Anda di halaman 1dari 6

Nama : Jatmika Aji Santika Hari/Tgl : Selasa, 21 Oktober 2020

NIM : 1195010070 Dosen : Bp. Dr.H.Ading Kusdaina


M,Ag
Jur/Smt/Kls : SPI/3/B
MataKuliah : Sejarah dan Peradaban Islam
Periode Pertengahan

Sejarah Berdirinya Dinasti Safawiyah


Cikal bakal berdirinya Dinasti Safawiyah berawal dari gerakan tarekat yang diberi nama
Safawiyah. Gerakan ini muncul di Persia, tepatnya di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan.
Wilayah ini banyak ditinggali oleh suku Kurdi dan Armen. Nama Safawiyah dinisbahkan kepada
nama salah seorang guru Sufi di Ardabil bernama Syekh Ishak Safiuddin atau Shafi Ad-Din.
Menurut riwayat, ia adalah keturunan dari Musa al-Khadim, imam ketujuh Syi’ah Itsna
‘Asyariyah. Shafi Ad-Din berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai
jalan hidupnya. Gurunya bernama Syaikh Tajuddin Ibrahim Zahidi (1216-1301 M) yang dikenal
dengan julukan Zahid Al-Gilani. Dikarenakan prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan
tasawuf, Shafi Ad-Din diambil menantu oleh gurunya tersebut.
Shafi Ad-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus
mertuanya yang wafat pada tahun 1301 M. Pengikut tarekat ini sangatlah teguh memegang
ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah bertujuan memerangi orang-orang
ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut “Ahli Bid’ah”. Tarekat yang dipimpin
Shafi Ad-Din ini semakin penting terutama setelah mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian
tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan kenamaan yang besar pengaruhnya di Persia,
Syria dan Anatolia.Di negeri-negeri di luar Ardabi, Shafi Ad-Din menempatkan seorang wakil
untuk memimpin murid-muridnya. Wakil tersebut diberi gelar khalifah dan nantinya akan
menjadi komandan perang.
Kemudian murid-murid tarekat mendukung tarekat Safawiyah untuk menghimpun kekuatan
dengan menjadi tentara dan sangat fanatik kepada keyakinannya. Bahkan, mereka juga
menentang orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Tarekat Safawiyah banyak diterima
oleh masyarakat sehingga tarekat ini mengubah model gerakan spiritual keagamaan menjadi
gerakan politik. Hal ini mulai tampak ketika gerakan tarekat dipimpin oleh Junaid 1447-1460 M.
Junaid memperluas kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini
mendapatkan hambatan-hambatan. Salah satunya dari penguasa Qara Qayunlu dan Aq- Qayunlu
yang merupakan dua suku terkuat Turki. Sehingga terjadi konflik antara Junaid dengan penguasa
Turki.
Keterlibatan tarekat Safawiyah dalam perpolitikan yang semakin besar mengantarkan tarekat
Safawiyah berhadapan dengan kekuatan besar yang berkuasa saat itu yaitu Turki Utsmani. Pada
saat Junaid memiliki konflik dengan Qara Qayunlu, ia mengalami kekalahan dan diasingkan ke
suatu tempat. Di tempat itu Junaid mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr yang juga
bangsa Turki. Junaid tinggal di istana Uzun Hasan yang pada saat itu menguasai sebagian Persia.
Selama dalam pengasingan, Junaid tidak tinggal diam. Ia mempersunting salah seorang saudara
perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M, Junaid mencoba merebut Ardabil tetapi gagal. Lalu
pada tahun 1460 M Junaid mencoba merebut kota Sircassia tetapi pasukan yang dipimpinnya
dihadang oleh tentara Sirwan. Junaid pun pada akhirnya terbunuh dalam pertempuran tersebut.
Tampuk kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya diberikan kepada putera Junaid, Haidar,
tetapi Haidar masih sangat kecil pada waktu itu. Setelah menunggu beberapa tahun, Haidar
sudah cukup dewasa dan mempersunting salah satu putri Uzun Hasan. Dari perkawinan tersebut
lahirlah Ismail yang di kemudian hari menjadi pendiri dinasti Safawi di Persia.

