Anda di halaman 1dari 3

Pada 2013 dan 2015 lalu, kabut asap menyerang Beijing.

Serangan kabut asap itu berdampak


serius pada aktifitas sehari-hari. Kegiatan di sekolah berhenti, lalu lintas kacau balau, hingga
menghentikan seluruh operasi pabrik manufaktur. Munculnya kabut asap itu tidak terjadi tiba-
tiba. Hal tersebut menandakan kondisi lingkungan di Cina sedang dalam kondisi yang buruk.
Problem ekologis inilah yang menjadi tantangan besar pemerintah Cina. Pertumbuhan ekonomi
Cina yang tinggi, PDB (Produk Domestik Bruto) yang terus tumbuh setiap tahun, ternyata
dibarengi menurunnya kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat. Terjadinya krisis ekologi
di Cina, menurut Eleanor Albert dari Council on Foreign Relations, disebabkan banyak faktor
yang saling berhubungan satu sama lain. Mulai dari emisi karbon, penggunaan energi, hingga
arus perpindahan penduduk. Cina merupakan penghasil emisi karbon terbesar di dunia,
melampaui Amerika Serikat, pada 2007. Secara keseluruhan, Cina bertanggung jawab atas 27
persen emisi global pada 2014. Dampaknya, menurut laporan Greenpeace East Asia, 80
persen dari total 367 kota di Cina memiliki kualitas udara di bawah standar kesehatan
internasional. Di lain sisi, konsumsi energi di Cina juga terus mengalami peningkatan sejak
akhir 2015. Dalam laporan yang dilansir The New York Times, diketahui konsumsi energi Cina
17 persen lebih banyak dibanding sebelumnya. Konsumsi batubara diyakini menjadi alasan
menurunnya kualitas lingkungan di Cina. Negeri Tirai Bambu ini memang menjadi produsen
batubara terbesar di dunia, bahkan menyumbang setengah dari konsumsi global. Batubara
yang sebagian proses produksinya dibakar di wilayah utara Cina itu menyediakan sekitar dua
pertiga dari total kebutuhan energi negeri tersebut. Baca juga: Sampah-Sampah yang Disulap
Menjadi Jersey Menurut catatan Badan Energi Nasional Cina, penggunaan batubara turun
menjadi 64,2 persen pada 2014. Penurunan disebabkan melambatnya perekonomian. Meski
demikian, angka penggunaan batubara yang menurun bukan berarti memperkuat komitmen
Cina dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan. Pada 2015, kapasitas pembangkit listrik
tenaga batubara justru meningkat sebesar 55 persen dalam enam bulan pertama. Selain itu,
izin pembangunan 155 pabrik batubara yang baru telah disetujui oleh pemerintah. Kemudian,
pada 2014, terdapat 17 juta mobil baru yang ada di jalan-jalan. Sedangkan jumlah kepemilikan
mobil di Cina, dilansir Kementerian Keamanan Publik, mencapai 154 juta. Padahal, pada 2004,
jumlah kepemilikan mobil hanya sekitar 27 juta. Keberadaan mobil yang begitu banyak jelas
memberi kontribusi besar terhadap emisi karbon. Biro Statistik Nasional menjelaskan, faktor lain
yang turut menimbulkan krisis ekologi ialah laju urbanisasi. Dalam rencana pemerintah, pada
2020 terdapat 60 persen penduduk China yang tinggal di kota. Bagi pemerintah Cina,
urbanisasi yang masif dipercaya mampu memperkuat industrialisasi di kota-kota. Sementara itu,
para ahli menjelaskan penipisan air bersih dan polusi udara sebagai tantangan ekologi terbesar
di Cina. Negeri itu menjadi rumah bagi 20 persen populasi dunia yang, sayangnya, persediaan
air bersihnya hanya tersisa 7 persen. Menipisnya pasokan air bersih disinyalir akibat konsumsi
yang berlebih serta terkontaminasinya air dengan zat-zat kimia lain. Choke Point China, LSM
yang bergerak di bidang lingkungan, mengatakan sekitar dua pertiga dari 660 kota di Cina
mengalami kekurangan pasokan air bersih. Mantan Perdana Menteri China Wen Jiabao
menyebutkan masalah kekurangan air bersih ini mempertaruhkan keberlangsungan hidup
bangsa. Tercemarnya pasokan air tak bisa dilepaskan dari kehadiran sektor industri di
sepanjang kawasan sumber mata air. Pada 2014, persediaan air tanah di lebih dari 60 persen
kota besar dikategorikan “sangat buruk”. Sedangkan seperempat sungai utama di Cina
dianggap “tak layak untuk manusia”. Kondisi semakin buruk dengan pengolahan limbah yang
kacau, praktik pertanian yang tak ramah lingkungan, hingga perubahan iklim. Hasilnya, krisis air
yang terjadi di Cina telah mengubah sebagian lahan subur menjadi padang pasir. Menurut wakil
kepala Administrasi Kehutanan, sekitar 1,05 juta mil persegi daratan Cina mengalami
desertifikasi yang memengaruhi kehidupan lebih dari 400 juta orang. Polusi udara di Cina jelas
berdampak buruk. Polusi udara ini diduga menyebabkan sekitar 1,2 juta kematian dini setiap
tahun. Studi epidemologi yang dilakukan sejak 1980an menunjukkan buruknya kualitas udara di
