Konsep
Ibn Taimiyah terhadap Ibn
Arobi
Oleh: Rifai1
Prolog
Ya! para ahli sufi dalam realitanya beragam dalam memandang terma
Wahdatul Wujud, ada yang memiliki serta sampai pada konsep 'wahdah',
dan tidak. Karena memang para ahli sufi memiliki maqamat dan ahwal
kesufiannya tersendiri melalui eksperimen rohani (tajribah ruhiyah) yang
dilakukan secara pribadi maupun dalam komunitas (tarekat). Disinilah
mengapa tidak semua ahli sufi dapat dinisbatkan terhadap adanya
konsep 'wahdah' ini, melainkan sebagian saja. Dalam Risalah Wahdatul
Wujudnya Imam al-Jurjani mengemukakan adanya madhab as-Shufiyah
al-Muwahhidin sebagai ahli Tauhid yang diibaratkan dengan Wahdatul
Wujud, sebuah istilah para ahli sufi untuk sebutan bagi sang empunya
madhab konsep at-Tauhid (madhab at-tauhid) dalam tasawwuf.2
1
Mahasiswa Ushuluddin al-Azhar Kairo.
2
Said Abdul Latif Faudah, Fathu al-Wadud bi Syarhi Risalati as-Syarif al-Jurjani fi Wahdati al-
Wujud, 2013, Daaru al-Fatah, Oman. Hal; 56.
1
Istilah as-Shufiyah al-Muwahhidin jika ditelusuri dalam ramainya
perbincangan Wahdatul Wujud, akan mengantarkan kita kepada seorang
tokoh besar yang memiliki julukan “Muhyiddin”, yang berarti “Sang
Penghidup Agama” selain disebut sebagai “Syeikhul Akbar”, Syeikh
Agung. Ya, nama beliau Abu Bakar Muhammad Ibn Arobi al-Hatimi
seorang ahli tasawwuf yang populer dengan sebutan Ibn Arobi
(560- 638 H). Dalam 'Fathu al-Wadud'nya, Said Faudah menjelaskan
penisbatan terhadap madhab as-Shufiyah al-Muwahhidin sebagai ahli
Wahdatul Wujud, yang dikenal secara populer penisbatannya kepada Ibn
Arobi shohibul fushus wa al-futuhat, sebab sedikit para ahli sufi
sebelumnya (al-mutaqaddimun) yang menggunakan istilah ini.3
Teringat dengan jelas, ketika SAS (Said Aqil Siradj) Center Kairo
mengadakan simposium pemikiran konsep Wihdatul Wujud Ibn Arobi
pada tahun 2010 lalu, adalah Syeikh Mahmud Ghurab tokoh sufi yang
sudah lama mendalami dan menekuni ajaran Ibn Arobi sebagai pemateri
simposium tunggal ini. Dengan tegas beliau menentang keras para ulama
yang mengkafirkan dan menganggap zindiq Ibn Arobi, sebagaimana Ibn
Taimiyah dan muridnya Ibn Qayyim.
“Barang siapa yang mengkafirkan imam al-Akbar (Ibn Arobi) seperti Ibn
Taimiyah dan Ibn al-Qoyyim, sebenarnya mengkafirkan atas pembacaan
yang tidak dipahaminya atau pembacaan dan perkataan yang tidak
dikatakan ar-Rojul (Ibn Arobi) secara mutlak dan tidak memiliki dasar
untuk dibenarkan (pengkafirannya),” ujarnya dengan nada cukup
lantang.
Dari sinilah kajian kali ini akan diulas secara khusus membahas
pengkafiran Ibn Taimiyah dalam konsep Wahdatul Wujud Ibn Arobi, yang
dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Mengungkap bagaimana
sebenarnya pandangan konsep Wahdatul Wujud ala Ibn Taimiyah yang
kemudian dijadikan legetimasi pengkafiran sang empunya Konsep
Wahdatul Wujud Ibn Arobi. Tentunya perlu penjabaran yang jelas
3
Said Abdul Latif Faudah, Ibid.
