D
I
S
U
S
U
N
OLEH : ALYA PUSPITASARI
XII IIS/IPS
Puji syukur diucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah yang
berjudul “perkembangan islam dikalimantan dan maluku” ini dapat tersusun sampai dengan
selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Penulis sangat
berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
KATA PENGANTAR………………………………………………………….…i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………...…ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………...1
1.1 Latar belakang maluku...................................................................................1
1.2 Latar belakang kalimantan……………………………………………........4
Tujuan……………………………………………………………………………5
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………….……..6
2.1 Perkembngan islam dimaluku………………………………………….......6
2.2 Perkembangan islam dikalimantan..............……………………………....11
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Islam masuk ke nusantara pada abad ke-7, walaupun ada yang
mengatakan masuknya agama islam ke Indonesia pada abad ke-12. Kebanyakan mereka yang
membawa islam masuk ke Indonesia adalah para pedagang yang sebagian besar tertarik pada
kekayaan rempah-rempah yang dimiliki Indonesia dikala itu, hingga para kolonial pun masuk
ke Indonesia untuk menguasai negri yang subur ini sebagai tempat jajahan mereka. Salah
satu daerah yang memiliki komoditi rempah-rempah terbesar adalah Maluku.1 Awal
kedatangan Islam di Maluku khususnya Ternate, diperkirakan sejak awal berdirinya Ternate
(1257) masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang
telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama
bernuansa Islam seperti Baab Masyhur, pendiri kerajaan Ternate, namun kepastian mereka
maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan
bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad ke 15. Kerajaan
Ternate di Kepulauan Maluku Utara memeluk Islam lebih awal setelah kerajaan Pasei dan
Malaka, karena di wilayah tersebut banyak tumbuh rempah seperti cengkeh dan pala. Kedua
komoditi itu telah memikat para pedagang asal Arab untuk berpompetisi dalam arus
perdagangan bersama dengan pedagang asal India dan China. Para pedagang asal Arab pada
abad pertengahan hijriyah telah membawa Islam ke Ternate, walaupun kerajaan memeluk
Islam baru pada pertengahan abad ke 15. Para pedagang tentu saja memberikan kontribusi
cukup signifikan dalam pengembangan ajaran Islam di tengah masyarakat. Para pedagang
muslim seperti biasanya menjalankan ibadahnya dimanapun mereka berada, yang pada
dasarnya menarik minat mitra dagangnya untuk berdialog dan selanjutnya dapat meyakini
serta memeluk Islam. Ternate juga dikenal sebagai pusat penyebaran Islam di Indonesia.
Setelah Samudera Pasei, Ternate adalah daerah pertama yang mengenal Islam dan
menjadikan agama itu sebagai unsur penting dalam menata kenegaraan. Sejak diterimanya
agama Islam di kerajaan Ternate pada abad ke 15 oleh Kolano Kaicil Marhum (1456-1486),
maka Islam dianut semua lapisan masyarakat, bahkan diserap kedalam kelembagaan
kerajaan. Kerajaan Ternate dapat dipandang sebagai kerajaan Islam pertama dibagian Timur
kepulauan Indonesia.Pranata-pranata Islam dipadukan dengan lembaga-lembaga adat dan
tradisi rakyat Ternate. Adopsi paling mendasar atas institusi Islam adalah penggantian
predian Koloni (raja) dengan Sultan. Tokoh yang harus disebut karena jasanya
mentransformasikan Islam ke dalam kelembagaan kerajaan adalah Zainal Abidin, raja
Ternate pertama yang mengganti predikat Kolano dengan Sultan. Corak kebudayaan dalam
sejarah secara umum di Indonesia dipengaruhi oleh tiga sumber kebudayaan, yaitu
kebudayaan Hindu, Islam dan Eropa. Kecuali masyarakat Jawa, Sumatera dan Bali,
masyarakat Maluku Utara secara relatif tidak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu. Pengaruh
Islam dan Kristen sangat bermakna mengingat masyarakat Maluku Utara pernah mengalami
kedatangan orang-orang Arab, Gujarat, dan Eropa. Pengaruh kebudayaan Islam ditandai
dengan bentuk Negara yang berbeda di pesisir yang mula-mula merupakan kota-kota
pelabuhan, dengan perkembangnya perdagangan rempah-rempah di laut-laut nusantara
menyebabkan timbulnya suatu lapisan pedagang yang makmur dari aristokrasi yang kuat.3
Pada abad ke 14 Ternate telah menjadi salah satu pusat perhatian bagi perdagangan
internasional di jalur pelayaran Indonesia bagian Timur. Faktor utama daya tarik Maluku dan
Ternate bagi para pedagang antar bangsa adalah rempah-rempah, sehingga daerah kepulauan
Maluku orang-orang Barat diberi julukan “The spice Island” (kepulauan rempahrempah).4
Kedatangan orang-orang Eropa pertama di Maluku pada abad ke15 sering dipandang sebagai
masa paling penting dalam sejarah kawasan ini. Pandangan ini sangat beralasan karena
kedatangan orang-orang Eropa, Portugis dan Belanda khususnya, memiliki dampak yang
sangat besar terhadap Indonesia secara keseluruhan, juga terhadap kerajaan Ternate.
