Islam mulai masuk ke wilayah Persia sekitar abad ketujuh, yaitu pada masa Kekhalifahan
Umar Bin Khatab. Dengan memperkenalkan Islam, bangsa Arab mengganti kepercayaan kuno
Persia, Zoroaster. Masa kejayaan umat Islam sangat dirasakan pada masa kepemimpinan
Abbasiyah, yang pada saat itu pusat pemerintahannya di Baghdad. Kaum muslimin kala itu
menjadi pemimpin bagi peradaban dunia, terutama dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan
dan arsitektur.
Namun ketika politik umat Islam mulai mengalami kemunduran, terutama akibat
serangan pasukan Mongol di kota Baghdad pada tahun 1258 tidak hanya mengakhiri Khalifah
Abbasiyah, namun juga mengawali masa kemunduran politik Islam secara drastis. Wilayah
kekuasaannya sudah tercabik-cabik dalam kerajaan-kerajaan kecil yang saling bermusuhan dan
saling memerangi. Beberapa peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur
akibat serangan bangsa Mongol tersebut. Kondisi tesebut jelas memprihatinkan. Namun kondisi
itu berubah dengan munculnya tiga kerajaan besar yaitu Kerajaan Safawi di Persia, Kerajaan
Mughal di India, serta kerajaan Turki Utsmani di Turki. Berdirinya tiga kerajaan besar tersebut
merupakan awal kebangkitan politik umat Islam.
Kerajaan atau Dinasti Safawi dipandang sebagai peletak dasar sejarah kebangsaan Iran.
Kerajaan yang bermula dari gerakan tarekat keagamaan ini, berkonstribusi besar dalam mengisi
peradaban Islam di Persia, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial-keagamaan, maupun seni
dan budaya. Kemajuan-kemajuan tersebut pada akhirnya mampu menjadikan kerajaan Safawi
sebagai kerajaan Islam yang adikuasa. Maka dengan begitu secara singkat essay ini akan
membahas lebih mendalam mengenai peradaban dan pemikiran Islam pada masa kerajaan
Safawi di Persia baik proses berdirinya Dinasti Safawi, para penguasa atau khalifah yang
menonjol, peradaban Islam yang ada ketika itu, sampai kepada membahas tentang faktor
kemunduran Dinasti Safawi.
Sebelum menjadi sebuah kerajaan besar, pada awalnya kerajaan Safawi hanya merupakan
gerakan atau aliran tarekat yang didirikan oleh Safi al-Din Ishak al-Ardabily (1252-1334 M) di
Ardabil, Azerbijan. Tarekat ini dinamakan Safawi yang diambil dari nama pendirinya. Nama
tersebut bertahan hingga aliran ini beralih menjadi gerakan politik, bahkan hingga berhasil
mendirikan kerajaan. Safi al-Din adalah seorang sufi yang beraliran Syi’ah. Beberapa ahli sejarah
mengatakan bahwa ia adalah keturunan imam ketujuh Syi’ah Itsna ‘Asyariah, Musa al-Qasim.
Gurunya bernama Syaikh Taj al-Din Ibrahim Zahid sekaligus sebagai mertuanya. Sebelum
gurunya wafat, Safi al-Din ditunjuk sebagai penggantinya untuk memimpin tarekat Zahidiyah
yang didirikan oleh gurunya. Di bawah kepemimpinannya Zahidiyah beralih menjadi Safawiyah.
Para pengikutnya sangat teguh memegang ajaran agama.
Dalam tarekat ini, apabila terjadi pergantian pemimpin maka dilakukan dengan sistem
penunjukan langsung, yaitu apabila seorang ayah wafat, pimpinan tarekat yang dipimpinnya
diambil alih oleh putranya. Hal ini menjadi tradisi turun-temurun dalam tubuh tarekat. Setelah
Safi al-Din wafat, ia digantikan oleh putranya Sadr al-Din (1334- 1399 M) lalu Khawaja Ali
(1399-1427 M), lalu Ibrahim (1427-1447 M). Rupanya mereka terpengaruh oleh konsep imamah
syi’ah bahwa imam itu ditunjuk langsung dan secara turun temurun.