2
mengenai pemahaman yang dimaksudkan Ibn Taimiyah terhadap
pemahaman konsep Wahdatul Wujud Ibn Arobi, yang kemudian
dikomparasikan dengan konsep ahli sufi yang bersepakat dengan Ibn
Arobi. Sehingga diantara pemahaman konsep ini bisa diketahui apakah
yang dimaksudkan Ibn Taimiyah sudah tepat ditujukan kepada Ibn Arobi
atau tidak? Serta mengetahui cara menyikapi pengkafiran yang marak di
kalangan umat Islam terhadap Wahdatul Wujud ini dengan bijak.
Ibn Taimiyah menganggap Ittihad dan Hulul yang di kemukakan oleh ahli
Wahdatul Wujud adalah, menyatunya eksistensi antara Tuhan dan
ciptaanNya. Lihatlah petikan pemahaman Ibn Taimiyah dalam kitab
Majmu'ah ar-Rasail wa al-Masail yang di dalamnya terdapat pembahasan
khusus bantahan terhadap konsep Wahdatul Wujud:
4
Ittihad adalah penyatuan kedalam asalnya yaitu proses dua hal yang berbeda menjadi satu.
Dan memiliki derajat tingkat penyatuan berbeda, yang terendah dalam urusan duniawi dan
tertinggi tingkat penyatuannya dalam sufi. Lihat; Jamil Saliba, al-Mu'jam al-Falsafi, juz 1.
1982, Daaru al-Kitab al-Lubnani. Beirut. Hal; 34.
5
Hulul adalah perwujudan Tuhan kedalam materi yang berjumlah dari hamba(makhluk)Nya
atau dengan perwujudan lainnya. Lihat; Majma' al-Lughah al-Arabiyah, Mu'jam al-Falsafah,
1983, Haiah Ammah. Kairo. Hal; 72.
3
"الحلول والتاحاد وما يقارب ذلك كالقول بوحدة الوجود كالذين يقولون إن الوجود واحد فالوجود الواجب
كما يقول ذلك أهل الوحدة كابن عربي وصاحبه،للخالق هو الوجود الممكن للمخلوق..."6
"Hulul dan Ittihad serta yang mendekati itu seperti ungkapan dalam
Wahdatul Wujud, seperti yang dikatakan mereka sesungguhnya 'wujud
itu satu', maka wujud yang waji bagi Pencipta adalah wujud yang
mungkin bagi ciptaanNya, Seperti Itu yang dikatakan ahli wahdah
seperti Ibn Arobi dan sahabatnya..."
Dari sini pemahaman Ibn Taimiyah berlanjut pada anggapan ahli wahdah
yang membedakan antara wujud eksistensi dengan ketetapan, seperti
yang dipahami tentang entitas-entitas archetipal (a`yan as-tsabitah)
dalam ketiadaan melebihi Tuhan dalam eksistensiNya. Maka wujud
Tuhan (wujud al-haq) adalah sebuah eksistensi (karena bukan ketiadaan).
Dan tentunya Pencipta (kholik) membutuhkan konkriditas untuk
membuktikan eksistensiNya, dan itu untuk mencapai eksistensi sebagai
diriNya sendiri serta keberadaaNya. Maka, ketiadaan adalah sesuatu
dan eksistensi mahluk adalah bukti adanya Pencipta. Dari sini bisa
disimpulkan eksistensi ciptaan merupakan eksistensi Pencipta dan
sebaliknya eksistensi pencipta merupakan eksistensi ciptaan. 7
Secara garis besar Ibn Taimiyah membagi konsep Wahdatul Wujud dibagi
menjadi dua bagian10; yang pertama, adalah 'wahdah khusus' seperti
pemahaman kaum Nasrani terhadap ketuhanan nabi Isa as. Dapat
dipahami bahwa pandangan ini menerangkan adanya Hulul perwujudan
Tuhan hanya pada orang tertentu saja. Dan yang kedua, adalah konsep
wahdah secara umum, dimana ini dituduhkan kepada konsep Ibn Arobi
dan kepada pengikutnya. Sebagaimana penjelasan diatas yang berakhir
pada menyatukan Tuhan dengan seluruh mahlukNya. Maka dari itulah,
Ibn Taimiyah menyebut ahli wahdah, lebih parah daripada pandangan
Hulul umat nashrani, begitupula kekafirannya.
