, sebab


pembahasannya akan berlanjut seiring dengan munculnya peniliti baru
yang menghasilkan konsep-konsep teranyar, walaupun menggunakan
data lama yang otentik sebagai perangkat utama. Penjabaran diatas
merupakan salah satu potret dari beberapa konsep Wahdatul Wujud Ibn
Arobi, dari berbagai tokoh yang memiliki analisa berbeda, begitupula
dalam menyikapinya. Imam al-Faruqi tidak bersepakat dengan wahdatul
Wujud Ibn Arobi, tapi beliau memberikan tawaran Wahdatus Syuhud
sebagai alternatif. Imam Al-Kuroni, bersepakat dengan Ibn Arobi dengan
catatan perlu penakwilan agar tak disalah-pahami. Syeikh Mahmud al-
Ghurab, seorang yang secara khusus bergelut dengan Futuhat, tidak
sepakat dengan penakwilan tapi beliau lebih suka dengan pemahaman
secara mendalam terhadap tulisan tangan asli dari Ibn Arobi, sehingga
beliau tidak suka jika ada penyelewengan dan manipulasi terhadap
ajaran Ibn Arobi.

Sedangkan Ibn Taimiyah, adalah satu-satunya tokoh yang memiliki


pandangan ekstrem, tidak hanya menolak konsep Wahdatul Wujud tapi
juga mengkafirkan sang empunya. Walaupun perlu ada sedikit catatan,
apa yang beliau tuduhkan atas pemahaman yang gegabah, sebab apa
yang dimaksudkan oleh Ibn Taimiyah tidak sama dengan maksud Ibn
Arobi dalam konsep Wahdatul Wujudnya. Sehingga pengkafirannyapun
perlu dipertanyakan? Semoga kita semua terlindung dari kesalahan yang
tak bisa dipertanggung jawabkan. Amin!

Daftar Pustaka :

1. Said Abdul Latif Faudah, Fathu al-Wadud bi Syarhi Risalati as-


Syarif al-Jurjani fi Wahdati al-Wujud, Daaru al-Fatah, Oman. 2013.
2. Jamil Saliba, al-Mu'jam al-Falsafi, juz 1. Daaru al-Kitab al-Lubnani.
1982.
3. Majma' al-Lughah al-Arabiyah, Mu'jam al-Falsafah, Haiah Ammah.
Kairo. 1983.
4. Taqiyu ad-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah
al-Harani, Majmu`ah ar-Rasail wa al-Masail, Jilid 1. Lajnah at-
Turats al-Arabi.

35
Mahmud al-Ghurab, Ibid. Hal; 105.
14
5. Imam Al-Faruqi as-Sirhindi, Kasyfu as-Syuhud fi Ma`rifati al-Maula
Wajibu al- Wujud. Tahqiq; D. Muhammad al-Qadir an-Nasshar.
Darat al-Karaz, Kairo. 2011.
6. Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, al-Maslaku
al-Jali fi Hukmi Syathi al-Wali. Tahqiq; D. Muhammad al-Qadir an-
Nasshar. Darat al-Karaz, Kairo. 2011.
7. ____________, Mathla`u al-Wujud bi Tahqiqi at-Tanzih `an Wahdatu
al-Wujud. Daar Jawami` al-Kalam. Kairo. 2007.
8. Mahmud al-Ghurab, Syarhu Kalimat as-Shufiyah ar-Raddu `ala Ibn
Taimiyah, cet. Kedua. Matba'ah Nadlr, Siria. 1993.

15

Anda mungkin juga menyukai