Dalam perjalanannya, tarekat Safawi ini perlahan-lahan berubah dari gerakan tarekat
murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syria
dan Anatolia (Asia kecil) dan pengikutnya pun semakin bertambah. Fanatisme terhadap tarekat
ini yang menentang sikap orang yang tidak mengikuti faham mereka, memotivasi gerakan ini
memasuki dunia politik. Kecenderungan ini terwujud pada masa kepemimpinan Junaid (1447-
1460 M). Safawi mulai terlibat dalam konflik-konflik dengan kekuatan-kekuatan politik yang
ada di Persia ketika itu, misalnya konflik dengan Kara Konyunlu (domba hitam) yang bermazhab
Syi’ah. Karena kegiatan politiknya, ia mendapat tekanan dari Kara Konyunlu dan berhasil diusir,
sehingga dia diasingkan di Diyar Bakr. Di daerah tersebut ia meminta suaka politik kepada AK
Konyunlu dan tinggal di Istana Uzun Hasan, seorang amir di daerah tersebut. Di istana tersebut
Junaid tidak tinggal diam, ia mengumpulkan dan memperbanyak pengikutnya. Dan untuk
memperkuat kedudukannya ia berusaha merebut Ardabil, yakni pada tahun 1459 M, tetapi gagal
pada tahun 1460 M, ia mencoba merebut Sircassia, tetapi dihadang oleh tentara Syirwan. Ia
sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut.
Ketika Junaid wafat ia digantikan oleh putranya, Haidar (1460-1494 M). Ketika itu usia
Haidar baru berumur 10 tahun, ia di didik oleh Uzun Hasan sampai ia dewasa dan sanggup
memegang tampuk pemerintahan pusaka ayah dan nenek moyangnya. Untuk mempererat
hubungannya dengan Uzun Hasan, ia juga menikahi putrinya. Dari hasil perkawinannya itu lahir
tiga orang putera yaitu Ali, Ismail dan Ibrahim. Pada masa pemerintahannya, ia membuat
lambang baru untuk para pengikutnya, yaitu serban merah dengan 12 jambul, yang pasukannya
itu dikenal dengan nama “Qizilbasy” (pasukan baret merah).
Kekalahan dan kematian Haidar, tidak membuat pasukannya putus asa. Mereka
berkumpul di Ardabil dan membaiat Ali, putra sulung Haidar, sebagai pemimpin mereka. Akan
tetapi, karena ketidak senangan AK.Koyunlu, dibawah kepemimpinan Ya’kub, Ali beserta ibu
dan kedua adiknya ditangkap dan dipenjarakan selama 4,5 tahun (1489-1493 M). Pada tahun
1493 M, mereka dibebaskan dengan syarat Ali harus membantu Rustam, putra mahkota
AK.Koyunlu untuk menyingkirkan rival politiknya (sepupunya sendiri) dalam menduduki tahta
kekuasaan. Setelah itu Ali kembali ke Ardabil. Karena khawatir akan pengaruh Ali semakin
meluas. Rustam menyerang Ali (1494 M) dan dalam serangan tersebut Ali terbunuh. Kekuatan
gerakan Safawi bangkit kembali setelah dipimpin oleh Ismail bin Haidar (1501-1524 M), yang
sebelumnya ditunjuk oleh Ali. Pada saat tentara AK.Koyunlu menyerang Safawi (1494), Ismail
meloloskan dirinya dan lari ke Ghilan. Ditempat persembunyiannya ia menghimpun kekuatan
dan memelihara hubungan baik dengan para pengikutnya di Azerbijan, Syria dan Anatolia
selama lima tahun ia bersiap siaga dengan pasukan Qizilbasy nya yang bermarkas di Gilan. Pada
tahun 1501 M, pasukannya berhasil mengalahkan pasukan AK.Koyunlu, dengan menaklukkan
Tybriz, pusat kekuasaan AK.Koyunlu. Di kota inilah Ismail memproklamirkan dirinya sebagai
Syah Ismail I, penguasa I kerajaan Safawi. Dan sepuluh tahun kemudian, kerajaan Safawi
menguasai seluruh Persia. Dengan demikian semakin tegaklah kerajaan Safawi dengan sistem
pemerintahan teokrat, dan menjadikan Syi’ah Itsna Asyariah sebagai mazhab resmi Negara.