8
Taqiyu ad-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah al-Harani, Ibid. Hal; 110.
9
Taqiyu ad-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah al-Harani, Ibid. Hal; 111.
10
Taqiyu ad-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah al-Harani, Ibid. Hal; 87.
5
Karena banyak pembacaan yang berbeda dan lebih mendalam atas terma
Wahdatul Wujud, dalam menyingkap rahasia di balik hakekat terma yang
menarik dan menggelitik ini, yang perlu dijabarkan secara gamblang
satu persatu.
Ada beberapa konsep ahli sufi dalam membaca dan menganalisa ajaran
Wahdatul Wujud Ibn Arobi secara mendalam, dan para ahli sufi ini
memiliki pisau analisa yang berbeda walaupun kesemuanya berkait
berkelindan dalam menyingkap rahasia konsep Wahdatul Wujud ala Ibn
Arobi. Sehingga walaupun mereka memiliki sikap yang berbeda, mereka
memiliki tujuan yang sama dalam menyingkap derajat maqamat tertinggi
kedekatan seorang pecinta sejati para ahli sufi, terhadap Sang cinta
sejati, Ilahi.
11
Imam Al-Faruqi as-Sirhindi, Kasyfu as-Syuhud fi Ma`rifati al-Maula Wajibu al- Wujud.
Tahqiq; D. Muhammad al-Qadir an-Nasshar. 2011, Darat al-Karaz, Kairo. Hal; 14.
12
Imam Al-Faruqi as-Sirhindi, Ibid. Hal 122
6
(Allah wujud), tidak boleh mengatakan ‘Tuhan diadakan’ (Allah maujud).
Tapi dalam tingkat eksistensi bayangan, bisa dibenarkan ‘Tuhan
diadakan’ (Allah maujud), bukan ‘Allah ada’ (Allah wujud).13 Dalam artian
dengan mengatakan seperti itu, kita bisa melihat keberadaan Tuhan
melalui diri kita sebagai eksistensi bayangan dari Tuhan yang diadakan,
dan bukan eksistensi asli dari Tuhan yang ada pada diri kita.
II
Kedua, analisa konsep penakwilan Wahdatul Wujud ala Imam Burhan ad-
Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani (w. 1101 H), seorang tokoh
sufi yang terkemuka dalam tarekat Sathariyah. Beliau merupakan ahli
sufi yang bersepakat dengan konsep Wahdatul Wujud Ibn Arobi, akan
tetapi masih perlu adanya penakwilan terhadap terma yang sering
dianggap absurd bagi kebanyakan kalangan yang kontra, sekaligus
sebagai pembeda dengan konsep penyatuan yang atheistik.
Memang posisi takwil memiliki peran yang sangat urgen, terutama dalam
menyikapi statemen ekstatif dari ahli wahdah dalam keadaan sadar
maupun tidak sadar. Terkadang ketika seorang sufi bertaqarrub, ada
yang menganggap pendekatan diri kepada Tuhan ini bersamaan dengan
adanya hayalan Hulul, Ittihad dan Wushul. Tentunya ini salah, walaupun
pendekatan diri itu adalah suatu yang benar. Dan ketika sebuah
ungkapan itu telah terucap dan mempersempit kedalam statemen
ekstatif yang didapat, dari segi yang tidak diragukan lagi ke-absurd-
annya. Sebagaimana Imam an-Nanawi, mewajibkan takwil terhadap
perkataan para auliya’ ini, sebab yang dirasakan dalam hati itu sebuah
kebenaran, dan pengungkapan rasa perlu dijabarkan lebih mendalam
agar terhindar dari anggapan yang disalah pahami. Maka ketika seorang
pendengar yang tidak bisa merasakannya, menganggap itu sebagai Hulul
17
Imam Al-Faruqi as-Sirhindi Ibid. Hal; 124
18
Imam Al-Faruqi as-Sirhindi Ibid.
