Anda di halaman 1dari 10

DINASTI SYAFAWIYAH

A. ASAL USUL DINASTI SYAFAWIYAH


Dinasti syafawiyah di Persia berkuasa antara tahun 1502-1722 M. Dinasti
Syafawiyah merupakan Kerajaan islam di Persia yang cukup besar. Awwalya
Kerajaan syafawi berasal dari sebuah Gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah
kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat syafawiyah, yang diambil dari
nama pendirinya, yaitu Shafi Ad-Din (1252-1334 M) dan nama safawi itu terus
dipertahankan sampai tarekat ini menjadi Gerakan politik. Bahkan nama itu terus
dilestarikan setelah Gerakan ini berhasil mendirikan Kerajaan, yakni Kerajaan safawi.
Shafi Ad-Din berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi
sebagai jalan hidupnya. Shafi Ad-Din merupakan keturunan dari imam syiah yang
keenam, musa Al-Kazhim. Gurunya Bernama syaikh Tajyddin Ibrahim Zahidi (1216-
1301 M) yang dikenal dengan julukan Zahid Al-Gilani. Dikarenaka prestasi dan
ketekunan dalam kehiduan tassawuf, shafi Ad-Din diambil menntu oleh gurunya
tersebut. Beliau mendirikan tarikat safawiyah setelah ia menggantikan guru dan
sekaligus mertuanya yang wafat pada tahun 1301 M. pengikut tarekat ini sangat teguh
memegang ajaran agama. Pada umumnya Gerakan tasawuf safawiyah bertujuan
memerangi orang-orang ingkar, kemudian kemudian memerangi golongan yang
mereka sebut “ahli-ahli bid’ah”. Tarekat yang dipimpin shafi Ad-Din ini semakin
penting terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni
yang bersifat local menjadi Gerakan kenamaan yang besar pengaruhnya di Persia,
syiria, dan Anatolia. Di negri-negri di luar Ardabil, Shafi Ad-Din menempatkan
seorang wakil untuk memimpin murid-muridnya. Wakil tersebut diberi gelar khalifah.
Kerajaan ini mengatakan syi’ah sebagai madzhab negara.
Suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya kerapkali
menimbulkan keinginan di kalangan ajaran itu untuk berkuasa. Oleh karena itu, lama
kelamaan murid murid tarekat safawiyah berubah menjadi tantara yang teratur, fanatic
dalam kepercayaan dan menantang setiap orang yang bermadzhab selain syi’ah.
Kecenderungan memasuki dunia politik secara kongkret tampak pada masa
kepemimpinan Junaid (1447 -1460 M). dinasti safawi memperluas geraknya dengan
enambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini
menimbulkan konflik antara Junaid dengan penguasa KaraKoyunlu (domba hitam),
salahsatu sukubangsa turki yang berkuasa diwilayah itu. Dalam konflik tersebut
Junaid kalah dan diasaingkan ke suatu tempat. Di tempat baru ini ia mendapat
perlindungan dari penguasa Diar Baker, Ak. Koyunlu (domba putih) juga suatu suku
bangsa turki.
Selama dalam pengasingannya, junaidi tidak tinggal diam, ia justru dapat
menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan.
Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara Perempuan Uzun Hasan
Anak Junaidi yaitu Haidar ketika itu masih kecil dalam asuhan Uzun Hasan.
Oleh karena itu, kepemimpinan gerakan Safawi b dapat diserahkan kepadanya secara
resmi pada tahun 1470 Hubungan Haidar dengan Uzun Hasan semakin erat setelah Ha
mengawini salah serang putri Uzun Hasan. Dari perkawinan lahirlah Ismail yang di
kemudian hari menjadi pendiri Kerajaan Safawi di Persia.
Haidar membuat perlambang baru dari pengikut tarekatnya, yaitu serban
merah mempunyai 12 jambul, sebagai lambang dari 12 imam yang diagungkan dalam
mazhab Syi'ah Itsna Asyriah'
