Anda di halaman 1dari 8

Kerajaan Syafawi

A. Sejarah peradaban Islam pada masa kerajaan Syafawi


Ketika kerajaan Usmani sudah mencapai puncak kemajuannya, kerajaan Safawi di Persia
baru berdiri. Kerajaan ini berkembang dengan cepat.
Dinasti Safawiyah di Persia berkuasa antara tahun 1502-1722 M. Kerajaan Safawi berasal
dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini di
beri nama tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya
Kerajaan Usmani. Nama Safawiyah diambil dari nama pendirinya, Safi Al-Din (1252-1334 M) dan
nama Safawi it terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama
itu terus di lestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan.
Safi Al-Din berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan
hidupnya. Ia keturunan dari Imam Syi’ah yang ke enam, Musa Al-Kazhim. Gurunya bernama
syaikh Taj Al-Din Ibrahim Zahidi (1216-1301 M) yang dikenal dengan julukan Zahid Al-Gilani.
Karena prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, Safi Al-Din diambil menantu oleh
1
gurunya tersebut.
Safi Al-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus
mertuanya yang wafat tahun 1301 M. Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran
agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah bertujuan memerangi orang-orang ingkar,
kemudian memerangi golongan yang mereka sebut “ahli-ahli bid’ah”. Tarekat yang dipimpin
Safi Al-Din ini semakin penting, terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian
tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di
Persia, Syria, dan Anatolia. Di negeri-negeri diluar Ardabil, Safi Al-Din menempatkan seorang
wakil yang memimpin murid-muridnya. Wakil itu diberi gelar “khalifah”.
Suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya kerapkali menimbulkan
keinginan dikalangan penganut ajaran itu untuk berkuasa. Oleh karena itu, lama kelamaan
murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam
kepercayaan, dan menentang setiap orang bermazhab selain Syi’ah..
Kecenderungan memasuki dunia politik itu dapat terwujud konkretnya pada masa
kepemimpinan Juneid (1447-1460 M). Dinasti Safawi memperluas gerakannya dengan
menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan
konflik antara Juneid dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa
Turki yang berkuasa di wilayah itu. Dalam konflik tersebut, Juneid kalah dan diasingkan ke suatu
tempat. Di tempat baru ini ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, AK-Koyunlu
(domba putih), juga satu suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan, yang ketika itu
menguasai sebagian besar Persia.

1
Badri Yatim, ​Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II,​ Jakarta, PT RajaGrafindo Persada,
2011, hlm. 138
Selama dalam pengasingan, Juneid tidak tinggal diam. Ia malah dapat menghimpun
kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil
mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M, Juneid
mencoba merebut Ardabil tetapi gagal. Pada tahun 1460 M, ia mencoba merebut Sircassia
tetapi pasukan yang dipimpin dihadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh dalam
pertempuran tersebut.
Ketika itu anak Juneid, Haidar, masih kecil dan dalam asuhan Uzun Hasan. Karena itu,
kepemimpinan gerakan Safawi baru bisa diserahkan kepadanya secara resmi pada tahun 1470
M. Hubungan Haidar dengan Uzun Hasan semakin erat setelah Haidar mengawini seorang putri
Uzun Hasan. Dari perkawinan ini lahirlah Ismail yang kemudian hari menjadi pendiri Kerajaan
Safawi di Persia.
Kemenangan AK Koyunlu tahun 1476 M terhadap Kera Koyunlu, membuat gerakan militer
Safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival politik oleh AK Koyunlu dalam meraih
kekuasaan selanjutnya. Padahal, sebagaimana telah disebutkan, Safawi adalah sekutu AK
Koyunlu. AK Koyunlu berusaha melenyapkan kekuatan militer dan kekuasaan Dinasti Safawi.
Karena itu, ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan Sirwan, AK Koyunlu
mengirimkan bantuan militer kepada Sirwan, sehingga pasukan Haidar kalah dan Haidar sendiri
terbunuh dalam peperangan itu.
Ali, putra dan pengganti Haidar, didesak oleh bala tentara untuk menuntut balas atas
kematian ayahnya, terutama terhadap AK Koyunlu. Tetapi Ya’kub pemimpin AK Koyunlu dapat
menangkap dan memenjarakan Ali bersama saudaranya, Ibrahim dan Ismail, dan ibunya, di Fars
selama empat setengah tahun (1489-1493). Mereka dibebaskan oleh Rustam, putra mahkota
AK Koyunlu, dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya. Setelah saudara
sepupu Rustam dapat dikalahkan, Ali bersaudara kembali ke Ardabil. Akan tetapi, tidak lama
kemudian Rustam berbalik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara, dan Ali terbunuh dalam
serangan ini (1494 M).
Kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya berada ditangan Ismail, yang saat itu masih
berusia tujuh tahun. Selama lima tahun Ismail bersama pasukannya bermarkas di Gilan,
mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan,
Syiria, dan Anaotalia. Pasukan yang dipersiakan tersebut dinamakan Qizilbash (baret merah).
Di bawah kepemimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash menyerang dan
mengalahkan AK Koyunlu di Sharus, dekat Nakhchivan. Pasukan ini terus berusaha memasuki
dan menaklukkan Tabriz, ibu kota AK Koyunlu dan berhasil merebut dan mendudukinya. Di kota
ini Ismail memproklamirkan dirinya sebagai raja pertama Dinasti Safawi. Ia disebut juga Ismail I.

