Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH RANGKUMAN MATERI PENDIDIKAN PANCASILA

Dosen Pengampu :

Dr. M. Azhar Alwahid M.Pd

Disusun Oleh:

Tabita Nurtirta Purwita Sari 231104030396

PROGRAM STUDI BISNIS DIGITAL REG A

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR


2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT. Atas segala Rahmat dan karunia-
Nya makalah ini dapat di selesaikan dengan baik. Makalah ini disusun dalam rangaka
memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Pendidikan Pancasila yang diberikan oleh
dosen pengampu Dr. M. Azhar Alwahid M.Pd. Pendidikan Pancasila merupakan landasan
penting dalam pembentukan karakter dan kepribadian bangsa Indonesia.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan dan
penyempurnaan di masa yang akan datang. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pengampu mata kuliah Pendidikan Pancasila yang telah memberikan bimbingan dan arahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu.

Tak lupa, penulis juga berterima kasih kepada teman-teman sejawat yang telah
memberikan dukungan dan motivasi selama penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat dan wawasan lebih dalam mengenai Pendidikan Pancasila.

Akhir kata, penulis berharap agar makalah ini dapat menjadi sumbangan kecil dalam
upaya memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila sebagai panduan dalam menghadapi
dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Bogor, 15 Januari 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I PEMBAHASAN............................................................................................................1

A. Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia.......................................................................1

B. Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia 2....................................................................3

C. Kebangkitan Nasional 1................................................................................................5

D. Kebangkitan Nasional 2..................................................................................................9

E. Pancasila.......................................................................................................................11

F. Menjelang dan Pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (Bagian 2).....12

G. Islam Ssebagai Ssumber Inspirasi Pancasila............................................................14

H. Pancasila sebagai Dasar Negara, Pandangan Hidup, Falsafah Bangsa, dan


Ideologi Hidup....................................................................................................................15

I. Pancasila Sebagai Etika Politik..................................................................................17

J. Pancasila Sebagai Norma Dasar Ketatanegaraan Republik Indonesia.................17

K. Pancasila Sebagai Paradigma Kehidupan dalam Bermasyarakat, Berbangsa dan


Bernegara............................................................................................................................19

L. Pancasila: Antara Idealitas & Realitas.....................................................................19

M. Ancaman Terhadap Pancasila....................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................23

ii
BAB I

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia


 Penyebaran Islam di Nusantara
Pembawa agama Islam ke Indonesia umumnya adalah para pedagang dari Arab.
Selain berdagang, mereka merasa memiliki kewajiban untuk menyebarkan agama Islam
kepada orang lain. Proses penyebaran Islam ke Indonesia bersifat damai, tanpa
kekerasan, peperangan, atau paksaan. Daerah pertama di Indonesia yang menerima
pengaruh Islam meliputi Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Jawa Tengah. Selanjutnya,
agama Islam berkembang dan menyebar ke seluruh penjuru tanah air.1

Islam secara intensif masuk ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama


pada periode menjelang dan perluasan Kerajaan Majapahit. Hubungan paralel antara
kekuatan-kekuatan yang berbeda dapat diamati melalui partisipasi orang Indonesia
dalam kegiatan perdagangan di Lautan India yang didominasi oleh pedagang Muslim
dari wilayah India. Dengan kata lain, semakin kuat kekuasaan Majapahit, semakin
intensif pula kontak dan perdagangan antara orang-orang Indonesia dan orang-orang
India, yang kemudian mengakibatkan tumbuhnya masyarakat Islam di Indonesia.2

Ketika kekuasaan Majapahit mulai melemah, Islam menjadi kekuatan utama dalam
proses perkembangan Kerajaan Islam Demak. Meskipun gambaran ini adalah
simplifikasi dari suatu sejarah yang kompleks, namun cukup mendasari kesimpulan
bahwa sejak akhir abad ke-15, Islam telah menggantikan Hinduisme sebagai kekuatan
utama dalam langkah-langkah dan kegiatan politik di Indonesia. Kemunculan Kerajaan
Demak sebagai kekuatan terdepan pada saat itu menjadi sarana yang efektif untuk
penyebaran Islam di Indonesia.3

Pada abad ke-16, penduduk seluruh kepulauan Nusantara berhasil di-Islamkan.


Bangsa Indonesia menunjukkan identitasnya yang kuat dalam menerima perubahan dan
1
Suliyah Suliyah, “Sejarah Kebudayaan Islam,” 2021.
2
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren ; Study Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai Masa
Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm. 15.
3
Ibid. Zamakhsyari Dhofier, hlm. 16.

1
mengadopsi aspek-aspek positif dari luar yang dianggap baik dan bermanfaat untuk
kemajuan bangsa. Keberhasilan adopsi ini tercermin saat gelombang Buddhisme
melanda pada awal abad tersebut. Islam memasuki kehidupan masyarakat Indonesia
secara intensif menjelang dan selama perluasan kerajaan Majapahit. Partisipasi orang
Indonesia dalam perdagangan di Lautan India dengan pedagang Muslim India
memperkuat kontak antara kedua wilayah, menyebabkan pertumbuhan masyarakat
Islam di Indonesia. Saat Majapahit melemah, Islam menjadi senjata utama bagi
Kerajaan Islam Demak pada abad ke-15. 4Bangsa Indonesia, identitasnya kuat dalam
menerima perubahan, memilih Islam melalui hati dan pikiran tanpa kekuatan militer.
Meskipun Islam berkembang, pemahaman dan praktik ajaran Islam lambat diserap oleh
masyarakat.5

 Kedatangan Bangsa Eropa ke Nusantara

Puncak kolonialisme yang menyengsarakan Indonesia adalah saat Belanda


menduduki Nusantara, didukung oleh VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) pada
1602 untuk memonopoli perdagangan di Asia. Meskipun Inggris menggantikan
Belanda sesaat, dampak sosial-politik tetap terasa. Beberapa kesultanan Islam tetap
aktif pada abad ke-17 di bawah kekuasaan Belanda. 6Kontak Islam Indonesia dengan
negeri Muslim terbatas karena kebijakan Belanda yang membatasi hubungan
keagamaan. Setelah kejayaan perdagangan Demak terhenti, pantai Nusantara dikuasai
Belanda pada 1677, menghancurkan pertumbuhan kelompok masyarakat yang kuat
keislamannya. VOC menguasai ekonomi dan politik, mengubah struktur sosial dan
ekonomi Indonesia secara mendalam.7

Secara perlahan, Kesultanan Mataram, yang sebelumnya merupakan kekuatan


terbesar, terus mengalami pelemahan dan mengalami pemutusan hubungan dagang
yang mutlak dengan pulau-pulau lain. Kegiatan perdagangannya hancur total,
menyebabkan para pedagang dan pembuat kapal kehilangan pekerjaan mereka. Selain
itu, sektor perikanan dan mata pencaharian hasil hutan juga tidak lagi menguntungkan.
Akibatnya, masyarakat Indonesia, yang sebelumnya dominan sebagai pedagang dan
4
Ibid. Zamakhsyari Dhofier, hlm. 27-28.
5
S.T.S Rafles, The History Of Java, vol II, Edisi ke-2 (London, 1830), hlm. 3
6
Budi Sulistiyono, Seminar Pertumbuhan dan Perkembangan Kesultanan di Nusantara Abad XVII
Masehi, diselenggarakan oleh Jurusan Sejarah dan Kebidayaan Islam Fakultas adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. 20 November 2013.
7
B.H.M Vleke, Nusantara, a History of the East Indian Archipelago (Cambridge, Massachusetts, 1945),
hal. 146-163.

