Anda di halaman 1dari 16

TUGAS

KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN


KONSERVASI LINGKUNGAN

Di Susun Oleh:

AMANUDDIN FAJAR FISU


D121 16 516

DEPARTEMEN TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2019
PENYEBAB KERUGIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
Suatu kajian dua tahun oleh perusahaan akuntansi Price Waterhouse
Coopers, yang ditugaskan oleh Program Lingkungan PBB (UNEP) berjudul
"Ekonomi Sistem Lingkungan dan Keragaman Hayati" (TEEB) menilai dampak
ekonomi dari praktik-praktik bisnis merusak lingkungan yang melumpuhkan dan
mencegah flora dan fauna, memberikan pelayanan ekosistem.
Laporan ini menarik perhatian pada kerugian miliaran dolar yang sebagian
besar diabaikan akibat aktivitas yang menyebabkan pencemaran air, gundulnya
hutan, terkurasnya ikan, dan hilangnya lahan karena erosi tanah dan kekeringan.
Perkiraan kerugian tahunan terhadap ekonomi dunia di tahun 2008 untuk praktik
demikian adalah antara US$2 triliun dan US$4,5 triliun, setara dengan 7,5% dari
pendapatan global. Penemuan-penemuan ini sungguh kritis saat ini karena
pemanasan global akibat ulah manusia terus memicu kemerosotan cepat dari
keragaman hayati global.
Dr. Heather MacKay dari Konvensi Ramsar, perjanjian konservasi lahan
basah internasional, berbicara kepada Supreme Master Television tentang
gawatnya situasi ini.
 Dr. Heather MacKay, Ketua Panel Sains dan Pengkajian Konvensi
Ramsar (STRP): Ini sudah sampai pada titik yang sangat serius. Kami
sekarang melihat banyak titik-titik kritis yang sangat penting sudah dicapai
di dalam ekosistem. Jadi kami sangat khawatir dan perlu mencoba dan
membalik hal ini.
 Supreme Master TV: Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO)
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyebut pemeliharaan ternak untuk
produksi daging dan susu ada di antara faktor-faktor utama penyebab
hilangnya keragaman hayati. Seperti yang disebutkan pada laporan FAO
sebelumnya, “Memang sektor ternak sangat mungkin adalah pemain utama
dalam berkurangnya keragaman hayati, karena ia adalah pendorong utama
penggundulan hutan, serta salah satu penggerak utama kemunduran
kualitas tanah, polusi, perubahan iklim, penangkapan ikan berlebihan,
pengendapan daerah pantai dan mempermudah serbuan spesies asing.”
 Dr. Heather MacKay: Produksi ternak intensif memang benar-benar
dapat menghabiskan sumber daya secara berarti. Kita semua harus
memeriksa pola makan kita, makanan dan konsumsi kita, dari mana
sumber air kita. Semua hal itu akan menjadi penting. Kita perlu bekerja
dalam tingkat pemerintahan internasional, tingkat nasional dengan
kebijakan dan undang-undang, tetapi kita juga perlu aktif memulihkan
ekosistim besar, memulihkan keragaman hayati, melindunginya.
 Supreme Master TV: Terima kasih, Dr. MacKay,
PriceWaterhouseCoopers dan UNEP yang telah menyoroti satu aspek lain
dari keuntungan sangat besar yang disediakan oleh tumbuhan dan hewan-
hewan di lingkungan kita. Semoga kita semua segera menjalankan pola
makan nabati yang melestarikan keragaman hayati demi ekonomi global
serta semua kehidupan di Bumi.
 Maha Guru Ching Hai : sejak lama telah menekankan pentingnya untuk
melestarikan dan melindungi semua makhluk penghuni Bumi, seperti pada
konferensi video bulan Juli 2008 di Formosa (Taiwan). Maha Guru Ching
Hai Jadi kita kehilangan banyak spesies yang berharga ini, banyak dari
kita yang hilang, karena mereka adalah kita. Dan kita masih belum bangun
juga. Kita seharusnya punya lebih banyak peraturan, lebih banyak
pedoman, untuk melindungi habitat alami. Di atas semuanya, pencerahan
adalah hal yang benar-benar diperlukan untuk memerintah. Itu yang
pertama. Dan pola makan vegan dengan motif yang benar, yang kedua,
akan menawarkan lebih banyak welas asih dan wawasan, juga akan
membantu melestarikan habitat alami yang berharga bagi satwa liar dan
melindungi sumber daya bagi manusia.

