Anda di halaman 1dari 26

KEBISINGAN DI KAWASAN INDUSTRI

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kajian terkait permasalahan lingkungan, sudah menjadi fokus kepedulian
pemerintah hampir di semua Negara, tak terkecuali Negara Indonesia yang
merupakan Negara dengan industri yang perkembangannya sangat pesat.
Berdasarkan data Kementrian Perindustrian (Kemenperin) pada kuartal III-2014,
pertumbuhan industry manufaktur mencapai 4,99% dengan pertumbuhan ekonomi
5%. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan industry selalu mengungguli
PDB. Hingga akhir tahun 2014, industry pengolahan non-migas diperkirakan
tumbuh 5,4-5,6% di bawah target sebesar 6%. Sekretaris Jenderal Kemenperin
Anshari Bukhari menegaskan, dalam Rencana Induk Pembangunan Industri
Nasional (RIPIN) Indonesia 2015-2019, manufaktur diharapkan tumbuh 6,8%.
(www.kemenperin.go.id)
Perkembangan perindustrian yang terus berkembang sepanjang tahun
sudah tentu berpengaruh besar terhadap pergerakan industri di kota besar seperti
Kota Semarang, pertumbuhan industri ini memiliki dampak positif dan negatif.
Dampak positif yang dapat diperoleh antara lain seperti pertumbuhan ekonomi di
semarang, sedikitnya ada delapan kawasan industri besar dengan luasan lahan
mencapai lebih dari 1.200 hektare. Kawasan industri juga mampu memberikan
kontribusi lapangan pekerjaan bagi lebih dari 63.000 orang (suara merdeka).
Sedangkan dampak negatif dari pertumbuhan industri ini menurut Frank Muller
dari GTZ Indonesia-Jerman, berdasarkan survey yang telah dilakukan bersama
dengan pihaknya, masalah yang ditimbulkan terhadap lingkungan diantaranya
limbah cair, bau, pencemaran air di tambak dan sumur serta suara bising.
Salah satu sumber pencemaran yang dapat menimbulkan gangguan
kesehatan karyawan pada industri adalah kebisingan. Kebisingan dihasilkan dari
serangkaian proses mekanik yang ada pada aktivitas industri. Kebisingan yang
dihadapi oleh para karyawan dan terjadi secara terus menerus dan karyawan
merupakan orang yang terpapar secara terus menerus dengan waktu yang cukup
signifikan, keadaan ini akan menimbulkan beberapa risiko kesehatan, khususnya
yang berkaitan dengan penurunan tingkat pendengaran.
Dampak kebisingan yang secara terus-menerus didapatkan karyawan ang
dalam jarak (radius) yang sangat dekat dengan sumber kebisingan tentu menjadi
permasalahan yang akan membesar di kemudian hari. Suma’mur (1980)
menyatakan bahwa penurunan tingkat pendengaran yang diderita para karyawan
dapat bersifat sementara dan/atau permanen bergantung pada intensitas dan jam
kerja yang diperkenankan. Disamping intensitas dan jam kerja, penurunan tingkat
pendengaran juga dipengaruhi oleh jenis industri (Eleftheriou, 2001). Lebih lanjut
Miyakita dan Ueda (1997) menyatakan bahwa gaya hidup, riwayat penyakit
telinga, pola konsumsi obat-obatan, trauma kepala, dan genetik adalah beberapa
faktor yang dapat menimbulkan penurunan tingkat pendengaran, sehingga perlu
diperhatikan sebagai faktor penentu disamping faktor utama yaitu kebisingan.
Dampak kebisingan terhadap kesehatan karyawan menurut Boedhi
Raharjani, dalam penelitiannya pada pekerja PT. Kereta Api Indonesia didapatkan
hasil yaitu tekanan darah sebelum kerja rata-rata dalam batas normal, namun
sesudah kerja dicatat adanya kenaikan tekanan darah baik sistolik maupun
diastolik. Keadaan ini diduga kuat bukan disebabkan oleh beban kerja masinis
(ringan), tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor tingginya tingkat kebisingan
di dalam kabin kerja masinis. Sedangkan pengaruh utama kebisingan pada
manusia adalah kerusakan pada bagian-bagian indra pendengaran yang
menyebabkan ketulian progresif, yang secara umum telah diketahui dan diterima
untuk berabad-abad lamanya (Suma’mur 1980). Kondisi demikian, jika terjadi
pada seluruh karyawan industry akan mengakibatkan kerugian yang diderita oleh
karyawan. Kerugian yang dimaksud meliputi kerugian materiil untuk biaya
pengobatan, kehilangan kenikmatan dalam hal pendengaran, maupun kerugian
moril akibat cacat, dan menimbulkan rasa hilang kepercayaan diri bagi karyawan
tersebut. (Heri Iskandar, 2007)
Besaran risiko yang akan diterima para karyawan dari sumber pencemaran
berupa kebisingan dikaji dengan menggunakan teori simpul sebagaimana
disajikan pada Gambar 1.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang dapat diambil adalah :
Kebisingan industri, dampak yag ditimbulkan serta cara pengendalian.
C. PENEGASAN ISTILAH
Untuk menghindari adanya kesalahan pengertian dalam penelitian ini maka perlu
diberikan penjelasan tentang beberapa istilah sebagai berikut:
1. Kebisingan
Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Kep-
48/MENLH/11/1996, yang dimaksud dengan kebisingan adalah bunyi yang tidak
diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan.
Pertumbuhan transportasi darat, laut, dan udara yang cepat, kebisingan telah
menjadi faktor lingkungan yang sangat penting di perkotaan, dan bukanlah sesuatu
yang tidak realistic untuk meramalkan bahwa daerah pedesaan pun akan
dipengaruhi oleh bising pada masa yang akan datang.