2
pelaut, beralih menjadi petani, sementara kegiatan ekonomi dalam kehidupan sehari-
hari mereka berhenti sepenuhnya.8

Belanda, melalui dominasinya, mengubah dasar struktur organisasi dan sikap


ekonomi serta politik mayoritas orang Indonesia. Islam di Nusantara telah berumur
lebih dari lima abad, tetapi pemahaman dan praktiknya lambat diserap. Perlu kajian
ulang untuk merekonstruksi sejarah yang sesuai dengan fakta, seperti dinyatakan oleh
Rafles. Proses adopsi agama dan budaya terjadi melalui pemilihan dari hati dan pikiran
masyarakat Indonesia, tanpa intervensi militer.9

B. Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia 2


 Sejarah Perjuangan Umat Islam di Nusantara

Gerakan perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia memiliki keterkaitan yang erat


dengan peran umat Islam, baik sebelum, selama, maupun setelah periode kemerdekaan,
dalam upaya mempertahankan kedaulatan Indonesia. Umat Islam berkontribusi melalui
berbagai pendekatan, mulai dari politik, organisasi, hingga gerakan perlawanan
terhadap penjajah. Pergerakan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor pada masa tersebut
dan berkembang di tengah-tengah umat Islam pada abad ke-20. Gerakan kemerdekaan
di Timur Tengah, terutama di Mesir dan India, didorong oleh gerakan Pan Islamisme
yang dipimpin oleh Sayid Amir Ali dan Jamaluddin al Afghani. Gerakan ini memiliki
pengaruh signifikan terhadap umat Islam di Indonesia, khususnya Muslim Indonesia.
Beberapa tokoh dan pemikiran modern seperti Ibn Taymiyah, Muhammad bin Abdul
Wahab, Jamaluddin al Afghani, dan Muhammad Abduh memainkan peran penting
dalam memengaruhi perjuangan umat Islam di Indonesia pada awal abad ke-20.
Beberapa pemikiran modern yang mempengaruhi perjuangan umat Islam di indonesia
yaitu: Pemikiran Ibn Taymiyah (728H/1328M), Muhammad bin Abdul Wahab (1703-
1787), Jamaluddin al Afghani (1255-1329 H/ 1839-1897 M), Muhammad Abduh
(1262-1329 H/ 1845- 1905M).” pemikiran inilah yang mewarnai perjuanga umat Isam
di Indonesia pada awal abad 20.10

8
J,S Purnivall, Netherlands India, A Study of Plural Economy (New York, 1941), hlm. 39. 43-44.
9
G. McT. Kahin, National and Revolution in Indonesia (Ithaca, New York: Cornell University Press,
1952), hlm.2.
10
Saidul Amin, “Perjuangan Umat Islam Untuk Indonesia Abad 20,” Jurnal Al-Aqidah 10, no. 2 (2018):
83–101.

3
Proses pendidikan dan pembaharuan pemikiran memainkan peran penting dalam
melahirkan tokoh-tokoh inspiratif dalam kalangan umat Islam Indonesia, yang turut
membangkitkan semangat perjuangan. Beberapa tokoh kunci yang muncul melalui
proses tersebut adalah K. H. Ahmad Dahlan (1868-1923), Syaikh Ahmad Soekarti
(1872-1943), dan Haji Rasuli (1879-1945). Nurhizbullah memperkuat pendapat ini
dengan menunjukkan bahwa di nusantara, bermunculan berbagai gerakan yang turut
melibatkan tokoh-tokoh penting. Di antaranya adalah Gerakan Paderi di Sumatera
Barat, Al-Irsyad yang menampilkan tokoh Ahmad Surkati, Muhammadiyah yang
digagas oleh KH. Ahmad Dahlan, Nahdlatul Ulama yang dipimpin oleh tokoh-tokoh
seperti KH. Wahab Hasbullah dan KH. Hasyim Asyari, serta Syarikat Islam yang
diinisiasi oleh KH. Samanhudi dan kemudian diperbesar oleh HOS. Cokroaminoto.
Semua tokoh ini bersinergi dalam memajukan perubahan sosial dan pemikiran di
Indonesia, membentuk lanskap perjuangan yang kaya dan beragam dalam sejarah
perjalanan umat Islam di tanah air.11

Para cendikiawan Muslim yang belajar di Mekkah dan Mesir membawa ide-ide
dan gerakan pembaharuan dalam sistem pendidikan Indonesia. Ini termanifestasi
melalui pendirian organisasi seperti al Irsyad, Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan
Jami’at al Khair. Organisasi-organisasi tersebut mengubah sistem halaqah menjadi
kelas, memasukkan pelajaran umum dalam pendidikan agama, dan melepaskan diri dari
keterpautan eksklusif pada pendidikan bahasa Arab, kitab kuning, dan fiqh Syafi’i.
Langkah ini membuka kembali lapangan ijtihad dengan menghentikan taklid, takhayul,
dan khurafat dalam pendidikan tradisional.12

Pemikiran tokoh dan organisasi Islam di Indonesia, seperti ulama dan nasionalis,
memainkan peran krusial dalam pendidikan umat Islam dan membangkitkan semangat
kemerdekaan dari penjajahan Belanda dan Jepang. Faktor ideologi, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya mendorong perjuangan menuju kemerdekaan. Setelah kemerdekaan
pada tahun 1945, terjadi konflik antara kalangan Muslim yang ingin Negara Indonesia
berbasis Islam dan kalangan Nasionalis yang mendukung Pancasila. Meskipun
perbedaan pandangan, partai-partai Islam bersatu dalam front untuk mencapai tujuan

11
Nur Hizbullah, “Ahmad Hassan: Kontribusi Ulama Dan Pejuang Pemikiran Islam Di Nusantara Dan
Semenanjung Melayu,” Buletin Al-Turas 20, no. 2 (2014): 285–96.
12
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam Di Indonesia (Mizan,
1995).

4
utama, yakni Negara Islam. Konflik dan pertentangan terus berlanjut dalam dinamika
politik Indonesia pasca-kemerdekaan.13

Pada awalnya, para tokoh Islam mendirikan partai politik untuk memperjuangkan
kepentingan umat Islam melalui parlemen setelah Masyumi dibubarkan dan bergabung
menjadi Partai Persatuan Pembangunan pada masa Orde Baru. Pasca-Reformasi 1998,
muncul berbagai partai Islam yang bersemangat reformasi. Menurut Kuntowijoyo,
pendidikan dan dakwah dianggap kegiatan utama komunitas Muslim, seperti yang
dilakukan Nahdatul Ulama yang kembali fokus pada pendidikan dan dakwah sejak
1926. Pemimpin politik Muslim pensiunan banyak bergabung dalam organisasi
pendidikan dan dakwah, serta ketertarikan pada bidang ini memobilisasi kaum
intelektual muda dan kelas menengah.14

C. Kebangkitan Nasional 1
1. Usaha Umat Islam dalam Perjuangan Merebut Kemerdekaan
A. Sarikat Dagang Islam 1905

Pada tanggal 16 Oktober 1905, H. Samanhudi mendirikan SDI (Sarekat Dagang


Islam), menurut Ahmad Mansur Suryanegara. Awalnya, terjadi kerjasama baik antara
Islam dan pedagang Cina di SDI, bahkan banyak yang menjadi Muslim. Namun,
persatuan ini dianggap ancaman oleh Belanda, yang khawatir bisa mempersatukan umat
Islam dan Cina, menjadi ancaman politik. SDI berhasil menyatukan kaum priayi dan
masyarakat awam, tetapi Belanda membuat propaganda dan fitnah, menciptakan
gerakan anti-Cina. Pada tahun 1911, terjadi peperangan di Solo antara SDI dan tentara
Mangkunegaran, dengan Cina menjalin hubungan erat dengan Belanda.15

Organisasi ini memiliki tujuan utama untuk menunjukkan perjuangan yang


mendukung masyarakat kecil, mengubah peran rakyat dari sekadar korban dan budak
ekonomi menjadi pelaku ekonomi yang memiliki orientasi sesuai dengan visi yang
diungkapkan oleh Dr. Karim. Dr. Karim mencatat bahwa sebelum pembentukan
organisasi ini, banyak saudagar Islam yang tidak terlibat secara signifikan dalam

13
Beti Yanuri Posha, “Perkembangan Islam Di Indonesia Pasca Kemerdekaan,” HISTORIA: Jurnal
Program Studi Pendidikan Sejarah 3, no. 2 (2015): 75–82.
14
Priyono Kuntowijoyo and M AE, “Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi,” (No Title), 2008.
15
Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam Di Indonesia, ” (Bandung :
Mizan, cet. Ke-3, 1996), , hlm. 244-248.