Datangnya bangsa Portugis membawa banyak perubahan dalam pemerintahan kesultanan dan
masyarakat Kerajaan Ternate. Rentang waktu yang cukup lama membawa pengaruh yang
sangat luas disemua aspek kehidupan mereka. Ini bisa dilihat dari beberapa peninggalan yang
berwujud maupun yang tidak berwujud, diantaranya peninggalan yang berupa benteng-
benteng yang tersebar di Kota Ternate. Belum lagi yang peninggalan non fisiknya, yaitu
berupa bahasa, kesenian, kuliner dan sebagainya. Ternate pada masa itu merupakan Negara
bahari yang bercirikan kesultanan, meninggalkan banyak hal menarik menyangkut tata cara
dan kehidupan sosial yang terjadi dalam kesultanan Ternate. Dalam laporan yang ditulis oleh
Antonio Pigafeta dan Galvao selama di Ternate, telah mengulas tuntas secara deskriptif
tentang kehidupan masyarakat Ternate maupun kehidupan yang terjadi di, 5 kerajaan
Ternate. Mereka banyak menjelaskan tentang gaya hidup para sultan yang pernah
memerintah kerajaan Ternate pada abad ke 14-15. Gaya hidup yang serba mewah pada masa
itu, mulai dari kostum, pesta dan perlombaan serta ketangkasan sampai kepada produk
makanan khas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bangsawan keraton.
Hal yang menarik untuk ditelaah bersama bahwa kesultanan Ternate pada masa ke masa
telah dipimpin sebanyak 48 orang sultan dengan gaya dan karakteristik masing-masing. Dari
perjalanan sejarah kesultanan Ternate dari abad ke 14 orang-orang Cina telah masuk untuk
kontak dagang, walaupun kemudian diganti oleh orang-orang Jawa, Sumatera, Makkasar, dan
Tagalok, maka sejak itu pula Majapahit telah menjadi bagian penting dari perdagangan
rempah-rempah dari Maluku pada umumnya dan khususnya di Ternate. Dari sistem
perdagangan yang telah terbuka tentunya banyak membawa perubahan penting dalam sistem
pemerintahan kesultanan Ternate. Birokrasi mulai diterapkan, termasuk perubahan penting
dalam bidang ekonomi dan politik. Sejarah kesultanan Ternate memberikan gambaran sistem
kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat Maluku Utara. Sebagaimana diketahui
bahwa Maluku Utara yang dikenal masyarakat secara umum telah mengalami perkembangan
melalui proses sejarah sehingga menampakkan wujud yang perlu dikaji. Melalui proses 6
sejarah Maluku Utara telah menunjukkan bagaimana sistem kemasyarakatan dengan struktur
sosial, ekonomi, budaya dan politiknya, tumbuh berubah-ubah dan mencapai tingkat
perkembangan sesuai zamannya.5 Secara politis wilayah Maluku Utara ketika masih berada
dalam struktur pemerintahan kerajaan (kesultanan) terbagi dalam tiga kerajaan. Ketiga
kerajaan itu mempunyai hubungan formal (resmi) dan tertulis dengan VOC yang
berkepentingan mengamankan monopoli rempahrempahnya.6 Ketiga kerajaan itu adalah
Ternate, Tidore dan Bacan, yang masing-masing berpusat di pulau-pulau kecil dengan
jangkauan kekuasaan formal mencakup seluruh Maluku Utara sampai Irian Barat dengan
bagianbagian tertentu dari pesisir Sulawesi Timur.7 Berlandaskan konsep sejarah yang
memotret perkembangan masyarakat masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang
sebagai proses hubungan yang berkesinambungan, maka dalam studi mengenai kesultanan
Ternate dipusatkan pada unsur-unsur yang mendukung perkembangan dan faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya perubahan.Dilihat dari status sosial, maka pelapisan masyarakat di
Kesultanan Ternate terdiri atas tiga tingkatan yaitu golongan bangsawan yang terdiri dari
keluarga sultan dan pembesar-pembesar lainnya, kemudian tingkatan kedua adalah rakyat
biasa dan mereka disebut bala atau anak bala. Mereka yang menduduki tingkatan sosial
terendah adalah para hamba sahaya. Dari segi ekonomi, kesultanan Ternate sangat
mengandalkan dan bergantung pada arus perdagangan internasional di Asia Tenggara.
