1
DIPERBOLEHKAN TAMBAH MATERI DARI SUMBER LAIN-ASAL TIDAK
MENGURANGI SATUPUN DARI BUKU UTAMA
1
Abdul Mujib, Teori Kepribadian Perspektif Psikologi Islam, (Jakarta:Rajawali Pers, 2017), hlm:27.
2
Istilah huwiyyah dalam literatur keislaman menunjukkan arti kepribadian.
Istilah huwiyyah juga berlaku untuk terminologi tasawuf dengan pengertian “alam
abstrak yang mutlak. Atau, alam ide yang mencakup semua ide. ” Dalam
terminologi Tasawuf, Armstrong mendefinisikan huwiyyah dengan arti ke-Dia-an.
Ini adalah hakikat gaib, aspek betin dari keesaan abstrak (al-ahadiyah). Inilah
wujud, yang benar-benar gaib dan tersembunyi. Inilah khazanah yang
tersembunyi. Inilah tempat tak bertempat, yang menyebabkan para pecinta-Nya
dan kaum Arif tak mabuk merindukan pulang. Dalam terminologi tasawuf ini,
istilah huwiyyah tidak dapat disejajarkan dengan personality, sebab huwiyyah
lebih spesifik yang titik tekannya lebih menunjukkan pada ke-Dia-an Tuhan.
3
satu konstruk kepribadian individu yang dihasilkan dari pengamatan diri sendiri,
melalui teknik autobiografi dan inventarisasi diri (self-inventory).
b. Dzatiyah
Term dzat lazimnya dipakai oleh para teolog (mutakallimin) untuk
menunjukkan dzat Allah yang sunyi dari segala sifat. 16 Term dzat kemudian
dipergunakan untuk menunjukkan substansi sesuatu, baik substansi yang berupa
pribadi (syakhsh) maupun bukan. " Batu, air, tanah, dan udara memiliki substansi.
Tumbuhan dan hewan memiliki substansi. Malaikat dan syetan juga memiliki
4
substansi. Demikian juga manusia memiliki substansi. Meskipun semua makhluk
memiliki substansi, namun hanya manusia yang memiliki pribadi (syakhsh) yang
dinamik, karena pribadi inilah maka kekhalifahan dilimpahkan kepadanya.
Kata dzat yang dinisbatkan pada manusia memiliki arti jasad atau roh atau
kedua-duanya, seperti istilah dzat jasad dan dzat roh. Struktur manusia terdiri atas
sinergi dua dzat, yaitu dzat jasad dan dzat roh, yang mana sinergi itu kemudian
disebut dengan nafsani. Dari sisi ini, penggunaan kata dzat menunjukkan arti
struktur kepribadian manusia yang masih bersifat potensial, bukan kepribadian itu
sendiri. Oleh karena keumuman term dzat ini maka ia tidak dapat dijadikan
sebagai padanan personality. Di samping itu, term dzat hanya menunjukkan
tendensi individu dan belum menunjukkan potensi dan kecenderungan yang lain.
c. Nafsiyyah
Term nafsiyyah berasal dari kata nafs yang berarti pribadi. Orang Arab
sering menyesali dirinya dengan sebutan nafsî (Oh diriku atau oh pribadiku!).
Shafi'i menerjemahkan kata nafs sebagai ". . personality, self, or level of
personality developmental" (kepribadian, diri pribadi, atau tingkat perkembangan
kepribadian).
5
sering digunakan dalam literatur psikologi Islam diterjemahkan dengan Ilmu Jiwa
(Psychology), bukan ilmu kepribadian.
Dalam buku ini, nafs sering kali digunakan untuk padanan personality,
seperti istilah nafs muthma' innah (diterjemahkan dengan kepribadian yang
tenang). Penggunaan nafs untuk padanan personality karena dalam penyebutan
nafs dalam beberapa ayat menunjukkan nafs yang telah mengaktual, bukan
sekadar struktur kejiwaan manusia dalam bentuk potensial. Ketika struktur nafs
telah mengaktual maka telah menunjukkan arti kepribadian, sebab kepribadian
merupakan aktualisasi dari potensi-potensi nafsiah. Sekalipun demikian, kata nafs
tidak digunakan sebagai lebel dalam peristilahan kepribadian.
d. Syakhshiyyah
Syakhshiyyah berasal dari kata syakhsh yang berarti "pribadi". Kata itu
kemudian diberi yâ nisbah, sehingga menjadi kata benda buatan (mashdar shina'i)
syakhshiyyah yang berarti "kepribadian".
