Anda di halaman 1dari 4

Nama: Mustakim

NIM: 19.1400.005

MK: Historiografi

Review Buku Historiografi Barat Oleh Wahyu Irana

ВАВ 7

AWAL RASIONALISME

SEJARAH

A. Mengenal Leopald Da Ranke 

Leopold von Ranke lahir pada 21 Desember 1795 M, di Wiche, Saxon wilayah Jerman Timur. Dia
masih keturunan dari para pendeta Lutheren dan ahli hukum. Setelah selesai studi sekolah menengah
Schulforta, ia masuk ke Universitas Leipzig, mengambil bidang teologi dan ilmu-ilmu dari dunia klasik
(Yunani-Romawi) dengan mengambil konsentrasi ilmu bahasa (Filologi), penerjemahan dan penguraian
teks-teks lama. Selesai kuliah, ia bekerja sebagai guru di Gymnasium Friedrichs di Frankfurt an der Oder,
selama tujuh tahun yaitu dari tahun 1818-1825 M. Minatnya terhadap sejarah semakin mendalam setelah
ia menjadi guru di Frankfurt. Pada masa itu, ia membuat keputusan untuk menumpukkan usaha
pengkajian sejarah dan meninggalkan bidang-bidang yang telah dipelajarinya dulu. Keputusannya itu
bukan semata-mata karena ia berminat, tetapi juga karena pengaruh dari penulis dan sejarawan lain,
terutama Niebuhr, Walter Scott, dan Herder. Minatnya juga dipengaruhi oleh unsur-unsur keagamaan. 

Abad ke-19 merupakan abad berkembangnya filsafat rasional. Periode ini sangat mengagungkan
peranan berpikir sebagai sumber falsafah ilmiah dengan mementingkan rasio atau akal-budi. Kondisi ini
sama seperti zaman Descartes, Spinoza, Leibuiz, Paul. Karena alasan itu, Ranke mencoba untuk
menyusun sistem berfilsafat dengan manusia yang sedang berpikir. Kemampuan manusia berfilsafat ini
dalam filsafat sejarah biasa disebut aliran sejarah ilmiah. Leopold von Ranke dikenal sebagai Bapak Ilmu
Sejarah Modern. Ia juga disebut sebagai Pelopor Mazhab Sejarah Ilmiah.

Pandangan tersebut bisa menjadi titik awal untuk mengetahui pola pokir Ranke dalam penulisan
sejarah. Pada awalnya, Ranke melihat penulisan sejarah abad ke-17 dan ke-18 memiliki subjektivitas
yang sangat menonjol dalam penulisan sejarah. Selain masalah subjektivitas, penulisan sejarah juga
menekankan nilai estetika. Terkait dengan gaya penulisan sejarah ini, Ranke tidak sependapat.
Sebaliknya, ia berpendapat bahwa sejarah bukanlah seni, dan karena itu, penulisan seni, khusunya karya
sastra, harus dibedakan dengan penulisan sejarah. Penulisan sejarah harus melalui penyelidikan secara
kritis terhadap sumber-sumber yang digunakan untuk mewujudkan kebenaran sejarah. Selain menekankan
kepentingan dokumen sebagai sumber sejarah, ia juga menekankan perlunya sejarawan bersikap kritis
terhadap jenis-jenis dokumen yang digunakan dalam penyelidikan. Konsep sejarahnya yang seperti itu
telah menyebabkan berlakunya pembentukan konsep sejarah yang dikenal sebagai sejarah-saintifik.
Sejarah-saintifik sama artinya dengan sejarah itu seratus persen objektif, dan bahwa kebenaran boleh
dibuktikan secara saintifik dan objektif.
Karena sikapnya yang kritis terhadap penulisan sejarah tersebut, ia dikenal sebagai Bapak Sejarah
Kritis Modern. 16 Bagi Ranke, tujuan utama mengkaji sejarah adalah mewujudkan peristiwa yang dikaji
itu seperti fakta aslinya. Dengan kata lain, sejarah yang ditulis itu harus sebagaimana peristiwa itu terjadi
dan, karena itu, harus berdasarkan sumber-sumber yang ada, sebagaimana yang telah berlaku (wei es
eigentlich gewe sen). Penulisan sejarah bukan untuk tujuan yang tinggi seperti mengadili masa lalu atau
kepentingan zaman yang akan datang. Ungkapan wei es eigentlich gewe sen tersebut dianggap sebagai
tonggak pensejarahan Ranke. 