Kesultanan Ternate adalah rezim yang sangat mengandalkan warganya yang tersebar di
banyak pulau dan sangat dibutuhkan partisipasinya untuk ekspedisi militer. Sementara sistem
ekonomi rakyat, selain mengelola sumbersumber alam, tanah juga merupakan salah satu
sumber ekonomi rakyat.9 Penduduk Maluku Utara sejak lama dikenal sebagai petani dan
nelayan. Untuk pemenuhan kebutuhan, mereka menjual hasil-hasil tani dan hasil nelayan
kepada orang-orang Eropa dan orang Timur asing, seperti orang Cina dan orang Arab. Dalam
perjalanan sejarah hingga memasuki periode 1599 sampai tahun 1606 adalah periode yang
sangat penting dalam sejarah Ternate. Selama masa itu Ternate harus menghadapi Portugis
dan Spanyol tetapi harus menghadapi Inggris dan Belanda. Beberapa kebijakan politik dan
ekonomi itu meliputi eksterpasi10, Hongi-tochten. 11 Monopoli perdagangan cengkeh
menutup pelabuhan bagi kapalkapal yang berbendera asing, membatasi kekuasaan para elite
lokal, khususnya yang memerintah dan untuk seterusnya disebut penguasa pribumi,
penanaman paksa dan pengerahan wajib cengkeh, larangan dan pembatasan perdagangan
asing. Untuk mewujudkan tujuan itu maka penguasaan daerah secara politis dan ekonomi
menjadi sangat penting. VOC menerapkan berbagai kebijakan politik dan ekonomi, yang
mendapat pengaruh dari perkembangan politik ekonomi yang sedang berkembang di Eropa.
Sejarah adalah pengalaman hidup manusia di masa lalu dan akan terus berlanjut sepanjang
jaman manusia mempelajari sejarah adalah tanggung jawab manusia untuk menjalani
kehidupan yang mulia dan mempelajari sejarah lebih lanjut yaitu mempelajari masa lalu dan
membuat keputusan tanpa mengingat apa yang terjadi sekalipun esensi sejarah adalah fitur
unik dan jika tidak pernah terjadi lagi dalam hidup mereka maka jika mereka tidak dapat
belajar dari peristiwa sejarah itu akan merugikan umat manusia masa kini adalah hasil dari
masa lalu dan tidak ada pemisahan antara sejarah dan peritiwa masa lalu. Perkembangan
agama Islam merupakan salah satu perkembangan agama yang terbesar di Indonesia setelah
perkembangan agama hindhu dan budhha, masuknya Islam di daerah nusantara sudah sangat
lama di karanakan adanya hubungan dagang dengan bangsa luar tetapi agama islam belum
berkembang dengan sangat baik di karnakan islam hanya agama yang di peluk oleh pedagang
asing seperti arab dan Persia setelah banyaknya kehancuran dari kerajaan hindhu Buddha
barulah perkembangan islam meninggkat sangat pesat di nusantara dari letak georrafi
nusantara mempunyai peradaban yang tinggi dalam kedatangan islam ini banyak cara yang
dilakukan untuk menyebarkan agama islam ini agar berkembang salah satunya di daerah
Sulawesi selatan tepatnya makassar yaitu kerajaan gowa. Makassar merupakan wilayah yang
terletak tepatnya di Sulawesi selatan yang mempunyai banyak sejarah yang dimilikinya
penemuan tertua yang merupakan salah satu sejarah yang dimiliki wilayah ini yaitu
ditemukannya gua gua dekat bukit kapur sekitar kabupaten maros keberadaan situs ini
diyakini sudah ada pada tahun 1902 . Di wilayah Sulawesi selatan juga terdapat banyak
kerajaan yang berdiri antara lain Gowa, Tallo, Bone, Soppeng, Wajo, dan sidenreng.Dimana
pada masing masing kerajaan menjalin kerjasama antara satu dengan lain salah satunya yaitu