Dinasti Safawiyah berkuasa di Persia (Iran) pada abad ke-16 dan ke-17 M, yakni dari
tahun 1501 hingga 1722 M yang kemudian mengalami retorasi singkat dari tahun 1729-1736 M.
Selama Dinasti Safawi berkuasa, terdapat 11 orang khalifah yang memimpin Dinasti Safawi.
Berikut urutan penguasa Dinasti Safawi:
Pemimpin Tarekat
Khalifah/Penguasa Iran
1. Ismail I (1501-1524 M)
2. Tahmasp I (1524-1576 M)
3. Ismail II (1576-1577 M)
4. Muhammad Khudabanda (1577-1587 M)
5. Abbas I (1587-1628 M)
6. Safi Mirza (1628-1642 M)
7. Abbas II (1642-1667 M)
8. Sulaiman (1667- 1694 M)
9. Husein I (1694-1722 M)
10. Tahmasp II (1722-1732 M)
11. Abbas III (1732-1736 M)
Diantara 11 khalifah tersebut, ada setidaknya lima khalifah yang menonjol atau
berpengaruh pada Dinasti Safawiyah. Mereka adalah Ismail I, Tahmasp I, Ismail II, Abbas I, dan
Sulaiman. Namun Dinasti Safawi mengalami masa kemajuannya hanya terdapat pada kekuasaan
dua Sultan, yaitu: Sultan Syah Ismail I (1501- 1524 M), dan puncak kejayaannya dalam masa
Sultan Syah Abbas I (1587-1628 M).
Sultan Ismail berkuasa kurang lebih selama 23 tahun (1501-1524 M), dalam sepuluh
tahun pertama kekuasaannya, beliau berhasil melakukan memperluas kekuasaannya. Ia
dapat membersihkan sisa-sisa kekuatan menurut pasukan AK. Koyunlu di Hamadan
(1503 M), menguasai Propinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan dan Yazd (1504 M), Diyar
Bakr (1505-1507 M), Baghdad dan wilayah barat daya Persia (1508 M), Sirwan (1509
M) dan Khurasan (1510 M). Dengan demikian hanya pada saat sepuluh tahun beliau
sudah bisa menguasai seluruh daerah di Persia.
Tidak sampai situ, beliau sangat berambisi untuk melebarkan sayap untuk menguasai
wilayah-wilayah lainnya, yaitu: ke Turki Usmani, tetapi pengembangan ini digagalkan
oleh Sultan Salim yang menciptakan semangat Sultan Ismail patah. Dalam keadaan
genting seperti ini terjadi persaingan segi tiga antara pimpinan suku- suku Turki, pejabat-
pejabat Persia dan tentara Qishilbash pada memperebutkan impak dan kekuasaan untuk
memimpin Daulah Safawiyah. Kondisi yang memprihatinkan itu baru dapat diatasi
setelah Sultan kelima Daulah Safawiyah Abbas I, naik tahta. Ia memerintah Daulah
Safawiyah selama empat puluh tahun (1587-1628 M).
Pada masa pemerintahan Abbas I inilah Dinasti Safawi mengalami puncak kejayaan.
Setelah Sultan Syah Abbas I diangkat sebagai Sultan, dia mengambil langkah-langkah
pemulihan kekuasaan Daulah Safawiyah yang memprihatinkan itu. Pertama, beliau
berusaha menghilangkan penguasaan pasukan Qizilbash atas Daulah Safawiyah
menggunakan cara menciptakan pasukan baru yang anggota-anggotanya terdiri dari
budak-budak asal tawanan perang, Georgia, Armenia dan Sircassia yang sudah ada sejak
Sultan Tahmasp I, yang lalu disebutnya menggunakan pasukan “Ghullam”.
Pada tahun 1597 M Abbas I memindahkan ibu kota Daulah Safawiyah ke Isfahan,
menjadi persiapan untuk melanjutkan langkah melakukan ekspansi wilayah ekspansinya
ke wilayah-wilayah bagian timur, setelah memperoleh kemenangan-kemenangan di
wilayah timur, barulah Abbas I mengalihkan serangannya ke wilayah barat, berhadapan
menggunakan Turki Usmani.