Bangsa-bangsa yang paling rentan berusaha memimpin dalam


pengurangan emisi. Dalam sebuah pertemuan yang diadakan di Maladewa akhir
pekan lalu dari enam negara yang dianggap paling berisiko atas naiknya muka air
laut, para pemimpinnya menetapkan sasaran untuk mengurangi emisi secara
berarti, bahkan melangkah menuju karbon netral sebagai cara untuk menunjukkan
komitmen untuk menghadapi pemanasan global.
Negara-negara itu adalah Antigua dan Barbuda, Maladewa, Kepulauan
Marshall, Samoa, Ethiopia, dan Costa Rica, yang berharap agar komitmen mereka
berperan sebagai motivasi bagi negara-negara lain, terutama pada saat-saat
menjelang petemuan perubahan iklim tahun ini di Meksiko. Presiden Maladewa
Mohamed Nasheed berkata, “Ketika mereka yang paling kekurangan mulai
melakukan yang terbanyak, itu menunjukkan bahwa ambisi setiap orang bisa
dinaikkan.”
Pujian kami, Yang Mulia, para pemimpin pertemuan lain dan rakyat yang
mulia dari negara-negara Anda. Mari kita semua ikut melakukan langkah-langkah
berkelanjutan yang perlu untuk menjamin dunia hijau bagi diri kita sendiri dan
anak-anak kita.
Daya dukung dan daya tampung lingkungan serta kondisi keanekaragaman
hayati berada dalam status berbahaya akibat perilaku manusia. Peringatan ini
muncul dari hasil kajian terbaru Intergovernmental Science-Policy Platform on
Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES). Dalam kajian yang dilaksanakan
selama 3 tahun berbiaya US$5 juta ini, tim ilmuwan meneliti ribuan laporan
ilmiah, termasuk data dan informasi dari pemerintah, kearifan masyarakat adat
dan kearifan lokal untuk mengetahui kondisi keanekaragaman hayati di seluruh
permukaan bumi (di lahan basah, di wilayah pesisir dan di daratan) serta
kontribusinya terhadap ekosistem dan kehidupan manusia. Kajian yang disusun
oleh lebih dari 550 ahli dari 100 negara ini menyimpulkan, kondisi
keanekaragaman hayati di wilayah Amerika, Asia Pasifik, Afrika, Asia Tengah
dan Eropa terus menurun dan berada dalam kondisi yang berbahaya dalam
mendukung kesejahteraan umat manusia.
Menurut laporan IPBES, daya dukung alam untuk kesejahteraan manusia terus
terdegradasi, berkurang bahkan hilang. Penyebabnya adalah kerusakan habitat;
keserakahan manusia yang terus mengeksploitasi bumi; penggunaan sumber daya
alam yang tidak berkelanjutan; polusi udara, polusi air dan tanah; munculnya
spesies asing invasif; serta akibat perubahan iklim beserta faktor-faktor yang lain.
Di benua Amerika, nilai kontribusi lingkungan di darat terhadap kesejahteraan
penduduk mencapai lebih dari US$24 triliun per tahun atau setara dengan Produk
Domestik Bruto (PDB) wilayah ini. Namun tim peneliti menemukan, 65%
kontribusi lingkungan ini terus menurun dan 21% nya menurun dengan cepat.
Penyebabnya adalah perubahan iklim akibat perilaku manusia yang
mempengaruhi suhu, curah hujan memicu cuaca ekstrem. Semua ini diperparah
dengan eksploitasi sumber daya alam dan hilangnya keanekaragaman hayati,
degradasi habitat, polusi dan munculnya spesies invasif.
Menurut skenario ‘business as usual’ kerusakan keanekaragaman hayati
akibat perubahan iklim ini pada 2050 akan setara dengan kerusakan akibat alih
guna lahan. Rata-rata populasi spesies di benua Amerika saat ini telah turun 31%
dibanding pada masa penjajahan Eropa. Penurunan ini diperkirakan melonjak
menjadi 40% pada 2050.
Laporan ini juga menggaris bawahi perubahan gaya hidup yang semakin
menjauhkan masyarakat terhadap lingkungan, menggerus bahasa, budaya dan
kearifan lokal. Lebih dari 60% bahasa-dan kebudayaan yang terkait-di benua
Amerika saat ini tengah sekarat dan terancam musnah.