antara kerajaan Gowa dan kerajaan Tallo sedangkan di pantainya terdapat kerajaan lain yaitu
kerajaan bugis keadaan alam yang demikian membuat suku Sulawesi selatan atau makasar
dan bugis menjadi ulung. Kerajaan gowa merupakan kerajaan atau kesultanan yang terletak
di wilayah semenanjung pesisir barat Sulawesi selatan yang merupakan mayoritas dari suku
Makasar,islam masuk di wilayah gowa pada masa pemerinatahan Sultan Alaudin Al-Awwal
yang pada saat itu menjadi raja dari kerajaan gowa
1.3 TUJUAN
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui sejarah perkembangan islam di kalimantan
dan maluku
BAB II PEMBAHASAN
Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Maluku dan Maluku Utara dalam kurun
waktu yang cukup lama, tentu telah ikut memberikan warna yang khas bagi kehidupan sosial
budaya masyarakatnya. Berlangsungnya proses “islamisasi” itu yang menurut MS. Putuhena
(1970 : 265) melalui dua jalur, yaitu jalur atas dan jalur bawah yang masing-masing jalur
memberi pengaruh tertentu dalam strata sosial baik terhadap kebudayaanya maupun praktek
keagamaan Islam itu sendiri. Jalur atas adalah proses yang berlangsung berkat bantuan dan usaha
pihak penguasa. jalur ini Islam bercorak formalistis, artinya walaupun orang telah mengaku
beragama Islam, namun dalam praktek keagamaan masih mengikuti nila-nilai dan aturan lama.
Melalui jalur bawah proses Islamisasi berlangsung melalui usaha perorangan (masyarakat),
agama Islam bercorak sinkritis yaitu nilai dan aturan agama Islam bercampur aduk dengan nilai
dan aturan lama baik dalam pemahaman maupun dalam pelaksanannya. Sedangkan aliran-aliran
keagamaan dalam Islam yang sejak mula tersebar di Indonesia adalah aliran syufi dan aliran
syariah meskipun sering dipertentangkan secara tajam, namun kedua aliran tersebut
kadangkadang dalam prakteknya sulit dibedakan secara tegas. Jalur penyebaran, corak
keberagaman Islam dan aliran-aliran dalam Islam tersebut di atas dialami pula oleh para
mubaligh dalam proses islamisasi di Maluku. Hal ini mengakibatkan praktek-praktek agama
Islam dalam perkembangannya mengalami berbagai variasi. Ada penganut Islam yang sangat
mementingkan pengamalan syariah Islam secara murni, tetapi ada pula yang mempraktekan
ajaran agama Islam yang mengikuti adat dan ada pula bentuk yang sinkritis. Contoh penganutan
yang sinkritis inilah yang disebut oleh Radjawane sebagai agama Islam yang tidak murni karena
kuatnya pengaruh adat ke dalam ajaran agama Islam yang dipraktekkan oleh tiga buah desa di
Uli Hatuhaha di pulau Haruku, Maluku Tengah, yaitu Rohomoni, Kabau dan Pelau.
(Radjawane,1960 : 74-76). Bila penelitian Radjawane ini dilanjutkan maka akan didapati
penganut agama yang murni di Uli Hatuhaha yang dilaksanakan di desa desa tersebut dan desa-
desa lainnya di Uli Hatuhaha. Penganut keagamaan Islam baik formalistis, sinkritis, dan
pengaruh aliran syufi dan syariah itu ditemui disebagian besar wilayah provinsi Maluku dan
Maluku Utara. Aliran syufi yang berpengaruh di Maluku dan Maluku Utara adalah Syamaniah,
Qadariyah dan Naksyabandiyah. Aliran-aliran ini dapat dibedakan dan dikenali dari praktek zikir
dan wirid yang dilaksanakan dalam hubungannya dengan ibadah kepada Allah SWT.