Kemenangan Ak Koyunlu tahun 1476 M terhadap Kara Koyunlu embuat
gerakan militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival politik
oleh Ak Koyunlu dalam meraih kekuasaan selanjutnya. Padahal Safawi adalah sekutu
Ak Koyunlu. Ak Koyunlu berusaha melenyapkan kekuasaan Dinasti Safawi. Pasukan
Haidar mengalami kekalahan dalam suatu peperangan di wilayah Sircassia, dan
Haidar sendiri terbunuh.
Kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya berada di tangan Ismail, yang saat
itu masih berusia tujuh tahun. Selama lima tahun ismail Bersama pasukannya
bermarkas di gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para
pengikutnya di Azerbaijan, Syiria, dan Anatolia. Pasukan yang dipersiapkan tersebut
dinamakan Qizilbash (baret merah).
Di bawah kepemimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash
menyerang dan mengalahkan Ak Koyunlu di Sharus, dekat Nakhchivan. Pasukan ini
terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, ibukota Ak Koyunlu, dan berhasil
merebut dan Dalam komendudukinya. Di kota ini Ismail memproklamirkan dirinya
sebagai raja pertama Dinasti Safawi. Ismail inilah yang dipandang sebagai pendiri
yang pertama dari Kerajaan Safawiyah."
Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan Kerajaan Safawi. Secara
politik ia mampu mengatasi berbagai kemelut di dalam liansi senegeri yang
menggangu stabilitas negara dan berhasil merebut wilayah-wilayah yang pernah
direbut oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya.
Usaha-usaha yang dilakukan Abbas I berhasil membuat kerajaan afawi Safawi
menjadi kuat. Setelah itu Abbas I mulai memusatkan perhatiannya ke luar dengan
berusaha merebut kembali wilayah wilayah kekuasaannya yang hilang. Pada tahun
1598M ia menyerang dan menaklukkan Herat. Dari sana ia melanjutkan serangan
merebut Marw dan Balk. Setelah kekuatan terbina dengan baik, ia juga berusaha
mendapatkan kembali wilayah kekuasaannya dan Turki Usman
Rasa permusuhan antara dua kerajaan yang berbeda aliran agama ini memang
tidak pernah padam. Abbas I mengarahkan serangannya ke wilayah kekuasaan
kerajaan Usmani. Pada tahun 1602 M, di saat Turki Usmani berada di bawah Sultan
Muhammad III pasukan Abbas I menyerang dan berhasil merebut Tabriz, Sirwan dan
Baghdad. Sedangkan kota-kota Nakhchivan, Erivan, Ganja, da Tiflis dapat dikuasai
tahan 1605-1606 M.
Selama periode Safawiyah di Persia ini (1502-1722 M) persaing untuk
mendapatkan kekuasaan antara Turki dan Persia menjad kenyataan. Namun demikian,
Ismail menjumpai saingan kepala batu yaitu Sultan Salim I dari Turki. Peperangan ini,
seperti para sejarawan menduga, bisa berasal dari kebencian Salim dan pengejaran
terhadap seluruh umat muslim di Syi'ah di daerah kekuasaannya. Fanatisme Sultan
Salim memaksanya untuk membunuh 40.000 orang yang didakwa telah mengingkari
ajaran-ajaran Sunni. Pembunuhani digambarkan oleh seorang ahli sejarah dari Persia
sebagai tindaka yang paling dahsyat atau kejam, walaupun dijalankan dengan atas
nama agama.
Sekalipun demikian pemberontakan terus-menerus yang terjadi di negara besar
Nadhir memaksanya untuk mengakui Sultan Usmani sebagai seorang khalifah. Pada
tahun 1747 M, Nadhir dibunuh dan digantikan oleh kemenakannya, Ali Kuli. Di masa
pemerintahannya negara besar Persia mulai mundur dan dengan demikian orang-
orang Turki Usmani menikmati masa perdamaian di dunia Timur sep
halnya di Eropa.1

