Anda di halaman 1dari 28

CEK MAKALAH INI, RAPIHKAN JIKA TIDAK RAPI

PPAPER A4, RATA KANAN KIRI

SIZE FONT 12, FONT TIMES NEW ROMAN

AWAL PARAGRAF MASUK KE KANAN 1 CM (dst disesuaikan)

SPASI 1,3 dan TUK TABEL 1

DAFTAR ISI, HALAMAN DISESUAIKAN

HANYA MASUKKAN COVER, DAFTAR ISI, PEMBAHASAN, DAFTAR


PUSTAKA

1
DIPERBOLEHKAN TAMBAH MATERI DARI SUMBER LAIN-ASAL TIDAK
MENGURANGI SATUPUN DARI BUKU UTAMA

SEMPATKAN BACA (BAGI TUGAS) PASTIKN JANGAN ADA KALIMAT-


KALIMAT YANG SALAH KETIK PEMBAHASAN

A. Pengertian Psikologi Kepribadian Islam


1. Makna Etimologi Kepribadian Islam
Personality berasal dari kata person yang secara bahasa memiliki arti (1) an
individual human being (sosok manusia sebagai individu); (2) a cammon
individual (individu secara umum); (3) a living human body (orang yang hidup):
(4) self (pribadi); (5) personal existence or identity (eksistensi atau indentitas
pribadi); dan (6) distinctive personal character (kekhususan karakter individu).
Sedangkan dalam bahasa Arab, pengertian etimologis kepribadian dapat dilihat
dari pengertian term-term padanannya seperti huwiyyah, inniyyah, dzatiyyah,
nafsiyyah, khuluqiyyah, dan syakhshiyyah sendiri. Masing-masing term ini
meskipun memiliki kemiripan makna dengan kata syakhshiyyah, namun memiliki
keunikan tersendiri. Oleh sebab itu, dirasa perlu untuk menjelaskan masing-
masing term tersebut dan kemudian memilih satu di antaranya untuk mewakili
padanan term personality. 1

a. Huwiyyah dan Inniyyah


Huwiyyah berasal dari kata huwa (kata ganti orang ketiga tunggal) yang
berarti “dia”. Kata huwiyyah disalin ke dalam bahasa Inggris dengan term
“Identity atau personality”. Kata identity menunjukkan maksud al-fardiyyah
(individuality). Identity adalah diri atau aku-nya individu; kepribadian; atau suatu
kondisi kesamaan dalam sifat-sifat karakteristik yang pokok. Segala sesuatu yang
membedakan induvidu dengan individu yang lain, kualitas unik individual, dan
integrasi dari sifat-sifat individu.

Menurut al-Farabi, seorang psikolog-falsafi Muslim, mengemukakan bahwa


huwiyyah berarti eksistensi individu yang menunjukkan keadaan, kepribadian dan
keunikannya yang dapat membedakan individu tersebut dengan individu yang
lain. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa kata huwiyyah memiliki ekuivalen
makna dengan personality.

1
Abdul Mujib, Teori Kepribadian Perspektif Psikologi Islam, (Jakarta:Rajawali Pers, 2017), hlm:27.

2
Istilah huwiyyah dalam literatur keislaman menunjukkan arti kepribadian.
Istilah huwiyyah juga berlaku untuk terminologi tasawuf dengan pengertian “alam
abstrak yang mutlak. Atau, alam ide yang mencakup semua ide. ” Dalam
terminologi Tasawuf, Armstrong mendefinisikan huwiyyah dengan arti ke-Dia-an.
Ini adalah hakikat gaib, aspek betin dari keesaan abstrak (al-ahadiyah). Inilah
wujud, yang benar-benar gaib dan tersembunyi. Inilah khazanah yang
tersembunyi. Inilah tempat tak bertempat, yang menyebabkan para pecinta-Nya
dan kaum Arif tak mabuk merindukan pulang. Dalam terminologi tasawuf ini,
istilah huwiyyah tidak dapat disejajarkan dengan personality, sebab huwiyyah
lebih spesifik yang titik tekannya lebih menunjukkan pada ke-Dia-an Tuhan.

Pada definisi di atas tampak bahwa istilah huwiyyah menurut terminologi


tasawuf ternyata berbeda pengertiannya dengan terminologi psikologi atau
filsafat. Hal itu disebabkan kata huwa dalam psikologi dan filsafat dinisbatkan
pada manusia, yang berarti ke-dia-an manusia, sementara dalam tasawuf kata
huwa dinisbatkan pada alam gaib atau Tuhan, yang berarti ke-dia-an Tuhan.

Meskipun dalam beberapa pengertian disebutkan adanya ekuivalen makna


antara huwiyyah dan personality, namun muncul suatu persoalan yang mendasar
"atas asumsi apa, kata huwa (huwiyyah) dijadikan dasar untuk menunjukkan
istilah personality? Mengapa tidak menggunakan istilah inniyyah' yang berasal
dari kata ana (aku)?" Pertanyaan itu perlu dikemukan, sebab terdapat perbedaan
yang fundamental antara personality yang berasal dari kata huwa dengan kata ana.
" Personality yang berasal dari kata huwa, menunjukkan bahwa kepribadian
individu itu dipandang oleh orang lain. Huwiyyah menunjukkan persepsi individu
terhadap individu lain yang menghasilkan satu konsep kepribadian. Jika
disederhanakan dalam suatu pertanyaan; "Menurutmu, siapa aku?" Jawabannya"
"kamu adalah. . . . " Jawaban atas pertanyaan itu merupakan rumusan huwiyyah.
Berbeda dengan personality yang diambil dari kata ana, yang lebih menekankan
pada persepsi diri (self-perception). Individu mengamati sikap-sikapnya sendiri
yang hasil pengamatannya disebut dengan kepribadian. Jika disederhanakan
dalam suatu pertanyaan; "Siapa kamu?" Jawabannya: "Aku adalah. . " Jawaban
atas pertanyaan itu merupakan rumusan kepribadian.

Istilah huwiyyah menempatkan individu sebagai diri-objek, dalam arti, satu


konstruk kepribadian individu yang dipelajari atau diamati oleh individu lain
melalui teknik interview, pengisian angket, atau pengamatan secara langsung.
Sedangkan istilah inniyyah menempatkan individu sebagai diri-subjek, dalam arti,

3
satu konstruk kepribadian individu yang dihasilkan dari pengamatan diri sendiri,
melalui teknik autobiografi dan inventarisasi diri (self-inventory).

Yusuf Murad menyebut dua istilah yang terkait dengan kepribadian.


Pertama, istilah al-syakhshiyyah al-inniyyah atau al-syakhshiyyah al-dzatiyyah
untuk medeskripsikan kepribadian yang tampak dari perspektif diri sendiri;
Kedua, istilah al-syakhshiyyah al-mawdhûiyyah atau al-syakhshiyyah al-khalq
untuk mendeskripsikan kepribadian yang tampak dari perspektif orang lain, sebab
kepribadian individu menjadi objek (mawdhû) pengamatan. " pertama dapat
dipadankan dengan inniyyah, sedang istilah kedua dipadankan dengan huwiyyah.

Dalam literatur tasawuf, untuk mendeskripsikan ke-Esaan Tuhan, terdapat


tiga istilah yang hierarkis, yaitu ahadiyah, huwiyyah dan inniyyah. Ahadiyah
menunjukkan ke-Esaan yang abstrak. Ahadiyyah ini mengaktual dalam dua
bentuk, yaitu bentuk dalam (bathiniyyah) yang disebut dengan huwiyyah dan
bentuk luar (zhahiriyyah) yang disebut dengan inniyyah. Dengan meminjam
ketiga istilah ini, maka yang termasuk kepribadian manusia hanyalah huwiyyah
dan inniyyah, tanpa melibatkan ahadiyah. Dikatakan demikian sebab kepribadian
hanya dapat diketahui -atau bahkan diukur- melalui aktualisasi batiniah yang
disebut huwiyyah atau melalui aktualisasi disebut dengan inniyyah. Lahiriah yang
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, term huwiyyah dan inniyyah memiliki
makna lebih spesifik daripada makna syakhshiyyah. Orientasi kata huwiyyah dan
inniyyah pada keunikan individu, baik pada aspek eksternal ataupun internal diri,
sedangkan syakhshiyyah mencakup totalitas kepribadian manusia, seperti struktur,
kebutuhan, sifat, watak, baik lahir maupun batin. Apalagi jika huwiyyah dan
inniyyah dipahami seperti dalam terminologi tasawuf maka maknanya semakin
jauh dari maksud kepribadian. Sebab huwiyyah dan inniyyah hanya mencakup
alam ide yang abstrak, sedang kepribadian mencakup alam ide dan dalam nyata.
Suatu tingkah laku pada mulanya di dalam dunia ide (pikiran dan perasaan),
namun kemudian ia teraktualisasi dalam tingkah laku nyata. Tingkah laku yang
nyata ini bukan wilayah huwiyyah dan inniyyah.

b. Dzatiyah
Term dzat lazimnya dipakai oleh para teolog (mutakallimin) untuk
menunjukkan dzat Allah yang sunyi dari segala sifat. 16 Term dzat kemudian
dipergunakan untuk menunjukkan substansi sesuatu, baik substansi yang berupa
pribadi (syakhsh) maupun bukan. " Batu, air, tanah, dan udara memiliki substansi.
Tumbuhan dan hewan memiliki substansi. Malaikat dan syetan juga memiliki

4
substansi. Demikian juga manusia memiliki substansi. Meskipun semua makhluk
memiliki substansi, namun hanya manusia yang memiliki pribadi (syakhsh) yang
dinamik, karena pribadi inilah maka kekhalifahan dilimpahkan kepadanya.