5
kegiatan ekonomi, sementara perekonomian didominasi oleh kalangan Tionghoa, Cina,
dan non-pribumi. Mereka rela membayar pajak kepada penjajah untuk meraih
keuntungan. Selain itu, Belanda dapat memanfaatkan komunitas Tionghoa sebagai
sumber informasi tentang aktivitas umat Islam, menjadikannya mata-mata untuk
memperoleh perlindungan dan eksistensi dari penjajah.16

Pada tanggal 11 November 1911, SDI (Sarekat Dagang Islam) mengalami


perubahan menjadi SI (Syarekat Islam) yang diprakarsai oleh H.O.S Tjokroaminoto
(1883-1934). Awalnya berfokus pada perjuangan hak umat Islam dan kaum awam
dalam ekonomi dan perdagangan, SI berkembang menjadi gerakan politik sebagai
respons terhadap ketidakpuasan terhadap pemerintah Belanda yang dianggap sebagai
lintah darat yang mengeksploitasi rakyat. Tujuan SI melibatkan diri dalam dunia politik
adalah untuk mendirikan negara Islam yang merdeka dari penjajah. H.O.S
Tjokroaminoto menekankan pentingnya kemerdekaan umat Muslim dan kemerdekaan
kebangsaan untuk menguasai negeri tumpah darah mereka sendiri. Ini mencerminkan
pergeseran fokus SI dari ekonomi dan perdagangan ke perjuangan politik dan
kemerdekaan nasional.17

B. Budi Uetomo 1908

Gerakan ini berawal dari semangat kebangsaan yang digerakkan oleh Mas Ngebehi
Soediro Husodo, seorang dokter asal Yogyakarta, pada tahun 1906-1907. Melalui badan
wakaf, ia mengembangkan pemikirannya untuk memberikan beasiswa kepada pelajar
Indonesia yang ingin melanjutkan studi, termasuk dari kalangan non priayi. Tantangan
muncul dari kalangan priayi kelas atas yang memiliki hubungan dekat dengan Belanda,
yang tidak ingin kaum awam memperoleh pendidikan tinggi. Ide ini mendapat
dukungan dari tokoh terpelajar seperti Raden R. Soetomo dan Raden Goenawan
Mangoenkoesomo. Dengan dukungan ini, terbentuklah organisasi Boedi Utomo pada
20 Mei 1908, dengan tujuan membina perkumpulan yang dapat menggalang semangat
kebangsaan dan pembangunan bangsa Indonesia, walaupun mayoritas anggotanya
berasal dari kalangan priayi.18

16
M Abdul Karim, “Islam Dan Kemerdekaan Indonesia” (Yogyakarta: Sumbangsih Press, 2005), hlm 21.
17
Abdul Sani, “Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam,” Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1998.
18
Amin, “Perjuangan Umat Islam Untuk Indonesia Abad 20.”

6
Gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia, terutama melalui SDI yang berbasis
Islam, dominan dan diprakarsai terlebih dahulu. SDI menghasilkan tokoh nasional
dengan jiwa Islami yang kuat, berpengaruh besar pada kemerdekaan. Meskipun
Kebangkitan Nasional diperingati pada hari lahir Boedi Utomo, ini terkait dengan
semangat nasionalisme tanpa embel-embel golongan. Gerakan ini bersifat nasional dan
melibatkan tokoh dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk ulama dan nasionalis.
Meski Islam memainkan peran penting dalam menyadarkan pentingnya kemerdekaan,
tokoh nasional juga turut melawan penjajah dan berjuang untuk kemerdekaan.

C. Muhammadiyah 1912

Muhammadiyah didirikan pada 18 November 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan, yang
lahir di Yogyakarta pada tahun 1868. Setelah naik haji ke Makkah tahun 1890, Ahmad
Dahlan mendapatkan pengaruh dari Syaikh Ahmad Khatib al Minagkabawi dan Syaikh
Djamil Djambek. Kembali dari Mekkah, Ahmad Dahlan memimpin perubahan,
termasuk membetulkan arah kiblat yang salah meskipun dihadapi pertentangan. Melalui
Muhammadiyah, ia mendorong pembaharuan dalam pendidikan, pemurnian ajaran
Islam, penghapusan bid'ah, takhayul, dan khurafat, serta penanggulangan kemiskinan
melalui badan wakaf dan zakat. Upayanya juga mencakup peningkatan ekonomi dan
taraf hidup dengan membangun usaha amal. Gagasan pembaharuan ini dipengaruhi
oleh pemikiran Ibn Taymiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Pan-Islamisme yang
diusung oleh Jamaluddin al Afghani, Muhammad Abduh, dan lainnya yang
mengadvokasi persatuan, pembaharuan, dan kemerdekaan.19

D. Nahdatoel Oelama 1926

Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada tahun 1926 oleh K.H. Hasyim Asy’ari
sebagai respons terhadap penggantian kekuasaan di Hijaz dan pembongkaran tempat-
tempat suci oleh gerakan Wahabi di Makkah. NU menjadi wadah untuk
mempertahankan tradisi dan membalas gagasan pembaharuan dari kaum muda. K.H.
Hasyim Asy’ari, sahabat dekat K.H. Ahmad Dahlan, memiliki peran penting dalam
perjuangan kemerdekaan, seiring dengan Muhammadiyah yang dipimpin oleh K.H.
Ahmad Dahlan. Meskipun NU berbeda dengan gerakan pembaharuan lainnya, seperti
Muhammadiyah, keduanya saling mengisi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
19
Muhammad Saleh Tadjuddin, Mohd Azizuddin Mohd Sani, and Andi Tenri Yeyeng, “Dunia Islam
Dalam Lintasan Sejarah Dan Realitasnya Di Era Kontemporer,” Jurnal Ushuluddin: Media Dialog Pemikiran Islam
20, no. 2 (2016).

7
NU aktif dalam politik, berhasil mengalahkan PKI, dan membentuk unit militer
Hizbullah selama pendudukan Jepang. Pada akhirnya, NU ikut serta dalam
pembentukan ideologi negara dengan nilai-nilai Islam, meskipun terhadap pandangan
kelompok nasionalis dan non-Islam. Pergerakan politik umat Islam terus berkembang
dengan lahirnya MIAI yang menjadi Masyumi, menunjukkan semangat Islam dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

E. Jami’at al Khair dan al Irsyad

Gerakan pembaharuan di Minang Kabau oleh kaum muda juga terjadi di Jawa,
terutama di Jakarta, dengan munculnya Jami'at al Khair pada 17 Juli 1905 M.
Organisasi ini, yang didirikan oleh Sayyid Muhammad al Fakhir ibn al Mansyur dan
lainnya, fokus pada pembaharuan dan pemurnian ajaran Islam. Jami'at al Khair
menekankan pendidikan dengan mendirikan pesantren-sekolah untuk melawan
pengaruh penjajah yang bersifat kristenisasi. Namun, perselisihan internal terjadi terkait
strata sosial di dalam organisasi, mengakibatkan berdirinya al Irsyad pada tahun 1913.
Al Irsyad, dibentuk oleh pedagang dan tokoh non-sayyid, termasuk Syaikh Umar
Manggus, memiliki fokus pada modernisasi pendidikan di Indonesia. Tokoh penting,
Ahmad Sokarti, berperan besar dalam upaya ini. Al Irsyad juga mengadvokasi
emansipasi sosial, menentang pengkultusan terhadap individu atau kelompok, dan aktif
dalam bidang politik, menentang pengaruh Belanda untuk menciptakan keharmonisan
di kalangan umat Muslim Indonesia.