B. KEMAJUAN PEMERINTAHAN DAULAH SYAFAWIYAH


Selama Daulah Safawiyah berkuasa di Persia (Iran) di sekitar abad ke-16 dan
ke-17 M, masa kemajuannya hanya ada di tangan dua sultan, yaitu Ismail I (1501-
1
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: AMZAH, 2019). Hal 187-190
1524 M), dengan puncak kejayaannya pada masa Sultan Syah Abbas 1 (1558-1622
M).

1. Sultan Ismail I (1501-1524 M)


Sultan Ismail berkuasa lebih kurang selama 23 tahun (1501- 1524 M), pada
sepuluh tahun pertama kekuasaannya, ia berhasil melakukan ekspansi untuk
memperluas kekuasaannya tersebut. Ia dapat membersihkan sisa-sisa kekuatan dari
pasukan AK. Kuyunlu di Hamadan (1503 M), menguasai Provinsi Kaspia di
Nazandaran, Gurgan, dan Yazd (1504 M), Diyar Bakr (1505-1507 M), Baghdad dan
daerah barat daya Persia (1508 M), Sirwan (1509 M) dan Khurasan (1510 M).
Dengan demikian, hanya dalam waktu sepuluh tahun dia telah dapat menguasai
seluruh wilayah di Persia."
Tidak sampai di situ, dia sangat berambisi untuk mengembangkan sayap untuk
menguasai daerah-daerah lainnya, seperti ke Turki Usmani, walaupun dia sadar bahwa
Turki Usmani tersebut adalah musuh yang kuat dan berat. Pada tahun 1514 M terjadi
peperangan dengan Turki Usmani di Chaldiran dekat Tabriz. Karena keunggulan
tentara dan organisasi militer Turki Usmani dalam peperangan ini sehingga Ismail
mengalami kekalahan. Bahkan tidak sampai di situ saja tentara Turki Usmani di
bawah pimpinan Sultan Salim I berhasil pula merebut Tabriz. Untung Sultan Salim I
pulang setelah dapat menguasai Tabriz, sehingga Daulah Safawiyah terselamatkan.
Akibat kekalahan tersebut membuat semangat Sultan Ismail patah. sehingga
setelah itu dia lebih memilih hidup menyendiri, menempuh kehidupan berhura-hura
dan berburu. Keadaan ini berdampak negatif bagi kelangsungan Daulah Safawiyah.
Dalam keadaan genting seperti ini terjadi persaingan segi tiga antara pimpinan
suku-suku Turki, pejabat-pejabat Persia dan tentara Qizilbash dalam memperebutkan
pengaruh dan kekuasaan untuk memimpin Daulah Safawiyah."
Sultan Tahmash I (1524-1576 M) pengganti Sultan Ismail, masih terus
melanjutkan rasa permusuhan dengan Daulah Turki Usmani, yang disertai dengan
peperangan-peperangan masih terjadi beberapa kali, demikian juga pada masa sultan
ketiga Islamil II (1576-1577 M) dan keempat Muhammad Khudabandar (1577-1587
M), sehingga di tangan tiga sultan itu keadaan Daulah Safawiyah menjadi lemah,
akibat terkurasnya tenaga menghadapi peperangan dengan Turki Usmani yang lebih
kuat, juga karena di internal Daulah Safawiyah sendiri, masih sering terjadi
pertentangan-pertentangan antara kelompok.
Faktor yang membuat tiga sultan tersebut tidak berhasil memperoleh
kemenangan dalam ekspansi-ekspansi mereka karena keadaan dalam negeri mereka
masih belum stabil karena jika di internal pemerintahan masih terjadi konflik-konflik
akan mustahil memperoleh kemenangan dalam melakukan ekspansi.
Kondisi yang memprihatinkan tersebut baru dapat diatasi setelah sultan kelima
Daulah Safawiyah Abbas 1, naik takhta. Ia memerintah Daulah Safawiyah selama
empat puluh tahun (1588-1628 M).