Perkembangan dan Kemajuan Dinasti Safawiyah

wilayah Dinasti Syafawi


Pada saat Ismail I berkuasa selama kurang lebih 23 tahun (1501-1524 M) ia berhasil memperluas
wilayah kekuasaannya, ia juga dapat menghancurkan sisa-sisa kekuasaan Aq-qayunlu di
Hamadan 1503 M, menguasai provinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan dan Yazd pada tahun
1504 M, Diyar Bakr 1505-1507, Baghdad dan daerah barat daya persia pada tahun 1508 M,
Sirwan 1509 M dan Khurasan pada tahun 1510 M. Ismail I hanya memerlukan waktu selama
sepuluh tahun untuk menguasai seluruh Persia.
Ambisi politik mendorong Ismail I adalah untuk memperluas daerah kekuasaannya ke Turki
Utsmani, namun karena Turki Utsmani merupakan dinasti yang sangat kuat pada masa itu
akhirnya Ismail I mengalami kekalahan. Kekalahan itu meruntuhkan kebanggaan dan
kepercayaan diri Ismail. Akibatnya, kehidupannya menjadi berubah. Ismail I lebih suka berfoya-
foya dan keadaan tersebut menimbulkan dampak negatif bagi Dinasti Safawiyah, yaitu timbulnya
perebutan kekuasaan diantara pimpinan-pimpinan suku-suku Turki, pejabat-pejabat Persia, dan
Qizilbash.
Sepeninggal Ismail I, kekuasaan Dinasti Safawiyah dilanjutkan oleh Tahmasp I (1524-1576 M),
lalu setelah itu dilanjutkan oleh Ismail II (1576-1577 M) dan Muhammad Khubanda (1577-1587
M). Namun, pada pemerintahan ketiga sultan tersebut Dinasti Safawiyah mengalami
kemunduran. Kemunduran tersebut terus berlangsung sampai pada akhirnya Abbas I naik tahta.
Pada masa Abbas I, Dinasti Safawiyah perlahan-lahan mengalami kemajuan. Langkah-langkah
yang ditempuh Abbas I dalam memajukan dinasti Safawiyah diantaranya adalah :
1. Berusaha menghilangkan dominasi Qizilbash atas Dinasti Safawiyah dengan cara
membentuk pasukan-pasukan baru yang anggotanya terdiri dari budak-budak yang
berasal dari tawanan-tawanan bangsa Georgia, Armania, dan Sircassia yang ada sejak
pemerintahan Tahmasp I.
2. Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Utsmani. Di samping itu, Abbas I berjanji
untuk tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam yaitu Abu Bakar, Umar bin
Khattab dan Utsman bin Affan dalam khutbah-khutbah Jum’at. Sebagai jaminan atas
syarat-syarat tersebut, Abbas I menyerahkan saudara sepupunya yaitu Haidar Mirza
sebagai sandera di Istanbul.
Setelah Dinasti Safawiyah menjadi kuat kembali, Abbas I mulai melakukan ekspansi dan
merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaannya yang telah hilang. Abbas I juga melakukan
penyerangan kepada Turki Utsmani. Pada saat itu Turki Utsmani dibawah kepemimpinan Sultan
Muhammad II, Abbas I menyerang Turki Utsmani dan berhasil menaklukan wilayah Tabriz,
Sirwan, dan Baghdad. Seterlah itu Abbas I juga berhasil menguasai kota Nakhchivan Erivan,
Ganja dan Tiflish pada tahun 1605-1606 M. Pada tahun 1622 M, Abbas I berhasil merebut
kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Abbas.
Pada pemerintahan Abbas I merupakan puncak kejayaan Dinasti Safawiyah. Secara politik
Abbas I dapat mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara
dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang dulu pernah direbut dinasti lain pada
pemerintahan sultan-sultan sebelumnya. Kemajuan lain yang dicapai Dinasti Safawiyah antara
lain:
1. Bidang Ekonomi
Setelah Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi
pelabuhan Abbas, maka jalur dagang yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan Perancis
sepenuhnya berhasil dikuasai oleh dinasti ini.
2. Bidang Pendidikan
Pada Dinasti Safawiyah muncul banyak sekali ilmuwan-ilmuwan terkenal diantaranya Baha’ al-
Dîn al-‘Amili (generalis ilmu pengetahuan), Sadr al-Dîn al-Syîrâzî (filsuf) dan Muhammad Baqir
ibn Muhammad Damad (filsuf, ahli sejarah, teolog, yang pernah mengadakan observasi atas
kehidupan lebah).
3. Bidang Pembangunan Fisik Tata Kota dan Seni
Para penguasa dinasti ini mengubah Isfahan, yang merupakan ibu kota dinasti ini menjadi kota
yang sangat indah. Isfahan merupakan kota yang sangat penting bagi tujuan politik dan ekonomi.
Di kota tersebut berdiri bangunan-bangunan megah seperti masjid, rumah sakit, sekolah-sekolah,
jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan istana Chihil Satun. Kota Isfahan semakin indah dengan
dibuatnya taman-taman wisata. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 masjid, 48
akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian umum.
Pada bidang seni, terlihat dari arsitektur bangunan-bangunannya yaitu seperti yang terlihat pada
masjid Shah dan masjid Syaikh Lutf Allah. Unsur seni lainnya juga terlihat pada hasil kerajinan
tangan, keramik, permadani, karpet, pakaian, tembikar dan lain-lain. Seni lukis juga sudah mulai
muncul pada masa ini tepatnya pada saat sultan Tahmaps I berkuasa.