B. Perkembangan Pada Masa Kerajaan Safawi


1. Kondisi Politik dan Sosial Kerajaan Safawi
Keadaan politik pada masa kerajaan Safawi mulai bangkit kembali setelah Abbas naik tahta
dari tahun 1587-1629 dan dia menata administrasi Negara dengan cara yang lebih baik.
Kondisi memprihatinkan kerajaan Safawi bisa di atasi setelah raja safawi kelima Abbas I
naik tahta, ia memerintah dari tahun 1587-1629 M. Langkah-langkah yang ditempuh Abbas I
dalam rangka memulihkan politik kerajaan safawi adalah:
a. Mengadakan pembenahan administrasi dengan cara pengaturan dan
pengontrolan dari pusat.
b. Pemindahan ibukota ke Isfahan,
c. Berusaha menghilangkan dominasi pasukan ​Qizilbash ​atas kerajaan safawi
dengan cara membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri atas
budak-budak yang berasal dari tawanan perang banga Georgia, Armenia, dan
Sircassia yang telah ada sejak raja Tamh I.
d. Mengadakan perjanjian dengan Turki Usmani.
e. Berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pada khutbah jumat.
Reformasi politik yang dilakukan oleh Abbas I tersebut berhasil membuat kerajaan safawi
kuat kembali. Setelah itu, Abbas I mulai memusatkan perhatiannya merebut kembali
wilayah-wilayah kekuasaannya yang hilang.
Selanjutnya, perlu diketahui bahwa kerajaan safawi dan turki usmani sebelum abad ke-17
sudah saling bermusuhan dan safawi banyak mengalami kekalahan, namun setelah Abbas I naik
tahta kerajaan safawi dalam merebut wilayah kekuasaan Turki Usmani banyak mengalami
kemenangan. Abbas I mengarahkan serangan-serangannya ke wilayang Kerajaan Turki Usmani
pada tahun 1602 M, saat Turki Usmani berada di bawah kekuasaan Sultan Muhammad III.
Pasukan Abbas I menyerang dan berhasil menguasai Tarbiz, Sirwan, dan Baghdad. Sedangkan
Nakh Chivan, Erivan, Ganja, dan Tiflis dapat dikuasai tahun 1605-2906 M. Selanjutnya, pada
tahun 1622 M, pasukan Abbas berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan
Gumrun menjadi Pelabuhan Bandar Abbas.
Pada tahun 1902 M pecahlah peramg Turki dengan Austria dan tentara Turki yang lain
terpaksa pergi memadamkan pemberontakan kaum tarekat Jalaliah (Maulawiyah) di Asia kecil.
Kesempatan ini diambil oleh Skeh Abbas dan berhasil merebut kembali Tibriz dari tangan Turki.
Setelah itu, dirampas juga Sirwan dan akhirnya diambilnya Baghdad kembali yang sudah
berkali-kali jatuh ketangan Turki.
Kemudian, ia sanggup menaklukkan negeri Kaukasus dan diperkuatnya batas-batas
kekuasaan sampai ke Balakh dan Merv. Pada bulan maret 1622 M ia dapat pula merampas
Pulau Hurmuz yang telah sekian lama menjadi pangkalan kekuatan bangsa Portugis. Sesudah
Syah Abbas I, tidak ada lagi Raja Safawi yang kuat dan akhirnya kerajaan ini dapat ditaklukkan
oleh Nadir Syah.
2. Kondisi Keagamaan
Pada masa Abbas, kebijakan keagamaan tidak lagi seperti masa khalifah-khalifah
sebelumnya yang senantiasa memaksakan agar syiah menjadi agama Negara. Tetapi ia
menanamkan sikap toleransi. Paham syiah tidak lagi menjadi paksaan, bahkan orang Sunni
dapat hidup bebas mengerjakan ibadahnya. Bukan hanya itu saja, pendeta-pendeta Nasrani
dibolehkan mengembangkan ajaran agamanya dengan leluasa sebab sudah banyak bangsa
Armenia yang telah menjadi penduduk setia di kota Isfahan.
3. Kondisi Ekonomi
Stabilitas politik kerajaan safawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu perkembangan
perekonomian safawi, terlebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun
diubah menjadi Bandar Abbas. Dengan di kuasainya Bandar ini, salah satu jalur dagang laut
antara timur dan barat yang biasa di perebutkan oleh Belanda, Inggris dan Perancis