Pada tahun 1598 M dia menyerang dan menaklukkan Herat, lalu agresi
dilanjutkannya merebut Marw dan Balkh. Setelah kekuatan pemerintahannya mulai pulih
dan terbina kembali, ada juga hasratnya untuk mengambil wilayah-wilayah kekuasaan
Daulah Safawiyah yang dulu diambil Turki Usmani. Nampaknya rasa permusuhan
berdasarkan dua Daulah Islamiyah yang tidak selaras bentuk agama (Syi’ah, Sunni) ini
tidak pernah padam sama sekali. Kapan terdapat kesempatan pada itu mereka berperang.
Pada tahun 1602 M, pada waktu Turki Usmani berada di bawah pemerintahan Sultan
yang lemah, Sultan Muhammad III pasukan Abbas I mengarahkan agresi serangannya ke
wilayah-wilayah yang dikuasai dulu oleh Turki Usmani, lalu mereka menyerang dan
berhasil menguasai wilayah Tabriz, Sirwan dan Baghdad.
Adapun sebagai faktor keberhasilan Abbas I pada perluasan wilayah, antara lain,
kuatnya dukungan militer, karena pada masa Abbas I telah terdapat dua kelompok
militer, yaitu:
a. Pasukan militer Qisilbash dan pasukan militer Ghullam yang dibentuknya sendiri,
mereka menaruh dukungan penuh bagi perluasan ekspansinya.
b. Ambisi Sultan yang sangat besar bagi memperluas wilayah Daulah Safawiyah
sebagai akibatnya dia rela melakukan perjanjian tenang menggunakan Turki
Usmani danuntuk itu beliau menyerahkan sebagian daerah kekuasaannya pada
mereka, masa tenang tadi dipergunakannya membangun keamanan pada
negerinya, bermodalkan keamanan tadi beliau bisa melakukan perluasan ke luar.
c. Didukung oleh kecakapan diri Sultan yang berbakat dan profesional pada
merancang taktik politik, kapan saatnya harus mengalah dana kapan saatnya harus
menyerang musuh.
a. Bidang Politik
b. Bidang Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, kerajaan Safawi memiliki keunggulan, baik dalam pertanian,
perdagangan maupun perindustrian. Stabilitas politik kerajaan safawi pada masa Abbas I
ternyata telah memacu perkembangan perekonomian safawi, lebih-lebih setelah
kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas.
Dengan dikuasainya Bandar ini maka salah satu jalur dagang laut antara Timur dan Barat
yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan Perancis sepenuhnya menjadi milik
kerajaan safawi.
Daerah pertanian utama kerajaan Shafawi, berada di Bulan Sabit Subur (Fertile
Crescent) dan menghasilkan berbagai macam hasil pertaniannya. Kegiatan perdagangan
merupakan andalan bagi kerajaan Safawi, sebab dengan adanya Bandar Abbas,
perdagangan di Persia ramai dikunjungi para pedagagang internasional.Pada bidang
perindustrian yakni banyaknya pabrik-pabrik didirikan disekitar Bandar Abbas sebagai
pendukung kegiatan ekonomia. Selain itu, pasar-pasar juga didirikan di sekitar kota
Isfahan agar perekonomian masyarakat lebih berkembang. Hubungan dagang
internasional di Persia saat itu didukung dengan dibangunnya kantor-kantor duta besar
asing untuk menjaga keamanan masing-masing negara dalam menjalin hubungan mitra
dagang.
Sejarah bangsa Persia dikenal sebagai Bangsa yang berperadaban tinggi dan pencinta
ilmu pengetahuan. Maka dimana saja mereka berkuasa, disitu didapatkan perkembangan
ilmu pengetahuan, tidak terkecuali Daulah Safawiyah. Maka tidak mengherankan jika
tradisi keilmuan ikut berkembang pada masa Daulah ini. Sepanjang sejarah Islam Persia
di kenal sebagai bangsa yang telah berperadaban tinggi dan berjasa mengembangkan
ilmu pengetahuan. Ilmuwan yang melestarikan pemikiran-pemikiran Aristotelez, Al-
Farabi dan Suhrowardi pada sekitar abad ke-17 di Kerajaan Safawi adalah Mullah Sadr
dan Mir Damad.