Pembaharuan agama Islam yang dipelopori oleh gerakan Muhammadiyah di Yogjakarta sejak
tahun 1912 telah berpengaruh pula terhadap penganutan agama Islam di Maluku dan Maluku
Utara. Orang-orang Islam dari Maluku dan Maluku Utara yang belajar di Jawa dan Mekkah telah
membawa pembaharuan ajaranajaran Islam yang lebih menekankan pada sumber Al-Quran dan
Al Hadist. Pengaruh ini telah ada sebelum masa kemerdekaan, akan tetapi berkembang pesat
sejak tahun 1950-an dengan berdirinya Lembaga Pendidikan Agama baik pada tingkat dasar,
menengah dan tinggi di Maluku dan Maluku Utara. Dalam proses sejarahnya di Maluku dan
Maluku Utara agama Islam telah mengalami salah satu fase yang oleh Radjawane disebut masa
stagnasi yaitu menarik diri dari percaturan politik, sosial maupun budaya sejak zaman VOC
sampai berakhirnya pemerintaan Hindia Belanda di Indonesia. Pada masa ini agama Islam
seakan-akan menarik diri dari percaturan politik dan pemerintahan karena kekuatan pemerintah
jajahan yang tidak bisa dilawan. Hal ini tidak berarti agama Islam mengalami kemunduran,
karena dalam masa penjajahan penganut agama Islam di Maluku tidak mau bekerja sama dengan
penjajah. Terdapat tiga faktor penyebabnya yaitu (1) Secara politis agama Islam bertentangan
dengan agama Kristen yang dibawa oleh Belanda. (2) Dalam lapangan pendidikan, penganut
agama Islam dianaktirikan dalam mendapatkan pendidikan bukan karena tidak mau dididik tetapi
karena adanya peraturan yang mengutamakan mereka yang beragama Kristen, dan (3) Orang
Islam Maluku tidak mau memasuki lapangan kemiliteran, karena yang masuk militer diutamakan
yang beragama Kristen dan kemudian untuk berperang di daerah-daerah yang banyak penganut
Islamnya, seperti Perang Makassar, Perang Banten, Perang Diponegoro dan Perang Aceh
(Leirissa, 1999 : 23). Faktor-faktor inilah yang menyebabkan Maluku seakan-akan diidentikkan
dengan agama Kristen karena yang paling banyak memasuki lapangan pemerintahan, pendidikan
dan kemiliteran adalah orang-orang Maluku yang beragama Kristen. Sedangkan orang-orang
yang beragama Islam umumnya menarik diri dari ketiga lapangan tersebut, sehingga tidak
dikenal di seluruh Indonesia (Radjawane; 1960). Dalam proses menuju kemerdekaan, peranan
ummat Islam di Maluku mulai nampak dominan baik dalam mewujudkan kemerdekaan maupun
dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Kemudian dapat diperhatikan peranan desa-
desa Islam di Maluku Utara, Tengah, dan Tenggara pada fase revolusi fisik khususnya dalam
perjuangan menghadapi pemberontakan RMS yang diduga disponsori oleh pemerintah Belanda.
Bukti historis yang sangat penting adalah kemenangan ummat Islam Maluku melalui partai
Masyumi dalam pemilihan Umum tahun 1955. Kemenangan ini merupakan hasil proses
islamisasi yang telah berlangsung sejak abad ke-15 dan mempengaruhi kehidupan politik, sosial
dan budaya di Maluku Di Maluku Utara telah terjadi perubahan dalam bidang politik dan
pemerintahan. Kelompok-kelompok pemerintahan masyarakat tradisional yang semula berbentuk
empat buah kolano, yaitu Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo, dalam perkembangan selanjutnya
sejak abad ke-15, keempat kolano tersebut mengambil bentuk kesultanan. Sejak itu pula masing-
masing kesultanan itu berusaha untuk meluaskan wilayah kekuasaanya. Tidore memasukkan
Papua sebagai wilayah kekuasaannya dan Ternate berhasil meluaskan daerah kekuasaannya
meliputi daerah yang terbentang antara Sulawesi dengan Papua termasuk daerah kepulaun
Ambon Lease, Seram, Buru, dan Banda. Pengaruh Islam bagi pertumbuhan dan perkembangan
kesultanan adalah dalam bentuk perubahan structural dari Kolano menjadi Kesultanan. Dalam