8
atau Ittihad sedangkan perkara ini bukanlah seperti itu. 19 Sebagaimana
dalam kasus statemen ekstatif yang menyatakan:
Jiwa (nafs) pada hakekatnya ditetapkan pada entitas yang haqiqi. Maka
jika dimasuki kata imbuhan kata ganti Tuhan (dalam kata nafsuhu)
sebenarnya itu adalah hakekat entitasNya sendiri. Sedangkan jika kata
imbuhannya merupakan kata ganti dari manusia (nafsuna) yang
mengatakan, maka itu merupakan roh yang memberikan kehidupan
sesuatu yang ada dalam diri manusia22 itu sendiri sebagaimana
firmanNya; ‘wanafakhtu fihi min ruhi’ dan Kutiupkan kepadanya rohKu.
19
Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, al-Maslaku al-Jali fi Hukmi Syathi al-
Wali. Tahqiq; D. Muhammad al-Qadir an-Nasshar. 2011, Darat al-Karaz, Kairo. Hal; 47.
20
Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, Ibid.
21
Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, Ibid. Hal 27
22
Menurut imam ahmad al-furghoni (w. 669 H) nafs yang memiliki imbuhan kata ganti
manusia, mengistilahkan sebagai asap embun yang diletakan dalam bathin hati sanubari yang
membawa kekuatan untuk hidup, sesuai dengan jenis napak tilas ruh rohani. Lihat : Burhan
ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, Ibid.
9
keberadaannya adalah sebuah keniscayaan. Dan ini merupakan wajib
keberadaannya secara mutlak.23
Jadi yang dimaksud dari kata Allah adalah jiwa kita (innallaha nafsuna),
entah jiwa itu dimaksudkan sebagai entitas yang haqiqi ataupun yang
ada dalam tubuh manusia, tidak bisa dibenarkan penggunaannya atas
keberadaan Tuhan. Sebab Tuhan adalah eksistensi mutlak, yang tidak
bisa disandingkan dengan eksistensi yang nisbi. Begitupun jika
dimaksudkan terhadap jiwa manusia, bukan berarti itu adalah Tuhan.
Sebab eksistensi Tuhan wajib atas entitasNya sendiri dan eksistensi yang
manusia yang merupakan perkara yang mungkin (al-mumkinat)
eksistensinya terikat, berbeda dengan entitasNya. Maka maksud dari
statemen ekstatif diatas, sesungguhnya eksistensi yang absolut (pada
manusia) itu adalah eksistensi yang dikaitkan (al-wujud al-muyayyad),
23
Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, Ibid. Hal; 28.
24
Lihat penjelasan esensi yang mungkin (al-mahiat al-mumkinah), Burhan ad-Din Ibrahim bin
Hasan al-Kuroni al-Madani, Mathla`u al-Wujud bi Tahqiqi at-Tanzih `an Wahdatu al-Wujud.
Daar Jawami` al-Kalam. Kairo. Hal; 155.
25
Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, Ibid. Hal; 157.
26
Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, Ibid. Hal; 170.
10
dan yang mutlak dari segi keabsolutannya (Tuhan) tidak bisa dikatakan
bahwasanya keterikatan secara akal.27
Sedangkan kata kita dan jiwa kita adalah eksistensiNya (nahnu nafsuhu
wa wujuduhu). Jika kata itu dimaksudkan kita sebagai entitas archetypal,
tidak diragukan lagi ketidak benarannya menggunakan hakekat Tuhan
serta eksistensiNya kepada perkara yang nisbi. Sedangkan jika
dimaksudkan kita sebagai sebuah tampilan yang tampak atas sebuah
eksistensi, maka tidak diragukan sesungguhnya teridentifikasi oleh
dengan yang lain, adalah hal yang baru (haditsah). Sedangkan wajib
eksistensi yang teridentifikasi dengan entitasnya sendiri adalah
terdahulu (qadim). Maka tiadalah sesuatu dalam keterbaruan itu bisa
dilihat dari segi keterbaruannya dan yang terdahulu dari segi
keterdahuluannya.28
27
Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, al-Maslaku al-Jali fi Hukmi Syathi al-
Wali.
28
Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, al-Maslaku al-Jali fi Hukmi Syathi al-
Wali.
29
Lihat penjelasan Ittihad di catatan kaki keterangan Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-
Kuroni al-Madani, Ibid. Hal; 37.
30
Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, al-Maslaku al-Jali fi Hukmi Syathi al-
Wali. Hal 149-150.