Warisan Dinasti Safawiyah :


 Naqsh-e Jehaan Square (Maidan Imam)

Dibangun antara 1598- sampai 1629, Maidan Iman merupakan salah satu lapangan terbesar di
dunia yang terletak di pusat Kota Isfahan, Iran. Area ini juga dikelilingi oleh bangunan Dinasti
Safawi lainnya seperti Masjid Shah di sisi selatan, Masjid Syekh Lutfallah di sisi timur, Istana
Ali Qafu di barat.
Bangunan yang sekarang sudah ditetapkan UNESCO sebagai situs sejarah penting dalam daftar
warisan dunia ini memiliki pintu masuk utama yang terkenal dengan sebutan Bazar Isfahan di
bagian utara. Bazar Isfahan adalah pasar yang menjual macam-macam cendera mata khas
Isfahan, seperti mutiara istana, seni kaligrafi, dan lukisan.
Jembatan Khaju

Jembatan ini dibangun oleh Shah Abbas II yang memiliki fungsi ganda sebagai bendungan untuk
mengurai taman di sepanjang Sungai Zayandeh. Jembatan yang melintang di atas sungai
Zayandeh ini dibangun pada abad ke-17 M dan memiliki lorong beratap yang dihiasai dengan
keramik warna-warni.
Jembatan Khaju memiliki luas 23 meter persegi dengan panjang 105 meter dan lebar 14 meter.
Pada prasasti yang terdapat di jembatan tersebut terlihat bahwa jembatan itu pernah diperbaiki
pada 1873.

Gedung Chahar Bagh

Gedung yang dibangun Dinasti Shafawiyah pada masa Shah Husein 1706 ini diperuntukkan
untuk sarana pendidikan. Letaknya di jalan Chahar-Bagh, salah satu jalan utama di Kota Isfahan.
Jika dilihat dari luar bangunan ini hanya tampak pintu gerbang yang terbuat dari besi dengan
tinggi menjulang dan besar. Sementara, dinding kuba dan sebagian besar dinding terbuat dari
batu bata dan lapisan keramik bermotif bunga dengan dominasi warna biru dan kuning terang.