Afrika

Sama seperti benua Amerika, di benua Afrika, perubahan iklim menjadi


pemicu punahnya lebih dari 50% spesies burung dan mamalia pada 2010,
mengurangi produktivitas danau-danau di Afrika hingga 20-30% dan hilangnya
tanaman-tanaman penting di Afrika. Laporan ini menambahkan, 500.000 km2
lahan di Afrika telah terdegradasi akibat eksploitasi sumber daya alam, erosi,
salinisasi (akumulasi garam dalam tanah) dan polusi, mengurangi daya dukung
alam terhadap kehidupan manusia. Tekanan terhadap keanekaragaman hayati akan
terus meningkat seiring kenaikan populasi di Afrika dari 1,25 miliar saat ini
menjadi 2,5 miliar pada 2050.
Laut dan wilayah pesisir berkontribusi terhadap kehidupan ekonomi, sosial
dan budaya masyarakat Afrika. Namun kerusakan terumbu karang akibat polusi
dan perubahan iklim, berdampak lebih luas terhadap perikanan, keamanan
pangan, wisata dan keanekaragaraman hayati di laut.
Asia-Pasifik

Jasa lingkungan dan keanekaragaman hayati berperan penting dalam


menunjang pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia Pasifik. Namun kondisi
keanekaragaman hayati di wilayah ini terus terancam oleh cuaca ekstrem,
kenaikan air laut, eksploitasi pertanian, spesies asing invasif (dengan nilai
kerugian ekonomi mencapai $35,5 miliar per tahun di Asia Tenggara) serta
peningkatan pencemaran limbah dan polusi. Laporan IPBES menyatakan, 8 dari
10 sungai paling tercemar di dunia ada di Asia. Dari sungai-sungai inilah 95%
sampah plastik yang saat ini mencemari lautan berasal.
Ekploitasi perikanan laut dan darat memicu kerusakan ekosistem dan terumbu
karang terutama di wilayah Asia Tenggara dan Asia Selatan. Jika praktik seperti
ini terus berlanjut, laporan IPBES memperkirakan, tak ada lagi ikan yang bisa
dieksploitasi di wilayah ini pada 2048. Sebanyak 90% terumbu karang
diperkirakan akan terdegradasi parah pada 2050, bahkan dalam skenario
perubahan iklim yang konservatif.
Selain wilayah pesisir, wilayah hutan, pegunungan, sungai, danau, kolam dan
lahan basah lainnya termasuk ekosistem yang paling terancam di Asia-
Pasifik. Sebanyak 24% spesies mamalia dan 29% spesies burung akan punah di
hutan-hutan di dataran rendah Asia Tenggara (Sundaland) dalam beberapa dekade
mendatang jika deforestasi terus terjadi seperti saat ini. Angka kehilangan spesies
dan habitat akan meningkat 45% jika tidak ada upaya dan kebijakan untuk
mencegahnya (business as usual).
Walau kondisi keanekaragaman hayati secara keseluruhan terus menurun,
namun kabar baik juga muncul dari wilayah ini. Misalnya dalam 25 tahun
terakhir, kawasan konservasi perairan (marine protected areas) meningkat hampir
14% sementara luas kawasan konservasi di darat naik 0,3%. Luas tutupan hutan
juga naik 2,5%, dengan kenaikan tertinggi terjadi di Asia Timur Laut (22,9%) dan
Asia Selatan (5,8%).