2. Sultan Syah Abbas I (1558-1622 M)


Segera setelah Sultan Syah Abbas I diangkat menjadi sultan, ia mengambil
langkah-langkah pemulihan kekuasaan Daulah Safawiyah yang sudah
memprihatinkan itu. Pertama, ia berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash
atas Daulah Safawiyah dengan cara membentuk pasukan baru yang anggota-
anggotanya terdiri dari budak-budak berasal dari tawanan perang. Georgia, Armenia,
dan Sircassia yang telah ada semenjak Sultan Tahmasp I, yang kemudian disebutnya
dengan pasukan "Ghullam".
Kedua, mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani, dengan syarat.
Abbas I terpaksa menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia dan sebagian wilayah
Luristan. Selain jaminan itu. Abbas I berjanji tidak akan menghina tiga khalifah
pertama dalam Islam (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, dan utsman ibn Affan) dalam
khotbah-khotbah Jum'at. Sebagai jaminan atas syarat-syarat tersebut, ia menyerahkan
saudara sepupunya, Haidar Mirza sebagai Sandera di Istanbul."
Dengan dua langkah yang dilakukan Abbas I tersebut berarti ia telah dapat
memulikan keamanan Daulah Safawiyah pada dua aspek; secara internal ia berhasil
menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash terhadap Daulah Safawiyah sehingga
stabilitas politik tercipta karena sudah terbebas dari tekanan pasukan Qizilbash, secara
eksternal ia berhasil meredam konflik dengan Turki Usmani sehingga stabilitas
keamanan juga tercipta dalam pemerintahannya, karena ia terbebas dari gangguan
Turki Usmani.
Usaha-usaha yang dilakukan Abbas I berhasil membuat pemerintahan Daulah
Safawiyah menjadi kuat kembali, setelah itu, dalam kondisi pemerintahannya yang
sudah stabil, Abbas I mulai memusatkan perhatiannya ke luar berusaha mengambil
kembali wilayah-wilayah kekuasaan Safawiyah yang sudah hilang.
Pada tahun 1597 M Abbas I memindahkan ibu kota Daulah Safawiyah ke
Isfahan, sebagai persiapan untuk melanjutkan langkah melakukan perluasan wilayah
ekspansinya ke daerah-daerah bagian timur, setelah memperoleh kemenangan-
kemenangan di wilayah timur, barulah Abbas I mengalihkan serangannya ke wilayah
barat, berhadapan dengan Turki Usmani.
Pada tahun 1598 M ia menyerang dan menaklukkan Herat, kemudian serangan
dilanjutkannya merebut Marw dan Balkh. Setelah tekuatan pemerintahannya mulai
pulih dan terbina kembali, timbul pula hasratnya untuk mengambil wilayah-wilayah
kekuasaan Daulah Safawiyah yang dulu diambil Turki Usmani. Tampaknya rasa
permusuhari dari dua Daulah Islamiyah yang berbeda aliran agama (Syi'ah, Sunni) ini
tidak pernah padam sama sekali. Kapan ada kesempatan di situ mereka berperang.
Pada tahun 1602 M di saat Turki Usmani berada di bawah pemerintahan sultan
yang lemah, Sultan Muhammad III pasukan Abbas Imengarahkan serangan-
serangannya ke wilayah-wilayah yang dikuasai dulu oleh Turki Usmani tersebut,
kemudian mereka menyerang dan berhasil menguasai daerah Tabriz, Sirwan, dan
Baghdad.
Pada tahun 1605-1606 M ia kembali melakukan serangan ke wilayah kota-
kota Nakhchivan, Erivan, Ganja, dan Tiflis, daerah-daerah tersebut berhasil
dikuasainya. Pada akhirnya pasukan Abbas I pada tahun 1622 M berhasil merebut
kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar
Abbas.
Dengan demikian, masa kekuasaan Abbas I adalah masa puncak dari kejayaan
Daulah Safawiyah. Secara politik ia dapat mengatasi berbagai pergolakan yang terjadi
di dalam negerinya, meredam konflik-konflik sehingga tercipta stabilitas keamanan,
melalui dua hal tersebut ia pun berhasil kembali mengambil wilayah-wilayah yang
pernah direbut oleh kerajaan lain, terutama, kerajaan Turki Usmani sebelum
kekuasaannya.
Adapun yang menjadi faktor keberhasilan Abbas I dalam ekspansi wilayah,
antara lain, kuatnya dukungan militer, karena pada masa Abbas I sudah ada dua
kelompok militer, yaitu pasukan militer Qizilbash dan pasukan militer Ghullam yang
dibentuknya sendiri, mereka memberikan dukungan penuh bagi ekspansi-
ekspansinya.
Faktor kedua, ambisi sultan yang sangat besar bagi memperluas wilayah
Daulah Safawiyah sehingga ia rela melakukan perjanjian damai dengan Turki Usmani
dan untuk itu ia menyerahkan sebagian wilayah kekuasaannya kepada mereka, masa
damai tersebut dipergunakannya menciptakan keamanan dalam negerinya,
bermodalkan keamanan tersebut ia dapat melakukan ekspansi ke luar.
Faktor ketiga, didukung oleh kecakapan diri sultan yang berbakat dan
profesional dalam merancang strategi politik, kapan saatnya harus mengalah dan
kapan saatnya harus menyerang musuh.
Kemajuan yang dicapai oleh Sultan Abbas I tersebut bukan hanya di bidang
ekspansi wilayah dalam bidang pemerintahan saja, tetapi juga di bidang lain pun,
Daulah ini banyak mengalami kemajuan. Di antara kemajuan-kemajuan itu,
sebagai berikut.2