bentuk Kolano ikatan genealogis dan teritorial sebagai faktor integrasi, sedangkan dalam bentuk
kesultanan Islam menjadi salah satu faktor integrasi. Oleh karena itu sebahagian dari daerah yang
memeluk agama Islam seperti Hoamual (Seram Barat), Saparua, dan Haruku menempatkan
dirinya sebagai bagian dari kesultanan Ternate. Hal ini sangat menguntungkan Ternate, tatkala
terjadi konflik dengan orang-orang Eropa terutama Portugis dan Belanda. Perubahan lebih lanjut
pada fungsi raja/sultan yang mempunyai fungsi ganda sebagai pemegang kekuasaan duniawi dan
sebagai pemegang kekuasaan spiritual (keagamaan). Dalam kedudukan yang demikian Sultan
tidak hanya berusaha mempertahankan eksistensi kerajaannya, tetapi ia juga mempuyai tanggung
jawab menyebarkan Islam dan melindunginya. Oleh karena itu wilayah kekuasaan Sultan dapat
diperluas dengan menundukkan daerahdaerah lain. Masa pemerintah Zainal Abidin (1486 –
1500) merupakan awal peralihan dari bentuk kolano ke bentuk kesultanan dan ia merupakan
Sultan yang pertama. Sebelum dinobatkan sebagai sultan, Zainal Abidin berangkat ke Jawa
untuk belajar agama Islam di Giri. Setelah kembali, ia mendirikan lembaga-lembaga pendidikan
agama Islam di Ternate dan mendatangkan guru-guru agama dari Jawa. Ia memerintahkan
pegawai-pegawai syara’ diwilayah kerajaan untuk belajar agama di Ternate. Dalam struktur
kesultanan dijumpai lembaga-lembaga keagamaan disamping lembaga-lembaga sosial tradisional
yang ada. Urusan keagamaan ditangani oleh badan yang disebut Jou Lebe (Badan Syara’). Badan
ini dikepalai oleh Kadhi (Kalem). Anggotaanggotanya terdiri dari para Imam dan Khatib. Tiap
marga (soa) mempunyai imam dan khatib tertentu. Sultan selain sebagai pemimpin dunia, juga
berkewajiban memimpin soal-soal keagamaan, sehingga secara teoritis Sultan adalah penerus
tugas pengganti Rasul (Tubaddirul Rasul). Hal ini tercantum dalam suba puja-puji yang ditulis
dalam bahasa dan tulisan Arab, yaitu laporan yang selalu dibacakan pada saat penobatan Sultan
yaitu berupa peringatan bahwa Sultan adalah Khalifatur Rasjid dan Tubaddilur Rasul. Diingatkan
pula bahwa Sultan memangku jabatan itu karena Rahmat dan Takdir Allah yang tu’til mulka man
tasya’ (pemberi kekuasaan) kerajaan bagi siapa yang dikehendakinya. Dengan demikian Sultan
harus memberikan bantuan kepada pemerintah/masyarakat Islam yang memerlukan bantuannya.
Sultan berkewajiban untuk mendatangi daerah-daerah lain untuk menyampaikan ajaran-ajaran
Islam. Dalam kaitan ini Sultan Ternate pernah mengadakan hubungan politik yang erat dengan
kesultanan Buton, kesultanan Mangindanao di Filipina, begitu pula hubungan politik dengan
Sulu (Alex Ulaen : 1997). Di wilayah Maluku Tengah tejalin hubungan yang erat dengan
kerajaan-kerajaan kecil seperti Hitu di pulau Ambon, Hatuhaha di pulau Haruku, Iha di pulau
Saparua walaupun tidak merupakan bahagian dari Kesultanan Ternate, paling tidak telah
menjalin hubungan baik karena persamaan iman dan mengakui kekuasaan Ternate. Sedangkan
Hoamual yang merupakan pusat politik tradisional dan pusat perdagangan cengkih di Seram
Barat, adalah bahagian dari kesultanan Ternate. Disini ditempatkan seorang Kimelaha sebagai
wakil Sultan yang berkedudukan di pusat pemukiman orang-orang Ternate, di Kampung
Gamsune. Disamping Hoamual, pulau-pulau Kelang, Manipa, Buano dan Buru merupakan
daerah kekuasaan Ternate. Disana ditempatkan juga beberapa orang Sangaji yaitu wakil Sultan
yang memerintah di daerah-daerah. Kedatangan orang-orang Eropa terutama Portugis dan
Belanda telah menimbulkan konflik antara rakyat dengan mereka. Pergolakan yang berlangsung
ada abad 16 dan 17, bukan hanya terjadi karena alasan ekonomi tetapi karena faktor agama.