Eropa dan Asia Tengah

Di wilayah ini, praktik pertanian dan kehutanan konvensional, yang memicu


kerusakan lingkungan, terus berlanjut. Namun praktik pertanian dan kehutanan
ramah lingkungan yang bermanfaat bagi alam dan keanekaragaman hayati juga
terus berkembang. Hal ini dilandasai oleh kesadaran bahwa alam tidak hanya
memasok pangan dan energi namun juga berkontribusi pada hal-hal yang non-
material seperti budaya dan rasa memiliki atas wilayah tersebut.
Di wilayah Uni Eropa, laporan IPBES menyebutkan, hanya 7% spesies laut
dan 9% habitat laut yang memiliki status konservasi yang “menguntungkan”.
Selebihnya, 27% hasil kajian spesies dan 66% hasil kajian habitat melaporkan
kondisi konservasi yang “tidak menguntungkan” ditambah katagori lain yang
kondisinya “tidak jelas”. Tim peneliti menyatakan, pertumbuhan ekonomi bisa
mendorong praktik pembangunan berkelanjutan, jika dan hanya jika pertumbuhan
ekonomi tersebut bisa menghindari degradasi keanekaragaman hayati dan
kerusakan jasa lingkungan. Diperlukan perubahan kebijakan dan perpajakan
dalam skala nasional dan global untuk mewujudkannya.
Laporan IPBES menyebutkan, pola pemanfaatan lahan secara tradisional,
penerapan praktik dan pengetahuan adat serta kearifan lokal semakin ditinggalkan
di Eropa dan Asia Tengah. Sementara subsidi terus mendorong pertumbuhan di
sektor pertanian, kehutanan dan ekstraksi sumber daya alam. Jika tidak diatasi
semua praktik ini bisa memicu konflik tata guna lahan, sebagaimana terjadi di
wilayah yang lain. Terakhir, laporan IPBES menyatakan, tercapainya target
pembangunan berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs), Rencana
Strategis Keanekaragaman Hayati 2011-2020, Target Keanekaragaman Hayati
Aichi/Aichi Biodiversity Targets, dan Perjanjian atau Kesepakatan Paris
bergantung pada kesehatan dan vitalitas lingkungan beserta keanekaragaman
hayatinya. Laporan ini menyimpulkan, mewujudkan ekosistem yang beragam dan
kaya, meningkatkan daya tahan terhadap bermacam gangguan termasuk cuaca
ekstrem, kekeringan, bencana banjir dan wabah penyakit. Melindungi dan
memulihkan alam beserta keanekaragaman hayati menjadi kebijakan kunci yang
harus terus dipertahankan melalui bantuan teknologi dan pelibatan masyarakat
lokal.
Menurut laoran IPBES, semua ini memerlukan kerja sama antara pihak-pihak
yang berkepentingan, baik dalam skala lokal, regional maupun global. Karena
keanekaragaman hayati tak kenal batas wilayah administrasi, juga bencana dan
perubahan iklim jika alam telah dilanda kerusakan.