C. KEMAJUAN PERADABAN DINASTI SAFAWIYAH

Sebagai salah satu dari tiga kerajaan besar, Dinasti Safawiyah mencapai puncak
kemajuan yang cukup berarti, tidak hanya terbatas dalam dang politik tetapi kemajuan
dalam berbagai bidang. Beberapa kemajuan tersebut antara lain:
1. Bidang Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah Islam bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang memiliki
peradaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu,
tidak mengherankan jika pada masa Kerajaan Safawi tradisi keilmuan ini terus
berlanjut.
Beberapa tokoh ilmuwan yang terkenal antara lain: Bahauddin Syaerazi
seorang generalis ilmu pengetahuan, Muhammad Baqir bin Muhammad Damad
seorang filsuf ahli sejarah, teolog, dan seorang yang pernah mengadakan observasi
mengenai kehidupan lebah. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan sains, Safawiyah
lebih maju dari kerajaan lainnya pada masa yang sama.
2. Bidang Ekonomi
Keberadaan stabilitas politik kerajaan Safawi pada masa Abbas I ternyata telah
memacu perkembangan perekonomian. Terlebih setelah kepulauan Hurmuz
dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Dengan
dikuasainya Bandar ini maka salah satu jalur dagang laut antara Timur dan Barat
yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis sepenuhnya menjadi
milik kerajaan Safawi.
2
Syamruddin Nasution, Sejarah Peradaban Islam (Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2018). Hal 250-254
Di samping bidang perdagangan, kerajaan Safawi juga mengalami kemajuan
dalam sektor pertanian terutama di daerah Sabit Subur (Fortile Crescent)?
3. Bidang Arsitektur
Penguasa Kerajaan Safawi telah berhasil menciptakan Isfahan, ibukota
kerajaan menjadi kota yang sangat indah. Di kota Isfahan ini berdiri bangunan-
bangunan besar dengan arsitektur bernilai tinggi dan indah seperti masjid, rumah
sakit, sekolah, jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan istana Chihil
Sutun. Disebutkan
dalam kota Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan
273 pemandian umum. Dalam bidang kesenian, kemajuan tampak begitu kentara
dalam gaya arsitektur bangunan-bangunannya, seperti terlihat pada Masjid Shah
yang dibangun tahun 1611 M. dan Masjid Syaikh Lutfillah dibangun tahun 1603
M.
4. Bidang Kesenian
Kerajaan Safawi mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam bidang seni,
antara lain dalam bidang kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian
dan tenunan, mode, tembikar, dan benda seni lainnya. Seni lukis mulai dirintis
sejak zaman Tahmasp 1. Raja Ismail I pada tahun 1522 M membawa seorang
pelukis Timur bernama Bizhad ke Tabriz.
5. Bidang Tarekat
Sebagaimana diketahui bahwa cikal bakal Kerajaan Safawi adalah gerakan
sufistik, yaitu gerakan tarekat. Oleh karena itu, kemajuan di bidang terekat pun
cukup maju. Bahkan gerakan tarekat pada masa ini tidak hanya berpikir dalam
bidang keagamaan, tetap juga dalam bidang politik dan pemerintahan.
Beberapa kemajuan dalam bidang peradaban pada masa Dinasti Safawiyah
telah mengalami beberapa kemajuan. Setelah itu kerajaan ini mengalami masa-
masa kemunduran. Kemajuan yang pernah dicapai membuat kerajaan ini menjadi
salah satu dari tiga lebih kerajaan besar di kalangan umat Islam pada masa itu
yang disegani oleh kekuatan negara lain, terutama dalam bidang polit dan militer.
Sekalipun Dinasti Safawiyah tidak setaraf dengan kemajuan yang pernah
dicapai Islam pada masa klasik, tetapi kerajaan ini telah memberikan sumbangan
kontribusi yang cukup besar dalam bidang peradaban melalui kemajuan-kemajuan
di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, arsitektur, kesenian, dan tarekat.3
3
Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: AMZAH, 2019). Hal 191-192
D. KEMUNDURAN PEMERINTAHAN DAN FAKTOR-FAKTORNYA