Secara etimologi, dzatiyyah memiliki arti identity, personality, dan


subjectivity. Dalam terminologi psikologi, dzatiyyah memiliki arti "tendensi
(mayl) individu pada dirinya yang berasal dari substansinya sendiri. " Sedang
yang dimaksud tendensi (tendency) adalah satu set atau satu disposisi untuk
bertingkah laku dengan satu cara tertentu. Tasawuf, dzatiyyah berarti intrinsik,
inheren dan esensi diri. Dzatiyyah menuntut pengagungan dari zat-zat yang relatif
(alam semesta) kepada Zat Yang Mutlaq, yaitu Allah. Pengagungan ini bersifat
intrinsik, yang apabila ditiadakan maka kehilangan dzatiyyahnya.

Kata dzat yang dinisbatkan pada manusia memiliki arti jasad atau roh atau
kedua-duanya, seperti istilah dzat jasad dan dzat roh. Struktur manusia terdiri atas
sinergi dua dzat, yaitu dzat jasad dan dzat roh, yang mana sinergi itu kemudian
disebut dengan nafsani. Dari sisi ini, penggunaan kata dzat menunjukkan arti
struktur kepribadian manusia yang masih bersifat potensial, bukan kepribadian itu
sendiri. Oleh karena keumuman term dzat ini maka ia tidak dapat dijadikan
sebagai padanan personality. Di samping itu, term dzat hanya menunjukkan
tendensi individu dan belum menunjukkan potensi dan kecenderungan yang lain.

c. Nafsiyyah
Term nafsiyyah berasal dari kata nafs yang berarti pribadi. Orang Arab
sering menyesali dirinya dengan sebutan nafsî (Oh diriku atau oh pribadiku!).
Shafi'i menerjemahkan kata nafs sebagai ". . personality, self, or level of
personality developmental" (kepribadian, diri pribadi, atau tingkat perkembangan
kepribadian).

Term nafsiyyah lebih banyak dipakai dalam leksikolagi Al-Qur'an dan


Sunah, dan tak satupun Al-Qur'an menyebut term syakhshiyyah. Berdasarkan
studi Qura`ni ini maka term nafsiyyah lebih memungkinkan dijadikan padanan
term personality. Hanya saja term nafs memiliki multi makna. Istilah nafs, dengan
menggunakan pendekatan makna nasabi, dapat berarti nyawa (al-hayah); hawa
nafsu (al-hawa); daya konasi yang memiliki sifat ghadhab (defense) dan syahwah
(appetite); dan struktur kepribadian yang terdiri atas gabungan antara jasmani dan
rohani, atau juga kepribadian. Oleh karena multifitas makna ini maka term nafs
jarang dipergunakan dalam diskursus psikologi Islam. Istilah 'ilm al-nafs yang

5
sering digunakan dalam literatur psikologi Islam diterjemahkan dengan Ilmu Jiwa
(Psychology), bukan ilmu kepribadian.

Dalam buku ini, nafs sering kali digunakan untuk padanan personality,
seperti istilah nafs muthma' innah (diterjemahkan dengan kepribadian yang
tenang). Penggunaan nafs untuk padanan personality karena dalam penyebutan
nafs dalam beberapa ayat menunjukkan nafs yang telah mengaktual, bukan
sekadar struktur kejiwaan manusia dalam bentuk potensial. Ketika struktur nafs
telah mengaktual maka telah menunjukkan arti kepribadian, sebab kepribadian
merupakan aktualisasi dari potensi-potensi nafsiah. Sekalipun demikian, kata nafs
tidak digunakan sebagai lebel dalam peristilahan kepribadian.

d. Syakhshiyyah
Syakhshiyyah berasal dari kata syakhsh yang berarti "pribadi". Kata itu
kemudian diberi yâ nisbah, sehingga menjadi kata benda buatan (mashdar shina'i)
syakhshiyyah yang berarti "kepribadian".

Dalam kamus bahasa Arab modern, istilah syakhshiyyah digunakan untuk


maksud personality (kepribadian). Dalam literatur keislaman, terutama pada
khazanah klasik abad pertengahan, kata syakhshiyyah (sebagai padanan dari
kepribadian) kurang begitu dikenal. Terdapat beberapa alasan mengapa term itu
tidak dikenal: (1) dalam Al-Qur'an maupun Al-Sunnah tidak ditemukan term
syakhshiyyah, kecuali dalam beberapa hadis disebutkan term syakhsy yang berarti
pribadi (person), bukan kepribadian (personality); (2) dalam khazanah Islam
klasik, para filosof maupun sufi lebih akrab menggunakan istilah akhlâq.
Penggunaan istilah ini karena ditopang oleh ayat Al-Qur'an dan Hadis Rasul; (3)
term syakhshiyyah hakikatnya tidak dapat mewakili nilai-nilai fundamental Islam
untuk mengungkap perilaku batinah manusia. Artinya, term syakhshiyyah lazim
dipakai dalam Psikologi Kepribadian Barat aksentuasinya lebih yang pada
deskripsi karakter, sifat, atau perilaku unik individu, sementara term akhlâq lebih
menekankan pada aspek penilaiannya terhadap baik-buruk suatu tingkah laku.
Syakhshiyyah merupakan akhlaq yang didevaluasi (tidak dinilai baik-buruknya),
sementara akhlaq merupakan syakhshiyyah yang dievaluasi.

Dalam literatur keislaman modern, term syakhshiyyah telah banyak


digunakan untuk menggambarkan dan menilai kepribadian individu. Sebutan
syakhshiyyat al-Muslim memiliki arti kepribadian orang Islam. Pergeseran makna

6
ini menunjukkan bahwa term syakhshiyyah telah menjadi kesepakatan umum
untuk dijadikan sebagai padanan dari personality.

e. Akhlaq
Term lain yang tidak kalah populernya adalah term akhlaq (bentuk jamak
dari kata khuluq). Secara etimologis, akhlaq berarti character, disposition dan
moral constititution. Al-Ghazali berpendapat bahwa manusia memiliki citra
lahiriah yang disebut dengan khalq, dan citra batiniah yang disebut dengan
khuluq. Khalq merupakan citra fisik manusia, sedang khulug merupakan citra
psikis manusia. Berdasarkan kategori ini maka khulug secara etimologi memiliki
arti gambaran atau kondisi kejiwaan seseorang tanpa melibatkan unsur lahirnya.

Al-Ghazali lebih lanjut menjelaskan bahwa khuluq adalah "suatu kondisi


(hayah) dalam jiwa (nafs) yang suci (rasikhah), dan dari kondisi itu tumbuh suatu
aktivitas yang mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan terlebih dahulu. " Sedangkan Ibnu Maskawaih mendefinisikan
khuluq dengan "suatu kondisi (hâl) jiwa (nafs) yang menyebabkan suatu aktivitas
dengan tanpa dipikirkan atau dipertimbangkan terlebih dahulu.

Al-Jurjawî mengemukakan bahwa akhlak itu hanya mencakup kondisi


batiniah (inner), bukan kondisi lahiriah. Misalnya, orang yang memiliki karakter
pelit bisa juga ia banyak mengeluarkan uangnya untuk kepentingan riya', boros,
dan sombong. Sebaliknya, orang yang memiliki karakter dermawan bisa jadi ia
menahan mengeluarkan uangnya demi kebaikan dan kemashlahatan. "

Apabila maksud nafs dalam definisi akhlak di atas mencakup psikofisik,


maka term khuluq dapat dijadikan sebagai padanan term personality. Namun
apabila maksud nafs sebatas pada kondisi batin seperti dalam pengertian
tetimologi al-Ghazali maka term khuluq tidak dapat dijadikan padanan
personality, sebab personality mencakup kepribadian lahir dan batin. Oleh karena
ambiguitas makna ini maka diperlukan definisi lain yang dapat mengkaver
hakikat khuluq sesungguhnya.

Manshur Ali Rajab memberi batasan khuluq dengan al-thab'u dan al-
sajiyah. Maksud thab'u (karakter) adalah citra batin manusia yang menetap (al-
sukûn). Citra ini terdapat pada konstitusi (al-jibillah) manusia yang diciptakan
oleh Allah sejak lahir. Sedangkan sajiyah adalah kebiasaan (ådah) manusia yang
berasal dari hasil integrasi antara karakter manusiawi dengan aktivitas-aktivitas

7
yang diusahakan (al-muktasab). Kebiasaan ini ada yang teraktualisasi menjadi
suatu tingkah laku lahiriah dan ada juga yang masih terpendam.