6
ini menunjukkan bahwa term syakhshiyyah telah menjadi kesepakatan umum
untuk dijadikan sebagai padanan dari personality.
e. Akhlaq
Term lain yang tidak kalah populernya adalah term akhlaq (bentuk jamak
dari kata khuluq). Secara etimologis, akhlaq berarti character, disposition dan
moral constititution. Al-Ghazali berpendapat bahwa manusia memiliki citra
lahiriah yang disebut dengan khalq, dan citra batiniah yang disebut dengan
khuluq. Khalq merupakan citra fisik manusia, sedang khulug merupakan citra
psikis manusia. Berdasarkan kategori ini maka khulug secara etimologi memiliki
arti gambaran atau kondisi kejiwaan seseorang tanpa melibatkan unsur lahirnya.
Manshur Ali Rajab memberi batasan khuluq dengan al-thab'u dan al-
sajiyah. Maksud thab'u (karakter) adalah citra batin manusia yang menetap (al-
sukûn). Citra ini terdapat pada konstitusi (al-jibillah) manusia yang diciptakan
oleh Allah sejak lahir. Sedangkan sajiyah adalah kebiasaan (ådah) manusia yang
berasal dari hasil integrasi antara karakter manusiawi dengan aktivitas-aktivitas
7
yang diusahakan (al-muktasab). Kebiasaan ini ada yang teraktualisasi menjadi
suatu tingkah laku lahiriah dan ada juga yang masih terpendam.
8
makna satu. Namun dalam literatur modern, keduanya dibedakan karena memiliki
konotasi makna sendiri-sendiri. Akhlak merupakan usaha untuk mengevaluasi
kepribadian, atau evaluasi sifat-sifat umum yang terdapat pada perilaku pribadi
dari sudut baik-buruk, kuat-lemah dan mulia-rendah. Sementara syakhshiyyah
tidak terkait dengan diterima atau tidaknya suatu tingkah laku, sebab di dalamnya
tidak ada unsur-unsur evaluasi.
Ilmu Akhlak dalam wacana keislaman telah berkembang pada abad klasik
(650-1250). Para pemikir Muslim abad ini telah banyak mencurahkan
perhatiannya dalam memahami hakikat manusia. Dalam kesimpulannya mereka
berpendapat bahwa hakikat manusia itu ditentukan oleh jiwa (al-nafs) yang
memiliki daya-daya khas. " Teori jiwa Ibnu Sina (890-1037) barangkali yang
lebih mewakili dari kesekian teori filosof yang ada, sebab materinya lengkap,
hanya saja teorinya itu belum teraplikasikan dalam konsep kepribadian.
9
mencoba berbenah diri untuk mengejar ketinggalan yang ada, khususnya di
bidang sains. Oleh keadaan yang masih transisi inilah maka umat Islam kurang
berminat menggali khazanahnya sendiri. Mereka lebih terpesona dan
menggunakan term-term Barat. Konsekuensi yang muncul kemudian adalah
diskursus-diskursus keilmuan Islam modern (baik filsafat maupun psikologi) lebih
akrab menggunakan istilah syakhshiyyah (personality) daripada khuluq (karakter).
" Pemilihan term ini bukan tidak beralasan bahkan suatu kesengajaan. Tujuan
utamanya adalah agar diskursus ilmu keislaman lebih dikenal oleh dunia lain. Isi
dan substansinya mencerminkan nilai-nilai universal Islam, sementara simbol dan
"bungkus"nya mengadopsi dari Barat.
10
Kesimpulan seperti itu sesungguhnya tidak dapat dibenarkan secara total,
melainkan perlu klasifikasi permasalahannya menurut konteksnya.
11
pengukuran dipaksakan maka menjadi sia-sia, karena indikatornya tidak
utuh;
3. Terhadap variabel kepribadian tertentu yang dapat diukur secara langsung,
seperti sabar, syukur, jujur, dan sebagainya, karena indikatornya jelas dan
terjangkau secara empiris. Namun terdapat variabel kepribadian tertentu
yang tidak perlu diukur seperti ikhlas, takwa, ma'rifatullah dan
sebagainya, karena keterbatasan peneliti dalam membuat indikator dan alat
ukurnya. Kepribadian terakhir ini lebih tepat dinilai, bukan diukur.