1. Ekosistem Di Perairan
Perairan wilayah pantai merupakan salah satu ekosistem yang sangat
produktif di perairan laut. Ekosistem ini dikenal sebagai ekosistem yang
dinamik dan unik, karena pada wilayah ini terjadi pertemuan tiga kekuatan yaitu
yang berasal daratan, perairan laut dan udara. Kekuatan dari darat dapat
berwujud air dan sedimen yang terangkut sungai dan masuk ke perairan pesisir,
dan kekuatan dari batuan pembentuk tebing pantainya. Kekuatan dari darat ini
sangat beraneka. Sedang kekuatan yang berasal dari perairan dapat berwujud
tenaga gelombang, pasang surut dan arus, sedangkan yangberasal dari udara
berupa angin yang mengakibatkan gelombang dan arus sepanjang pantai, suhu
udara dan curah hujan (Davies, 1972 dalam Soetikno, 1993).
Ekosistem pantai mempunyai berbagai sumberdaya alam yang berpotensi
untuk dikembangkan. Salah satu potensinya meliputi keanekaragaman hayati
ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Jenis ekosistem ini
merupakan habitat nursery groundbagi berbagai macam spesies ikan karang
(Epinephelus sp), gastropoda (Thrombus sp), bivalvia (Anadara sp), dan
kepiting bakau (Scylla serrata).
Namun demikian, semakin meningkatnya upaya pengelolaan sumberdaya
pesisir dan laut yang kurang berwawasan lingkungan, sehingga telah berdampak
terhadap penurunan produktivitas primer perairan. Melimpahnya zat hara di
zone yang menjadi pusat perkembangan kegiatan industri perikanan dan
pariwisata akan berkurang peranannya. Padahal peranan positif ekologis
terumbu karang-padang lamun-mangroveadalah sebagai penyeimbang faktor
biologis, fisis dan kemis (Nybakken, 1992).
Misalnya: akar mangrove, khususnya Rhizophora apicullatadan R.
mucronata berperan sebagai perangkap sedimen terhadap komunitas padang
lamun dan terumbu. Demikian juga peranan terumbu karang sebagai penghalang
empasan gelombang terhadap komunitas padang lamun. Kriterium baik atau
buruknya parameter lingkungan perairan pantai bergantung pada hubungan
interaksi ketiga komunitas tersebut. Perubahan dalam suatu ekosistem seringkali
menyebabkan ekosistem menjadi tidak stabil, yang kemudian seluruh aktivitas
di dalam ekosistem menjadi terganggu.
Perubahan ekosistem seringkali disebut juga dengan degradasi
ekosistem.Terjadinya degradasi di dalam suatu ekosistem kemudian dapat
menyebabkan menurunnya fungsi ekosistem secara ekologis dan ekonomis
Salah satu penyebab menurunnya ekosistem yang paling significan adalah
manusia. Hal ini terjadi ketika manusia memanfaatkan sumber daya alam untuk
kesejahteraan mereka.
Kegiatan manusia yang dapat menyebabkan terjadinya degradasi
wilayah pantai, Kerusakan lingkungan di wilayah pantai/pesisir Indonesia
sampai saat ini belum bisa ditanggulangi dengan optimal. Bahkan yang terjadi
saat ini, berbagai kerusakan lingkungan di wilayah pesisir semakin meluas.
Penyebab kerusakan lingkungan diwilayah pesisir tersebut lebih didominasi
oleh pencemaran minyak, sampah, dan lain-lain, abrasi pantai, kerusakan
mangrovedan terumbu karang.
Dengan melihat penyebab kerusakan tersebut terlihat bahwa aktivitas
manusia lah yang menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan di wilayah
pesisir dan laut. Padahal kalau dilihat dari dampak kerusakan tersebut sebagai
besar akan berdampak kepada aktivitas manusia dan lingkungan, seperti
rusaknya biota laut, terancamnya pemukiman nelayan, terancamnya mata
pencaharian nelayan dan sebagainya.