Cara pandang dalam mengembangkan historiografi modern tersebut tidak terlepas dari pendahulunya:
Jean Mabilon. Mabilon membuat formulasi kritik eksternal-sebuah sumber untuk menentukan otentitas
sebuah sumber, yang dikembangkan lebih lanjut oleh Ranke menjadi kritik eksternal dan internal.
Terbukti, kritik yang dikemukakan oleh Ranke itu sangat berguna untuk menguji kredibilitas sebuah
sumber. Dengan kedua langkah kritik tersebut, seorang sejarawan mampu mempelajari sumber-sumber
sejarah dan mampu pula mengujinyals sehingga ia bisa menentukan keaslian atau kesahihan sebuah
sumber sejarah. Keaslian dan kesahihan inilah yang menjadi sumbangan terbesar Leopold von Ranke
untuk perkembangan ilmu sejarah.

Kontribusi Ranke lainnya adalah gagasannya tentang Seminar dan Quelllinkritik (kajian yang kritis
terhadap sumber-sumber sejarah. Kedua cara ini kemudian dijadikan sebagai kaidah dalam penelitian
sejarah. Seminar dan Quellinkritik merupakan bagian dari proses penelitian sejarah. Dengannya, seorang
peneliti diharapkan dapat menghasilkan karya sejarah yang mengandung peristiwa-peristiwa wei es
eigentlich gewesen (seperti yang sebenarnya berlaku).

B. Studi Kritis atas Karya-karya Leopald Da Ranke 

Meskipun pandangan Leopald von Ranke tersebut sangat bagus dan menarik semua kalangan, sebuah
karya atau pemikirin manusia tidak lepas dari ketidaksempurnaan dan kekurangan. Buktinya, dalam
perkembangan selanjutnya, pemikiran historiografi Leopald von Ranke ini menuai kritik. Menjelanng
tahun 1930-an, pengaruh pemikiran Leopald von Ranke sudah mulai luntur. Beberapa sejarawan
menyatakan kesangsiannya terhadap penulisan sejarah yang tepat, sebagaimana konsep apa yang
diberlakukan Ranke. Bagi mereka, sejarah yang tepat atau objektif, yang terhindar dari subjektivitas itu,
mustahil untuk dicapai. Apalagi, Ranke gagal memahami hakikat tersebut. Sebenarnya, banyak ahli yang
mengakui bahwa kaidah penyelidikannya sangat mengagumkan; terutama jika ditinjau dari segi amalan
penyelidikan sejarah yang dilakukannya pada abad ke-19 dan sebelumnya di Eropa. Tetapi, teknik
penulisannya atau eksplanasinya, seperti cara menulis catatan kaki, dan penulisan bibliografi masih belum
teratur. Meskipun kaidah kritisnya masih dipakai sampai sekarang, namun aliran pensejarahannya yang
tertumpu pada politik dan diplomasi itu dianggap sebagai sesuatu yang tak relevan lagi.  Mengacu pada
pandangan Von Ranke itu, H. E. Barnes, merumuskan empat kelemahan atau kekurangan Ranke, sebagai
berikut: 

1) Kegagalan menggunakan keseluruhan sumber yang boleh didapati bagi sesuatu kajiannya.


2) Terlalu menekankan aspek politik dan peran seorang tokoh besar.
3) Ketaatan keagamaan yang menyebabkannya ia lebih memihak kepada teori sejarahnya yang
berbentuk ketuhanan.
4) Terlalu bergairah untuk menuliskan sejarah Luther, keluarga Hohenzollern dari Prussia.
Pada tahun 1834 M, ia menerbitkan sebuah karya yang berjudul Die römischen Päpste, ihre kirche und
ihr Staat im sechzehnten und siebzehnten Jahrhundert (History of the Popes, their Church and State). Ia
tidak memakai sumber arsip-arsip di Vatikan karena sebagai seorang Protestan, ia dilarang menggunakan
arsip-arsip tersebut. la lebih tertarik untuk melakukan korespondensi dan tulisan-tulisan pribadi mengenai
Vatikan. Ia menggunakan kembali metode kritik sumber. Uniknya, dengan sangat baik, ia mampu
menjelaskan sejarah kepausan tersebut. Pihak Gereja Vatikan menganggap bukunya tersebut sebagai
buku yang antiKatholik, sementara orang-orang Protestan menganggapnya terlalu netral. Tetapi, buku ini
mendapat apresiasi positif dari berbagai kalangan. Sejarawan dunia langsung mengakui kecanggihan
metode Ranke dan ia mendapat banyak pujian karenanya. Seorang ahli sejarah abad ke-16 dari Inggris,
Lord Acton, memberikan apresiasi. Menurutnya, karya Ranke ini merupakan karya yang paling seimbang
dalam penulisan sejarah gereja abad ke-16. 