Definisi terakhir inilah yang lebih lengkap, karena khuluq mencakup


kondisi lahir dan batin manusia. Keinginan, minat, kecenderungan, dan pikiran
manusia ada kalanya terwujud dalam suatu tingkah laku nyata, namun ada juga
yang hanya terpendam di dalam batin dan tidak teraktualisasi dalam suatu tingkah
laku nyata. Baik teraktualisasi atau tidak semuanya masuk dalam kategori
kepribadian. Berdasarkan uraian ini maka khuluq memiliki ekuivalensi makna
dengan personality.

Rajab selanjutnya memilah-milah ruang lingkup Ilmu Akhlak (karakterologi


Islam) dengan Psikologi. Ilmu Akhlak adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku
yang seharusnya dikerjakan atau ditinggalkan seseorang. Sedangkan Psikologi
adalah suatu ilmu yang hanya mempelajari apa adanya tingkah laku itu.
Berdasarkan definisi tersebut maka Ilmu Akhlak dan Psikologi memiliki
kesamaan dan perbedaan. Kesamaannya adalah sama-sama mempelajari tingkah
laku kejiwaan seseorang. Sedang perbedaannya adalah Ilmu Akhlak mempelajari
tingkah laku yang dievaluasi baik-buruknya, sehingga terdapat kategori akhlaq
terpuji (mahmūdah) dan tercela (madzmûmah), sedang Psikologi mempelajari
tingkah laku tanpa berupaya menilai baik-buruknya (dievaluasi).

Pemilahan Rajab tersebut dapat dibenarkan apabila disiplin llmu Akhlak


dibedakan dengan Psikologi Kepribadian Barat. Pemilahan itu menjadi tidak
relevan apabila Ilmu Akhlak dibandingkan dengan Psikologi Kepribadian Islam.
Asumsi pokok yang mendasarinya adalah bahwa di dalam Psikologi Kepribadian
Islam telah terikat oleh norma atau nilai tertentu. Norma atau nilai itu terdapat
pada lebelnya sendiri, yaitu Islam. Lebel Islam merupakan lebel yang
menunjukkan sistem norma atau nilai ajaran yang mengikat dan harus dipatuhi
oleh semua ekosistem yang termasuk di dalamnya. Oleh sebab lebel Islam ini
maka Psikologi Kepribadian Islam identik dengan llmu Akhlak.

Term "akhlak" muncul bersamaan dengan munculnya Islam. Nabi


Muhammad Saw. diutus di dunia untuk menyempurnakan atau memperbaiki
kepribadian umatnya. Sabda beliau: "Aku diutus untuk menyempurnakan
kepribadian yang baik". (HR Malik bin Anas dari Anas bin Malik).

Menurut Muhammad 'Imad al-Din Ismail, terminologi akhlak dan


syakhshiyyah dalam literatur klasik digunakan secara bergantian, karena memiliki

8
makna satu. Namun dalam literatur modern, keduanya dibedakan karena memiliki
konotasi makna sendiri-sendiri. Akhlak merupakan usaha untuk mengevaluasi
kepribadian, atau evaluasi sifat-sifat umum yang terdapat pada perilaku pribadi
dari sudut baik-buruk, kuat-lemah dan mulia-rendah. Sementara syakhshiyyah
tidak terkait dengan diterima atau tidaknya suatu tingkah laku, sebab di dalamnya
tidak ada unsur-unsur evaluasi.

f. Pemilihan Istilah untuk Kepribadian Islam


Dalam khazanah Islam, term khulq lebih dikenal daripada term huwiyyah,
inniyyah, dzatiyyah, nafsiyyah dan syakhshiyyah. Di samping menunjukkan
kedalaman maknanya, term khulq secara khusus diungkap dalam Al-Qur'an (QS
Al-Qalam: 4; Al-Syu'ara: 137) dan Hadis, sedangkan syakhshiyyah tidak pernah
disebutkan. Karena alasan ini khazanah Islam klasik lebih tertarik menggunakan
term khuluq daripada syakhshiyyah.

Ilmu Akhlak dalam wacana keislaman telah berkembang pada abad klasik
(650-1250). Para pemikir Muslim abad ini telah banyak mencurahkan
perhatiannya dalam memahami hakikat manusia. Dalam kesimpulannya mereka
berpendapat bahwa hakikat manusia itu ditentukan oleh jiwa (al-nafs) yang
memiliki daya-daya khas. " Teori jiwa Ibnu Sina (890-1037) barangkali yang
lebih mewakili dari kesekian teori filosof yang ada, sebab materinya lengkap,
hanya saja teorinya itu belum teraplikasikan dalam konsep kepribadian.

Konsep akhlak kemudian muncul dengan kemunculan dua tokoh kenamaan.


Tokoh itu adalah Ibnu Maskawaih (932-1030) melalui karya monumentalnya
"Tahdzib al-Akhlag" (pembinaan kepribadian) atau disebut juga "Thathir al-
A'râq" (kesucian karakter), dan Imam al-Ghazali (1059-1111) dengan karyanya
"Ihya' Ulûm al-Din" (Menghidupkan ilmu-ilmu agama). Kedua tokoh ini boleh
dikatakan sebagai penyempurna konsep nafs bagi filosof-filosof sebelumnya,
karena mereka berdua telah mengapresiasikan teori jiwanya ke dalam diskursus
al-akhlaq. Kehadiran kedua tokoh ini bersamaan dengan akhir dari perkembangan
dan kemajuan ilmu-ilmu keislaman, sehingga teori akhlak mereka tidak
berkembang.

Pertengahan abad XIX didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi


kepribadian kontemporer di dunia Barat. Saat inilah Psikologi Kepribadian
(dalam arti, Personologi) dinobatkan sebagai disiplin ilmu yang mandiri,
Bersamaan abad ini pula, umat Islam telah bangun dari tidur panjangnya. Mereka

9
mencoba berbenah diri untuk mengejar ketinggalan yang ada, khususnya di
bidang sains. Oleh keadaan yang masih transisi inilah maka umat Islam kurang
berminat menggali khazanahnya sendiri. Mereka lebih terpesona dan
menggunakan term-term Barat. Konsekuensi yang muncul kemudian adalah
diskursus-diskursus keilmuan Islam modern (baik filsafat maupun psikologi) lebih
akrab menggunakan istilah syakhshiyyah (personality) daripada khuluq (karakter).
" Pemilihan term ini bukan tidak beralasan bahkan suatu kesengajaan. Tujuan
utamanya adalah agar diskursus ilmu keislaman lebih dikenal oleh dunia lain. Isi
dan substansinya mencerminkan nilai-nilai universal Islam, sementara simbol dan
"bungkus"nya mengadopsi dari Barat.

Perubahan semantik ini apakah tidak mengubah konsep aslinya, sedangkan


kedua term itu jelas-jelas dibedakan dalam diskursus Psikologi. Terlebih lagi jika
term itu dihadapkan pada orang awam, apakah hal itu tidak semakin
memasukkannya ke dalam "liang Biawak". Nabi Adam As. pertama kali diajarkan
ilmu oleh Allah Swt. hanya dengan asmâ (nama-nama) (QS Al-Baqarah: 30).
Bukankah hal ini menunjukkan pentingnya sebuah nama? Nama identik dengan
terminologi, dan terminologi ekuívalen dengan konsep, sedangkan konsep
merupakan produk penting dari akal budi manusia. Melalui sebuah nama sering
kali seseorang menemukan gambaran mengenai karakteristik sesuatu, minimal
mengetahui apa dan siapa yang diberi nama itu. Nama menunjukkan identitas dan
eksis-nya sesuatu.

Terlepas dari segala kelemahan dan kelebihan masing-masing term tersebut,


penulis dalam konteks ini lebih cenderung menggunakan istilah syakhshiyyah
(lengkapnya syakhshiyyah Islâmiyyah) untuk padanan personality. Selain secara
psikologis sudah populer, term ini mencerminkan makna kepribadian lahir dan
batin. Ia tidak dipahami kecuali dengan makna kepribadian. Sedangkan khuluq
memiliki ambiguitas makna, dan secara psikologis kurang populer di dalam
diskursus kontemporer. Pemilihan term ini hanya berkaitan dengan "penyebutan"
bukan berkaitan dengan substansi konseptualnya.

Persoalan pemilihan istilah ini kemudian berimplikasi pada pengukuran


kepribadian dalam Psikologi Islam. Dalam pengukuran (measurement)
kepribadian Islam terdapat beberapa persoalan, baik secara substantif maupun
metodologis. Ironisnya persoalan ini justru menjadi penghambat bagi
pengembangan alat ukur dan proses pengukurannya, bahkan sampai taraf
kesimpulan bahwa kepribadian Islam tidak dapat dan tidak perlu diukur.