Oleh sebab itu apabila hal ini tidak secepatnya ditanggulangi dengan optimal
maka dikhawatirkan sumberdaya pesisir dan laut akan semakin terdegradasi.
Selain itu juga aktivitas masyarakat pesisir akan semakin terancam kerusakan
ekosistem pantai harus dapat dicermati dan diperhatikan secara mendalam.
Karena dengan terjadinya kerusakan ekosistem pantai selalu diikuti dengan
permasalahan-permasalahan lingkungan, diantaranya terjadinya abrasi pantai,
banjir, sedimentasi, menurunnya produktivitas perikanan, sampai terjadinya
kehilangan beberapa pulau kecil.
Kestabilan ekosistem pesisir, pantai dan daratan merupakan suatu hal yang
jarang diperhatikan oleh hampir semua stakeholder yang berkecimpung didalam
pemanfaatan ekosistem pantai tersebut. Sehingga kerusakan ekosistem pantai
dianggap merupakan suatu hal yang wajar sebagai dampak yang akan muncul
akibat kegiatan pengelolaan. Banyak stakeholder yang cenderung enggan untuk
memperbaiki dan merehabilitasi ekosistem pantai yang dieksploitasi untuk
memenuhi kebutuhan mereka. Sesuatu yang sangat naif yang berdampak pada
kerusakan ekosistem pantai yang pada akhirnya menyebabkan degradasi
ekosistem wilayah pesisir.
Beberapa kegiatan manusia yang dapat menggambarkan terjadinya
degradasi, antara lain: Pembukaan hutan mangrove untuk dijadikan tambak
udang dan kayunya dijadikan bahan bangunan, penggunaan plastik, kaleng,
peptisida, bahan bakar untuk kebutuhan aktivitas manusia, eksploitasi sumber
daya alam yang berlebihan dan sebagainya.
Pembukaan Hutan Manggrove Untuk Dijadikan Tambak Udang Dan
Kayunya Dijadikan Bahan Bangunan. Beberapa fakta yang ditampilkan
dalam tulisan ini tentang kerusakan ekosistem manggrove di propinsi Riau.
Luasnya ekosistem mangrovedi propinsi Riau dan Kepulauan Riau yang
termasuk kedalam kategori jarang dan sangat jarang.
Dari hasil analisis citra satelit 2006 didapatkan data bahwa dari luas
kawasan ekosistem mangrovedan pesisir di Propinsi Riau adalah yang berhutan
lebat adalah 4.298,85 ha, kerapatan sedang seluas 123.869,52 ha, kerapatan
jarang seluas 13.147,68 ha dan kerapatan sangat jarang seluas 119.969,28 ha.
Sedangkan untuk potensi kerapatan ekosistem mangrovedi Kepulauan Riau
adalah yang berhutan lebat adalah 6.772,59 ha, kerapatan sedang seluas
25.446,33 ha, kerapatan jarang seluas 18.733,59 ha dan kerapatan sangat jarang
seluas 127.465,04 ha.
Dari luasan mangrove berdasarkan tingkat kerapatan mangrove maka
kondisi ekosistem mangrovecenderung didominasi oleh tingkat kerapatan jarang
sampai sangat jarang. Ekosistem yang sangat jarang berarti potensitanaman
mangrovenya nyaris tidak terlihat alias gundul total. Untuk itu dapat dikatakan
sebagian besar ekosistem pesisir dan mangrovedi Propinsi Riau dan kepulauan
Riau termasuk kedalam kategori kritis dan sangat kritis.Kenapa hal tersebut
sampai terjadi di Propinsi Riau dan kepulauan Riau. Hal yang paling mudah
diungkapkan adalah pada ekosistem pesisir dan mangrovesering terjadi (1)
teki/Cerucuk, masalah teki/cerucuk muncul karena pemanfaatan kayu
berdiameter kurang dari 10 cm yang digunakan untuk pondasi rumah.
Selain bermasalah terhadap regenerasi hutan, juga dapat menyebabkan
terhambatnya proses suksesi hutan mangrove. Hal ini menyebabkan terjadi
abrasi, dan hilangnya beberapa ekosistem pulau. Dan sangat disayangkan teki
juga dilakukan di daerah-daerah jalur hijau hutan mangrove.
