Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH (Kelompok 3)

“Esensi Dan Substansi”

Mata Kuliah : Filsafat Ilmu

Prodi : Manajemen Pendidikan Kristen

Kelas/Semester : A/II

Disusun Oleh :
 Etnan Yamalek Ora
 Rocky Brayen Toma

INSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI

FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN

MANAJEMEN PENDIDIKAN KRISTEN

2021
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Louis O. Kattsoff dalam buku Pengantar Filsafat esensi ialah hakikat barang sesuatu.
Kini kita membicaraka sejumlah istilah yang berhubungan dengan sesuatu yang khusus. Dewasa
ini salah satu di antara masalah-masalah yang mengganggu kita terletak pada kebingungan kita
mengenai esensi manusia.Orang senantiasa bertanya, ‘apakah manusia itu?” ‘Esensi’ dan ‘sifat
terdalam’ sering digunakan dalam arti yang sama. Maka, esensi sesuatu ialah hakikatnya.
Apakah sesuatu itu bereksistensi atau tidak, dalam arti tertentu, tidak ada sangkut-pautnya
dengan pernyataan ‘apakah esensinya’. Tampaklah, jika X bereksistensi, maka tentu juga
beresensi, tetapi kebalikanya tidak harus benar. Substansi filsafat diartikan sebagai objek yang
tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada keterangan-keterangan lain. Berbicara mengenai substansi
filsafat tidak lepas dari pengertian fakta, kebenaran, kenyataan, konfirasi, maupun logika.

B. Rumusan Masalah

Adapun pokok-pokok permasalahan didalam makalah ini diantaranya sebagai berikut ;

 Menguraikan Esensi menurut Metafisika


 Menguraikan Substansi dengan benar

C. Tujuan
Tujuan dari materi makalah ini,diharapkan agar mampu menguasai materi mengenai Esensi dan
Substansi beserta dari bagian-bagian nya.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Esensi

Sebagaimana dikatakan bahwa esensi adalah cara mengada ada. Secara lahiriah, esensi
berasal dari esse: jika esse adalah to be (adalah) maka esensi adalah suatu cara ada. Memang,
segala yang ada memiliki esse dan berkat esse kita menyebut ada-ada (entia). Tetapi juga bahwa
segala yang ada memiki esensi dan berkat esensi masing-masing ada berbeda satu sama lainnya.
Anggur adalah anggur, api adalah api. Jadi karena esensi, esse memiliki suatu natura yang
definitif dan tetap (habet esse ratum et fixum in natura).

Maka, esensi menyatakan apa itu dari ada: apa yang mengidentifikasikan ada dan
terlepas dari perubahan dan qualitas yang dimiliki oleh ada tersebut. Tepatnya esensi merujuk
pada substansi: itu yang ada di dalam dirinya sendiri. Esensi diartikan dan diterjemahkan oleh
pikiran lewat definisi. Ketika kita mendefinisikan sesuatu hal misalnya siapakah manusia itu kita
mengeksplorasi esensi manusia. Itu berarti bahwa ketika kita berbicara esensi kita mengacu
kepada esensi substansi suatu hal. Tetapi juga bahwa esensi mengacu kepada esensi suatu
aksiden dalam cara tertentu dan dari suatu sudut pandang tertentu. Maka, esensi di dalam
substansi adalah yang benar dan sesuai sementara esensi yang ada di dalam aksiden terjadi
dengan suatu qualifikasi. Dan karena esensi, aksiden-aksiden memiliki esensi pula sehingga
aksiden memiliki definisi.

Properti-properti esensi

Sebagai modus ada, esensi memiliki properti-properti yang mengacu kepada realitas yang satu
dan sama. Berikut ini adalah properti-properti dari esensi yang kiranya semakin membantu kita
memahami esensi:

 Natura

Esensi disebut juga natura karena natura adalah prinsip operasi dan aktivitas ada walaupun sering
kali natura dipahami sebagai esensi tanpa bersangkut-paut dengan aktivitas. Berdasarkan
naturanya, manusia adalah makhluk sosial sehingga manusia bersahabat (aksi) dengan
sesamanya. Aktivitas bersahabat mengalir dari natura manusia atau dari esensi manusia.
Selanjutnya, apapun yang bisa ditangkap oleh intelek disebut juga suatu natura karena suatu ada
real dapat ditangkap dan dimengerti oleh intelek karena esensi atau definisinya. Karena ada dapat
dibagi ke dalam kesepuluh kategori, maka terminologi esensi menunjukkan sesuatu yang umum
bagi segala natura sehingga natura ada yang berbeda diklasifikasikan ke dalam genus dan spesies
yang berbeda sebagai contoh kemanusiaan adalah esensi manusia. Kuda adalah binatang (genus)
berkaki empat (spesies).