Persoalan ketiga, apakah hasil pengukuran kepribadian Islam berlaku
sebagaimana hasil pengukuran variabel pada umumnya, yang memiliki ciri realtif
dan tentatif. Misalnya, setelah dilakukan pengukuran kepribadian tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja, maka rekomendasi
penelitiannya adalah tidak perlu ikhlas dalam kerja karena tidak memberi
pengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan. Apakah hal itu tidak mereduksi
kemutlakan Islam, bukankah Islam lebih 'terhormat' ikhlas ternyata dijadikan
sebaga doktrin yang tidak perlu díverifikasi keabsahannya dengan penelitian
empiris. Bukankah Islam itu benar dengan sendirinya tanpa perlu verifikasi
empiris?. Sekalipun demikian problemnya, sesungguhnya diterima oleh umat
Islam merupakan hasil ijtihad, sehingga Islam yang jika terjadi hasil penelitian
seperti di atas semata-mata atas nama ijtihad peneliti, yang apabila benar dapat
dua pahala dan apabila salah masih mendapat satu pahala.
12
yang dimaksud bukan saja berstatus Muslim, namun mencakup juga individu non-
Muslim, sehingga banyak ungkapan "orang itu memiliki kepribadian Islami,
sekalipun ia non-Muslim. " Walaupun demikian, ungkapan itu masih
dipertanyakan: "Masihkah disebut kepribadian Islami bagi non-Muslim yang
tanpa melibatkan domain keimanan kepada Allah Swt.
13
hashil (menghasilkan sesuatu yang sudah dihasilkan), pengukuran kepribadian
Islam juga untuk membumikan ajaran Islam dalam tataran ilmiah Islami.
Kepribadian Islam yang diajarkan pasti berimplikasi positif bagi kehidupan
manusia, karena tujuannya adalah jalb al-mashalih (menarik yang baik) dan dar'u
al-mafasid (menolak yang merusak).
14
untuk mewujudkan suatu tingkah laku. (Uraian struktur dan dinamikanya, lihat
pada bab IIl dan IV).
15
kepribadian didasarkan atas Alquran, al-Sunnah dan khazanah islam sendiri,
bukan dari bangunan kepribadian Barat.
16
ditetapkan oleh sang Khaliq. Oleh karena tujuan ini maka studi psikologi
kepribadian islam diharapkan memiliki implikasi penting dalam kehidupan
manusia.
17
didasarkan atas pemikiran rasional-empirik, sedangkan filsafat kepribadian hanya
didasarkan atas pemikiran spekulatif belaka.
Kedua prinsip diatas merupakan syarat mutlak bagi terciptanya suatu disiplin
psikologi kepribadian. apabila kedua prinsip ini dipenuhi dalam pembahasan
“kepribadian”maka disiplin yang membahas disebut dengan “psikologi
kepribadian”(the psychology of personality), karna di dalamnya membahas
struktur dan tingkah laku seseorang. konskuensi dari pemahaman ini adalah
bahwa aliran dalam kepribadian-seperti bahavioristik- yang membahas
18
tingkahlaku individu tanpa pembahasan strukturnya maka aliran itu lebih tepat
disebut sebagai “teori kepribadian”(theory of personality) bukan psikologi
kepribadian.
Ruang lingkup psikologi kepribadian. tujuan pe, ilijam kedudukan ini adalah
untuk menentukan konsep hakiki kepribadian yang sesungguhmya dan jangkauan
19
lebih univsal dan komprenshif disbanding dengan psikologi khusus. Wacana
psikologi kepribadian dari sudut teori kepribadian memiliki perbandingan dengan
psikologi pendidikan, psikologi agama, psikologi manjemen, psikologi
komunikasi dan sebagainya.
20
B. Ruang Lingkup Pembahasan Psikologi Kepribadian Islam
Ruang lingkup pembahasan psikologi kepribadian islam dalat beranjak dari
dua kedudukan. Pertama, psikologi kepribadian islam bagian dari teori
kepribadian, dan kedua, psikologi kepribadian islam sebagai bagian dari psikologi
khusus.
Beranjak dari teori kepribadian, Pervin (1980) menyatakan bahwa suatu teori
kepribadian dianggap sempurna apabila memiliki 5 dimensi pokok, yaitu:
1. Struktur kepribadian
2. Proses dan motivasi kepribadian
3. Pertumbuhan dan perkembangan kepribadian
4. Psikopatologi
5. Psikoterapi
Kelima dimensi inilah yang menjadi ruang lingkup teori kepribadian.