Shah Husein memerintahkan pembangunan sekolah ini sebagai pusat pendidikan agama dan ilmu
pengetahuan di Isfahan. Sehingga, bangunan ini dikenal sebagai kawah candradimuka bagi
orang-orang yang belajar ilmu agama pada zaman tersebut.
Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Syafawiyah
Kerajaan Safawiyah mengalami kemunduran pasca pemerintahan Abbas I. Enam sultan
setelahnya tidak mampu untuk mempertahankan kemajuan yang sudah diraih oleh pendahulunya.
Para Sultan juga lemah dalam memimpin dan memiliki sifat buruk yang juga mempengaruhi
jalannya pemerintahan. Sehingga kerajaan Safawiyah banyak mengalami kemunduran dan tidak
mengalami perkembangan.
Sepeninggal Abbas I, pemerintahan diambil alih oleh Safi Mirza (1628-1642), ia merupakan
cucu dari Abbas I. Pada masa pemerintahannya, ia dikenal sebagai sultan yang lemah dan kejam
terhadap para pembesar-pembesar kerajaan. Ia juga tidak mampu mempertahankan kemajuan-
kemajuan yang berhasil dilakukan Abbas I. Selain itu, kota Kandahar berhasil dikuasai oleh
Dinasti Mughal dipimpin oleh Sultan Syah Jihan. Begitu pula dengan Baghdad yang berhasil
direbut oleh Turki Utsmani.
Setelah Safi Mirza, pemerintahan dipegang oleh Abbas II (1642-1667). Ia adalah sultan yang
suka minum-minuman keras, suka menaruh curiga terhadap para pembesar dan
memperlakukannya dengan kejam. Rakyatpun tidak begitu peduli dengan pemerintahan Abbas
II. Abbas II meninggal dikarenakan sakit. Selanjutnya dipimpin oleh Sulaiman (1667-1694), ia
memiliki kebiasaan buruk seperti Abbas II yang juga seorang pemabuk. Banyak terjadi
penindasan dan pemerasan. Terutama terhadap para ulama dan penganut paham Sunni serta
cenderung memaksakan paham Syiah. Sehingga tidak ada perkembangan yang berarti pada masa
pemerintahannya.
Keadaan semakin bertambah buruk pada masa pemerintahan Husein ( 1694-1722). Ia
memberikan kebebasan kepada para ulama Syiah untuk memaksakan paham Syiah dan
pendapatnya terhadap penganut Sunni. Hal ini memicu kemarahan dari golongan Sunni di
Afghanistan, sehingga mereka melakukan pemberontakan. Bangsa Afghan melakukan
pemberontakkan pertama kali pada tahun 1709 dipimpin Mir Vays dan berhasil merebut wilayah
Qandahar. Disisi lain pemberontakan terjadi di Herat yang dilakukan oleh suku Ardabil
Afghanistan dan berhasil menduduki Marsyad. Mir Vays diganti oleh Mir Mahmud dan ia dapat
mempersatukan pasukannya dan pasukan Ardabil. Sehingga ia mampu merebut kembali
wilayah-wilayah Afghan dari kekuasaan Safawiyah.
Syah Husein merasa terdesak karena ancaman-ancaman dari Mir Mahmud. Akhirnya, Syah
Husein mengakui kekuasaan dan mengangkat Mir Mahmud menjadi Gubernur di Qandahar
dengan gelar Husein Quli Khan (budak Husein). Kekuasaan ini dimanfaatkan oleh Mir Mahmud
untuk memperluas wilayah. Ia berhasil merebut Kirman dan Isfahan serta kembali memaksa
Syah Husein untuk menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober 1722 M, Syah Husein
menyerah dan pada 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh
kemenangan. Kemudian Mir Mahmud digantikan oleh Asyraf untuk menguasai Isfahan.
Pemerintahan selanjutnya dilanjutkan oleh salah seorang putera Husein bernama Tahmasp II
(1722-1732), ia mendapat dukungan penuh dari suku Qazar dari Rusia. Dengan demikian, ia
memproklamasikan dirinya sebagai penguasa yang sah dengan pusat pemerintahan di kota
Astarabad. Tahmasp II melakukan kerjasama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk
menaklukan bangsa Afghan yang berada di Isfahan pada tahun 1726 M. Pasukan Nadir Khan
berhasil merebut Isfahan pada tahun 1729 M. Asyraf terbunuh dalam peperangan itu. Dinasti
Syafawiyah kembali berkuasa.
Namun, Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan dan digantikan oleh Abbas III (1733-1736) yang
merupakan anak dari Nadir Khan. Anaknya masih sangat kecil, sehingga pada 8 Maret 1736,
Nadir Khan mengangkat dirinya sendiri sebagai sultan. Pada masa pemerintahan Nadir Khan,
Dinasti Safawiyah berhasil ditaklukan oleh Dinasti Qazar. Maka berakhirlah kekuasaan Dinasti
Safawiyah di Persia.

Anda mungkin juga menyukai