10
Kesimpulan seperti itu sesungguhnya tidak dapat dibenarkan secara total,
melainkan perlu klasifikasi permasalahannya menurut konteksnya.

Persoalan pertama, apakah kepribadian Islam yang bercirikan baik-buruk


dapat diukur. Bukankah pengukuran ilmiah bersifat objektif dan bebas nilai yang
tidak melibatkan penilaian baik buruk? Dari perdebatan ini muncul pendapat
bahwa kepribadian Islam tidak perlu diukur melainkan hanya perlu dinilai, karena
konsep pengukuran berbeda dengan penilaian. Pengukuran merupakan proses
menentukan kuantitas sesuatu yang bersifat numerik. Pengukuran lebih bersifat
kuantitatif, bahkan merupakan proses pengumpulan data melalui pengamatan
empiris. Sedangkan penilaian dipahami sebagai proses mendapatkan informasi
secara berkala dan menyeluruh tentang proses dan hasil dari perkembangan
kepribadian yang lebih bersifat kualitatif, sekalipun kuantitatif pun
memungkinkan. Sebagian yang lain mengambil sikap bahwa pengukuran
kepribadian diperlukan untuk mengetahui perkembangan kepribadian individu
dari satu periode ke periode berikutnya dengan menggunakan self-evaluation
(muhasabah), bukan untuk mengetahui perbandingan tingkat kepribadian satu
orang terhadap orang lain.

Persoalan kedua, apakah kepribadian Islam yang bersifat metaempiris


(seperti pengukuran ikhlas dan takwa) dapat diukur secara kuantitatif.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa kepribadian Islam bersumber dari nash dan
pemikiran para ulama' yang orientasi perilakunya pada teosentris. Mungkinkan
pengukuran mampu memasuki wilayah yang indikator dan normanya sulit dan tak
dapat dijangkau manusia? Dalam menanggapi persoalan ini ada beberapa
pendapat yang mengemuka:

1. Selama variabel kepribadian dapat di-definisi-operasional-kan maka


variabel itu dapat diukur, apa pun variabelnya termasuk variabel
kepribadian seperti ikhlas dan takwa. Pendapat ini mengikuti paham
positivistik yang menyatakan bahwa variabel itu menjadi bermakna jika
dapat diverifikasi secara empiris;
2. Variabel kepribadian itu tidak perlu diukur karena normanya terjangkau
dengan indikator empiris. Nabi Muhammad ketika ditanya tentang 'takwa',
beliau menjawab "takwa itu di sini (ha huna)" diucapkan tiga kali dengan
mengisyaratkan tangannya ke dada (HR Muslim dan Abu Hurairah). Hadis
ini menandakan betapa sulitnya mengukur variabel takwa. Kalau

11
pengukuran dipaksakan maka menjadi sia-sia, karena indikatornya tidak
utuh;
3. Terhadap variabel kepribadian tertentu yang dapat diukur secara langsung,
seperti sabar, syukur, jujur, dan sebagainya, karena indikatornya jelas dan
terjangkau secara empiris. Namun terdapat variabel kepribadian tertentu
yang tidak perlu diukur seperti ikhlas, takwa, ma'rifatullah dan
sebagainya, karena keterbatasan peneliti dalam membuat indikator dan alat
ukurnya. Kepribadian terakhir ini lebih tepat dinilai, bukan diukur.
Persoalan ketiga, apakah hasil pengukuran kepribadian Islam berlaku
sebagaimana hasil pengukuran variabel pada umumnya, yang memiliki ciri realtif
dan tentatif. Misalnya, setelah dilakukan pengukuran kepribadian tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja, maka rekomendasi
penelitiannya adalah tidak perlu ikhlas dalam kerja karena tidak memberi
pengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan. Apakah hal itu tidak mereduksi
kemutlakan Islam, bukankah Islam lebih 'terhormat' ikhlas ternyata dijadikan
sebaga doktrin yang tidak perlu díverifikasi keabsahannya dengan penelitian
empiris. Bukankah Islam itu benar dengan sendirinya tanpa perlu verifikasi
empiris?. Sekalipun demikian problemnya, sesungguhnya diterima oleh umat
Islam merupakan hasil ijtihad, sehingga Islam yang jika terjadi hasil penelitian
seperti di atas semata-mata atas nama ijtihad peneliti, yang apabila benar dapat
dua pahala dan apabila salah masih mendapat satu pahala.

Persoalan keempat, apakah yang diukur "kepribadian Islam" ataukah "kepribadian


Muslim," sebab keduanya memiliki perbedaan: Kepribadian Islam (al-akhlaq al-
Islamiyah), pengukuran yang didasarkan atas konsep kepribadian dalam Islam.
Normanya bersifat deduktif-normatif yang diturunkan dari ajaran Islam. Karena
normatif maka fokus pengukuran ini pada 'bagaimana seharusnya' kepribadian
individu. Langkah-langkan operasional yang ditempuh adalah menggali
pengertian, aspek atau dimensi, indikator kepribadian tertentu dalam Islam yang
digali dari ayat-ayat Al-Qur'an, hadis dan pendapat para ulama. Blue print
penelitian ini kemudian dijadikan sebagai dasar penyusunan instrumen dalam
pengukuran kepribadian individu. Tujuan pengukuran ini untuk mengetahui
apakah individu yang diukur memiliki kepribadian yang sesuai dengan ajaran
Islam. Kemungkinan hasil yang didapat dalam pengukuran adalah (1) Individu
Muslim yang berkepribadian Islam; (2) individu Muslim yang tidak memiliki
kepribadian Islam; (3) Individu non-Muslim berkepribadian Islami; dan (4)
Individu non-Muslim tidak memiliki kepribadian Islami. Karenanya, individu

12
yang dimaksud bukan saja berstatus Muslim, namun mencakup juga individu non-
Muslim, sehingga banyak ungkapan "orang itu memiliki kepribadian Islami,
sekalipun ia non-Muslim. " Walaupun demikian, ungkapan itu masih
dipertanyakan: "Masihkah disebut kepribadian Islami bagi non-Muslim yang
tanpa melibatkan domain keimanan kepada Allah Swt.

Kepribadian Muslim (akhlaq al-Muslim), pengukuran pada pribadi Muslim


tentang kepribadian yang dibiasakan. Normanya bersifat empiris yang diturunkan
dari konstruk keilmuan tententu seperti psikologi. Karena normanya empiris maka
fokus pengukuran ini pada 'apa adanya' dari suatu kepribadian. Misalnya konsep
diri orang Muslim yang teorinya diambil dari self-concept Fitt (1971). Hasil
penelitiannya mencerminkan kepribadian Muslim, sekalipun konstruk teorinya
dapat berasal dari berbagai sumber. Pengukuran kepribadian Muslim ini sering
kali terjebak dalam 'liang biawak', sebab banyak kepribadian dalam Islam
memiliki kemiripan perilaku dengan dengan personality dalam psikologi.
Misalnya hasil penelitian ditemukan bahwa perilaku Santri Pondok Pesantren X
adalah minder, inferior atau self concept-nya rendah, karena instrumennya
diturunkan dari teori self-concept Fitt. Pengukuran itu akan berbeda hasilnya jika
menggunakan konstruk kepribadian tawadhu', justru perilaku santri menjadi
positif. Hal itu terjadi karena perilaku self-concept rendah sulit dibedakan dengan
perilaku tawadhu, justru yang membedakan aspek niatnya.

Persoalan kelima, kepribadian dalam Islam memiliki tahapan (maqamat), yaitu


(1) tahapan bidayah berupa takhalli, dengan mengosongkan kepribadian buruk
dalam diri dengan menanggalkan semua akhlak tercela (madzmûmah); (2) tahapan
al-mujahadah berupa tahalli, dengan mengisi dan menghiasi diri dengan
kepribadian baik dengan melakukan akhlak terpuji (mahmudah); dan (3) tahapan
mudziqat berupa tajalli, dengan merasakan ketanpakan keagungan lahi. Dengan
ketiga tahapan tersebut, pengukuran tentang jujur (shidg) misalnya tidak perlu
menggunakan unfavorable dalam pembuatan kuesioner, sebab jujur berada pada
tahapan kedua (positif), sedang unfavorable-nya yakni dusta berada pada tahapan
pertama (negarif). Orang yang tidak dusta tidak secara otomatis menjadi orang
yang jujur, paling tinggi adalah posisi netral antara dusta dan jujur.

Betapapun sulit, pengukuran kepribadian Islam perlu diupayakan. bahkan kalau


mungkin dipaksakan, baik dalam bentuk penelitian formal (skripsi, tesis dan
disertasi) maupun penelitian non-formal. Selain karena variabel psikologis yang
digunakan dalam penelitian 'itu-itu' saja yang kemudian menjadikan tahshil al-

13
hashil (menghasilkan sesuatu yang sudah dihasilkan), pengukuran kepribadian
Islam juga untuk membumikan ajaran Islam dalam tataran ilmiah Islami.
Kepribadian Islam yang diajarkan pasti berimplikasi positif bagi kehidupan
manusia, karena tujuannya adalah jalb al-mashalih (menarik yang baik) dan dar'u
al-mafasid (menolak yang merusak).

