Dinasti yang
berkuasa kurang lebih selama dua abad, dari 1501 hingga 1722 ini menunjukkan kemajuan di berbagai sektor politik, ekonomi, ilmu
pengetahuan (filsafat dan sains) dan arsitektur bangunan dan seni.
Pada puncak kejayaannya, wilayah Safawiyah meliputi Iran, Azerbaijan, Armenia, sebagian besar Irak, Georgia, Afghanistan, Kaukasus, dan
sebagian Pakistan, Turkmenistan, dan Turki. Safawiyah merupakan salah satu negeri mesiu Islam selain Ottoman dan Mughal.
Meskipun jatuh pada 1736, dinasti ini telah meninggalkan jejak-jejak peninggalan yang masih bertahan hingga kini. Berikut ini beberapa
peninggalan-peninggalan Kerajaan Safawi yang terdapat di Isfahan yang pernah didaulat sebagai ibu kota dinasti ini:
Dibangun antara 1598- sampai 1629, Maidan Iman merupakan salah satu lapangan terbesar di dunia yang terletak di pusat Kota Isfahan, Iran.
Area ini juga dikelilingi oleh bangunan Dinasti Safawi lainnya seperti Masjid Shah di sisi selatan, Masjid Syekh Lutfallah di sisi timur, Istana
Ali Qafu di barat.
Bangunan yang sekarang sudah ditetapkan UNESCO sebagai situs sejarah penting dalam daftar warisan dunia ini memiliki pintu masuk utama
yang terkenal dengan sebutan Bazar Isfahan di bagian utara. Bazar Isfahan adalah pasar yang menjual macam-macam cendera mata khas
Isfahan, seperti mutiara istana, seni kaligrafi, dan lukisan.
Jembatan Khaju
Jembatan ini dibangun oleh Shah Abbas II yang memiliki fungsi ganda sebagai bendungan untuk mengurai taman di sepanjang Sungai
Zayandeh. Jembatan yang melintang di atas sungai Zayandeh ini dibangun pada abad ke-17 M dan memiliki lorong beratap yang dihiasai dengan
keramik warna-warni.
Jembatan Khaju memiliki luas 23 meter persegi dengan panjang 105 meter dan lebar 14 meter. Pada prasasti yang terdapat di jembatan tersebut
terlihat bahwa jembatan itu pernah diperbaiki pada 1873.
Gedung yang dibangun Dinasti Safawiyah pada masa Shah Husein 1706 ini diperuntukkan untuk sarana pendidikan. Letaknya di jalan Chahar-
Bagh, salah satu jalan utama di Kota Isfahan. Jika dilihat dari luar bangunan ini hanya tampak pintu gerbang yang terbuat dari besi dengan tinggi
menjulang dan besar. Sementara, dinding kuba dan sebagian besar dinding terbuat dari batu bata dan lapisan keramik bermotif bunga dengan
dominasi warna biru dan kuning terang.
Shah Husein memerintahkan pembangunan sekolah ini sebagai pusat pendidikan agama dan ilmu pengetahuan di Isfahan. Sehingga, bangunan
ini dikenal sebagai kawah candradimuka bagi orang-orang yang belajar ilmu agama pada zaman tersebut. (c62, ed: nashih nashrullah)
Kebangkitan di masjid Persia dan bangunan kubah terjadi pada masa Dinasti Safawi, ketika Shah Abbas, pada 1598 memulai rekonstruksi
Isfahan, dengan Lapangan Naqsh-e Jahan sebagai pusat dari ibukota barunya. Ciri khas kubah Persia, yang memisahkan mereka dari kubah-
kubah yang dibuat di dunia Kristen atau kekaisaran Ottoman dan Mughal, adalah ubin warna-warni yang menutupi bagian luar kubah mereka
seperti interior.
Kubah-kubah ini berjumlah puluhan di Isfahan, dan bentuknya berwarna biru akan mendominasi cakrawala kota. Memantulkan cahaya matahari,
kubah-kubah ini nampak seperti permata pirus yang berkilauan dan bisa dilihat dari jarak jauh oleh para pelancong yang mengikuti jalan Sutera
melewati Persia. Warna-warna yang disukai Persia adalah pola keemasan, putih dan pirus dengan latar belakang biru gelap
Dinasti Safawiyah di Persia berkuasa antara tahun 1501-1722 M. Dinasti ini merupakan salah satu kerajaan Islam yang cukup besar di Persia.
Awal mulanya Kerajaan ini berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berada di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Nama Safawiyah dinisbahkan
kepada nama salah seorang guru Sufi di Ardabil bernama Syekh Ishak Safiuddin. Menurut riwayat, ia adalah keturunan dari Musa al-Khadim,
imam ketujuh Syi’ah Itsna ‘Asyariyah.
Tarekat ini berdiri bersamaan dengan berdirinya Dinasti Utsmani.[1] Gerakan tarekat ini memiliki banyak pengikut yang sangat teguh
memegang ajaran agama.