Kemudian sejumlah ilmuwan yang selalu hadir di majlis istana yaitu Baha al-Din al-
Syirazi (generalis ilmu pengetahuan) Sadr al-Din al-Syirazi (filosof), Muhammad Baqir
ibn Muhammad Damad (sejarahwan, teolog dan ilmuan dan seorang yang pernah
mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah). Dalam bidang pengkajian
keislaman kaum Syi’ah gemar melakukan ijtihad dan bagi mereka pintu ijtihad tidak
pernah tertutup. Berkembangnya ilmu pengetahuan masa kerajaan safawi tidak terlepas
dari suatu doktrin mendasar bahwa kaum Syi’ah tidak boleh taqlid dan pintu ijtihad
selamanya terbuka. Kaum Syi’ah tidak seperti kaum Sunni yang mengatakan ijtihad telah
terhenti dan orang mesti taqlid saja. Kaum Syi’ah tetap berpendirian bahwasanya
mujtahid tidak terputus selamanya. Apabila dibandingkan dengan dua daulah lainnya,
yaitu Daulah Turki Usmani dan Daulah Mughal dalam waktu yang sama, kalau di bidang
ilmu pengetahuan Daulah Safawiyah ini jauh lebih unggul.
Setelah tercipta stabilitas politik, ekonomi dan keamanan dalam pemerintahan Sultan
Abbas I maka ia dapat mengalihkan perhatiannya pada bidang lain; Sultan telah
menjadikan kota Isfahan, ibukota kerajaan, menjadi kota yang sangat indah. Kemajuan
bidang seni arsitektur ditandai dengan berdirinya sejumlah bangunan megah yang
memperindah Isfahan sebagai ibukota kerajaan ini. Sejumlah masjid, sekolah, rumah
sakit, jembatan yang memanjang diatas Zende Rud dan Istana Chihil Sutun.Kota Isfahan
juga diperindah dengan kebun wisata yang tertata apik. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan
terdapat sejumlah 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum.
Unsur lainnya terlihat dalam bentuk kerajinan tangan, keramik, permadani dan benda seni
lainnya.
e. Bidang Keagamaan
Pada masa Abbas, kebijakan keagamaan tidak lagi seperti masa khalifah-khalifah
sebelumnya yang senantiasa memaksakan agar Syi’ah menjadi agama Negara, tetapi ia
menanamkan sikap toleransi. Politik keagamaan beliau ditanamkan paham toleransi atau
lapang dada yang amat besar. Paham Syi’ah tidak lagi menjadi paksaan, bahkan orang
Sunni dapat hidup bebas mengerjakan ibadahnya. Bukan hanya itu saja, pendeta-pendeta
Nasrani diperbolehkan mengembangkan ajaran agamanya dengan leluasa sebab sudah
banyak bangsa Armenia yang telah menjadi penduduk setia di kota Isfahan.
Dengan adanya hubungan antar bangsa yang terjalin dari kegiatan tersebut,
berpengaruh terhadap kehidupan sosial-keagamaan di Persia. Kerajaan Safawi
menerapkan toleransi beragama, dengan ditunjukkan pembangunan gereja Vank sebagai
wujud menghormati masyarakat yang beragama lain.
1. Pada masa Safi Mirza dan Shah Abbas II, administrasi pemerintahan dirubah
beberapa propinsi kaya dibawahi oleh pemerintahan pusat, di-perintah langsung oleh
Shah. Kebijaksanaan ini membawa akibat negatif bagi kerajaan yaitu; melemahkan
kelompok Qizilbasy yang menguasai daerah propinsi-propinsi sehingga kerajaan
kehilangan kekuatan, karena kelemahan tersebut tidak segera ditanggulangi dan
kekuatan yang Ghulam (budak-budak) yang tidak memiliki mutu tempur seperti
kelompok Qizilbasy.
2. Terjadinya perebutan kekuasaan dalam kerajaan yang disebabkan oleh tradisi
penunjukan raja.
3. Dekadensi moral para raja-raja dan watal mereka yang kejam, seperti Safi Mirza
yang tidak segan-segan membunuh pembesarpembesar kerajaan. Abbas dan
Sulaiman yang pemabuk dan tidak terlalu memperhatikan kondisi kerajaan,
akibatnya rakyat bersikap apatis terhadap pemerintah.
1. Konflik berkepanjangan dengan Turki Usmani dengan Safawi yang tidak pernah
berhenti, mengakibatkan lemahnya kekuasaan Safawi.