F. Persatuan Islam (Persis)

Pada tahun 1920, sebagai respons terhadap pergolakan dan pertikaian di al


Irsyad/Jami'at al Khair serta masuknya komunisme ke dalam SI, serta perkembangan
pemikiran pembaharuan dalam Islam, H. Zam zam dan H. Muhammad Junus
mendirikan PERSIS di Bandung. Salah satu tokoh utama dalam pergerakan ini adalah
Ahmad Hasan, yang fokus pada pemurnian akidah Islam dengan pengaruh dari
pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab. Selanjutnya, Muhammad Nastir, seorang
tokoh Pembaharu, lebih berfokus pada dunia pendidikan sebagai respons terhadap
semangat dan dinamika perubahan zaman. Meskipun bukan produk pesantren, Nastir
mendapat pengaruh dari ulama seperti Tuanku Mudo Amin, sahabat Kiyai Haji Rasuli,
dan H. Abdullah Ahmad, yang memberikan sumbangsih pemikiran penting kepadanya.

8
D. Kebangkitan Nasional 2
1. Usaha Umat Islam Menjelang Persiapan Kemerdekaan Indonesia
A. MIAI
Dr. Karim mengungkapkan bahwa kekuatan fisik yang mendorong tercapainya
kemerdekaan Indonesia adalah kekuatan organisasi dan kekuatan partai. Kaum Muslim,
terutama Muhammadiyah dan NU, memprakarsai pembentukan MIAI pada 21
September 1937 sebagai upaya pembaharuan20. MIAI menjadi wadah sentral bagi
pergerakan Islam, memusatkan perjuangan dan kegiatan untuk mencapai kemerdekaan,
mengguncang Belanda. Meskipun Jepang mencoba memadamkan pengaruh MIAI
dengan membentuk Masyumi pada tahun 1944, upaya ini memunculkan pasukan
Hizbullah dan akhirnya pemberontakan oleh tentara PETA pada 14 Februari 1945.
Pemberontakan ini mendapat dukungan dari kalangan politikus, termasuk Bung Karno
dan Bung Hatta, serta para ulama.
B. Sumpah Pemuda
Sementara itu, gerakan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 merupakan hasil
dari kesadaran perjuangan bersama dengan semangat nasionalisme yang tinggi untuk
menyatukan perjuangan daerah seperti Jong Java, Jong Sumatera, dan Jong Ambon.
Sumpah Pemuda menjadi perwujudan nasionalisme Boedi Utomo dan melibatkan
tokoh-tokoh Islam seperti Tirtoadisurjo, Dr. Wahidin, K.H. Ahmad Dahlan, Cipto
Mangkusumo, Dr. Soetomo, H. Samanhudi, dan Tjokro Aminoto dalam pergerakannya.
2. Usaha Umat Islam dalam Berjuang dan Mempertahankan Kemerdekaan
Indonesia
A. Jihad Lewat Peperangan

Pada masa penjajahan Jepang, Muhammadiyah dan NU berhasil membentuk


Tentara Pembela Tanah Air (PETA) pada tahun 1943, yang dilatih oleh Jepang dengan
ulama sebagai komandan. Kekuatan ini menjadi dasar pembentukan Tentara Nasional
Indonesia (TNI). Muhammadiyah dan NU memiliki semboyan perjuangan masing-
masing, dan peran ulama dan kiyai sangat jelas dalam mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Resolusi jihad dikeluarkan oleh NU dan Muhammadiyah dalam menghadapi
kembalinya penjajah. Perang Sabil Ambarawa pada 1945 menunjukkan peran laskar
Hizbullah dalam menghadapi militer sekutu, yang memunculkan Soedirman sebagai
Panglima Besar TNI.

20
Posha, “Perkembangan Islam Di Indonesia Pasca Kemerdekaan.”

9
B. Politik

Dalam politik, ulama seperti Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimodjo, dan


KH Wahid Hasyim berperan penting dalam membentuk falsafah Pancasila dan UUD
1945. Partai Masyumi lahir dari muktamar ulama pada 1945, tetapi perbedaan internal
menyebabkan pecahannya. Partai Islam seperti Masyumi dan NU mengalami kesulitan
bersaing dalam pemilihan umum 1955, di mana dominasi partai nasionalis dan komunis
berkembang. Era Soekarno diwarnai konflik dengan partai Islam, terutama Masyumi
yang dibubarkan pada tahun 1960. Pasca-kemerdekaan, fragmentasi partai Islam
menyulitkan persatuan umat Islam dalam politik.

C. Gerakan Pemikiran

Gerakan pemikiran Islam di Indonesia mencerminkan perubahan pada masa Orde


Baru, di mana umat Islam dicurigai dan diawasi. Pemikiran ulama seperti Nurcholish
Madjid, Abdurrahman Wahid, Syafi'i Ma'arif, dan lainnya mencetuskan gerakan
pembaharuan dalam pemikiran Islam. Meskipun ada perkembangan pemikiran,
pengaruh politik Orde Baru membuat pergerakan umat Islam terkungkung. Penutup
mencerminkan bahwa perjuangan umat Islam di Indonesia telah terkait erat dengan
perjuangan kemerdekaan dari penjajah, usaha penerapan hukum Islam di negara ini,
dan pengaruh gerakan dan pemikiran dari Timur Tengah. Meskipun ada perbedaan dan
tantangan, semangat jihad untuk menjaga dan mempertahankan kemerdekaan terus
hidup dalam pendidikan pesantren, madrasah, dan kegiatan sosial umat Islam hingga
saat ini.

D. Penutup

Perjuangan umat Islam di Indonesia dalam mencapai kemerdekaan terkait erat


dengan perlawanan terhadap penjajah dan usaha penerapan dasar-dasar hukum Islam.
Terinspirasi oleh pergerakan dan pemikiran dari Timur Tengah, seperti Mekkah, Mesir,
dan India, yang mengusung Pan Islamisme, umat Islam Indonesia berjuang bersama
untuk merebut kemerdekaan dan mengusir penjajah. Perlawanan dimulai sejak
kedatangan penjajah, menghadapi tantangan fisik yang berhasil memukul mundur
penjajah. Pada abad ke-20, Belanda mencoba mengamankan posisinya dengan
mendekati ulama dan mengadopsi politik tanam paksa agar umat Islam tidak terlalu
terlibat dalam politik. Penjajah juga berusaha mengontrol pendidikan dan ekonomi,
serta memainkan faktor-faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya untuk

10
menjaga dominasinya. Meski kemerdekaan berhasil diraih, upaya penerapan hukum
Islam di Indonesia belum sepenuhnya terwujud, sebagian karena perbedaan
kepentingan di kalangan elit politik Islam.