2. Makna Terminologi Kepribadian Islam


Pengertian kepribadian dari sudut terminologi memiliki banyak definisi,
karena hal itu berkaitan dengan konsep-konsep empirik dan filosofis tertentu yang
merupakan bagian dari teori kepribadian. Konsep-konsep empirik dan filosofis di
sini meliputi dasar-dasar pemikiran mengenai wawasan, landasan, fungsi-fungsi,
tujuan, ruang lingkup, dan metodologi yang dipakai perumus. Oleh sebab itu,
tidak satu pun definisi yang substantif kepribadian dapat diberlakukan secara
umum, sebab masing-masing definisi dilatarbelakangi oleh konsep-konsep
empirik dan filosofis yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, tidak berkelebihan jika
Allport dalam studi kepustakaannya menemukan sejumlah 50 definisi mengenai
kepribadian yang berbeda-beda yang digolongkan ke dalam sejumlah kategori.

Dengan meminjam definisi Allport, kepribadian secara sederhana dapat


dirumuskan dengan definisi "what a man really is" (manusia sebagaimana
adanya). Maksudnya, manusia sebagaimana sunnah atau kodratnya, yang telah
ditetapkan oleh Tuhan. Definisi yang luas dapat berpijak pada struktur
kepribadian, yaitu integrasi sistem qalbu, akal, dan nafsu manusia yang
menimbulkan tingkah laku. " Definisi ini sebagai bandingan dengan definisi yang
dikemukakan oleh para psikolog Psikoanalitik seperti Sigmund Freud dan Carl
Gustav Jung.

Dalam diri manusia terdapat elemen jasmani sebagai struktur biologis


kepribadiannya dan elemen rohani sebagai struktur psikologis kepribadiannya.
Sinergi kedua elemen ini disebut dengan nafsani yang merupakan struktur
psikofisik kepribadian manusia. Struktur Nafsani memiliki tiga daya, yaitu (1)
qalbu yang memiliki fitrah ketuhanan (ilahiyah) sebagai aspek supra-kesadaran
manusia yang berfungsi sebagai daya emosi (rasa); (2) akal yang memiliki fitrah
kemanusiaan (insaniah) sebagai aspek kesadaran manusia yang berfungsi sebagai
daya kognisi (cipta); dan (3) nafsu yang memiliki fitrah kehewanan
(hayawaniyyah) sebagai aspek pra atau bawah-kesadaran manusia yang berfungsi
sebagai daya konasi (karsa). Ketiga komponen fitrah nafsani ini berintegrasi

14
untuk mewujudkan suatu tingkah laku. (Uraian struktur dan dinamikanya, lihat
pada bab IIl dan IV).

Jadi dari sudut tingkatannya maka kepribadian itu merupakan integrasi


dari aspek-aspek supra-kesadaran (ketuhanan), kesadaran (kemanusiaan), dan pra-
atau bawah kesadaran (kebinatangan). Sedang dari sudut fungsinya; kepribadian
merupakan integrasi dari daya-daya emosi, kognisi, dan konasi, yang terwujud
dalam tingkah laku luar (berjalan, berbicara, dsb) maupun tingkah laku dalam
(pikiran, perasaan, dan sebagainya).

3. Makna Psikologi Kepribadian Islam


Perumusan makna psikologi kepribadian islam memiliki arti bagaimana
islam mendefiniskan kepribadian dari sudut pandang psikologis. Frame kajiannya
tetap pada studi islam yang menelah terhadap fenomena perilaku manusia dari
sudut pandang psikologis, sebab satu-satunya wacana yang eksis hanyalah islam,
sementara psikologis disini hanya satu pendekatan studi dalam studi islam.
Penulis disini tidak berpretensi untuk mendefinisikan psikologi kepribadian islam
dengan cara menguraikan terlebih dahulu apa psikologis, apa kepribadian dan apa
islam secara parsial. Jika hal itu dilakukan maka terkesan adanya tiga disiplin
ilmu yang berbeda untuk disatukan dalam satu wacana, padahal masing-masing
disiplin memiliki kerangka filosofis yang berbeda.

Berdasarkan pengertian kepribadian diatas maka yang dimaksud dengan


psikologi kepribadian islam adalah “studi islam yang berhubungan dengan
tingkah laku manusia berdasaerkan, dan kepada sang Khalik-nya agar dapat
meningkatkan kualitas hidup didunia dan diakhirat. “Rumusan tersebut memiliki
lima komponen dasar sebagai berikut.

Pertama, studi islam. Psikologi kepribadian islam merupakan salah satu


kajian dalam keislaman, bukan bagian dari studi keislaman, bukan bagian dari
studi (atau cabang) psikologi. Sebagai disiplin ilmu keislaman, ia memiliki
kedudukan yang sama dengan disiplin keislaman yang lain, seperti teologi islam,
hukum islam, ekonomi islam, kebudayaan islam, politik islam, dan sebaginya.
Penggunaan term islam disini memiliki arti corak, pola piker, atau aliran dalam
psikologi kepribadian, yang memiliki eksistensi untuk disbanding dengan aliran
psikologi kepribadian lain. Keunikannya baik dari aspek ontology, epistemology
maupun aksiologinya. Studi islam disini juga memiliki arti bahwa bangunan

15
kepribadian didasarkan atas Alquran, al-Sunnah dan khazanah islam sendiri,
bukan dari bangunan kepribadian Barat.

Kedua, yang berhubungan tingkah laku manusia. Psikologi kepribadian


islam mempelajari tingkah laku manusia. Dalam bentuk potensial, seluruh tingkah
laku manusia telah memiliki takdir atau sunnatullah yang ditetapkan oleh Tuhan,
meskipun takdir yang dimaksud memiliki banyak pilihan. Namun, dalam bentuk
actual, manusia diberi kebebasan untuk mengekspresikan, sehingga menimbulkan
dinamika tingkah laku. Setiap tingkah laku memiliki citra (image) dan keunikan
tersendiri sesuai apa yang terdapat pada pelakunya. Tingkah laku disini bias
berupa tingkah laku lahir maupun tingkah laku batin atau kedua-duanya. Tingkah
laku lahur ada yang mencerminkan tingkah laku batinnya da nada juga yang
berbeda. Baik mencerminkan atau tidak semuanya disebut dengan tingkah laku.

Ketiga, berdasarkan pendekatan psikologis. Studi tentang kepribadian


dapat didekati dengan beberapa pendekatan, misalnya filsafat, psikologi,
antropologi, dan sebagainya. Psikologi kepribadian islam merupakan studi
kepribadian islam yang dipandang dari sudut psikologi. Studi ini setidak-tidaknya
menggambarkan apa dan bagaimana tingkah laku manusia menurut pandangan
islam yang ditimbulkan dari jiwanya.

Keempat, dalam relasinya dengan alam, sesamanya dan kepada Sang


Khalik; psikologi kepribadian islam mengkaji tingkah laku manusia dengan
berpijak pada fungsi kehidupan manusia. Manusia adalah sebagai mandataris
Sang Khalik untuk menjadi khalifah dimuka bumi. Dalam bertingkah laku,
manusia selain diberi potensi fitriah, juga memiliki relasi dengan sesamanya dan
dikaruniai alam dan isinya untuk dikelola yang baik. Oleh karena kedudukan ini
maka setiap realisasi tingkah laku manusia merupakan cerminan ibadah, baik
berkaitan dengan tuhan, diri sendiri, sesamanya, serta pada alam semesta.

Kelima, untuk meningkatkan kebahagiaan hidup didunia dan diakhirat.


Psikologi kepribadian islam sarat akan nilai, yang dapat menghantarkan
kebahagiaan hidup manusia. Kebahagiaan yang dimaksud tidak terbatas pada
kebahagiaan duniawi yang sifatnya temporer dan semu, tetapi juga kebahagiaan
ukhrawi yang sifatnya abadi dan hakiki. Pada aspek ini, psikologi kepribadian
islam bukan sekadar memotret dan mengidentifikasi tingkah laku (bicara apa
adanya), melainkan juga mengungkap bagaimana seharusnya tingkah laku itu.
Tentunya dalam hal ini tidak terlepas norma-norma baik-buruk yang telah

16
ditetapkan oleh sang Khaliq. Oleh karena tujuan ini maka studi psikologi
kepribadian islam diharapkan memiliki implikasi penting dalam kehidupan
manusia.

A. Kedudukan Kepribadian Dalam Disiplin Ilmu -Ilmu Keislaman.


Persoalan kepribadian telah dibicarakn didalam berbagai diskursus keilmuan,
sehingga dewasa ini ditemukan berbagai ragam teori kepribadian. Menurut
Ahmad Mahmud Shubhi, teori kepribadian dapat diperoleh melalui pendekatan
metafisik atau melalui pendekatan psikologis. Pendekatan metafisik melahirkan
disiplin “filsafat kepribadian”, sedang pendekatan psikologi melahirkan disiplin
“psikologi kepribadian”.