kota-kota Cina menghasilkan komplikasi kesehatan seperti penyakit pernafasan hingga
kardiovaskular. Krisis ekologi ini akhirnya menimbulkan ancaman serius bagi pertumbuhan
ekonomi. Menurut berbagai perkiraan, sekitar 3 sampai 10 persen dari pendapatan nasional
akan susut akibat krisis ekologi. Sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup Cina, pada 2010,
menghitung biaya yang ditimbulkan dari krisis ekologi terutama pencemaran mencapai 227
miliar dollar atau 3,5 persen dari PDB. Kerusakan lingkungan juga mempengaruhi prospek
perekonomian Cina yang sedang gencar-gencarnya mengejar sumber daya ekstraktif di luar
negeri seperti minyak dan bahan bakar fosil. Menurut Michael Levi dalam By All Means
Necessary (2016), mitra ekonomi Cina, terutama di negara berkembang, akan menghadapi
beban lingkungan yang mahal ketika melakukan kesepakatan bisnis dengan Cina. Elizabeth C.
Economy dalam Economy the River Runs Black: The Environmental Challenge to China’s
Future (2004) mengatakan situasi lingkungan Cina saat ini merupakan hasil dari sikap,
pendekatan, dan kebijakan yang telah berevolusi selama berabad-abad. Menurutnya, sejak
zaman dahulu, para pemimpin dinasti di kerajaan Cina telah mengeksploitasi sumber daya alam
dengan cara yang berdampak pada bencana alam dan kelaparan. Baca juga: Satu Juta Hektare
Hutan di Sumsel Alami Kerusakan Respon Publik dan Langkah Nyata Pengendalian Akhir
tahun 2000, seruan untuk mengendalikan kerusakan lingkungan mulai merebak. Demonstrasi
yang mulanya hanya berbasis di pedesaan menjalar hingga perkotaan. Isu lingkungan yang
dibawa para demonstran membuat pemerintah Cina mulai khawatir. Pemerintah beranggapan
demonstrasi dapat membawa ancaman legitimasi untuk Partai Komunis Cina. Menurut Jane
Nakano dan Hong Yang dari Pusat Studi dan Strategi Internasional, masalah lingkungan telah
berubah menjadi isu utama. Sedangkan penyelesaiannya telah menjadi tantangan politik yang
krusial untuk kepemimpinan pemerintah. Sementara Chen Jiping, mantan anggota Komite
Politik dan Legislatif Partai Komunis Cina mengatakan isu lingkungan adalah alasan utama
terjadinya demontrasi yang dilakukan secara damai maupun berakhir kericuhan sepanjang
2013 di Guandong sampai Ningbo. Total, ada 712 demonstrasi lingkungan yang dilakukan
sepanjang 2013. Pemerintah Cina bukan tanpa tindakan. Pada Desember 2013, Komisi
Reformasi dan Pembangunan Nasional Cina mengeluarkan cetak biru yang berisikan rencana
dan tujuan pengendalian lingkungan sampai 2020. Lalu, sejak Januari 2014, pemerintah pusat
telah mewajibkan sekitar 15.000 pabrik—termasuk perusahaan milik negara—untuk
melaporkan kondisi emisi udara dan pengolahan limbah secara terbuka. Pemerintah juga
berjanji untuk menyediakan anggaran masing-masing sebesar 275 dan 333 miliar dollar selama
lima tahun untuk membersihkan pencemaran udara dan air. Pada Mei 2014, pemerintah Cina
memperkuat Undang-Undang Perlindungan Lingkungan untuk kali pertama dalam 25 tahun.
Langkah tersebut, menurut pengamat, mencerminkan mulai adanya perubahan pemahaman di
kalangan pemerintah tentang hubungan antara pembangunan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat. Baca juga: WWF dan Greenpeace Hentikan Kerja Sama dengan RAPP Kemudian
dalam sebuah pernyataan bersama mengenai perubahan iklim pada November 2014, Cina dan
Amerika Serikat berkomitmen menekan penggunaan emisi karbon pada 2030. Mereka juga
sepakat menyiapkan cadangan energi terbarukan. Investasi yang dikeluarkan Cina untuk
mengurangi emisi karbon mencapai 90 miliar dollar. Li Shuo dari Greenpeace East Asia
menyatakan terlepas dari reformasi politik yang dilakukan untuk mewujudkan perubahan nyata
dalam lingkungan, pemerintah Cina dinilai telah memberikan optimisme tentang masa depan
ekologi. Cina, yang dulu dikenal enggan mengambil sikap terhadap masalah lingkungan dan
perubahan iklim, muncul sebagai pemimpin dalam perundingan Konferensi Iklim PBB pada
2015 lalu di Paris. Dalam konferensi tersebut, sebanyak 195 negara menandatangani
kesepakatan yang berkaitan dengan pengendalian masalah iklim dan lingkungan. Di lain sisi,
Yanzhoung Huang dari Council on Foreign Relations menjelaskan meski pemerintah pusat
telah memiliki tujuan dalam isu lingkungan, pemerintah daerah harus lebih dilibatkan.
Mengingat kebijakan tentang lingkungan sulit dilakukan di tingkat daerah karena para pejabat
sering memprioritaskan pencapaian target ekonomi. Keselarasan perlu diciptakan seraya
mendorong adanya perubahan aktual terhadap kebijakan lingkungan dan pelaksanaan yang
efektif.

Anda mungkin juga menyukai