Sepeninggal Abbas I Daulah Safawiyah berturut-turut diperintah oleh enam


sultan yaitu Safi Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M). Sulaiman (1667-
1694 M), Husein (1694-1722 M), Tahmasp II (1722- 1732 M), dan Abbas
III (1732-1736 M).
Pada masa sultan-sultan tersebut Daulah Safawiyah mengalami kemunduran
yang membawa kepada kehancurannya, seperti Safi Mirza (1628-1642 M), adalah
pemimpin yang lemah dan sangat kejam kepada pembesar-pembesar kerajaan,
sehingga pemerintahannya menurun secara drastis. Kota Kandahar (sekarang
termasuk wilayah Afghanistan) lepas dari kekuasaan Daulah Safawiyah direbut
oleh Daulah Mughal yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Syah Jehan tidak dapat
dipertahankannya
Sementara itu, Abbas II (1642-1667 M) adalah sultan yang suka minum-
minum keras sehingga jatuh sakit dan meninggal dunia, Sulaiman juga seorang
pemabuk dan bertindak kejam kepada para pembesar daulahnya yang
dicurigainya.
Lain halnya dengan Husein, pengganti Sulaiman, ia seorang yang alim, tetapi
memberikan kekuasaan yang besar dan dominan kepada para ulama Syi'ah yang
sering memaksakan paham Syi'ah kepada para penduduk yang beraliran Sunni,
sehingga timbul kemarahan golongan Sunni Afghanistan, mereka berontak dan
berhasil mengakhiri kekuasaan Daulah Safawiyah.
Salah seorang putra Husein, bernama Tahmasp II dengan dukungan penuh dari
suku Qazar dari Rusia memproklamirkan dirinya sebagai raja yang sah dan
berkuasa di Persia dengan pusat kekuasaannya di kota Astarabad. Tahmasp II
bekerja sama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan
mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Maka pada tahun 1729 M
pasukan Nadir Khan memerangi dan dapat mengalahkan raja Asyraf yang
berkuasa di Isfahan dan Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan tersebut.
Dengan demikian Daulah Safawiyah berkuasa kembali di Persia.
Akan tetapi, tiga tahun kemudian Sultan Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan,
tepatnya pada bulan Agustus 1732 M, dan digantikan oleh Abbas III (anak
Tahmaspll) yang ketika itu masih sangat kecil. Selanjutnya empat tahun setelah
itu, tepatnya tanggal 8 Maret 1736 M Nadir Khan mengangkat dirinya sebagai
sultan menggantikan Abbas III. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Daulah
Safawiyah di Persia.
Di antara faktor-faktor kemunduran Daulah Safawiyah ini adalah konflik yang
terus-menerus berkepanjangan dengan Turki Usmani. Bagi Turki Usmani
berdirinya Daulah Safawiyah yang beraliran Syi'ah menjadi ancaman langsung
terhadap wilayah kekuasaannya, akibatnya harus diperanginya. Konflik antara
keduanya boleh dibilang tidak pernah padam, kecuali dulu Sultan Abbas I pernah
mengadakan perjanjian perdamaian dengan Turki Usmani, setelah itu konflik
kembali.
Faktor berikutnya, karena lemahnya sultan yang diangkat sehingga mereka
tidak dapat mempertahankan kekuasaan yang diwarisinya, apalagi memperluas,
sebaliknya yang terjadi adalah konflik internal memperebutkan kekuasaan di
kalangan keluarga istana, juga tidak didukung pasukan tentara yang kuat karena
pasukan Ghullam yang dibentuk Sultan Abbas I tidak memiliki semangat
perang yang tinggi.4

4
Syamruddin Nasution, Sejarah Peradaban Islam (Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2018) hal 255-257

Anda mungkin juga menyukai