Anda di halaman 1dari 8

Nama: Mustakim

NIM: 19.1400.005

Sejarah Dinasti Safawiyah

Cikal bakal berdirinya Dinasti Safawiyah berawal dari gerakan tarekat yang diberi nama

Safawiyah. Gerakan ini muncul di Persia, tepatnya di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan.

Wilayah ini banyak ditinggali oleh suku Kurdi dan Armen. Nama Safawiyah dinisbahkan kepada

nama salah seorang guru Sufi di Ardabil bernama Syekh Ishak Safiuddin atau Shafi Ad-Din.

Menurut riwayat, ia adalah keturunan dari Musa al-Khadim, imam ketujuh Syi’ah Itsna

‘Asyariyah. Shafi Ad-Din berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai

jalan hidupnya. Gurunya bernama Syaikh Tajuddin Ibrahim Zahidi (1216-1301 M) yang dikenal

dengan julukan Zahid Al-Gilani. Dikarenakan prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan

tasawuf, Shafi Ad-Din diambil menantu oleh gurunya tersebut.

Shafi Ad-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus

mertuanya yang wafat pada tahun 1301 M. Pengikut tarekat ini sangatlah teguh memegang

ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah bertujuan memerangi orang-orang

ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut “Ahli Bid’ah”. Tarekat yang dipimpin

Shafi Ad-Din ini semakin penting terutama setelah mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian

tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan kenamaan yang besar pengaruhnya di Persia,

Syria dan Anatolia. Di negeri-negeri di luar Ardabi, Shafi Ad-Din menempatkan seorang wakil

untuk memimpin murid-muridnya. Wakil tersebut diberi gelar khalifah dan nantinya akan

menjadi komandan perang.


Kemudian murid-murid tarekat mendukung tarekat Safawiyah untuk menghimpun

kekuatan dengan menjadi tentara dan sangat fanatik kepada keyakinannya. Bahkan, mereka juga

menentang orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Tarekat Safawiyah banyak diterima

oleh masyarakat sehingga tarekat ini mengubah model gerakan spiritual keagamaan menjadi

gerakan politik. Hal ini mulai tampak ketika gerakan tarekat dipimpin oleh Junaid 1447-1460 M.

Junaid memperluas kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini

mendapatkan hambatan-hambatan. Salah satunya dari penguasa Qara Qayunlu dan Aq- Qayunlu

yang merupakan dua suku terkuat Turki. Sehingga terjadi konflik antara Junaid dengan penguasa

Turki.

Keterlibatan tarekat Safawiyah dalam perpolitikan yang semakin besar mengantarkan

tarekat Safawiyah berhadapan dengan kekuatan besar yang berkuasa saat itu yaitu Turki

Utsmani. Pada saat Junaid memiliki konflik dengan Qara Qayunlu, ia mengalami kekalahan dan

diasingkan ke suatu tempat.Di tempat itu Junaid mendapat perlindungan dari penguasa Diyar

Bakr yang juga bangsa Turki. Junaid tinggal di istana Uzun Hasan yang pada saat itu menguasai

sebagian Persia. Selama dalam pengasingan, Junaid tidak tinggal diam. Ia mempersunting salah

seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M, Junaid mencoba merebut Ardabil

tetapi gagal. Lalu pada tahun 1460 M Junaid mencoba merebut kota Sircassia tetapi pasukan

yang dipimpinnya dihadang oleh tentara Sirwan. Junaid pun pada akhirnya terbunuh dalam

pertempuran tersebut.

Tampuk kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya diberikan kepada putera Junaid,

Haidar, tetapi Haidar masih sangat kecil pada waktu itu. Setelah menunggu beberapa tahun,

Haidar sudah cukup dewasa dan mempersunting salah satu putri Uzun Hasan. Dari perkawinan

tersebut lahirlah Ismail yang di kemudian hari menjadi pendiri dinasti Safawi di Persia.
Perkembangan dan Kemajuan Dinasti Safawiyah

Pada saat Ismail I berkuasa selama kurang lebih 23 tahun (1501-1524 M) ia berhasil

memperluas wilayah kekuasaannya, ia juga dapat menghancurkan sisa-sisa kekuasaan Aq-

qayunlu di Hamadan 1503 M, menguasai provinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan dan Yazd pada

tahun 1504 M, Diyar Bakr 1505-1507, Baghdad dan daerah barat daya persia pada tahun 1508

M, Sirwan 1509 M dan Khurasan pada tahun 1510 M. Ismail I hanya memerlukan waktu selama

sepuluh tahun untuk menguasai seluruh Persia.

Ambisi politik mendorong Ismail I adalah untuk memperluas daerah kekuasaannya ke

Turki Utsmani, namun karena Turki Utsmani merupakan dinasti yang sangat kuat pada masa itu

akhirnya Ismail I mengalami kekalahan. Kekalahan itu meruntuhkan kebanggaan dan

kepercayaan diri Ismail. Akibatnya, kehidupannya menjadi berubah. Ismail I lebih suka berfoya-

foya dan keadaan tersebut menimbulkan dampak negatif bagi Dinasti Safawiyah, yaitu timbulnya

perebutan kekuasaan diantara pimpinan-pimpinan suku-suku Turki, pejabat-pejabat Persia, dan

Qizilbash.