Masing-masing disiplin ini membicarakan objek material yang sama, yaitu


tingkah laku individu, tetapi dari sudut pandang yang berbeda. Filsafat kpribadian
menitikberatkan pandanganya pada hakikat dan keberadaan tingkah laku individu,
sedangkan psikologi kepribadian menitikberatkan pada struktur, proses dan
motivasi yang menimbulkan tingkah laku, pertumbuhan dan perkembangan serta
psikopatologi dan psikoterapinya.

Kedua pendekatan tersebut sebenarnya sulit dipisahkan. Dalam suatu teori


kepribadian kadang-kadang bermuatan filsafat satu sisi dan psikologi pada sisi
yang lain. Kedua pendekatan ini menyatu dalam satu teori kepribadian secara
bersamaan. Pembauran seperti itu beralasan, sebab filsafat merupakan induk dari
segala cabang ilmu pengetahuan, sedangkan psikologi merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari filsafat itu.

Sebagian para ahli membedakan kedua pendekatan tersebut dengan paradigm


yang dipergunakannya. Filsafat kepribadian menggunakan paradigm spekulatif-
filosofis. Paradigm ini dikembangkan oleh para filosof, seperti Plato, Bahnsen,
Immanuel Kant, para ahli dari aliran Neo-Kantianisme, Queyrat, Malapert, dan
sebagainya. Sedangkan paradigm yang digunakan dalam psikologi kepribadian
adalah empirik-eksperimental. Paradigm ini banyak dikembangkan oleh psikolog
abad XIX dan XX, seperti Freud, Jung, Heymans, Cattell, Adler, Eysenck, Roger,
Fromm dan sebagainya. Walapun demikian, diskursus psikologi kepribadian lebih
popular daripada filsafat kepribadian. Hal itu disebabkan oleh karakteristik
psikologi kepribadian yang memenuhi syarat-syarat sebagau sains modern, yaitu

17
didasarkan atas pemikiran rasional-empirik, sedangkan filsafat kepribadian hanya
didasarkan atas pemikiran spekulatif belaka.

Melalui pendekatan psikologis, Psikologi kepribadian sebagaimana yang


diungkapkan oleh Adler adalah “salah satu cabang dari psikologi yang
menguraikan struktur-struktur kepribadian manusia sebagai suatu totalitas serta
mengenai pemahaman-pemahaman tingkah laku yang menjadi ciri-ciri individu
yang normal.

Definisi diatas memiliki dua prinsip pokok, yaitu: pertama, psikologi


kepribadian membahas tentang struktur-struktur kepribadian manusia sebagai
totalitas. Pembahasan prinsip ini memiliki relevansi dengan objek material
psikologi yang esensial. Psikologi secara harfiah diartikan dengan “ilmu tentang
jiwa”atau “ilmu tentang gejala-gejala jiwa”dalam konteks ini, psikologi adalah
ilmu tentang struktur kepribadian manusia. Apapun bentuk dan cabang dari
psikologi harus membahas jiwa manusia. Tanpa pembahasan objek material ini
maka psikologi telah kehilangan ruhnya. Hal itu disebabkan oleh prkembangan
psikologi akhir-akhir ini merupakan “ilmu jiwa tetapi tidak berurusan dengan
jiwa”, atau “ilmu jiwa yang mempelajari manusia yang tak berjiwa”akibat dari
pola ini maka konsep-konsep mengenai tingkah laku hewan banyak disamakan
dengan konseo-konsep tingkah laku manusia, sebab keduanya dianggap sebagai
makhluk yang tak berjiwa.

Kedua, psikologi kepribadian menguraikan tingkah laku individu yang


normal. Pembahasan ini memiliki relevansi dengan objek material kepribadian.
Kepribadaian secara harfiah dapat diartikan dengan “tingkah laku”, yaitu tingkah
laku individu yang menjadi ciri uniknya. Tingkah laku yang di asumsikan dari
konsep manusia yang normal bukan yang sakit. Artinya studi tentang kepribadian
adalah studi yang beranjak dari tingkah laku yang sehat dan bukan yang sakit,
konsep ini diasumsikan dari pemahaman bahwa pada prinsipnya manusia adalah
makhluk yang fitri, suci dan baik.

Kedua prinsip diatas merupakan syarat mutlak bagi terciptanya suatu disiplin
psikologi kepribadian. apabila kedua prinsip ini dipenuhi dalam pembahasan
“kepribadian”maka disiplin yang membahas disebut dengan “psikologi
kepribadian”(the psychology of personality), karna di dalamnya membahas
struktur dan tingkah laku seseorang. konskuensi dari pemahaman ini adalah
bahwa aliran dalam kepribadian-seperti bahavioristik- yang membahas

18
tingkahlaku individu tanpa pembahasan strukturnya maka aliran itu lebih tepat
disebut sebagai “teori kepribadian”(theory of personality) bukan psikologi
kepribadian.

Berdasarkan uraian ini maka kadudukan psikolpgi kepribadian memiliki dua


kedudukan : pertama, psikologi kepribadian sebagai bagian dari teori kepribadian.
hall dan lindzen menyatakan bahwa teori kepribadian merupakan teori umum
tentang tingkahlaku sedangkan psikologi kepribadian membahasan perhatiannya
pada peristiwa tingkah laku tertentu dengan pendekatan psikologis karna itu,
psikologi kepribadian disebut juga sebagai teori-teori ranah tunggal (single
domonin theories). Kartini kartono tidak menjelaskan secara tegas kedudukan
psikologi kepribadian. ia hanya membedakan antara teori kepribadian dengan
psikologi umum. Walaupun perbadaan ini kurang begitu relevann psikologi
umum tidak dapat dibandingkan dengan teorikepribadian, melainkan
dibandingkan dengan psikologi khusus, ia seharusnya membedakan teori
kepribadian dangan psikologi kepribadian. sehingga keduanya mudah ditentukan.

Berbeda dengan sumadi suryabrata yang secara jelas membedakan keduanya.


Teori kepribadian merupakan teori umum tentang kepribadian yang daoat dilihat
dari beberapa pendekatan atau sudut pandang, sementara psikologi kepribadian
aslah teori kepribadian yang ditinjau dari prndrkatan psikologis, oleh sebab itu
bagian dari teori kepribadian.

Kedua, psikologi kepribadian merupakan bagian dari psikologi khusus.


Disiplin psikologi terbagi menjadi dua macam, yaitii psikologi umum dan
psikologo khusus. Psikologi umum membahas kognisi, emosi, dan konasi.
Psikologi khusus dibagi menjadi dua bagian, yaitu psikologi khusus murni dan
khusus terpakai. Jadi, ruang lingkup psikologi kepribadian sangat terbatsa, karna
ia merupakan baagian dari psikologi khusus.

Kedua kedudukan psikologi kepribadian di atas sama-sama memiliki validitas


tersendiri, dan keduanya dapat digunakan sebagai pangkal studi psikologi
kepribadian, buku ini membicarakan “kepribadian”dalam diskusi psikologis, atau
lebih simplenya disebut dengan “psikologi kepribadian”hanya saja pangkal studi
beranjak dari kedudukan pertama, yaitu psikologi kepribadian sebagai bagian dari
teori kepribadian bukan bagian dari psikologi khusus.

Ruang lingkup psikologi kepribadian. tujuan pe, ilijam kedudukan ini adalah
untuk menentukan konsep hakiki kepribadian yang sesungguhmya dan jangkauan

19
lebih univsal dan komprenshif disbanding dengan psikologi khusus. Wacana
psikologi kepribadian dari sudut teori kepribadian memiliki perbandingan dengan
psikologi pendidikan, psikologi agama, psikologi manjemen, psikologi
komunikasi dan sebagainya.

Psikologi kepribadian islam meliputi mazhab baru dalam psikologi


kepribadian, dengan berorientasi pada nilai (bagaimana seharusnya), psikologi
kepribadian islam memiliki karakteristik unik yang memiliki tempat tersendiri,
dan tidak dipaksa paska. Memsuki salah satu mazhab dalam psikologi bagaimana
mungkin suatu wacana yang memiliki orientasi berbeda untuk kemudian
disatukan dalam satu frame keilmuan. Inkonsistensi tentunya akan terjadi jika
dipaksakan bahkan akan terjadi reduksi atau bahkan diragukan identitas
keislamannya. psikologi kepribadian islam tidak mungkin comot sini dalam
temple sna temple sini (cut and glue), sebab jika hal itu terjadi maka memasukkan
kata islam dalam lebel psikologi kepribadian menjdi relavan.