Penggunaan Plastik, Kaleng, Peptisida, Bahan Bakar Untuk Kebutuhan
Aktivitas Manusia. Secara singkat bahwa sumber utama pencemaran pesisir
terdiri dari tiga jenis kegiatan, yaitu kegiatan industri (pertambangan timah
danminyak, angkutan laut dan pariwisata bahari), kegiatan rumah tangga, dan
kegiatan pertanian. Sementara itu bahan utama yang terkandung dalam buangan
limbah dari ketiga sumber tersebut berupa sedimen, unsur hara, pestisida,
organisme patogen dan sampah. Jika dianalisis secara mendalam, dapat
disimpulkan bahwa kawasan-kawasan yang termasuk kategori tingkat
pencemaran yang tinggi merupakan kawasan-kawasan pesisir yang padat
penduduk, kawasan industri dan juga pertanian. Dalam menguraikan limbah-
limbah tersebut dalam air laut memerlukan waktu yang cukup lama. Misalnya
untuk menguraikan limbah botol plastik di air laut diperlukan waktu sekitar 450
tahun dan kertas bekas karcis diperlukan waktu sekitar 2 –4 minggu.Dengan
Demikian maka seandainya setiap hari laut suplai berbagai sampah kelestarian
laut akan semakin terancam.
Ekploitasi Sumber Daya Alam Yang Berlebihan.Untuk mendapatkan
hasil tangkapan ikan yang berlimpah, banyak nelayan yang menggunakan
bahan peledak dan alat tangkap yang merusak sehingga menyebabkan
kelangkaan / kerusakan habitat yang ada.
Pada umumnya, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh kegiatan-
kegiatan perikanan yang bersifat destruktif, yaitu penggunaan bahan-bahan
peledak, bahan beracun (cyanida), dan juga aktivitas penambangan karang untuk
bahan bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang bertanggung
jawab, dan sedimentasi akibat meningkatnya erosi dan lahan atas.. Berdasarkan
persen tutupan karang hidup dilaporkan bahwa kondisi terumbu karang di
wilayah perairan Indonesia adalah 39% rusak, 34% agak rusak, 22% baik dan
hanya 5% yang sangat bagus.
Konsep dalam mencegah terjadinya degradasi ekositem pantai. Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga ekosistem pantai,
ekosistem pulau dan ekosistem mangrove yaitu :
(1) Dibangun suatu konsep pengelolaan yang berbasis berkelanjutan
(sustainable), memiliki visi ke depan (future time), terintegrasinya kepentingan
ekonomi dan ekologi, dan pelibatan masyarakat.
(2) Membangun Kawasan hutan lindung, yaitu kawasan hutan yang
ditetapkan fungsinya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang
mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan nilai bersejarah, budaya
bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.
(3) Melakukan Kegiatan rehabilitasi hutan harus memperhatikan pola
adaptasi tanaman, kesesuaian lahan dan lingkungan, sebaiknya jenis-jenis
endemik setempat, serta disukai dan memberikan tambahan ekonomi bagi
masyarakat,
(4) Perlu dibangun renstra pengelolaan pada ekosistem yang dapat
mengurangi tekanan masyarakat terhadap hutan mangrovediantaranya dilakukan
pengalihan mata pencaharian masyarakat, dimana terdapat sebagian masyarakat
yang masih mencari kayu mangroveuntuk dijual. Untuk mengatasi hal ini maka
perlu dilakukan upaya peningkatan potensi ikan di kawasan hutan
mangroveyaitu dengan melakukan penanaman mangrovesehingga
mangrovedapat menjadi nursery grounddan fishery ground. Dalam jangka
panjang hal ini dapat mengurangi tekanan masyarakat terhadap hutan mangrove.
(5) Adanya political will untuk Mempertahankan ekosistem
mangrovesebagaiupaya untuk menjaga keberadaan pulau-pulau kecil dan gugus
pulau.