 Definisi

Esensi disebut konsep di dalam logika. Ketika ekspresi esensi diekplisitkan di dalam pikiran
maka disebut definisi. Definisi menyatakan formula interogatif yaitu apa itu (quod quid
est) sehingga definisi sesuatu hal membedakan satu hal dengan hal yang lain. Misalnya kita
mendefinisikan manusia sebagai makhuk sosial sementara kucing sebagai binatang yang tidak
memiliki rasionalitas. Definisi dikatakan juga sebagai quidditas. Ada real tidak akan dipahami
dan tidak bersifat inteligibel kecuali melalui definisi- quidditas. Namun, esensi tidak menjadi
milik segala tipe konsep tetapi esensi menjelaskan nama-nama hal yang adalah suatu definisi.
Jadi tidak setiap konsep adalah suatu definisi. Misalnya: apa ini? Ini adalah sebuah buku, sebuah
rumah, dan seterusnya. Nama-nama itu mengekspresikan suatu definisi, menyatakan sesuatu
esensi dan juga hal yang pokok yang kita sebut substansi. Sebaliknya konsep yang tidak
menyatakan esensi sebagai berikut: apa ini? Ini merah; ini kg, ini cepat. Pikiran kita tidak
menangkap konsep kg, cepat, merah.  Dengan demikian definisi suatu hal selalu terkait dengan
esensi  secara general.

 Forma

 Esensi juga dikatakan sebagai forma dalam arti tertentu dan ketat sebab apa yang menetapkan
sesuatu hal menjadi unik atau itu yang melaluinya setiap hal adalah demikian secara unik dan
bukan yang lain adalah forma. Manusia adalah manusia, bebek adalah bebek. Esensi disebut
forma dalam tatanan bahwa forma menunjukkan determinasi utuh dari masing-masing ada real.
Yang patut diingat bahwa forma di dalam ada komposisi selalu membutuhkan materi, tak pernah
ada forma tanpa materi di dalam ada komposisi.

Maka esensi suatu substansi dapat dipandang di dalam dua cara:


1. Esensi real atau fisik

Adalah esensi yang eksis di dalam substansi dan bebas dari cara pandang kita. Kita mengerti
esensi fisik ketika kita memahami suatu ada sebagai suatu komposisi dari elemen-elemen yang
berbeda di dalam ada itu sendiri. Kita mengekspresikan dan menyatakan esensi fisik dengan
menyebutkan bagian-bagian yang sungguh berbeda seperti tubuh dan jiwa di dalam manusia.

2. Esensi metafisika

Adalah esensi yang dipahami sebagai yang terbentuk dari bagian-bagian yang tidak real dan
berbeda secara logika. Esensi metafisika diekspresikan dengan menyebutkan qualitas-qualitas
yang tidak berkorespondensi dengan bagian-bagian distingtif dari suatu ada. Misalnya kita
menyebut manusia sebagai binatang berakal budi. Tentu saja kita tidak bisa mengasumsikan
bahwa binatang dan akal budi merupakan dua elemen distingtif yang membentuk manusia seperti
halnya tubuh dan jiwa. Binatang itu sendiri berakal budi tetapi ketika akal budi dieleminasi yang
tinggal adalah tubuh yang tak bernyawa bukan binatang. Dalam eksistensi fisik, esensi tidak
kekal karena diciptakan di dalam waktu, tetapi esensi di dalam eksistensi metafisika kiranya
tetap (tidak berubah) karena esensi selalu tetap selagi substansi tetap ada karena hanya aksiden
saja yang berubah, bukan substansi. Di dalam entitas logika, esensi selalu kekal dan tetap karena
hal selalu demikian dan benar misalnya suatu bagian selalu lebih kecil daripada keseluruhan, ada
selalu indah, benar, baik dan satu, manusia adalah binatang rasional