2. Kelemahan-kelemahan tersebut mengundang keberanian musuh untuk merampas
daerah-daerah kekuasaannya, ditambah lagi dengan banyaknya daerah dalam wilayah
kekuasaan Safawi melepaskan diri dan melakukan pemberontakanpemberontakan
daerah-daerah yang melepaskan diri terhadap kerajaan.
Dari faktor internal dan eksternal di atas, kerajaan Safawi akhirnya mengalami
kehancuran dan berakhirlah kekuasaan Dinasti Safawi di Persia, pada tahun 1736 M yang
dijatuhkan oleh Nadir Syah, seorang kepala salah satu suku bangsa Turki yang ada di Persia
ketika itu.
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa pada awalnya, Safawi adalah sebuah gerakan tarekat Syi'ah yang didirikan oleh Safi al-
Din Ishak al-Ardabily di Ardabil, Azerbaijan. Tarekat ini awalnya bersifat lokal dan spiritual.
Namun, seiring berjalannya waktu, Safawi berkembang menjadi sebuah gerakan politik yang
mengadopsi konsep imamah Syi'ah. Mereka terlibat dalam konflik politik di Persia, terutama
melawan Kara Koyunlu. Setelah serangkaian peristiwa dan perjuangan, Ismail bin Haidar
akhirnya memproklamirkan diri sebagai Syah Ismail I pada tahun 1501 dan mendirikan Kerajaan
Safawi. Safawi kemudian menguasai seluruh Persia dan mengadopsi Syi'ah Itsna Asyariah
sebagai mazhab resmi negara, dengan sistem pemerintahan teokrat.
Setelah itu, Dinasti Safawiyah berkuasa di Persia (Iran) pada abad ke-16 dan ke-17 M,
yakni dari tahun 1501 hingga 1722 M yang kemudian mengalami retorasi singkat dari tahun
1729-1736 M. Selama Dinasti Safawi berkuasa, terdapat 11 orang khalifah yang memimpin
Dinasti Safawi. Diantara 11 khalifah tersebut, ada setidaknya lima khalifah yang menonjol atau
berpengaruh pada Dinasti Safawiyah. Mereka adalah Ismail I, Tahmasp I, Ismail II, Abbas I, dan
Sulaiman. Namun Dinasti Safawi mengalami masa kemajuannya hanya terdapat pada kekuasaan
dua Sultan, yaitu: Sultan Syah Ismail I (1501- 1524 M), dan puncak kejayaannya dalam masa
Sultan Syah Abbas I (1587-1628 M).
Selama Dinasti Safawi berkuasa di Persia tentunya banyak sekali peradaban Islam yang
dikembangkan hingga Dinasti Safawi mengalami masa kejayaan. Beberapa kemajuan dalam
berbagai aspek pada masa pemerintahan Dinasti Safawi dapat terlihat pada berbagai bidang,
antara lain pada bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, seni dan arsitektur, keagamaan,
serta sosial dan budaya.
Namun, masa kejayaan Dinasti Safawi tidak dapat berkembang seusai Abbas I wafat,
yang akhirnya hal ini membawa kepada kemunduran dan mengakibatkan runtuhnya Dinasti
Safawi. Tentunya hal ini juga disebabkan oleh adanya faktor internal serta faktor eksternal.
Melihat itu, maka penting bagi umat Muslim untuk merenungkan dan mengambil
pelajaran berharga dari sejarah tersebut. Dinasti Safawi menunjukkan bagaimana Islam dapat
menjadi pilar inti dalam membentuk peradaban yang makmur dan berpengaruh. Salah satu
pelajaran yang dapat diambil adalah pentingnya pemimpin yang adil dan bijaksana dalam
mengembangkan peradaban Islam. Dinasti Safawi menunjukkan betapa pentingnya
pemerintahan yang kuat dan stabil untuk memajukan ilmu pengetahuan, seni, dan budaya.
Selain itu, Safawi juga menekankan pentingnya toleransi dan pluralisme dalam beragama,
yang merupakan nilai-nilai yang patut dijunjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Melalui
pemahaman ini, umat Muslim dapat berkontribusi untuk membangun peradaban yang harmonis
dan progresif di masa kini, dengan memegang teguh nilai-nilai Islam yang menginspirasi
kedamaian, keadilan, dan kemajuan.