2. Ekosistem Dalam Hutan Alam


Indonesia berdasarkan fakta alamnya sepatutnya dijuluki sebagai negara
maritim dan negara hutan tropis, diakui dunia sebagai komunitas yang paling
kaya akan keanekaragaman hayatinya,terdapat sekitar 25.000 spesies tumbuhan
berbunga, jumlah yang melebihi di daerah-daerah tropika lainnya di dunia
seperti Amerika Selatan dan Afrika Barat, antara lain keanekaragaman spesies
tumbuhan obat. Berdasarkan catatan WHO, IUCN dan WWF lebih dari 20.000
spesies tumbuhan obat yang digunakan oleh 80 % penduduk seluruh dunia.
Hutan sebagai pendukung kesehatan hidup manusia yang bernilai tinggi,
baru disadari saat ini setelah hutan tropika banyak mengalami kerusakan dan
kepunahan.Saat ini ekosistem hutan tropika alam Indonesia yang masih tersisa
ada dalam bentuk kawasan-kawasan hutan konservasi, terutama di
kawasantaman nasional –taman nasionaldan hutan lindung. Namun demikian
hutan-hutan produksi ke depan harus dilihat sebagai penghasil multi-produk,
baik kayu maupun non-kayu harus dikelola totalitas dengan pendekatan multi-
sistem silvikultur.
Pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU
No. 5 tahun 1990, UU No. 41 tahun 1999, UU No 32 tahun 2009, PP No 28
tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa
keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan
terhadap sumberdaya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin
meningkat.
Kebakaran Hutan di Indonesia. Kebakaran hutan merupakan salah satu
bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Dampak negatif yang ditimbulkan
oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya
keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas
tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya mengganggu
kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau,
laut dan udara. Gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini
telah melintasi batas negara.
Kerusakan hutan telah meningkatkan emisi karbon hampir 20 %. Ini sangat
signifikan karena karbon dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca yang
berimplikasi pada kecenderungan pemanasan global. Salju dan penutupan es
telah menurun, suhu lautan dalam telah meningkat dan level permukaan lautan
meningkat 100-200 mm selama abad yang terakhir. Bila laju yang sekarang
berlanjut, para pakar memprediksi bumi secara rata-rata 1oC akan lebih panas
menjelang tahun 2025. Peningkatan permukaan air laut dapat menenggelamkan
banyak wilayah. Kondisi cuaca yang ekstrim yang menyebabkan kekeringan,
banjir dan taufan, serta distribusi organisme penyebab penyakit diprediksinya
dapat terjadi.
Kebakaran hutan besar terpicu pula oleh munculnya fenomena iklim El-
Nino seperti kebakaran yang terjadi pada tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997
(Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1998). Perkembangan
kebakaran tersebut juga memperlihatkan terjadinya perluasan penyebaran lokasi
kebakaran yang tidak hanya di Kalimantan Timur, tetapi hampir di seluruh
propinsi, serta tidak hanya terjadi di kawasan hutan tetapi juga di lahan non
hutan.
Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik perdebatan,
apakah karena alami atau karena kegiatan manusia. Namun berdasarkan
beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran
hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau permasalahan
sebagai berikut:
1. Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-
pindah.
2. Pembukaan hutan oleh para pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan)
untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit.
3. Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan
pembangunandan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik
antar hukum adat dan hukum positif negara.
Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan
hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran
karena cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan
tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan
turun temurun (Dove, 1988). Kebakaran liar mungkin terjadi karena kegiatan
perladangan hanya sebagai kamuflasa dari penebang liar yang memanfaatkan
jalan HPH dan berada di kawasan HPH.
Kebakaran hutan membawa dampak yang besar pada keanekaragaman
hayati. Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur
tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan
lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir.
Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim
hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar.
Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri bahwa selain hilangnya
keanekaragaman hayati menyebabkan punya menurunnya ekonomi negara.
Dalam pengendalian kebakaran hutan dapat dilakukan dengan cara sebagi
berikut:
(1) Me-Masyarakatkan cara-cara pencegahan dan penanggulangan
kebakaran hutan dan lahan melalui media penyuluhan yang
terkoordinasi.
(2) Meningkatkan keterampilan sumber daya manusia, baik di instansi
pemerintah maupun perusahaan.
(3) Memberikan pengarahan penggunaan peralatan pemadam kebakaran
sesuai standar yang ditetapkan.
(4) Meningkatkan permasyarakatan kebijaksaan pembukaan lahan tanpa
bahan bakar (PLTB/Controlled Burning) dan,
(5) Meningkatkan permasyarakatn upaya penegakan hukum.

Anda mungkin juga menyukai