Beranjak dari psikologi khusus, Kartini Kartono menjelaskan bahwa sistem
kepribadian memiliki 5 unsur pokok, yaitu vitalitas, temperamen, karakter, bakat,
dan sifat-sifat laten. Kelima sistem ini merupakan unsur pokok kepribadian dari
sudut pandang kepribadian sebagai bagian dari psikologi khusus. Apabila
bangunan psikologi kepribadian islam diadaptasikan dari pola kedua ini, terdapat
dua alternatif pola yang dapat ditempuh :
21
sesuai dengan ajaran islam. Pencarian padanan yang dimaksud tidak sekedar
similarisasi, paralelisasi, komplementasi dan komparasi, tetapi substansinya
benar-benar digali dari khazanah islam sendiri. Dalam khazanah islam terdapat
istilah-istilah yang dapat dijadikan sebagai ruang lingkup psikologi kepribadian
islam, yaitu:
2. Al-Hayah (vitality)
Hayah adalah daya, tenaga, energi atau vitalitas hidup manusia yang
karenanya manusia dapat bertahan hidup. Al-Hayah ada dua macam, yaitu:
Jasmani yang intinya berupa nyawa (al-hayah), atau energi fisik (al-thaqat
al-jismiyyah) atau disebut juga ruh jasmani. Bagian ini sangat tergantung
pada susunan sel, fungsi kelenjar, alat perencanaan, susunan syarat setral,
dan sebagiannya yang dapat ditampilkan dengan tanda-tanda fisiologis
pembawaan dan karakteristis yang kurang lebih konstan sifatnya.
Ruhani yang intinya berupa amanat dari tuhan (al-amanah al-ilahiyyah)
yang disebut juga ruh-ruhani. Amanah merupakan energi psikis (al-thaqal
al-ruhaniyyah) yang membedakan menusia dengan makhluk lain. Melalui
dua bagian ini maka vitalitas manusia menjadi sempurna. Tanpa nyawa
maka jasmani manusia tidak dapat hidup, dan tanpa amanah maka rohani
tidak akan bermakna. Al- hayah tidak dalam sekedar dapat menghidupkan
manusia, tetapi juga menjadi esensi (Al- haqiqah) bagi kehidupannya.
Dalam konteks psikologi kepribadian, ruang lingkup yang dibahas hanya
22
berkenaan dengan vitalitas rohani bukan vitalitas jasmani, sebab vitalitas
jasmani, sebab vitalitas jasmani dibahas dalam disiplin biologi.
3. Al-Khuluq (karakter)
Khuluq (bentuk tunggal dari akhlaq) adalah kondisi batiniah (dalam) bukan
kondisi lahiriah (luar) individu yang mencakup al-thabu dan al-sajiyah. Orang
yang berkhuluk dermawan lazimnya gampang memberi uang pada orang lain,
tetapi sulit mengeluarkan uang pada orang yang digunakan untuk maksiat.
Sebaliknya, orang yang berkhuluk pelit lazimnya sulit mengeluarkan uang, tetapi
boleh jadi ia mudah menghambur-hamburkan uang untuk keburukan. Khuluk
dapat disamakan dengan karakter yang masing-masing imdividu memiliki
keunikan sendiri. Dalam terminology psikologi, karakter (character) adalah
watak, perangai, sifat dasar yang khas, satu sifat atau kualitas yang tetap terus
menurus dan kekal yang dapat dijadikan ciri untuk mengidentifikasikan seorang
pribadi. ia juga akunya psikis yang mengekspresikandiri dalam bentuk tingkah
laku keseluruhan dari aku manusia. Ia disebabkan oleh bakat pembawaan dan
sifat-sifat hereditas sejak lahir. Dan sebagian disebabkan oleh pengaruh
lingkungan. Ia berkemungkinan untuk dapat dididik elemen karakter terdiri atas
dorongan-dorongan, insting, refleks-refleks, kebiasaan-kebiasaaan kecendrungan
kecendrungan, perasaan, emosi, sentiment, minat, kebajikan dan dosa, serta
kemauan.
4. Al-Thabu (tabiat)
Tabiat yaitu citra batin individu yang menetap (al-sukun). Citra ini terdapat
pada konstitusi (al-jibillah) individu yang diciptakan oleh Allah SWT. Sejak lahir.