E. Pancasila
1. Menjelang dan Pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (Bagian 1)
A. Sidang Pertama BPUPKI

Pada tahun 1941, Jepang menyerang pangkalan militer Amerika Serikat di Port
Harbour, memulai Perang Asia Timur Raya dan memperluas medan pertempuran
Perang Dunia II. Jepang kemudian ekspansi ke Asia Timur dan Asia Tenggara,
termasuk Indonesia. Penyerahan tanpa syarat Belanda pada Maret 1942 menyebabkan
berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia. Pendudukan militer Jepang
berakhir pada 1945 setelah dikalahkan oleh pasukan Sekutu. Pada 1944, posisi Jepang
semakin kritis, dan untuk menarik simpati rakyat Indonesia, mereka janji kemerdekaan.
Janji tersebut diumumkan oleh Perdana Menteri Kuniaki Koiso, dan pada April 1945,
dibentuklah BPUPKI untuk mempersiapkan dasar negara Indonesia merdeka. Sidang
pertama BPUPKI pada Mei-Juni 1945 melibatkan tokoh nasionalis Islam dan non-
Islam. Tiga tokoh, Muhamad Yamin, Soepomo, dan Soekarno, mengajukan rumusan
dasar negara, tetapi sidang belum menghasilkan satu kesepakatan.21

B. Sidang Kedua BPUPKI

Sidang kedua BPUPKI pada tanggal 10-16 Juli 1945 membahas rancangan UUD
yang diserahkan kepada Panitia Perancang UUD di bawah kepemimpinan Ir. Soekarno.
Panitia menyetujui Piagam Jakarta sebagai inti Pembukaan UUD, yang dirumuskan
oleh sembilan anggota, termasuk Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ahmad Soebarjo.
Piagam ini memuat prinsip dasar negara, seperti ketuhanan dengan syariat Islam,
kemanusiaan yang adil, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan, dan keadilan sosial. Rumusan terakhir oleh tokoh seperti K.H. Wachid
Hasyim dan Mohammad Hatta disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945, menjadi
Pancasila, falsafah bangsa Indonesia.

C. Sidang Pertama PPKI


21
Yana Suryana et al., “Ensiklopedi Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan: Persatuan Dan
Kesatuan Bangsa” (Klaten: Cempaka Putih, 2014).

11
PPKI, singkatan dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, menggantikan
BPUPKI dan dibentuk untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Sidang pertama
PPKI pada 18 Agustus 1945 menjadi penting saat masyarakat Indonesia timur
menyampaikan keberatan terhadap rumusan Piagam Jakarta. J. Latuharhary, perwakilan
mereka, mengusulkan perubahan pada sila pertama kepada Moh Hatta dan tokoh Islam
Ki Bagus Hadikusuma. Setelah diskusi, disepakati untuk mengganti rumusan
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam dengan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Pada saat itu, PPKI mengesahkan UUD 1945 dengan lima sila Pancasila, termasuk
Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengurangan terhadap Piagam Jakarta terjadi karena
sanggahan-sanggahan dari penganut agama lain terhadap asas sila pertama, namun
perubahan ini diterima untuk menjaga persatuan dalam mencapai kemerdekaan.
Meskipun terjadi revisi setelah kemerdekaan, kehadiran ulama dan peranannya dalam
mencetuskan asas negara membuka pintu kemerdekaan Indonesia dengan falsafah
negara sebagai syarat wajib pembentukan negara.

F. Menjelang dan Pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (Bagian 2)


A. Perdebatan Di Konstituante 1959

Perdebatan di Konstituante 1959 mencakup sejarah evolusi konstitusi Indonesia.


UUD 1945, sebagai konstitusi pertama, terdiri dari pembukaan, batang tubuh, dan
penjelasan. Pembukaan memiliki empat alinea, batang tubuh terdiri dari 16 Bab, 37
pasal, 4 aturan peralihan, dan 2 ayat aturan tambahan. Konstitusi RIS hasil KMB antara
Indonesia dan Belanda memiliki mukadimah, batang tubuh dengan 6 bab dan 197 pasal,
serta lampiran. Keberadaan UUDS 1950 muncul karena negara-negara bagian ingin
bergabung kembali dengan Republik Indonesia setelah menjadi negara Federal
berdasarkan Konstitusi RIS. UUDS 1950 dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1950 dengan mukadimah dan batang tubuh terdiri dari 6 bab dan 1.46 pasal.22

Pada periode 1945-1949, Indonesia membentuk negara Kesatuan dengan


pemerintahan republik dan sistem presidensial. Meskipun Presiden Soekarno memiliki
potensi menjadi diktator, kekuasaannya dibatasi oleh Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP). Pembentukan partai politik diizinkan melalui maklumat wakil presiden,
22
Suryana et al, (Klaten: Penerbit Cempaka Putih, 2013), hlm.10.

12
menjadi dasar bagi sistem perpartaian di Indonesia. Periode ini mencerminkan tekad
para pemimpin untuk mewujudkan pemerintahan demokratis, tetapi karena perjuangan
mempertahankan kemerdekaan, demokrasi belum sepenuhnya terwujud sesuai UUD
1945.

Selama berlakunya Konstitusi RIS dan UUDS 1950, Indonesia mengadopsi sistem
pemerintahan parlementer. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh kabinet dan perdana
menteri, yang bertanggung jawab kepada DPR. Legislatif dipegang oleh DPR yang
terbentuk melalui pemilu multipartai, dengan partai mayoritas membentuk kabinet.
Presiden hanya sebagai kepala negara, sedangkan kepala pemerintahan dijabat oleh
perdana menteri. Ada mekanisme pembentukan kabinet baru, dan DPR dapat
menyatakan mosi tidak percaya. Beberapa kabinet di era demokrasi liberal antara lain
Kabinet Natsir, Kabinet Soekiman-Soewiryo, Kabinet Wilopo, Kabinet Ali
Sastroamijoyo, Kabinet Brhanuddin Harahap, Kabinet Ali II, dan Kabinet Juanda.

B. Dektrit Presiden 1959

Pemilu 1955 di Indonesia bertujuan memilih anggota DPR dan konstituante untuk
menyusun Undang-Undang Dasar. Namun, hingga 1959, konstituante gagal membentuk
undang-undang dasar baru. Pada 5 Juli 1959, presiden mengeluarkan dekret yang
membatalkan konstituante, mengembalikan UUD 1945, dan membentuk Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara.
Sejak itu, Indonesia mengadopsi UUD 1945.

Demokrasi berubah menjadi terpimpin, dikendalikan oleh pemimpin dengan alasan


keamanan, perekonomian, dan kegagalan konstituante. Demokrasi terpimpin
menyebabkan sentralisasi kekuasaan pada presiden, termasuk pengangkatan anggota
DPR tanpa pemilu, pembubaran DPR, dan pengangkatan presiden seumur hidup.
Periode 1945-1950 disebut fase transitif, dengan ideologi yang bersatu melawan
kekuatan Belanda. Masa distruptif (1950-1960) menampilkan konflik ideologis antara
partai, tetapi kekuatan bersenjata dan birokrasi yang satu mendukung konsensus.
Periode 1960-1965 disebut masa agresif, dengan pemimpin tunggal dan agresi internal
serta eksternal. Setelah peristiwa 1965, disebut fase integratif, di mana PKI tidak lagi
dominan, tetapi ideologi belum bergeser sepenuhnya.23

23
Kuntowijoyo and AE, “Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi.”, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, Cet
1, 2008), hlm. 352-353.

13
G. Islam Ssebagai Ssumber Inspirasi Pancasila
A. Islam dan Muqodimah UUD 1945

Dalam bukunya "Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat


Islam," Adian Husaini menyoroti upaya beberapa pihak yang masih mencoba
menggunakan Pancasila dan UUD 1945 untuk membungkam aspirasi keagamaan umat
Islam di era reformasi. Ia menekankan bahwa penggunaan Pancasila dan UUD 1945
untuk menindas aspirasi umat Islam adalah suatu kesalahan dan tidak sesuai dengan
makna sebenarnya. Adian Husaini mendorong bangsa Indonesia, terutama kaum
muslim, untuk berpikir jernih dan tidak terpengaruh oleh upaya adu domba. 24
Menurutnya, umat Islam seharusnya menafsirkan Pancasila melalui kacamata Islam,
mengingat tokoh-tokoh Islam terkemuka yang melahirkan Pancasila dan aspirasi umat
Islam yang terwakili oleh 5200 tokoh ulama seluruh Indonesia.