Leopold von Ranke pensiun sebagai pengajar pada tahun 1871 M. Tetapi, pada masa tuanya, ia masih
tetap saja menulis dan berkarya. Banyak buku yang ia hasilkan setelah pensiun. Salah satu buku yang
cukup fenomenal berjudul Weltgeschichte - Die Römische Republik und ihre Weltherrschaft (World
history: the Roman Republic and its world rule); yang terbit pada tahun 1886 M. Buku yang ia tulis sejak
tahun 1880 M ini mengenai sejarah dunia yang ia mulai dari zaman Mesir Kuno dan Israel. Tetapi, hingga
kematiannya pada tahun 1886 M, ia hanya sanggup sampai abad ke-12. Akhirnya, buku ini dilanjutkan
oleh mahasiswanya, Alfred Dove, dengan menggunakan catatan-catatan Ranke sehingga mampu
menyentuh tahun 1453 M-akhir penulisan sejarah dunia dalam buku tersebut. Meskipun karena
universalitas sejarah Ranke dituntut untuk menulis zaman prasejarah, tetapi, Ranke meminggirkannya
karena ketiadaan bukti dan fakta. 

Metode yang digunakan oleh Ranke ialah kritik sumber; sebagaimana prinsip yang ia gunakan, yaitu
wie es eigentlich gewesen (sejarah yang sesungguhnya terjadi). la sangat membenci buku-buku teks yang
dianggapnya hanya merupakan kisah belaka dan pemaparan fakta tunggal. Sebagai sejarawan, ia sangat
berhati-hati dalam pemilihan sumber. Ia akan membuang jauh-jauh segala pemikiran subyektifnya. Ia
juga memperkenalkan metode seminar sebagai metode pengajaran sejarah yang efektif. 

Ranke, dalam penulisan buku-buku sejarahnya, berusaha untuk mencari sumber dari berbagai
golongan yang terlibat dalam objek peristiwa sejarah yang ia tulis. Dalam buku Die römischen Päpste in
den letzen vier Jahrhunderten (The Roman Popes in the Last Four Centuries), ia tidak mengambil sumber
dari arsip Vatikan. Lalu, ia mengambil dari surat-surat pribadi, jurnal, dan buku-buku yang sebelumnya
menuliskan mengenai Vatikan. Sumber-sumber tersebut ia benturkan dengan sumber lainnya dari
golongan Protestan. Dengan begitu, buku ini mendapat apreisasi yang positif dari berbagai kalangan akan
kenetralan cara berpikir dan gaya tulisannya. Kenetralan atau ketidak-berpihakan sejarawan menjadi
alasan sebuah penulisan akan sebuah peristiwa sejarah itu dianggap “benar”. Prinsip netralitas yang
dianut Ranke ini menjadi semangat para sejarawan untuk mengungkap sebuah kebenaran peristiwa.
Dengan begitu, prinsip sejarah sebagai "pengadilan masa lalu, dan dipelajari pada masa kini untuk
kepentingan di masa depan" dapat berjalan dengan baik. 

Dalam pembahasan tentang dialektika Ranke terhadap filsafat sejarah, sebaiknya kita mengetahui
filsafatnya tentang Yang Absolut atau Roh Mutlak. Tentang masalah ini, Ranke mengatakan bahwa Yang
Absolut adalah totalitas: seluruh kenyataan. Seluruh kenyataan ini dipahami Ranke sebagai "proses
menjadi”. Namun, Ranke tidak hanya menggambarkan suatu proses, tetapi menggambarkan apa yang
menjadi tujuan dalam proses itu. Ranke memahami Yang Absolut sebagai subjek, dan objeknya adalah
dirinya sendiri. Ranke menyatakan bahwa Yang Absolut merupakan subjek yang memikirkan dirinya,
atau pikiran yang memikirkan dirinya. Jelasnya, Ranke mengartikan Yang Absolut sebagai Roh Mutlak. 