Dalam wacana islam, belum ditemukan kedudukan psikologi kepribadian


islam secara pasti, sebab ilmu ini tergolong baru. Apa bila ilmu ini telah menjadi
bagian dari ilmu-ilmu keislaman, terdapat dua alternative kedudukan : pertama, ia
merupakan bagian dari ilmu akhlak atau nahkan identik dalam ilmu akhlak dalam
peristilahan khazanah klasik, yang membahas tentang tingkah laku batiniah
manusia (yang dievaluasi). Ilmu akhlak merupakan salah satu dimensi keislaman
sejajarr dengan ilmu akhidah (yang berkaitan deangan kepercayaan) dan ilmu
syariah (yang berkaitan dengan tingkah laku lahiriah, baik mennyangkut
pribadatan kepada allah maupun muamalah dengan sesame manusia; kedua ia
merupakan cabang ilmu keislaman yang mandiri, yang membahas tentang tingkah
laku keimanan, pribadatan dan budi pekerti dari sudut pandang psikologi. Trilogo
akidah, sayriah dan akhlak merupakan aspek-aspek doctrinal yang harus oleh
setiap umat islam. Ia bukan ilmu spesifik, sebab jika dianggap disiplin ilmu
berarti kewajiban mempelajarinya hanya sebagian umat islam saja.

20
B. Ruang Lingkup Pembahasan Psikologi Kepribadian Islam
Ruang lingkup pembahasan psikologi kepribadian islam dalat beranjak dari
dua kedudukan. Pertama, psikologi kepribadian islam bagian dari teori
kepribadian, dan kedua, psikologi kepribadian islam sebagai bagian dari psikologi
khusus.

Beranjak dari teori kepribadian, Pervin (1980) menyatakan bahwa suatu teori
kepribadian dianggap sempurna apabila memiliki 5 dimensi pokok, yaitu:

1. Struktur kepribadian
2. Proses dan motivasi kepribadian
3. Pertumbuhan dan perkembangan kepribadian
4. Psikopatologi
5. Psikoterapi
Kelima dimensi inilah yang menjadi ruang lingkup teori kepribadian.
Beranjak dari psikologi khusus, Kartini Kartono menjelaskan bahwa sistem
kepribadian memiliki 5 unsur pokok, yaitu vitalitas, temperamen, karakter, bakat,
dan sifat-sifat laten. Kelima sistem ini merupakan unsur pokok kepribadian dari
sudut pandang kepribadian sebagai bagian dari psikologi khusus. Apabila
bangunan psikologi kepribadian islam diadaptasikan dari pola kedua ini, terdapat
dua alternatif pola yang dapat ditempuh :

Pertama, ruang lingkup psikologi kepribadian islam hanya berkaitan


dengan karakter (character), sebab karakter merupakan kepribadian (personality)
yang dievakuasi melalui paradigma bagaimana seharusnya dalam melihat perilaku
manusia. Sementara empat komponen yang lain tidak dibicarakan dalam psikologi
kepribadian islam dengan asumsi bahwa hal itu telah banyak dibahas dalam
wawancara psikologi kepribadian barat kontemporer melalui paradigna apa
adanya dalam melihat perilaku manusia. Masalah apa adanya, yang tidak terkait
dengan nilai, merupakan wilayah ijtihaiyah, sehingga islam menyerahkan
seluruhnya pada umatnya, termasuk kebolehan menghadaptasi dan pemikiran
siapa pun. Ruang lingkup ini menuntut pengkaplingan wilayah kajian yang jelas
antara psikologi kepribadian islam dengan psikologi kepribadian barat
kontemporer.

Kedua, ruang lingkup psikologi kepribadian islam mencangkup


keseluruhan 5 komponen kepribadian, dengan mencari padanan-padanan yang

21
sesuai dengan ajaran islam. Pencarian padanan yang dimaksud tidak sekedar
similarisasi, paralelisasi, komplementasi dan komparasi, tetapi substansinya
benar-benar digali dari khazanah islam sendiri. Dalam khazanah islam terdapat
istilah-istilah yang dapat dijadikan sebagai ruang lingkup psikologi kepribadian
islam, yaitu:

1. Al-Fithrah (citra asli)


Fitrah merupakan citra asli manusia, yang berpotensi baik atau buruk dimana
aktualisasinya tergantung pilihannya. Fitrah yang baik merupakan citra asli yang
primer, sedangkan fitrah yang buruk merupakan citra asli yang sekunder. Fitrah
adalah citra asli yang dinamis, yang terdapat pada sistem psikofidik manusia, dan
dapat diaktualisasikan dalam bentuk tingkahlaku. Citra unik tersebut telah ada
sejak awal penciptaannya. Fitrah ini ada sejak zaman azali dimana penciptaan
jasad manusia belum ada. Seluruh manusia memiliki fitrah yang sama, meskipun
perilakunya berbeda. Fitrah manusia yang paling esensial adalah penerimaan
terhadap amanah untuk menjadi khalifah dan hamba allah di muka bumi.
Pembahasan fitrah manusia pada akhirnya akan terkait dengan teori
perkembangan kepribadian manusia, apakah perkembangan kepribadian itu darai
turunan orangtua, atau dari lingkungan atau dari faktor taqdir dari sang khalik?

2. Al-Hayah (vitality)
Hayah adalah daya, tenaga, energi atau vitalitas hidup manusia yang
karenanya manusia dapat bertahan hidup. Al-Hayah ada dua macam, yaitu:

 Jasmani yang intinya berupa nyawa (al-hayah), atau energi fisik (al-thaqat
al-jismiyyah) atau disebut juga ruh jasmani. Bagian ini sangat tergantung
pada susunan sel, fungsi kelenjar, alat perencanaan, susunan syarat setral,
dan sebagiannya yang dapat ditampilkan dengan tanda-tanda fisiologis
pembawaan dan karakteristis yang kurang lebih konstan sifatnya.
 Ruhani yang intinya berupa amanat dari tuhan (al-amanah al-ilahiyyah)
yang disebut juga ruh-ruhani. Amanah merupakan energi psikis (al-thaqal
al-ruhaniyyah) yang membedakan menusia dengan makhluk lain. Melalui
dua bagian ini maka vitalitas manusia menjadi sempurna. Tanpa nyawa
maka jasmani manusia tidak dapat hidup, dan tanpa amanah maka rohani
tidak akan bermakna. Al- hayah tidak dalam sekedar dapat menghidupkan
manusia, tetapi juga menjadi esensi (Al- haqiqah) bagi kehidupannya.
Dalam konteks psikologi kepribadian, ruang lingkup yang dibahas hanya

22
berkenaan dengan vitalitas rohani bukan vitalitas jasmani, sebab vitalitas
jasmani, sebab vitalitas jasmani dibahas dalam disiplin biologi.
3. Al-Khuluq (karakter)
Khuluq (bentuk tunggal dari akhlaq) adalah kondisi batiniah (dalam) bukan
kondisi lahiriah (luar) individu yang mencakup al-thabu dan al-sajiyah. Orang
yang berkhuluk dermawan lazimnya gampang memberi uang pada orang lain,
tetapi sulit mengeluarkan uang pada orang yang digunakan untuk maksiat.
Sebaliknya, orang yang berkhuluk pelit lazimnya sulit mengeluarkan uang, tetapi
boleh jadi ia mudah menghambur-hamburkan uang untuk keburukan. Khuluk
dapat disamakan dengan karakter yang masing-masing imdividu memiliki
keunikan sendiri. Dalam terminology psikologi, karakter (character) adalah
watak, perangai, sifat dasar yang khas, satu sifat atau kualitas yang tetap terus
menurus dan kekal yang dapat dijadikan ciri untuk mengidentifikasikan seorang
pribadi. ia juga akunya psikis yang mengekspresikandiri dalam bentuk tingkah
laku keseluruhan dari aku manusia. Ia disebabkan oleh bakat pembawaan dan
sifat-sifat hereditas sejak lahir. Dan sebagian disebabkan oleh pengaruh
lingkungan. Ia berkemungkinan untuk dapat dididik elemen karakter terdiri atas
dorongan-dorongan, insting, refleks-refleks, kebiasaan-kebiasaaan kecendrungan
kecendrungan, perasaan, emosi, sentiment, minat, kebajikan dan dosa, serta
kemauan.

4. Al-Thabu (tabiat)
Tabiat yaitu citra batin individu yang menetap (al-sukun). Citra ini terdapat
pada konstitusi (al-jibillah) individu yang diciptakan oleh Allah SWT. Sejak lahir.
Menurut Ikhwan al-Shafa, tabiat adalah daya dari daya nafs kulliyah yang
menggerakan jasad manusia. Berdasarkan pengertian tersebut, al-thabu ekuivalen
dengan tempramen yang tidak dapat perilaku baik atau buruk, sebab Al-quran
merupakan buku pedoman yang menuntut manusia berprilaku baik dan
menghindarinya dari prilaku buruk.

Dalam psikologi, tempramen adalah disposisi reaksi seseorang. ia juga


kinstitusi psikis atau aku-nya psikis yang erat kaitannya dengan konstitusi fisik
yang di bawah semenjak lahir, sehingga hereditas sifatnya. misalnya tempramen
sanguinikus yang mempunyai sifat dominan darah, sehingga menimbulkan sifat
gembira suka berubah. tempramen flegmatikus yang mempunyai sifat dominan
lendir, sehingga menimbulkan sifat tenang, tidak suka bergerak, tempramen
kholerikus yang mempunyai sifat dominan empedu kunung sehingga mempunyai

23
sifat lekas marah dan mudah tersinggung. dan temperament melankholikus yang
mempunyai sifat dominan empedu hitam sehingga menimbulkan sifat pesimistik
dan suka bersedih hati.