Gerakan ini mengubah model gerakannya dari gerakan keagamaan menuju gerakan politik. Ketika sudah menjadi kekuatan yang besar, Dinasti
Safawiyah beberapa kali berhadapan dengan Dinasti Utsmani. Dinasti Safawiyah menyatakan Syi’ah sebagai madzhab negara, maka Dinasti
Safawiyah dikenal sebagai peletak dasar terbentuknya negara Iran.
Dinasti Safawiyah mencapai puncak kejayaan pada masa Abbas I. Namun, kejayaan itu tidak mampu dipertahankann oleh para penerusnya. Hal
ini dikarenakan sultan-sultan yang berkuasa lemah. Sehingga memicu terjadinya pemberontakan dan permasalahan yang berkepanjangan.
Sejarah Berdirinya Dinasti Safawiyah
Cikal bakal berdirinya Dinasti Safawiyah berawal dari gerakan tarekat yang diberi nama Safawiyah. Gerakan ini muncul di Persia, tepatnya di
Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Wilayah ini banyak ditinggali oleh suku Kurdi dan Armen.[2] Nama Safawiyah dinisbahkan kepada nama
salah seorang guru Sufi di Ardabil bernama Syekh Ishak Safiuddin atau Shafi Ad-Din. Menurut riwayat, ia adalah keturunan dari Musa al-
Khadim, imam ketujuh Syi’ah Itsna ‘Asyariyah.[3] Shafi Ad-Din berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan
hidupnya. Gurunya bernama Syaikh Tajuddin Ibrahim Zahidi (1216-1301 M) yang dikenal dengan julukan Zahid Al-Gilani. Dikarenakan
prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, Shafi Ad-Din diambil menantu oleh gurunya tersebut.[4]
Shafi Ad-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat pada tahun 1301 M. Pengikut
tarekat ini sangatlah teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah bertujuan memerangi orang-orang ingkar,
kemudian memerangi golongan yang mereka sebut “Ahli Bid’ah”.[5] Tarekat yang dipimpin Shafi Ad-Din ini semakin penting terutama setelah
mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan kenamaan yang besar pengaruhnya di Persia,
Syria dan Anatolia.[6] Di negeri-negeri di luar Ardabi, Shafi Ad-Din menempatkan seorang wakil untuk memimpin murid-muridnya. Wakil
tersebut diberi gelar khalifah dan nantinya akan menjadi komandan perang.[7]
Kemudian murid-murid tarekat mendukung tarekat Safawiyah untuk menghimpun kekuatan dengan menjadi tentara dan sangat fanatik kepada
keyakinannya. Bahkan, mereka juga menentang orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Tarekat Safawiyah banyak diterima oleh
masyarakat sehingga tarekat ini mengubah model gerakan spiritual keagamaan menjadi gerakan politik. Hal ini mulai tampak ketika gerakan
tarekat dipimpin oleh Junaid 1447-1460 M. Junaid memperluas kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini mendapatkan
hambatan-hambatan. Salah satunya dari penguasa Qara Qayunlu dan Aq- Qayunlu yang merupakan dua suku terkuat Turki. Sehingga terjadi
konflik antara Junaid dengan penguasa Turki.
Keterlibatan tarekat Safawiyah dalam perpolitikan yang semakin besar mengantarkan tarekat Safawiyah berhadapan dengan kekuatan besar yang
berkuasa saat itu yaitu Turki Utsmani. Pada saat Junaid memiliki konflik dengan Qara Qayunlu, ia mengalami kekalahan dan diasingkan ke
suatu tempat.[8] Di tempat itu Junaid mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr yang juga bangsa Turki. Junaid tinggal di istana Uzun
Hasan yang pada saat itu menguasai sebagian Persia. Selama dalam pengasingan, Junaid tidak tinggal diam. Ia mempersunting salah seorang
saudara perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M, Junaid mencoba merebut Ardabil tetapi gagal. Lalu pada tahun 1460 M Junaid mencoba
merebut kota Sircassia tetapi pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara Sirwan. Junaid pun pada akhirnya terbunuh dalam pertempuran
tersebut.[9]
Tampuk kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya diberikan kepada putera Junaid, Haidar, tetapi Haidar masih sangat kecil pada waktu itu.
Setelah menunggu beberapa tahun, Haidar sudah cukup dewasa dan mempersunting salah satu putri Uzun Hasan. Dari perkawinan tersebut
lahirlah Ismail yang di kemudian hari menjadi pendiri dinasti Safawi di Persia.[10]
Perkembangan dan Kemajuan Dinasti Safawiyah
Pada pemerintahan Abbas I merupakan puncak kejayaan Dinasti Safawiyah. Secara politik Abbas I dapat mengatasi berbagai kemelut di dalam
negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang dulu pernah direbut dinasti lain pada
pemerintahan sultan-sultan sebelumnya. Kemajuan lain yang dicapai Dinasti Safawiyah antara lain:
1. Bidang Ekonomi
Setelah Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Abbas, maka jalur dagang yang
biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan Perancis sepenuhnya berhasil dikuasai oleh dinasti ini.