Penerimaan agama Islam membawa keuntungan ekonomi disamping meningkatkan peradaban
dan kehidupan sosial rakyat Maluku dan Maluku Utara. Bagi rakyat Maluku dan Maluku Utara
yang beragama Islam, agama ini memiliki arti yang tak ternilai. Faktor inilah yang menyebabkan
rakyat Maluku dan Maluku Utara yang beragama Islam sangat mempertahankan agamanya pada
saat datangnya orang Portugis dan Belanda yang akhirnya bercokol di Maluku hampir 3 ½ abad.
Seperti halnya di Maluku Utara, kerajaan-kerajaan kecil di Maluku yaitu Hitu, Banda, Hatuhaha
serta Iha di Saparua juga memiliki system pemerintahan, tetapi berbeda dengan system
pemerintahan di Maluku Utara. Imam Ridjali di dalam Hikayat Tanah Hitu menceritakan tentang
datangnya empat kaum yang menjadi cikal bakal penduduk Hitu. Merekalah yang menjadi
pendiri kerukunan yang amat kuat yang kemudian dikenal dengan nama “Empat 35 Perdana”.
Keempat kaum tersebut datang dari tempat yang berbeda. Yang pertama datang dari pantai
tenggara pulau Seram. Kaum ini disebut Saupele atau Zaman Jadi. Kelompok kedua menurut
Ridjali datang dari Tuban yang menurut Rumphius tiba pada tahun 1460 dan menetap di pantai
dekat sungai Waipaliti. Kaum ketiga disebut Latima (Lating), datang dari Jailolo (Halmahera)
dipimpin oleh Jamilu pada tahun 1465. Menurut Rumphius mereka juga menetap dekat
Waipaliti. Kaum keempat bernama Olong datang dari Gorong (pulau Seram bahagian Timur).
Mereka dipimpin oleh Mata Lian yang terkenal dengan gelar Patih Putih. Seperti yang telah
dikemukakan Patih Putih inilah yang berkunjung ke Jawa sekitar tahun 1500, setelah tinggal
beberapa bulan kembali ketanah Hitu dan dikenal dengan nama Pati Tuban. Dialah yang bertemu
dengan penguasa Ternate yang juga sedang belajar agama di Jawa, sehingga hubungan dengan
kesultanan Ternate menjadi lebih erat. Hitu kemudian berhasrat menjadi suatu pusat kekuasaan
politik dan agama yang diperintah oleh lembaga-lembaga Kesultanan seperti di Ternate. Maka
disusunlah pemerintah Hitu yang dikenal Pemerintahan Empat Perdana. Pemerintahan Empat
Perdana tersebut dijalankan secara periodik oleh empat orang yang merupakan pimpinan dari
empat kaum utama dari masyarakat Hitu. 36 Sedangkan di Kerajaan Uli Hatuhaha terdapat
sistem pemerintahan yang dikepalai raja sebagai pemimpin pemerintahan dan Imam sebagai
pemimpin agama. Imam dipilih dalam suatu rapat (masorupi) yang dilaksanakan oleh raja
bersama-sama kepalakepala soa. Sistem seperti ini dapat terlihat sampai abad ke-20 dalam
pemerintahan tradisional, terutama di desa-desa Islam di Maluku Tengah. Disana lembaga agama
merupakan suatu komponen yang penting dalam sistem pemerintahan. Berbeda dengan itu, di
Banda Neira sistem pemerintahan yang dianut merupakan perpaduan dari kedua model diatas.
Sistem pemerintahan di Banda Neira dikenal dengan nama “Lebe Tel Rat At” atau
kepemimpinan “Empat Raja Dan Tiga Imam”. Di Banda terdapat empat kerajaan kecil, tiga
diantaranya Raja (Rat) merangkap imam dan hanya satu yang kedudukannya sebagai Raja tanpa
merangkap sebagai imam. Kedudukan Raja merangkap Imam terdapat pada Kerajaan
Namasawar di pulau Neira, serta Kerajaan Lonthor dan Selamon di pulau Banda Besar.