Sepeninggal Ismail I, kekuasaan Dinasti Safawiyah dilanjutkan oleh Tahmasp I (1524-

1576 M), lalu setelah itu dilanjutkan oleh Ismail II (157

6-1577 M) dan Muhammad Khubanda (1577-1587 M). Namun, pada pemerintahan ketiga

sultan tersebut Dinasti Safawiyah mengalami kemunduran. Kemunduran tersebut terus

berlangsung sampai pada akhirnya Abbas I naik tahta. Pada masa Abbas I, Dinasti Safawiyah

perlahan-lahan mengalami kemajuan. Langkah-langkah yang ditempuh Abbas I dalam

memajukan dinasti Safawiyah diantaranya adalah Berusaha menghilangkan dominasi Qizilbash

atas Dinasti Safawiyah dengan cara membentuk pasukan-pasukan baru yang anggotanya terdiri
dari budak-budak yang berasal dari tawanan-tawanan bangsa Georgia, Armania, dan Sircassia

yang ada sejak pemerintahan Tahmasp I.

Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Utsmani. Di samping itu, Abbas I berjanji

untuk tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam yaitu Abu Bakar, Umar bin

Khattab dan Utsman bin Affan dalam khutbah-khutbah Jum’at. Sebagai jaminan atas syarat-

syarat tersebut, Abbas I menyerahkan saudara sepupunya yaitu Haidar Mirza sebagai sandera di

Istanbul.

Setelah Dinasti Safawiyah menjadi kuat kembali, Abbas I mulai melakukan ekspansi dan

merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaannya yang telah hilang. Abbas I juga melakukan

penyerangan kepada Turki Utsmani. Pada saat itu Turki Utsmani dibawah kepemimpinan Sultan

Muhammad II, Abbas I menyerang Turki Utsmani dan berhasil menaklukan wilayah Tabriz,

Sirwan, dan Baghdad. Seterlah itu Abbas I juga berhasil menguasai kota Nakhchivan Erivan,

Ganja dan Tiflish pada tahun 1605-1606 M. Pada tahun 1622 M, Abbas I berhasil merebut

kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Abbas.

Pada pemerintahan Abbas I merupakan puncak kejayaan Dinasti Safawiyah. Secara politik

Abbas I dapat mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara

dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang dulu pernah direbut dinasti lain pada

pemerintahan sultan-sultan sebelumnya. Kemajuan lain yang dicapai Dinasti Safawiyah antara

lain:
Bidang Ekonomi

Setelah Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun

menjadi pelabuhan Abbas, maka jalur dagang yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan

Perancis sepenuhnya berhasil dikuasai oleh dinasti ini.

Bidang Pendidikan

Pada Dinasti Safawiyah muncul banyak sekali ilmuwan-ilmuwan terkenal diantaranya

Baha’ al-Dîn al-‘Amili (generalis ilmu pengetahuan), Sadr al-Dîn al-Syîrâzî (filsuf) dan

Muhammad Baqir ibn Muhammad Damad (filsuf, ahli sejarah, teolog, yang pernah mengadakan

observasi atas kehidupan lebah).

Bidang Pembangunan Fisik Tata Kota dan Seni

Para penguasa dinasti ini mengubah Isfahan, yang merupakan ibu kota dinasti ini menjadi

kota yang sangat indah. Isfahan merupakan kota yang sangat penting bagi tujuan politik dan

ekonomi. Di kota tersebut berdiri bangunan-bangunan megah seperti masjid, rumah sakit,

sekolah-sekolah, jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan istana Chihil Satun. Kota Isfahan

semakin indah dengan dibuatnya taman-taman wisata. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat

162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian umum.

Pada bidang seni, terlihat dari arsitektur bangunan-bangunannya yaitu seperti yang terlihat

pada masjid Shah dan masjid Syaikh Lutf Allah. Unsur seni lainnya juga terlihat pada hasil

kerajinan tangan, keramik, permadani, karpet, pakaian, tembikar dan lain-lain. Seni lukis juga

sudah mulai muncul pada masa ini tepatnya pada saat sultan Tahmaps I berkuasa.

Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Syafawiyah


Kerajaan Safawiyah mengalami kemunduran pasca pemerintahan Abbas I. Enam sultan

setelahnya tidak mampu untuk mempertahankan kemajuan yang sudah diraih oleh pendahulunya.

Para Sultan juga lemah dalam memimpin dan memiliki sifat buruk yang juga mempengaruhi

jalannya pemerintahan. Sehingga kerajaan Safawiyah banyak mengalami kemunduran dan tidak

mengalami perkembangan.