sepenuhnya menjadi milik Kerajaan Safawi.
Di samping sector perdagangan, Kerajaan Safawi juga mengalami kemajuan di sector
pertanian terutama di daerah bulan sabit subur (​fortile crescent)​ . Namun setelah Abbas I
mangkat perekonomian, safawi lambat laun mengalami kemunduran dan puncak
kemundurannya terjadi pada masa Syafi Mirza, tetapi saudagar-saudagar bangsa asing banyak
berdiam di Iran dan mengendalikan kegiatan ekonomi.
4. Kondisi Bidang Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah islam, bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan
berjasa dalam mengembangkan ilmu pengeahuan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
apabila pada masa kerajaan safawi, khususnya ketika Abbas I berkuasa, tradisi keilmuan terus
berkembang.
Ada beberapa ilmuwan yang selalu hadir di di majelis istana, yaitu Baha Al-Din Al-Syairazi,
filosof, dan Muhammad Baqir Ibn Muhammad, Damad, filosof, ahli sejarah, teolog, dan seorang
yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah. Dalam bidang ini,
kerajaan safawi mungkin dapat dikatakan lebih berhasil dari dua kerajaan islam lainnya pada
masa yang sama.
Di antara pujangga yang gemerlapan bintangnya, ialah Muhammad Bagir ibn Muhammad
Damad, ahli filsafat dan ilmu pasti. Abbas sendiri asyik dengan ilmu tersebut, bahkan tidak
segan Abbas mengadakan penyelidikan sendiri. Beliau tidak lengah menggerakkan kemajuan
pengetahuan-pengethauan khusus mengenai agama, terutama ilmu fiqh. Diantara ulama besar
yang sangat ternama pada waktu itu ialah Baharuddin Al-Alimi, selain seorang ahli agama
beliau pun ahli kebudayaan yang mengetahui soal-soal dari berbagai segi. Pada waktu itu,
hidup juga filosof Shadaruddin Asyaerozi, ahli filsafat ketuhanan yang banyak mempengaruhi
timbulnya paham ​bahai​ yang sekarang mengakui diri mereka agama baru.
Setelah Abbas I wafat, kondisi ilmu pengetahuan dan seni mengalami banyak kemunduran.
5. Bidang Pembangunan Fisik dan Seni
Para penguasa kerajaan ini telah berhasil menciptakan Isfahan, ibu kota kerajaan menjadi
kota yang sangat indah. Di kota tersebut berdiri bangunan bangunan besar lagi indah seperti
masjid, rumah sakit, sekolah, jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan istana Chihil Sutun. Kota
Isfahan juga diperindah dengan taman-taman wisata yang ditata secara apik. Ketika Abbas I
wafat, di Isfahan terdapat 162 mesjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian
umum.
Di bidang seni kemajuan tampak begitu terlihat dalam gaya arsitektur
bangunan-bangunannya, seperti terlihat pada masjid Shah yang dibangun pada tahun 1611 M
dan masjid Syaikh Luth Allah yang dibangun pada tahun 1603 M. Unsur seni lainnya terlihat
pula dalam bentuk kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenun, mode,
tembikar, dan benda seni lainnya. Seni lukis mulai dirintis sejak zaman Tahmasp I. Raja Ismail I
pada tahun 1522 M membawa seorang pelukis timur ke Tarbiz. Pelukis itu bernama Bizhad.
Demikianlah puncak kemajuan yang dicapai oleh kerajaan safawi. Setelah itu, kerajaan ini
mulai mengalami gerak menurun. Kemajuan yang dicapainya membuat kerajaan ini menjadi
salah satu dari tiga kerajaan besar islam yang di segani oleh lawan-lawannya., terutama dalam
bidang politik dan militer. Walaupaun tidak setaraf dengan kemajuan islam di masa klasik,
kerajaan ini telah memberikan kontribusinya mengisi peradaban islam melalui
kemajuan-kemajuan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetauan, peninggalan seni, dan
gedung-gedung bersejarah.

C. Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Safawi Sepeninggal Abbas I, Kerajaan Safawi


berturut-turut di perintah oleh enam raja, yaitu Safi Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667
M), Sulaiman (1667-1694 M), Husain (1694-1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M), dan Abbas III
(1733-1736 M). Pada masa raja-raja tersebut, kondisi Kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik
naik dan berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa
kepada kehancuran.
Safi Mirza, cucu Abbas I adalah seorang pemimpin yang lemah. Ia sangat kejam
terhadap pembesar-pembesar kerajaan karena sifat pencemburunya. Kemajuan yang pernah
dicapai Abbas I segera menurun. Kota Qandahar (sekarang termasuk wilayah Afghanistan) lepas
dari kekuasaan Kerajaan Safawi.
Abbas II adalah raja yang suka minum minuman keras sehingga ia jatuh sakit dan
meninggal. Meskipun demikian, dengan bantuan wazir-wazirnya, pada masa itu kota Qandahar
dapat direbut kembali.
Sebagaimana Abbas II, Sulaiman juga seorang pemabuk. Ia bertindak kejam terhadap
para pembesar yang dicurigainya. Akibatnya, rakyat bersikap masa bodoh terhadap
pemerintah. Ia diganti oleh Shah Husein yang alim. Pengganti Sulaiman ini memberi kekuasaan
yang besar kepada para ulama Syi’ah yang sering memaksakan pendapatnya terhadap
penganut aliran Sunni. Sikap ini membangkitkan kemarahan golongan Sunni Afghanistan,
sehingga mereka bentrok dan berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Safawi.
Pemberontakan bangsa Afghan tersebut terjadi pertama kali pada tahun 1709 M
dibawah pimpinan Mir Vays yang berhasil merebut wilayah Qandahar. Pemberontakan lainnya
terjadi di Herat, suku Ardabil Afghanistan berhasil menduduki Mashad. Mir Vays diganti oleh
Mir Mahmud sebagai penguasa Qandahar. Ia berhasil mempersatukan kekuasaannya dengan
merebut negeri-negeri Afghan dari kekuasaan Safawi. Ia bahkan berusaha menguasai Persia.
Karena desakan dan ancaman Mir Mahmud, Shah Husein akhirnya mengakui kekuasaan
Mir Mahmud dan mengangkatnya sebagai gubernur di Qandahar dengan gelar Hussein Quli
Khan (budak Husein). Dengan pengakuan ini, Mir Mahmud menjadi lebih leluasa bergerak.
Pada tahun 1721 M, ia dapat merebut Kirman. Tak lama kemudian ia dan pasukannya
menyerang Isfahan, mengepungnya selama enam bulan dan memaksa Shah Husein untuk
menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober 1722 M Shah Husein menyerah dan 25
oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan.
Salah seorang putra Husein, bernama Tahmasp II, dengan dukungan penuh suku Qazar
di Rusia, memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah berkuasa atas Persia dengan pusat
kekuasaannya di kota Astrabad.
Pada tahun 1762 M Tahmasp II bekerja sama dengan Nadir Khan dari suku Afhsar untuk
memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Asyraf pengganti Mir
Mahmud, yang berkuasa di Isfahan di gempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun
1729 M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu. Dengan demikian dinasti Safawi
kembali berkuasa. Namun pada bulan agustus 1732 M Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan dan
digantikan oleh Abbas III (anak Tahmasp II) yang ketika itu masih sangat kecil. Empat tahun
setelah itu tepatnya 8 maret 1736, Nadir Khan mengangkat dirinya sebagai raja menggantikan
Abbas III. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan kerajaan Safawi di Persia.
Diantara sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerjaan Safawi ialah konflik
berkepanjangan dengan kerajaan Usmani. Bagi kerajaan Usmani berdirinya kerajaan Safawi
yang beraliran syiah merupakan ancaman langsung terhadap wilayah kekuasaannya. Konflik
antara dua kerajaan tersebut berlangsung lama, meskipun pernah berhenti sejenak ketika
tercapai perdamaian pada masa Shah Abbas I, namun tak lama kemudian Abbas meneruskan
konflik tersebut, dan setelah itu dapat dikatakan tidak ada lagi perdamaian antara dua kerajaan
besar Islam itu.
Penyebab lainnya adalah dekadensi moral yang melanda sebagian para pemimpin
kerajaan Safawi. Ini turut mempercepat proses kehancuran kerajaan tersebut. Sulaiman,
disamping pecandu berat narkotik, juga menyenangi kehidupan malam beserta
harem-haremnya selama tujuh tahun tanpa sekalipun menyempatkan diri menangani
pemerintahan. Begitu juga Sultan Husein.
Penyebab penting lainnya adalah karena pasukan ​ghullam (budak-budak) yang dibentuk
oleh Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi seperti ​Qhizilbash.​ Hal ini disebabkan
karena pasukan tersebut tidak di siapkan secara terlatih dan tidak melalui proses pendidikan
rohani seperti yang dialami oleh ​Qizilbash​. Sementara itu anggota ​Qizilbas y​ ang baru ternyata
tidak memiliki militansi dan semangat yang sama dengan anggota ​Qizilbash​ yang sebelumnya.
Tidak kalah penting dari sebab-sebab diatas adalah seringnya terjadi konflik intern
dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana.

Anda mungkin juga menyukai