Sedangkan Kerajaan Waer di pulau Banda Besar bagian Utara hanya memiliki Raja tapi tidak
merangkap sebagai Imam. Imam sekaligus kadhi untuk kerajaan Waer di pegang oleh Raja
Selamon. Model konfederasi ini sedikit berbeda dengan model pemerintahan Empat Perdana di
jazirah Laihitu. Jika di Jazirah Laihitu konfederasi memberi ruang kepada masing-masing
Perdana untuk memerintah secara periodik, 37 namun model konfederasi di Banda Neira
memberi otonomi kepada masing-masing Raja untuk memerintah pada wilayahnya
masingmasing. Namun karena mereka bersaudara lalu dibentuklah konfederasi yang dikenal
dengan nama “Lebe Te Rat At” atau kepemimpinan “empat Raja Tiga Imam
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA Alwi Des, 1996 ; Ternate dan Tidore : Masa Lampau Penuh Gejolak,
Sinar Harapan, Jakarta. Alwi Des, 2006 ; Sejarah Banda Neira, Pustaka Bayan, Malang. Chijs
J.A. van der, 1886 ; De Vestiging van het Nederlandsch Gezag Over de Banda Eilanden 1599 –
1621, Weltevreden. Cooley F.L. 1973 ; Persentuhan Kebudayaan di Maluku Tengah, Artikel
dalam Bunga Rampai Sejarah Maluku, LIPI, Jakarta. Coolhaas W.Ph. 1923; Kroniek van het
Rijk Bacan, T.B.G. 63 (474 – 512). Crab P.A. van der, 1878 ; Geschiedenis van Ternate, in
Ternataan- sche en Maleische Tekst door den Ternataan Naidah, met vertaaling en
aantekeningen door P.A. van der Crab” Bijdragen, Jilid 151, No.2. Depdikbud, 1976 ; Sejarah
Daerah Maluku, Ditjenbud, Jakarta Fraassen Ch. F. van, 1981 ; Court and State in Ternaten
Society, Makalah dalam Seminar Halmahera dan Raja Ampat, Jakarta, 1 – 5 Juni 1981. Hanna A
Willard, 1983 ; Kepulauan Banda : Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan Pala, Gramedia,
Jakarta. Lapian A.B, 1965; Beberapa tjatatan Djalan Dagang Maritim ke Maluku Sebelum Abad
ke-16, Artikel dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastera Indonesia, vol 1. Leirissa, R.Z. 1973; Tiga
Pengertian Istilah Maluku Dalam Sejarah, Artikel dalam Bunga Rampai Sejarah Maluku, LIPI,
Jakarta. Leirissa, R.Z. 1981 ; Dokumen-dokumen Abad ke-19 yang berbahasa Melayu dari Arsip
Ambon, Makalah Seminar Bahasa Indonesia, FSUI Jakarta. Leirissa, R.Z, 1996 ; Halmahera
Timur dan Raja Jailolo : Pergolakan Sekitar Laut Seram, Balai Pustaka, Jakarta. 40 Manusama,
Z.J. 1973 ; Sekelumit Sejarah Tanah Hitu dan Nusa Laut Serta Struktur Pemerintahannya Sampai
Pertengahan Abad ke-17, Artikel dalam Bunga Rampai Sejarah Maluku, LIPI, Jakarta. Putuhena.
M.S. 1980; Sejarah Agama Islam di Ternate, Artikel dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastera
Indonesia, vol VIII no.3. Reid Anthony, 1987 ; Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-
1680 : The Lands Below the Winds, Vol One; Silkworm Books, Chiang Mai. Reid Anthony,
1988 ; Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680 : Expansion and Crises, Vol Two;
Silkworm Books, Chiang Mai
Mattulada, menyusuri jejak kehadiran Makasar dalam sejarah (ujang pandang: Bhakti baru,
1982), hlm.40. Andi rasdiyanah “integrasi sistem pangngaderang dengan sistem syariat sebagai
pandangan hidup orang bugis dalam lontarak latoa (Yogyakarta:IAIN sunan kalijaga, 1995), hlm
51. A.Syalabi, 2000, Sejarah dan Kebudayaan Islam III. Jakarta: Al-Husna Zikra. El-
Saha.M.Ishom ,2002, 55 Tokoh Muslim Terkemuka.Jakarta:Darrul Ilmi. Sulaiman, Asnawi
(2004).Sejarah Singkat Keqadhian (Qadhi) Bone. Jakarta: Lembaga Solidaritas Islam al-
Qashash. Mattulada, (1991). Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah, Cetakan
kedua; Ujung Pandang