UUD 1945 adalah konstitusi pertama Indonesia yang terdiri dari pembukaan,
batang tubuh, dan penjelasan. Pembukaan memiliki empat alinea, sementara batang
tubuh terdiri dari 16 Bab, 37 pasal, 4 aturan peralihan, dan 2 ayat aturan tambahan.
Penjelasan mencakup tujuh kunci pokok sistem pemerintahan Indonesia. Meskipun
Muqoddimah UUD 1945 mirip dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945, perubahan dasar
negara dari "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya" menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" tidak menghilangkan jejak ajaran
Islam, khususnya konsep Tauhid Pengesaan Allah SWT.

Muqoddimah UUD 1945 menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak segala


bangsa dan menentang penjajahan dunia yang tidak sesuai dengan kemanusiaan dan
keadilan. Kalimat "atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa" dalam alinea ketiga
mencerminkan pengakuan terhadap berkah dan rahmat Allah SWT dalam perjuangan
meraih kemerdekaan. Kalimat ini juga diinterpretasikan sebagai dorongan untuk
menerapkan hukum Allah di Indonesia sebagai ungkapan syukur yang tulus atas
kemerdekaan.

B. Islam dan Pancasila

24
Adian Husaini, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam: Kesalahpahaman
Dan Penyalahpahaman Terhadap Pancasila, 1945-2009 (Gema Insani, 2009).

14
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia memiliki lima sila yang mencakup nilai-
nilai fundamental. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung prinsip
Tauhid Islam yang menekankan kesatuan Allah. Nilai-nilai yang bertentangan seperti
Atheisme dan Komunisme harus dilarang. Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, menitikberatkan pada nilai-nilai kemanusiaan dalam Islam, dan hak asasi
manusia harus sejalan dengan kewajiban beribadah kepada Allah. Sila ketiga, Persatuan
Indonesia, harus mendorong persatuan, gotong royong, dan pluralitas dalam semangat
toleransi. Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan,
menekankan pentingnya musyawarah dalam memimpin negara. Musyawarah
dipandang sebagai prinsip Islam yang tidak mungkin melanggar hukum agama. Sila
kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menegaskan prinsip ekonomi
kerakyatan yang seimbang antara hak individu dan hak sosial, serta memberikan
justifikasi bagi pelembagaan ekonomi Islam sebagai sistem ekonomi negara.

H. Pancasila sebagai Dasar Negara, Pandangan Hidup, Falsafah Bangsa, dan Ideologi
Hidup
1. Pancasila sebagai Dasar Negara

Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, menetapkan nilai-nilai yang menjadi


landasan dan panduan dalam mengatur kehidupan bernegara. Pancasila mencakup nilai-
nilai universal dengan nuansa humanisme, membuatnya dapat diterima secara luas.
Meskipun bersifat universal, Pancasila khusus untuk Indonesia, menjadi identitas
bangsa yang terbentuk dari sejarah dan budaya sendiri. Falsafah ini tidak dapat
dipisahkan dari lima sila-silanya yang membentuk kesatuan yang tidak dapat diubah
letak atau susunannya. Setiap sila memiliki nilai khusus, seperti Ketuhanan Yang Maha
Esa yang menegaskan monotheisme dan toleransi, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
yang menitikberatkan pada martabat manusia, Persatuan Indonesia yang mencerminkan
persatuan bangsa, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan, dan Keadilan
Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai dasar Pancasila yang terdapat dalam
UUD 1945 memiliki kedudukan yang kuat dan tidak dapat diubah secara hukum,
mengandung nilai dasar, instrumen, dan praktis yang mencirikan landasan moral dan
hukum negara.25

25
Syahrial Syarbaini, “Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi,” 2001.

15
Pancasila adalah ideologi dasar negara Indonesia yang terdiri dari lima sila.
Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa; kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab;
ketiga, Persatuan Indonesia; keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan kelima, Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara menggarisbawahi nilai-nilai
universal yang mencerminkan karakter dan identitas bangsa Indonesia.26

2. Pandangan Hidup dalam Pancasila

Pancasila tidak hanya menjadi dasar negara, tetapi juga mencakup pandangan
hidup yang mengajarkan nilai-nilai moral dan etika. Pandangan hidup Pancasila
mencerminkan sikap hidup yang menghormati kehidupan, kebenaran, keadilan, dan
kebersamaan. Nilai-nilai tersebut menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-
hari dan membangun hubungan sosial yang harmonis.27

3. Falsafah Bangsa dalam Pancasila

Falsafah bangsa adalah konsep-konsep filosofis yang menjadi dasar pemikiran dan
tindakan masyarakat. Dalam konteks Pancasila, falsafah bangsa Indonesia mengandung
nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara, mencakup kebersamaan, gotong-
royong, serta semangat persatuan dan kesatuan.28

4. Ideologi Hidup dalam Pancasila

Ideologi hidup dalam Pancasila mengajarkan tata nilai yang mengarah pada
kehidupan yang bermakna. Hal ini melibatkan tanggung jawab individu terhadap
masyarakat dan negara, serta semangat untuk berkontribusi positif dalam pembangunan
nasional.29

I. Pancasila Sebagai Etika Politik


Etika politik mencoba menggali tanggung jawab dan kewajiban manusia dalam
konteks kemanusiaan, tidak hanya sebagai warga negara terhadap negara atau hukum
yang berlaku. Fungsinya terbatas pada menyediakan kerangka teoritis untuk

26
Ratna Sari and Fatma Ulfatun Najicha, “Memahami Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Dasar Negara Dalam
Kehidupan Masyarakat,” Harmony: Jurnal Pembelajaran IPS Dan PKN 7, no. 1 (2022): 53–58.
27
Revi Amelia Putri Nur et al., “Peran Pendidikan Pancasila Dalam Membentuk Karakter Bangsa
Indonesia: Tinjauan Dan Implikasi,” Advanced In Social Humanities Research 1, no. 4 (2023).
28
Syaiful Arif, Falsafah Kebudayaan Pancasila (Gramedia Pustaka Utama, 2016).
29
Teuku Muharam Rizqullah and Fatma Ulfatum Najicha, “Pegimplementasian Ideologi Pancasila
Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara,” Jurnal Kewarganegaraan 6, no. 2 (2022).

16
mempertanyakan legitimasi politik secara rasional, obyektif, dan argumentatif, tanpa
dipengaruhi oleh emosi, prasangka, atau apriori. Meskipun tidak langsung campur
tangan dalam politik praktis, etika politik membantu memastikan pembahasan ideologi
dilakukan secara obyektif. Melalui pemberian pedoman orientasi dan normatif, etika
politik memungkinkan mereka yang ingin menilai kualitas tatanan politik dengan
merujuk pada martabat manusia atau mempertanyakan legitimasi moral dalam
keputusan politik yang diambil dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat.30

Hukum dan kekuasaan negara merupakan fokus utama etika politik, dengan
prinsip-prinsip seperti the rule of law, partisipasi demokratis, hak asasi manusia, dan
keadilan sosial sebagai pedoman moral bagi suatu negara. Permasalahan utama etika
politik adalah legitimasi etis kekuasaan, di mana penguasa harus bertanggung jawab
kepada masyarakat. Kewibawaan penguasa terkait dengan keselarasan sosial, di mana
ketidakpuasan dan keresahan dapat mengancam kedudukan mereka. Legitimasi
kekuasaan dibagi menjadi etis dan legalitas. Kekuasaan diinginkan memiliki hati
nurani, yakni keadilan dan kemakmuran rakyat, sementara kehilangan hati nurani dapat
merusak tatanan masyarakat. Profesor Notonogoro menekankan pentingnya nilai dan
moral dalam mewujudkan kepemimpinan yang baik, dengan nilai-nilai material, vital,
dan kerohanian sebagai landasan. Dalam pelaksanaannya, nilai-nilai tersebut dijabarkan
dalam norma, yang mencerminkan kesadaran dan sikap luhur yang diinginkan oleh tata
nilai. Norma dapat berasal dari agama, moral, kesopanan, atau hukum, dengan sanksi
yang sesuai.

