ABAD XX
Disusun Oleh :
MUSTAKIM 19.1400.005
DAFTAR ISI......................................................................................................................3
BAB I.................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
A. Latar Belakang.......................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................5
TINJAUAN TEORI.........................................................................................................5
PENDAHULUAN
A. latar belakang
TINJAUN TEORI
Kahar Muzakkir (Partai Islam Indonesia) menunjukkan bahwa tidak ada permasalahan
bagi kaum tradisional terhadap perubahan teks Pancasila dari “Piagam Jakarta.” Feillard
menyimpulkan bahwa ketiga pemimpin muslim tersebut lebih bersusah-payah memikirkan
persatuan Indonesia yang tersebar di ribuan pulau dari pada mencari kemenangn syariat.
Dalam definisi sila-sila, satu-satunya konsep Islam yang dikutip adalah zakat,namun semua
sila sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Kelihatannya, pemimpin Islam waktu itu lebih
mementingkan pendekatan yang disebut “substansialis” ketimbang pendekatan “skripturalis”
atau literalis, artinya lebih mementingkan nilai-nilai keislaman, bukan bentuk luarnya saja.
Dengan demikian, Pancasila benar-benar tampak sebagai perpaduan antara nasionalisme dan
Islam.196 Keterlibatan NU, sebagai kaum tradisional, dalam perdebatankemerdekaan pada
tahun 1945 telah ditandai dengan kesiapan untuk berkompromi dengan nilai-nilai nasionalis
sekuler.
Misalnya, Wahid Hasyim menunjukkan fleksibilitas dan menerima untuk menggugurkan
“Piagam Jakarta.” Ketika wilayah berpenduduk Kristen telah menyampaikan pesan kepada
Moh. Hatta bahwa mereka tidak akan bergabung dengan sebuah republik yang menunjukkan
identitas Islam sebagai mana tercantum dalam Piagam Jakarta, maka empat pimpinan Islam
termasuk Wahid Hasyim dari NU menunjukkan kompromi tersebut. Bahkan Wahid Hasyim
mengusulkan kepada para pemimpin Islam untuk mengubah asas ketuhanan dengan ditambah
kata-kata Yang Maha Esa.197 Kesiapan berkompromi ini nampak sebagian didasarkan pada
pemahaman yang relatif liberal terhadap Piagam Jakarta. Wahid Hasyim dikabarkan telah
menjelaskan sikapnya dengan argumen ebagaimana berikut: pertama, kondisi saat itu sangat
membutuhkan persatuan untuk menghadapi Belanda yang berusaha kembali ke daerah
jajahan mereka. Kedua, dia telah menerima dengan pemahaman bahwa kewajiban mengikuti
syariat Islam bagi umat Islam akan mandapatkan tempatnya dalam penerapan yang jujur
terhadap pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk
agama dan mengamalkan menurut agamanya masing-masing. Dalam konteks ini, tampak
bahwa Wahid Hasyim memiliki penafsiran yang fleksibel terhadap Piagam Jakarta yang
kabur batasannya, dan bukan lebih kaku yang ditakuti beberapa kalangan akan
dipaksakannya Islam.
Akhirnya, ia juga memandang bahwa kelompok nasionalis “sudah tentu tidak akan
menjalankan hukum-hukum Islam, karena (kelompok) partai itu perlu netral pada agama,
yaitu tidak boleh mengambil satu agama yangtertentu buat dijadikan asas kumpulannya atau
asas pemerintahannya kelak.”209 Sebagaimana gurunya, A. Hasan, Natsir juga
mengkhawatirkan bergulirnya gagasan nasionalisme Soekarno menjadi suatu bentuk
‘ashabiyah baru. Gagasan itu, dalam pandangannya, dapat mengandung “fanatisme” yang
memutuskan tali ukhuwwah yang mengikat seluruh kaum Muslimin dari pelbagai bangsa.”
Bagi Natsir, gagasan nasionalisme harus mempunyai sejenis landasan teologis. Dengan kata
lain, nasionalisme harus didasarkan kepada niat yang sakral, ilahiah, dan melampaui melulu
yang material.