2. Bidang Pendidikan
Pada Dinasti Safawiyah muncul banyak sekali ilmuwan-ilmuwan terkenal diantaranya Baha’ al-Dîn al-‘Amili (generalis ilmu pengetahuan), Sadr
al-Dîn al-Syîrâzî (filsuf) dan Muhammad Baqir ibn Muhammad Damad (filsuf, ahli sejarah, teolog, yang pernah mengadakan observasi atas
kehidupan lebah).
Sepeninggal Abbas I, pemerintahan diambil alih oleh Safi Mirza (1628-1642), ia merupakan cucu dari Abbas I. Pada masa pemerintahannya, ia
dikenal sebagai sultan yang lemah dan kejam terhadap para pembesar-pembesar kerajaan.[14] Ia juga tidak mampu mempertahankan kemajuan-
kemajuan yang berhasil dilakukan Abbas I. Selain itu, kota Kandahar berhasil dikuasai oleh Dinasti Mughal dipimpin oleh Sultan Syah Jihan.
Begitu pula dengan Baghdad yang berhasil direbut oleh Turki Utsmani.[15]
Setelah Safi Mirza, pemerintahan dipegang oleh Abbas II (1642-1667). Ia adalah sultan yang suka minum-minuman keras, suka menaruh curiga
terhadap para pembesar dan memperlakukannya dengan kejam.[16] Rakyatpun tidak begitu peduli dengan pemerintahan Abbas II. Abbas II
meninggal dikarenakan sakit. Selanjutnya dipimpin oleh Sulaiman (1667-1694), ia memiliki kebiasaan buruk seperti Abbas II yang juga seorang
pemabuk. Banyak terjadi penindasan dan pemerasan. Terutama terhadap para ulama dan penganut paham Sunni serta cenderung memaksakan
paham Syiah.[17] Sehingga tidak ada perkembangan yang berarti pada masa pemerintahannya.
Keadaan semakin bertambah buruk pada masa pemerintahan Husein ( 1694-1722). Ia memberikan kebebasan kepada para ulama Syiah untuk
memaksakan paham Syiah dan pendapatnya terhadap penganut Sunni. Hal ini memicu kemarahan dari golongan Sunni di Afghanistan, sehingga
mereka melakukan pemberontakan. Bangsa Afghan melakukan pemberontakkan pertama kali pada tahun 1709 dipimpin Mir Vays dan berhasil
merebut wilayah Qandahar. Disisi lain pemberontakan terjadi di Herat yang dilakukan oleh suku Ardabil Afghanistan dan berhasil menduduki
Marsyad.[18] Mir Vays diganti oleh Mir Mahmud dan ia dapat mempersatukan pasukannya dan pasukan Ardabil. Sehingga ia mampu merebut
kembali wilayah-wilayah Afghan dari kekuasaan Safawiyah.
Syah Husein merasa terdesak karena ancaman-ancaman dari Mir Mahmud. Akhirnya, Syah Husein mengakui kekuasaan dan mengangkat Mir
Mahmud menjadi Gubernur di Qandahar dengan gelar Husein Quli Khan (budak Husein).[19] Kekuasaan ini dimanfaatkan oleh Mir Mahmud
untuk memperluas wilayah. Ia berhasil merebut Kirman dan Isfahan serta kembali memaksa Syah Husein untuk menyerah tanpa syarat. Pada
tanggal 12 Oktober 1722 M, Syah Husein menyerah dan pada 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan.
[20] Kemudian Mir Mahmud digantikan oleh Asyraf untuk menguasai Isfahan.
Pemerintahan selanjutnya dilanjutkan oleh salah seorang putera Husein bernama Tahmasp II (1722-1732), ia mendapat dukungan penuh dari
suku Qazar dari Rusia. Dengan demikian, ia memproklamasikan dirinya sebagai penguasa yang sah dengan pusat pemerintahan di kota
Astarabad. Tahmasp II melakukan kerjasama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk menaklukan bangsa Afghan yang berada di Isfahan
pada tahun 1726 M. Pasukan Nadir Khan berhasil merebut Isfahan pada tahun 1729 M. Asyraf terbunuh dalam peperangan itu. Dinasti
Syafawiyah kembali berkuasa.
Namun, Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan dan digantikan oleh Abbas III (1733-1736) yang merupakan anak dari Nadir Khan. Anaknya masih
sangat kecil, sehingga pada 8 Maret 1736, Nadir Khan mengangkat dirinya sendiri sebagai sultan. Pada masa pemerintahan Nadir Khan, Dinasti
Safawiyah berhasil ditaklukan oleh Dinasti Qazar. Maka berakhirlah kekuasaan Dinasti Safawiyah di Persia