J. Pancasila Sebagai Norma Dasar Ketatanegaraan Republik Indonesia


Undang-undang dasar adalah kumpulan aturan atau ketentuan mengenai hal-hal
mendasar ketatanegaraan suatu negara, yang memiliki sifat kekal dan luhur. Proses
perubahan undang-undang dasar memerlukan cara istimewa dan lebih berat
dibandingkan peraturan sehari-hari. Meskipun bukan syarat mutlak bagi keberadaan
suatu negara, undang-undang dasar penting untuk menyusun aturan pokok
ketatanegaraan. Meskipun materinya berbeda-beda, undang-undang dasar memberikan
dasar bagi penyelenggaraan yang baik. Walaupun kerajaan Inggris tidak memiliki
undang-undang dasar, dalam konteks modern, terutama untuk negara yang baru
30
Syarbaini, “Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi.” , (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hlm.28-29.

17
terbentuk, keberadaan undang-undang dasar mutlak diperlukan agar aturan pokok
negara dapat dipahami dengan mudah oleh penguasa dan masyarakat.31

Undang-Undang Dasar 1945 adalah hukum dasar tertulis yang mengikat


pemerintah, lembaga negara, masyarakat, dan warga negara Indonesia di seluruh
wilayah NKRI. Sebagai hukum, UUD 1945 berisi norma, aturan, dan ketentuan yang
harus dijalankan dan ditaati. Dalam teori, undang-undang dasar harus memenuhi dua
syarat, yaitu menjadi naskah tertulis yang merupakan undang-undang tertinggi dalam
suatu negara, dan berisi peraturan fundamental yang mencakup hal-hal pokok atau
dasar, bukan seluruh masalah yang dianggap penting. Isi UUD 1945 dapat berubah
seiring perkembangan zaman, hanya mencakup hal-hal dasar yang bersifat
fundamental.32

UUD 1945 merupakan hukum dasar dan sumber hukum utama di Indonesia. Setiap
produk hukum dan tindakan kebijakan pemerintah harus berdasarkan UUD 1945, yang
juga mencakup hukum dasar tertulis dan tidak tertulis (konvensi). Proses perubahan
UUD 1945 dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu prosedur biasa dan prosedur
istimewa. Meskipun pada dasarnya bersifat kaku, pada masa Orde Baru, UUD 1945
menjadi sulit diubah dengan pengenapan Ketetapan MPR tentang Referendum. UUD
1945 bersifat tertulis, mengikat, singkat, dan supel, berfungsi sebagai kontrol norma-
norma hukum positif yang lebih rendah. Namun, pelaksanaan UUD 1945 tidak selalu
sesuai karena adanya tiga jenis penilaian terhadap konstitusi, yaitu nilai normatif, nilai
nominal, dan nilai semantik, yang menggambarkan ketidaksesuaian antara aspek
hukum dan kenyataan pelaksanaannya.

K. Pancasila Sebagai Paradigma Kehidupan dalam Bermasyarakat, Berbangsa dan


Bernegara
Paradigma adalah sekumpulan asumsi teoritis yang umum, menjadi landasan
hukum, metode, dan penerapan dalam ilmu pengetahuan, menentukan sifat dan karakter
ilmu pengetahuan.33 Pancasila, sebagai kesatuan sila-sila, menjadi sumber nilai,
kerangka berpikir, dan asas moralitas dalam pembangunan IPTEK. Peninjauan sila-sila

31
Syahrial Syarbaini, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003),
hlm.97-98.
32
Fajlurrahman Jurdi, Hukum Tata Negara Indonesia (Kencana, 2019).
33

18
Pancasila secara berurutan mencerminkan sistem etika dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

Pancasila memiliki kedudukan sebagai paradigma pembangunan nasional yang


harus diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai
kerangka kognitif, Pancasila harus menjadi landasan dalam membangun identitas
bangsa dan kepribadian nasional, dengan mengembangkan budaya ilmu pengetahuan
untuk memupuk persatuan dan kesatuan. Nilai-nilai Pancasila juga harus terasa dalam
perubahan masyarakat akibat pembangunan, dan menjadi kontrol nilai dalam proses
pembangunan nasional. Pancasila dianggap sebagai etos pembangunan, diwujudkan
melalui konsistensi antara teori dan tindakan, serta dijadikan moral dalam
melaksanakan pembangunan nasional.

Dalam perspektif Pancasila, pembangunan harus mengutamakan nilai-nilai


kemanusiaan sebagai nilai inti budaya. Prinsip-prinsip seperti hormat terhadap
keyakinan religius, martabat manusia, kesatuan bangsa, nilai-nilai demokrasi, dan
keadilan sosial juga harus diperhatikan dalam pembangunan nasional. Aktualisasi nilai-
nilai Pancasila memerlukan kondisi yang memungkinkan masyarakat mencerminkan
nilai-nilai tersebut dalam perilaku sehari-hari, bukan hanya sebatas retorika.
Pelaksanaan Pancasila dapat dilakukan secara objektif dalam penyelenggaraan negara
dan subjektif melalui kesadaran dan ketaatan individu untuk mengamalkannya.

L. Pancasila: Antara Idealitas & Realitas


Dimensi realitas dalam Pancasila mengandung nilai-nilai dasar yang berasal dari
realitas masyarakat Indonesia. Ini berarti bahwa nilai-nilai Pancasila tercermin dari
nilai-nilai yang ada dalam kehidupan sehari-hari dan dalam penyelenggaraan negara.
Sebaliknya, dimensi idealitas mencakup cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai
aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian,
Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia memadukan kedua dimensi ini,
menciptakan hubungan saling terkait antara realitas dan cita-cita yang memotivasi
untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang diharapkan. Contoh dari kedua dimensi tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Idealitas dalam Pancasila

19
Idealitas dalam Pancasila mencakup nilai-nilai dasar sebagai pedoman hidup dan
cita-cita untuk mencapai masa depan negara yang lebih baik. Nilai-nilai ideal seperti
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan memberikan harapan,
semangat, dan motivasi bagi masyarakat dalam mewujudkan cita-cita bersama.
Penerapan idealitas Pancasila terlihat dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari,
melibatkan masyarakat, sistem pemerintahan, bela negara, dan kehidupan sehari-hari.
Ini mencakup pengakuan terhadap Tuhan yang Maha Esa, penghormatan terhadap
martabat manusia, terwujudnya persatuan bangsa, lembaga perwakilan yang
demokratis, dan masyarakat yang adil serta makmur. Idealitas Pancasila bersifat
sistematis, menyeluruh, dan rasional, menjadi landasan kokoh bagi masyarakat
Indonesia dalam mengembangkan nilai-nilai positif dan membangun negara yang adil
dan sejahtera.
2. Realitas dalam Pancasila
Pancasila sebagai landasan ideologi Indonesia harus tercermin secara nyata dalam
kehidupan masyarakat, termasuk dalam penyelenggaraan Negara. Pembudayaan
Pancasila memerlukan sosialisasi dan internalisasi untuk memengaruhi pola pikir,
sikap, dan tindakan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Sebagai ideologi terbuka,
Pancasila harus dapat beradaptasi dengan perubahan zaman dan tetap relevan dalam
menghadapi tantangan masyarakat. Penerapan dimensi realitas Pancasila melibatkan
sila-sila seperti Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan menjalankan ajaran agama dan
saling menghormati antarmanusia. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
mewajibkan tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, warna kulit, ekonomi, atau
pendidikan. Persatuan Indonesia terwujud dengan mencintai tanah air dan membeli
produk dalam negeri. Sila Kerakyatan mengajarkan menghargai karya teman,
memberikan bantuan, dan tidak mengancam kehidupan orang lain. Sila Keadilan Sosial
mendorong untuk memberi pertolongan agar orang lain dapat mandiri. Dalam
penerapan Pancasila, penting untuk mengembangkan perbuatan yang luhur,
menciptakan suasana kekeluargaan, dan menjaga keseimbangan hak dan kewajiban.