B. Substansi Filsafat Ilmu

Wacana konsep substansi akan lebih mengena setidaknya jika diawali dengan perbincangan
mengenai asal katanya. Hal ini begitu penting untuk diketengahkan mengingat bahwa kata
“substansi” telah dipakai dalam berbagai bidang keilmuan bahkan seringkali dipakai dalam
kehidupan sehari-hari. Secara etimologis istilah substansi berasal dari bahasa latin sub dan stare,
dalam bahasa Yunani hypo dan statis artinya “berdiri di bawah”, atau dalam istilah Anton
Bakker disebutkan bahwa kata substansi berasal dari kata kerja bahasa latin substare artinya
“berdiri di bawah”. Kutipan lain yang senada dengan hal di atas ada juga dan akan semakin
menyempurnakan pemahaman konsep substansi secara etimologis. Kutipan yang dimaksud
mengatakan, bahwa Kata substansi berasal dari bahasa latin, substansia. Sub mempunyai arti di
bawah dan stare berarti berdiri. Jadi secara etimologis ia mengandung arti “berada di bawah”
atau dapat juga berarti “berada di bawah dari yang nampak”. Dengan perkataan lain substansi
merupakan hal yang permanen dari sesuatu hal. Substansi merupakan unsur yang mutlak perlu
sehingga segala sesuatu ada. “Substansi” atau kata latin substantia mempunyai arti harfiah
“berdiri (atau terletak) di bawahnya”. Namun, lamakelamaan berkembang mendapat arti sama
seperti subsistentia, yakni “bertahan terus menurut kesendiriannya”. Sinergitas Filsafat Ilmu
Dengan Khazanah Kearifan Lokal Madura Di dalam dan di bawah semua fenomen yang khusus,
yang berbeda-beda, yang terpecah belah, ada fakta induk “aku” yang satu dan tetap – yang
berdiri sendiri. Substansi diterjemahkan dari kata Yunani ousia dimana sebagai suatu konsep
filosofis kata tersebut berarti kehadiran permanent (permanent presence). Semua kutipan di atas,
pada dasarnya menunjukkan prinsip makna yang sama, setidaknya secara etimologis sudah dapat
dijadikan tolok ukur untuk membedakan pengertian substansi dengan pengertian substansi di
berbagai bidang keilmuan, maupun dengan pemakaian dalam kehidupan seharihari.

Telah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat bagian, yaitu
substansi yang berkenaan dengan:

 Fakta atau kenyataan;

 Kebenaran (truth);

 Konfirmasi;

 Logika inferensi.

1. Fakta atau Kenyataan

Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang
filosofis yang melandasinya.

1. Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang
sensual satu dengan sensual lainnya.

2. Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini.


Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide
dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas, kesesuaian antara
fenomena dengan sistem nilai.

3. Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan
skema rasional, dan

4. Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara
empiri dengan obyektif.

5. Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.

Di sisi lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta obyektif dan fakta
ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomen atau bagian realitas yang merupakan obyek
kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap
fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta obyektif
dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta
ini bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan
dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu deskripsi ilmiah.

2. Kebenaran (Truth)

Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional,
kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik (Jujun S.
Suriasumantri, 1982). Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu,
yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran
pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi
yaitu kebenaran paradigmatik. (Ismaun; 2001)

a. Kebenaran koherensi

Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain
dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa
skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual rasional mau pun pada
dataran transendental.
b. Kebenaran korespondensi

Berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan
sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah
antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang diyakini, yang
sifatnya spesifik

c. Kebenaran performatif

Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun
yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang
mengetengahkan kebenaran tampilan aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan
dalam tindakan.

d. Kebenaran pragmatik

Yang benar adalah yang konkret, yang individual dan yang spesifik dan memiliki kegunaan
praktis.

e. Kebenaran proposisi

Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari
yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-
proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan
persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar
tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.

f. Kebenaran struktural paradigmatik

Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangan dari kebenaran


korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis statistik lanjut
lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan lainnya. Padahal semestinya
keseluruhan struktural tata hubungan itu yang dimaknai, karena akan mampu memberi
eksplanasi atau inferensi yang lebih menyeluruh.

3. Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang, atau
memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau
probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau
axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan
postulatnya. Sedangkan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar
kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.

4. Logika Inferensi

Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika
matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran korespondensi
antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan
fakta. Belief pada Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema
moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau
kesimpulan ideografik.

Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara rasional, koheren


antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran
koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper menampilkan kebenaran
struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng Muhadjir mengenalkan realisme metafisik
dengan menampilkan kebenaranan struktural paradigmatik moral transensden. (Ismaun,200:9)

Di lain pihak, Jujun Suriasumantri (1982:46-49) menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru
dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni
berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu logika induksi
dan logika deduksi.
BAB

PENUTUP

A. kesimpulan

Esensi ialah hakekat barang sesuatu. Setiap substansi mengandung pengertian esensi; tetapi tidak
setiap esensi mengandung pengertian substansi. Aristoteles menunjukan bahwa substansi dapat
dikatakan merupakan sesuatu yang di dalamnya terwujud esensi. Substansi dipandang sebagai
sesuatu yang adanya terdapat di dalam dirinya sendiri.
Daftar Pustaka

A.G.M. van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita,

terj. K. Bertens, Jakarta: Gramedia, 1985


A.H. Soeparmo, Struktur Keilmuan Dan Teori Ilmu Pengetahuan

Alam, Surabaya: Penerbit Airlangga University Press,

1984

A.M.W.Pranarka, Epistemologi Dasar: suatu pengantar, Jakarta:

CSIS, , 1987

Ainurrahman Hidayat, Buku Ajar Filsafat Ilmu, Pamekasan:

STAIN Press, 2006

__________, Ontologi atau Metafisika Umum filsafat pengada dan

dasar-dasar kenyataan, Yogyakarta: Kanisius, 1992

Anda mungkin juga menyukai