5. Al-Sajiyah (bakat)
Sajiyah adalah kebiasaan (adah) individu yang berasal dari hasil integrasi
antara karakter individu (fardiyyah) dengan aktifitas-aktifitas yang diusahakan
(al-muktasab). Dalam terminologi psikologi, sajiyah terjemahkan dengan bakat
(aptitude), yaitu kapasitas, kemampuan yang bersifat potensial. . ia ada pada
faktor yang ada pada individu dari krhidupan, yang kemudian menimbulkan
perkembangan keahlian, kecakapan, keterampilan, dan spesialis tertentu. bakat ini
bersifat laten (tersembunyi dan apat berkembang) sepanjang hidup manusia, dan
dapat diaktualisasikan potensinya. Potensi yang terpendam dan masih lelap itu
dapt dibuat aktif dan aktuil. Bakat asli yang merupakan hasil dari karakter
individu akan sulit berkembang jika tanpa dibarengi oleh upaya upaya lingkungan
yang baik, seperti pendidikan, pengajaran, pelatihan dan dakwah amar maruf atau
nahi munkar.

6. Al-Sifat (sifat-sifat)
Sifat yaitu satu ciri khas individu yang relative menetap, secara terus-menerus
dan konsekuen yang diungkapkan dalam satu deretan keadaan. Sifat-sifat totalitas
dalam diri individu dikategorikan menjadi 3 bagian yaitu, diferensiasi, regulasi,
dam integrasi. Diferensiasi adalah perbedaan mengenai tugas-tugas dan pekerjaan
dari masing-masing bagian tubuh. Regulasi adalah dorongan untuk mengadakan
perbaikan sesudah terjadi suatu gangguan didalam organisme manusia. Integrasi
adalah proses yang membuat keseluruhan jasmani dan ruhani manusia yang
menjadi satu kesatuan yang harminis, karena terjadi satu sistem pengaturan yang
rapi.

7. Al-amal (perilaku)
Amal yaitu tingkah laku lahiriah individu yang tergambar dalam bentuk
perbuatan nyata. Pada tingkat amal ini kepribadian individu yang dapat diketahui,
sekalipun kepribadian yang dimaksud mencakup lahir dan batin. Hukum fikih
memiliki kecendrungan melihat aspek lahir dari kepribadian manusia, sebab yang
lahir mencerminkan yang batin.

Fungsi psikologi kepribadian islam selanjutnya tidak hanya


mendeskripsikan masing-masing unsur diatas, melainkan juga mengemukakan

24
bagaimana interaksi dan cara kerja masing-masing unsur dalam pembentukan
kepribadian; apa dan bagaimana motifasi yang mempengaruhi dinamikanya;
faktor-faktor apa yang mempengaruhi kepribadian tersebut ; dan pada ahirnya
melakukan penilaian baik-buruknya dan bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan keselamatan hidup individu di dunia dan akhirat.

Dalam buku ini, ruang lingkup psikologi kepribadian islam mencangkup


pembahasan : (1) struktur kepribdian manusia meliputi jasmaniah, rohaniah,
nafsiah (qalbu, akal, nafsu) serta dinamika yang ditimbulkan dari berbagai
interaksi dan integritas struktur tersebut; (2) dinamika berbagai struktur itu yang
kemudian membentuk satu tipologi kepribadian islam dan bentuk bentuknya ; (3)
penyimpangan dan keterampilan yang terjadi pada kepribadian, dan (4)
perkembangan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Ruang lingkup ini
mencoba mensinergikan kedudukan kepribadian islam sebagai bagian dan teori-
teori kepribadian maupun sebagai bagian dari psikologi khusus.

B. Fungsi Psikologi Kepribadian Islam


Psikologi memandang kepribadian sebagai suatu bidang empirik. Selain
memiliki fungsi praktis, ia juga memiliki fungsi teoretis. Fungsi praktis Psikologi
Kepribadian adalah berusaha untuk memahami tingkah laku seseorang melalui
prinsip-prinsip yang telah ditetapkan secara ilmiah dan fakta-fakta sekitar tingkah
laku. Asumsi psikologis yang mendukung fungsi ini adalah walaupun tingkah
laku manusia seakan-akan mengikuti pola umum tertentu, individu cenderung
untuk memberi respons yang berbeda-beda terhadap unsur-unsur di dalam situasi
khusus. Dari sini para psikolog tertarik pada apa dan bagaimana yang dari
keduanya dikatakan memiliki kesamaan dan perbedaan antara reaksi-reaksi
individu itu. Karena itu, tidak sedikit seseorang mengalami salah paham terhadap
memahami kepribadian orang lain, walaupun orang lain itu masih keluarganya
sendiri atau teman dekatnya. Persepsi diri mengenai kepribadian orang lain
ternyata di luar dugaannya. Dari sini nampak bahwa Psikologi Kepribadian
berguna bagi kelangsungan hidup individu dalam suatu komunitas sosialnya.

Fungsi praktis lain yang tidak kalah urgensinya adalah fungsi "bercermin"
diri. Tingkah laku seseorang secara umum seperti sejumlah atau seperti semua
orang lain. Artinya, tidak ada salahnya jika seseorang melihat kepribadiannya
melalui kepribadian orang lain. Kepribadian orang lain merupakan cerminan

25
kepribadiannya sendiri, meskipun cerminan itu hanya menyangkut pola-pola
umum saja. Jika ternyata ditemukan kepribadian yang baik maka perlu
dilestarikan bahkan kalau memungkinkan ditingkatkan, sementara apabila
ditemukan kepribadian yang buruk maka segera dimodikasi dan diperbaikinya.

Fungsi praktis kedua ini merupakan koreksi terhadap penelitian yang


dilakukan oleh teoritikus kepribadian. Para teoritikus kepribadian umumnya
memahami dan meneliti pola-pola kepribadian orang lain, sementara
kepribadiannya sendiri terabaikan. Akibat yang muncul adalah bahwa teoritikus
kepribadian hanya memiliki teori kepribadian orang lain (psikologi untuk anda),
sementara ia tidak akan pernah memiliki teori kepribadiannya khas (psikologi
untuk saya). Karena itu, penelitian kepribadian sendiri yang seharusnya bukan
hanya berpijak pada kerangkan You and me, tetapi juga / and you. Dengan kedua
konstruks ini seorang teoritikus kepribadian tidak sibuk-sibuk memperhatikan
kepribadian orang lain, sementara dirinya sendiri terlupakan.

Sedangkan fungsi teoretis Psikologi Kepribadian merupakan fungsi


normatifnya. Artinya, teori Psikologi Kepribadian berusaha mendiskripsikan dan
menjelaskan pola-pola umum kepribadian seseorang, agar dapat dijadikan sebagai
norma dalam menggambarkan, menentukan, mengkategorikan tipe atau sifat-sifat
khas individu, dan menilai baik buruknya.

Clerence W. Brown dan Edwin E. Ghiselli -yang kemudian dikutip dan


dikembangkan oleh Hanna Djumhana Bastaman—mengemukakan lima fungsi
psikologi Islam (termasuk psikologi kepribadian Islam), yaitu:

1. Fungsi pemahaman (understanding); memahami kepribadian apa adanya


dan bagaimana seharusnya; memberikan penjelasan yang benar, masuk
akal dan ilmiah-qur'ani mengenai tingkah laku manusia.
2. Fungsi pengendalian (control); memberi arah yang efektif dan efisien
untuk berbagai tingkah laku manusia, serta memanfaatkan temuan-temuan
ilmiah-qur'ani secara benar untuk meningkatkan kesejahteraanhidup
manusia.
3. Fungsi peramalan (prediction); memberi gambaran mengenai kondisi
tingkah laku manusia di masa mendatang (termasuk kehidupan setelah
mati dan di akhirat kelak) serta memperkirakan hal-hal yang akan terjadi
pada periode waktu tertentu.

26
4. Fungsi pengembangan (development); memperluas dan mendalami ruang
lingkup psikologi kepribadian Islam; menyusun teori-teori baru;
menyempurnakan metodologi dan menciptakan berbagai teknik dan
pendekatan psikologis.
5. Fungsi pendidikan (education); meningkatkan kualitas perilaku manusia;
menunjukkan tingkah laku yang benar dan baik; dan memberi arahan
bagaimana mengubah tingkah laku yang salah menjadi benar, sehingga
membentuk kepribadian yang sempurna (kamil).

27
DAFTAR PUSTAKA

Mujib, Abdul. 2017. Teori Kepribadian Perspektif Psikologi Islam. Jakarta :


Rajawali Pers. Cet. 2.

28

Anda mungkin juga menyukai