Menurut Ikhwan al-Shafa, tabiat adalah daya dari daya nafs kulliyah yang
menggerakan jasad manusia. Berdasarkan pengertian tersebut, al-thabu ekuivalen
dengan tempramen yang tidak dapat perilaku baik atau buruk, sebab Al-quran
merupakan buku pedoman yang menuntut manusia berprilaku baik dan
menghindarinya dari prilaku buruk.
23
sifat lekas marah dan mudah tersinggung. dan temperament melankholikus yang
mempunyai sifat dominan empedu hitam sehingga menimbulkan sifat pesimistik
dan suka bersedih hati.
5. Al-Sajiyah (bakat)
Sajiyah adalah kebiasaan (adah) individu yang berasal dari hasil integrasi
antara karakter individu (fardiyyah) dengan aktifitas-aktifitas yang diusahakan
(al-muktasab). Dalam terminologi psikologi, sajiyah terjemahkan dengan bakat
(aptitude), yaitu kapasitas, kemampuan yang bersifat potensial. . ia ada pada
faktor yang ada pada individu dari krhidupan, yang kemudian menimbulkan
perkembangan keahlian, kecakapan, keterampilan, dan spesialis tertentu. bakat ini
bersifat laten (tersembunyi dan apat berkembang) sepanjang hidup manusia, dan
dapat diaktualisasikan potensinya. Potensi yang terpendam dan masih lelap itu
dapt dibuat aktif dan aktuil. Bakat asli yang merupakan hasil dari karakter
individu akan sulit berkembang jika tanpa dibarengi oleh upaya upaya lingkungan
yang baik, seperti pendidikan, pengajaran, pelatihan dan dakwah amar maruf atau
nahi munkar.
6. Al-Sifat (sifat-sifat)
Sifat yaitu satu ciri khas individu yang relative menetap, secara terus-menerus
dan konsekuen yang diungkapkan dalam satu deretan keadaan. Sifat-sifat totalitas
dalam diri individu dikategorikan menjadi 3 bagian yaitu, diferensiasi, regulasi,
dam integrasi. Diferensiasi adalah perbedaan mengenai tugas-tugas dan pekerjaan
dari masing-masing bagian tubuh. Regulasi adalah dorongan untuk mengadakan
perbaikan sesudah terjadi suatu gangguan didalam organisme manusia. Integrasi
adalah proses yang membuat keseluruhan jasmani dan ruhani manusia yang
menjadi satu kesatuan yang harminis, karena terjadi satu sistem pengaturan yang
rapi.
7. Al-amal (perilaku)
Amal yaitu tingkah laku lahiriah individu yang tergambar dalam bentuk
perbuatan nyata. Pada tingkat amal ini kepribadian individu yang dapat diketahui,
sekalipun kepribadian yang dimaksud mencakup lahir dan batin. Hukum fikih
memiliki kecendrungan melihat aspek lahir dari kepribadian manusia, sebab yang
lahir mencerminkan yang batin.
24
bagaimana interaksi dan cara kerja masing-masing unsur dalam pembentukan
kepribadian; apa dan bagaimana motifasi yang mempengaruhi dinamikanya;
faktor-faktor apa yang mempengaruhi kepribadian tersebut ; dan pada ahirnya
melakukan penilaian baik-buruknya dan bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan keselamatan hidup individu di dunia dan akhirat.
Fungsi praktis lain yang tidak kalah urgensinya adalah fungsi "bercermin"
diri. Tingkah laku seseorang secara umum seperti sejumlah atau seperti semua
orang lain. Artinya, tidak ada salahnya jika seseorang melihat kepribadiannya
melalui kepribadian orang lain. Kepribadian orang lain merupakan cerminan
25
kepribadiannya sendiri, meskipun cerminan itu hanya menyangkut pola-pola
umum saja. Jika ternyata ditemukan kepribadian yang baik maka perlu
dilestarikan bahkan kalau memungkinkan ditingkatkan, sementara apabila
ditemukan kepribadian yang buruk maka segera dimodikasi dan diperbaikinya.
26
4. Fungsi pengembangan (development); memperluas dan mendalami ruang
lingkup psikologi kepribadian Islam; menyusun teori-teori baru;
menyempurnakan metodologi dan menciptakan berbagai teknik dan
pendekatan psikologis.
5. Fungsi pendidikan (education); meningkatkan kualitas perilaku manusia;
menunjukkan tingkah laku yang benar dan baik; dan memberi arahan
bagaimana mengubah tingkah laku yang salah menjadi benar, sehingga
membentuk kepribadian yang sempurna (kamil).
27
DAFTAR PUSTAKA
28