Ranke mengatakan bahwa segala sesuatu atau fenomena dipahami sebagai aktivitas Roh karena segala
sesuatu ada di dalam Roh. Dunia Roh lah yang menjadikan sejarah universal berada di dalamnya. Secara
umum, kita mengetahui bahwa dunia ini tidak hanya mencakup alam fisik, tapi juga alam psikis. Tetapi,
dunia Roh memiliki peran yang lebih besar dalam metode perkembangannya, yang merupakan salah satu
tujuan substansial manusia. Inilah yang merupakan kunci penting pandangan Ranke tentang sejarah, yang
pandangannya berkaitan dengan Roh. 

Ranke itu menjelaskan bahwa proses dialektika memiliki tiga fase: tesis, antitesis, dan sintesis.
Pemikiran Ranke yang senantiasa berdialektika terhadap realitas dan memandang adanya "realitas
mutlak" atau Roh Mutlak, atau idealisme mutlak dalam kehidupan, sangat mempengaruhi cara
pandangnya terhadap sejarah secara global. Hal ini terbukti saat dialektikanya mampu memasukkan
pertentangan dalam sejarah sehingga dapat mengalahkan dalil-dalil yang bersifat statis. Bahkan,
pembuktian ilmiah yang dihasilkan pun terbukti. Karena alasan itu, filsafat sejarah layak untuk
ditempatkan sebagai bagian yang utuh dari dunia kefilsafatan. 

Dalam pandangan Ranke, sejarah merupakan kondisi perubahan atas realitas yang terjadi. Baginya,
sejarah menjadi hasil dari dialektika menuju kondisi yang sepenuhnya rasional. Menurutnya, dialektika
merupakan proses restorasi yang perkembangannya berasal dari kesadaran diri, yang akhirnya mencapai
kesatuan dan kebebasan yang berasal dari pengetahuan diri yang sempurna. Dialektika merupakan
aktvitas peningkatan kesadaran diri atas pikiran yang menempatkan objek-objek yang tampak independen
ke arah rasional. Pemikiran ini kemudian diadopsi oleh Marx menjadi bentuk yang lain, yakni
“alienasi". . 

Pada abad kedua puluh, ajaran Ranke mulai menuai kritik karena pemberhalaannya pada historiografi
yang bertemakan tokoh besar dan politik. Sebab, tokoh besar dan politik dinilai sebagai penyebab sejarah
menjadi pengabdi penguasa, dan juga bisa menjadi penyebab sejarah kehilangan kisah tentang kehidupan
sehari-hari, orang-orang "kecil”, budaya populer, peran perempuan, dan berbagai segi kehidupan lain
masa lalu di luar politik. Kritikan lain, Ranke dan para penerusnya cenderung menganggap bahwa
dokumen tertulis merupakan satu-satunya sumber terpercaya bagi penelitian sejarah. Akibatnya, muncul
anggapan bahwa "10 written document no history". Padahal, tidak semua orang memiliki tradisi untuk
menyimpan suatu “kejadian” dalam tulisan-umumnya hanya orang-orang dan peristiwa-peristiwa besar
yang "diarsipkan" tetapi juga melalui ingatan (saat ini juga foto, rekaman suara, video). 

Historisisme, yang menganggap sejarah menjadi satu-satunya cara mempelajari urusan manusia, juga
banyak menuai kritik. Sebab, klaimnya seringkali tidak sesuai dengan realitas yang terjadi. Sejarah tidak
bisa menjelaskan segala-galanya. Misalnya, kita tidak bisa menulis sejarah asal mula jantung atau sejarah
asal mula kekerabatan. Kita tidak bisa menulis sejarah tentang asal mula sesuatu yang sudah ada sejak
entah kapan. Terlepas dari kritikan itu, Ranke telah meninggalkan sesuatu yang tidak bisa dibantah.
Dialah peletak fondasi sejarah kritis hingga sejarah menjadi disiplin ilmu yang mandiri, dan tidak sekadar
pengetahuan antiquarian yang berada di bawah disiplin filologi seperti sebelumnya. Ranke pula yang
memelopori kritik sumber yang tetap dipakai dalam metodologi sejarah hingga saat ini. 

Anda mungkin juga menyukai