M. Ancaman Terhadap Pancasila


A. Sekulerisme

Sekulerisme dilihat dari perspektif syariah, itu dianggap bertentangan dengan


Islam. Ada suatu pertentangan yang mendasar, di mana kemenangan sekulerisme berarti

20
penggusuran syariah, dan sebaliknya.34 Sekulerisme diartikan sebagai pemisahan antara
agama dan negara/kehidupan. Menurut paham ini, agama tidak boleh ikut campur
dalam urusan kenegaraan, dan sebaliknya. Asal mula sekulerisme di Eropa berkaitan
dengan dominasi gereja pada Abad Pertengahan, di mana doktrin-doktrin Kristen
memaksa dan menyebabkan penyiksaan terhadap saintis yang berbeda pandangan.
Gereja juga terlibat dalam penindasan sosial dan politik, menyebabkan seruan untuk
memisahkan agama dan negara. Selain sekulerisme, liberalisme juga menjadi perhatian
karena menjadikan agama sebagai bagian dari sejarah dan tunduk pada perubahan
sejarah, suatu pandangan yang bertentangan dengan konsep Islam sebagai agama
wahyu yang tidak tunduk pada Sejarah, seperti firman allah dalam surat Al-Maidah ayat
3.35

Liberalisme telah ada sejak masa penjajahan Belanda, tetapi secara sistematis
dimulai pada tahun 1970 ketika ketua umum PBHMI, Nurcholis Madjid, mengusulkan
perlunya menerapkan sekulerisme Islam. Madjid mengajukan ide ini dalam makalahnya
yang berjudul "Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat".
Dalam makalah tersebut, ia menekankan bahwa pembaruan pemikiran Islam harus
dimulai dengan dua tindakan yang erat hubungannya: melepaskan diri dari nilai-nilai
tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Madjid
menegaskan bahwa nostalgia terhadap masa lampau harus digantikan dengan
pandangan ke masa depan, dan untuk mencapai itu, diperlukan suatu proses liberalisasi
yang diterapkan pada ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam yang ada saat ini.

1. Materialisme
Materialisme merupakan pandangan filsafat yang menekankan materi atau
substansi fisik itu dasar dari realitas, dan semua fenomena, termasuk pemikiran dan
kesadaran, dapat dijelaskan sebagai hasil dari interaksi materi. Materialisme menolak
eksistensi entitas rohaniah atau spiritual yang mandiri dan memandang dunia secara
materialistik.
2. Positivisme
Positivisme merupakan pendekatan filsafat dan metodologi ilmiah yang
diperkenalkan oleh Auguste Comte. Konsep ini menekankan observasi empiris, metode
ilmiah, dan pengetahuan yang dapat diuji secara empiris sebagai dasar bagi

34
Daud Rasyid, Melawan Sekularisme! (Usamah Press, 2009).
35
Adian Husaini, “Liberalisasi Islam Di Indonesia,” Jakarta: Gema Insani, 2015.

21
pengetahuan. Positivisme menolak spekulasi metafisika dan mengajukan bahwa
pengetahuan ilmiah harus berdasarkan pada fakta yang dapat diobservasi.
3. Relativisme
Relativisme merupakan pandangan yang menyatakan nilai-nilai, norma-norma,
atau kebenaran bersifat relatif dan dapat bervariasi tergantung pada konteks, budaya,
atau pandangan individu. Dalam konteks moral, relativisme moral berpendapat bahwa
moralitas adalah relatif dan tidak ada standar moral yang berlaku secara universal.
4. Komunisme/Marxisme-Leninisme
Komunisme, konteks Marxisme-Leninisme, yaitu suatu ideologi politik dan
ekonomi yang diperkenalkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Ideologi ini
menekankan kepemilikan kolektif atas alat produksi dan penghapusan kelas sosial.
Marxisme-Leninisme mencakup gagasan revolusi proletariat, pendirian negara sosialis
sebagai langkah menuju masyarakat tanpa kelas (komunisme), dan pimpinan partai
vanguard yang mengarahkan transformasi sosial.

22
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Saidul. “Perjuangan Umat Islam Untuk Indonesia Abad 20.” Jurnal Al-Aqidah 10, no.
2 (2018): 83–101.

Arif, Syaiful. Falsafah Kebudayaan Pancasila. Gramedia Pustaka Utama, 2016.

Hizbullah, Nur. “Ahmad Hassan: Kontribusi Ulama Dan Pejuang Pemikiran Islam Di
Nusantara Dan Semenanjung Melayu.” Buletin Al-Turas 20, no. 2 (2014): 285–96.

Husaini, Adian. “Liberalisasi Islam Di Indonesia.” Jakarta: Gema Insani, 2015.

Husaini, Adian. Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam:
Kesalahpahaman Dan Penyalahpahaman Terhadap Pancasila, 1945-2009. Gema
Insani, 2009.

Jurdi, Fajlurrahman. Hukum Tata Negara Indonesia. Kencana, 2019.

Karim, M Abdul. “Islam Dan Kemerdekaan Indonesia.” Yogyakarta: Sumbangsih Press,


2005.

Kuntowijoyo, Priyono, and M AE. “Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi.” (No Title),
2008.

Nur, Revi Amelia Putri, Linashar Arum Truvadi, Rahma Trinita Agustina, and Irfan Fauzi
Badru Salam. “Peran Pendidikan Pancasila Dalam Membentuk Karakter Bangsa
Indonesia: Tinjauan Dan Implikasi.” Advanced In Social Humanities Research 1, no. 4
(2023): 501–10.

Posha, Beti Yanuri. “Perkembangan Islam Di Indonesia Pasca Kemerdekaan.” HISTORIA:


Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah 3, no. 2 (2015): 75–82.

Rasyid, Daud. Melawan Sekularisme! Usamah Press, 2009.

Rizqullah, Teuku Muharam, and Fatma Ulfatum Najicha. “Pegimplementasian Ideologi


Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara.” Jurnal Kewarganegaraan 6,
no. 2 (2022): 2630–33.

Sani, Abdul. “Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam.” Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1998.

23
Sari, Ratna, and Fatma Ulfatun Najicha. “Memahami Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Dasar
Negara Dalam Kehidupan Masyarakat.” Harmony: Jurnal Pembelajaran IPS Dan PKN
7, no. 1 (2022): 53–58.

Suliyah, Suliyah. “Sejarah Kebudayaan Islam,” 2021.

Suryana, Yana, Yudi Suparyanto, Khilya Fa’izia, and Novi Itariyani. “Ensiklopedi
Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan: Persatuan Dan Kesatuan Bangsa.” Klaten:
Cempaka Putih, 2014.

Suryanegara, Ahmad Mansur. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam Di Indonesia.


Mizan, 1995.

Syarbaini, Syahrial. “Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi,” 2001.

Tadjuddin, Muhammad Saleh, Mohd Azizuddin Mohd Sani, and Andi Tenri Yeyeng. “Dunia
Islam Dalam Lintasan Sejarah Dan Realitasnya Di Era Kontemporer.” Jurnal
Ushuluddin: Media Dialog Pemikiran Islam 20, no. 2 (2016): 345–58.

24

Anda mungkin juga menyukai