Sepeninggal Abbas I, pemerintahan diambil alih oleh Safi Mirza (1628-1642), ia

merupakan cucu dari Abbas I. Pada masa pemerintahannya, ia dikenal sebagai sultan yang lemah

dan kejam terhadap para pembesar-pembesar kerajaan.[14] Ia juga tidak mampu

mempertahankan kemajuan-kemajuan yang berhasil dilakukan Abbas I. Selain itu, kota

Kandahar berhasil dikuasai oleh Dinasti Mughal dipimpin oleh Sultan Syah Jihan. Begitu pula

dengan Baghdad yang berhasil direbut oleh Turki Utsmani.[15]

Setelah Safi Mirza, pemerintahan dipegang oleh Abbas II (1642-1667). Ia adalah sultan

yang suka minum-minuman keras, suka menaruh curiga terhadap para pembesar dan

memperlakukannya dengan kejam.[16] Rakyatpun tidak begitu peduli dengan pemerintahan

Abbas II. Abbas II meninggal dikarenakan sakit. Selanjutnya dipimpin oleh Sulaiman (1667-

1694), ia memiliki kebiasaan buruk seperti Abbas II yang juga seorang pemabuk. Banyak terjadi

penindasan dan pemerasan. Terutama terhadap para ulama dan penganut paham Sunni serta

cenderung memaksakan paham Syiah.[17] Sehingga tidak ada perkembangan yang berarti pada

masa pemerintahannya.

Keadaan semakin bertambah buruk pada masa pemerintahan Husein ( 1694-1722). Ia

memberikan kebebasan kepada para ulama Syiah untuk memaksakan paham Syiah dan
pendapatnya terhadap penganut Sunni. Hal ini memicu kemarahan dari golongan Sunni di

Afghanistan, sehingga mereka melakukan pemberontakan. Bangsa Afghan melakukan

pemberontakkan pertama kali pada tahun 1709 dipimpin Mir Vays dan berhasil merebut wilayah

Qandahar. Disisi lain pemberontakan terjadi di Herat yang dilakukan oleh suku Ardabil

Afghanistan dan berhasil menduduki Marsyad.[18] Mir Vays diganti oleh Mir Mahmud dan ia

dapat mempersatukan pasukannya dan pasukan Ardabil. Sehingga ia mampu merebut kembali

wilayah-wilayah Afghan dari kekuasaan Safawiyah.

Syah Husein merasa terdesak karena ancaman-ancaman dari Mir Mahmud. Akhirnya, Syah

Husein mengakui kekuasaan dan mengangkat Mir Mahmud menjadi Gubernur di Qandahar

dengan gelar Husein Quli Khan (budak Husein).[19] Kekuasaan ini dimanfaatkan oleh Mir

Mahmud untuk memperluas wilayah. Ia berhasil merebut Kirman dan Isfahan serta kembali

memaksa Syah Husein untuk menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober 1722 M, Syah

Husein menyerah dan pada 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh

kemenangan.[20] Kemudian Mir Mahmud digantikan oleh Asyraf untuk menguasai Isfahan.

Pemerintahan selanjutnya dilanjutkan oleh salah seorang putera Husein bernama Tahmasp

II (1722-1732), ia mendapat dukungan penuh dari suku Qazar dari Rusia. Dengan demikian, ia

memproklamasikan dirinya sebagai penguasa yang sah dengan pusat pemerintahan di kota

Astarabad. Tahmasp II melakukan kerjasama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk

menaklukan bangsa Afghan yang berada di Isfahan pada tahun 1726 M. Pasukan Nadir Khan

berhasil merebut Isfahan pada tahun 1729 M. Asyraf terbunuh dalam peperangan itu. Dinasti

Syafawiyah kembali berkuasa.


Namun, Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan dan digantikan oleh Abbas III (1733-1736)

yang merupakan anak dari Nadir Khan. Anaknya masih sangat kecil, sehingga pada 8 Maret

1736, Nadir Khan mengangkat dirinya sendiri sebagai sultan. Pada masa pemerintahan Nadir

Khan, Dinasti Safawiyah berhasil ditaklukan oleh Dinasti Qazar. Maka berakhirlah kekuasaan

Dinasti Safawiyah di Persia.

Kedudukan Perempuan Di Masa Dinasti Safawi

Kehidupan perempuan di Persia pada umumnya di abad pertengahan tampaknya sama

dengan yang dialami oleh sebagian besar perempuan di belahan dunia lainnya. Peranan mereka

ditentukan oleh adat-istiadat, gaya hidup, dan minimnya keterlibatan mereka dalam ekonomi.

Terdapat empat hal yang menentukan kedudukan perempuan, yaitu: adat-istiadat dan hukum

yang mengatur perkawinan, khususnya yang membolehkan poligami,perseliran dan perceraian

sepihak oleh suami. Kedua, pemingitan bagi perempuan. Ketiga, hak peempuan untuk memiliki

kekayaan dan keempat, posisi perempuan dalam sistem kelas sosial.

Anda mungkin juga menyukai