11
III
Mari kita tinjau kembali konsep wahdah Ibn Taimiyah, untuk bahan
komparasi terhadap pemahaman konsep wahdah Syeikh al-Ghurab
sebagai pewaris dan pemurni ajaran Ibn Arobi. Sebagaimana yang
dianggapkan Ibn Taimiyah Ittihad Ibn Arobi sebagai sang empunya
Wahdah Wujud berujung pada pemahaman bahwa entitas mahluk adan
31
Mahmud al-Ghurab, Syarhu Kalimat as-Shufiyah ar-Raddu `ala Ibn Taimiyah, cet. Kedua.
1993, Daaru al-Iman, Siria. Hal; 110-111.
32
Mahmud al-Ghurab, Ibid. Hal; 111-112.
12
entitas Tuhan, dalam Majmu` Fatawa-nya di jilid 10 halaman 95 yang
menyatakan; dan sedangkan penyatuan secara mutlak, yang itu adalah
perkataan ahli Wahdatul Wujud, yang mereka anggapkan sesungguhnya
eksistensi mahluk adalah eksistensi Tuhan, dan ini adalah kebodohan
terhadap Sang Pencipta dan eksistensiNya, ini merupakan kumpulan dari
semua kesyirikan.
بقوله إن كنت تانتبه, أل تاراه تاعالى قد أثبت عينك وفصل كونك,فصل بينه وبينك أثبت عينك وعينه
))كنت سمعه الذى يسمع به(( فأثبتك بإعادة الضمير إليك ليدل عليك.33
“Pemisahan antara kamu dan Dia (Tuhan) menetapkan entitas kamu dan
Dia. Jangan kau melihatNya sudah menetapkan entitasmu dan
pemisahan atas keadaan dirimu, dengan firmanNya jika kau
memperhatikannya ‘Saya akan menjadi telinga yang dengannya ia
mendengar’. Maka menetapkanmu dengan mengulang kata ganti
kepadamu untuk menunjukkan atasmu.”
Penjelasan ini akan langsung menunjukan konsep wahdah ala Ibn Arobi,
tanpa adanya penyelewegan pemahaman dan manipulasi. Untuk
mengetahui pemahaman Ittihad antara Tuhan dan mahluk, Syeik al-
Ghurab menunjukan langsung letak pemahaman itu dalam kitab Futuhat
al-Makkiyah pada juz pertama halaman 496 dalam bab puasa, yang
menyatakan;
33
Sesuai yang dinukil Syeikh Mahmud al-Ghurab, Ibid. Hal; 103.
34
Sesuai yang dinukil Syeikh Mahmud al-Ghurab, Ibid. Hal; 105.
13
menjadi Tuhan) maka kau benar. Dan jika kau katakan, berpuasa itu
untuk Allah bukan untuk manusia itu, maka kau juga benar. Intinya, tidak
ada makna bagi penyatuan kecuali benar penisbahan setiap satu dari
kedua yang bersatu itu, bersama dengan pembeda setiap satu dan
lainnya dalam entitas penyatuannya. Jadi Dia (Tuhan) adalah Dia, bukan
dia (manusia) Dia.35
Epilog
Daftar Pustaka :
35
Mahmud al-Ghurab, Ibid. Hal; 105.
14
5. Imam Al-Faruqi as-Sirhindi, Kasyfu as-Syuhud fi Ma`rifati al-Maula
Wajibu al- Wujud. Tahqiq; D. Muhammad al-Qadir an-Nasshar.
Darat al-Karaz, Kairo. 2011.
6. Burhan ad-Din Ibrahim bin Hasan al-Kuroni al-Madani, al-Maslaku
al-Jali fi Hukmi Syathi al-Wali. Tahqiq; D. Muhammad al-Qadir an-
Nasshar. Darat al-Karaz, Kairo. 2011.
7. ____________, Mathla`u al-Wujud bi Tahqiqi at-Tanzih `an Wahdatu
al-Wujud. Daar Jawami` al-Kalam. Kairo. 2007.
8. Mahmud al-Ghurab, Syarhu Kalimat as-Shufiyah ar-Raddu `ala Ibn
Taimiyah, cet. Kedua. Matba'ah Nadlr, Siria. 1993.
15