2. Kawasan Industri
Berdasarkan keputusan presiden Nomor 35 Tahun 1989 yang dimaksud
kawasan industri adalah suatu tempat/kawasan pemusatan kegiatan pengolahan
yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan fasilitas penunjang lainnya yang
disediakan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri.
Kawasan industry yang dimaksud penulis dalam penelitian ini adalah,
kawasan industry yang memiliki intensitas kebisingan diatas NAB yang telah
ditentukan.

D. TUJUAN
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dampak kesehatan akibat
pemaparan kebisingan pada para karyawan industry Wijaya Kusuma dan PT Herculion
Carpet Semarang, sedangkan tujuan khusus penelitian terdiri atas:
A. Mengetahui kebisingan pada kawasan industri
B. Mengetahui dampak dari kebisingan di kawasan industri
C. Mengetahui bentuk pengendalian kebisingan di kawasan industri
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Suara atau Bunyi
Suara atau bunyi didefinisikan sebagai getaran yang ditransmisikan melalui
suatu medium elastis (misalnya udara) yang kemudian diterima dan dipersepsi oleh
telinga manusia. Suara atau bunyi juga merupakan bentuk gelombang getaran suara
yang merambat sebagai gelombang longitudinal dalam medium padat, cair dan gas
(Achmadi 1994). Bunyi mempunyai dua aspek yang menimbulkan ketulian pada
pendengaran manusia, yaitu frekuensi dan intensitas. Adapun yang dimaksud
frekuensi adalah banyaknya getaran perdetik (cps = cycle per second atau hertz).
Pendengaran manusia berada pada kisaran bunyi antara 20-20.000 Hz, sedangkan
kisaran frekuensi pembicaraan adalah 275-2.500 Hz (Peterson 1997 dalam Santosa
1992). Bunyi yang berada di bawah 20 Hz disebut infrasound, sedangkan bunyi
yang berada diatas 20.000 Hz disebut ultrasound. Intensitas adalah variasi tekanan
dari suatu bunyi dengan satuan yang dinyatakan dalam desibel (dB). Makin besar
intensitas bunyi, makin keras pula bunyi itu terdengar. Terdapat 3 kondisi fisis yang
dibutuhkan agar suara dapat terdengar oleh manusia (Pearce 2002) antara lain:
1. Ada tidaknya medium elastis yang memiliki inersia sehingga memungkinkan
energi suara dapat merambat atau berpropagasi, dan medium tersebut mungkin
berbentuk gas (udara), cairan atau padat.
2. Getaran ini berlanjut dari satu titik ke titik yang lain di dalam ruang (virtual) di
sekitar sumber suara atau dapat disebutkan bahwa getaran akan mengalami
propagasi dengan kecepatan tertentu.
3. Getaran ini berlanjut dari satu titik ke titik yang lain di dalam ruang (virtual) di
sekitar sumber suara atau dapat disebutkan bahwa getaran akan mengalami
propagasi dengan kecepatan tertentu.

B. Kebisingan
Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Kep-
48/MENLH/11/1996, yang dimaksud kebisingan adalah bunyi yang tak diinginkan
dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan
gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Dari sudut pandang ke
lingkungan, kebisingan termasuk dalam suatu energy (suara) ke dalam lingkungan
hidup sedemikian rupa sehingga mengganggu kelangsungannya. Dari sudut
pandang lingkungan, kebisingan termasuk dalam kategori pencemaran karena dapat
menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan manusia (Sasongko,
2000).
Intonasi atau nada dari kebisingan ditentukan oleh frekuensi-frekuensi yang
ada. Intensitas atau arus energy per satuan luas biasanya dinyatakan dalam satuan
logaritmatis yang disebut decibel (dB) dengan memperbandingkan dengan kekuatan
dasar 0,0002 dyne/cm yaitu kekuatan dari bunyi dengan frekuensi 1000 Hz yang
tepat dapat didengar oleh telinga normal (Suma’mur, 2009).
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-15/MEN/1999,
kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-
alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat
menimbulkan gangguan pendengaran. Lebih lanjut dikemukakan bahwa bising
merupakan kumpulan nada dengan bermacam-macam intensitas dan suara tersebut
tidak dikehendaki sehingga terasa mengganggu ketentraman. Bising dengan
intensitas di atas 85 dB dapat menimbulkan ketulian. Hal ini telah dibuktikan dari
beberapa penelitian.
Dinamika lingkungan hidup adalah salah satu faktor yang berpengaruh pada
tingkah laku manusia yang sering tidak dapat dikendalikan. Oleh sebab itu,
dinamika lingkungan secara khusus yang menghasilkan suara, berpotensi
menimbulkan kebisingan. Satu di antara sumber kebisingan adalah msin-mesin
modern yang digunakan berbagai industry yang menghasilkan suara ataua bunyi
pada saat beroperasi. Penggunaan mesin-mesin modern tersebut dalam rangka
meningkatkan produktifitas dan memenuhi kebutuhan pasar.

C. Jenis Kebisingan
Sumber suara dapat di dengar sebagai rangsagan-rangsangan pada system
pendengaran melalui getaran-getaran media rambat, dan ketika suara tersebut
mengganggu atau tidak dikehendaki, maka terjadilah kebisingan. Jenis-jenis
kebisingan adalah sebagai berikut:
1. Kebisingan menetap berkelanjutan tanpa terputus-putus dengan frekuensi yang .
2. luas (Steady state, Wide band noise)
Contoh : Suara mesin, kipas angina.
3. Kebisingan menetap berkelanjutan dengan spectrum frekuensi tipis (Steady
state, narrow band noise)
Contoh : suara gergaji sirkuler
4. Kebisingan terputus-putus (Intermitten).
Contoh : suara aktifitas pesawat di bandara.
5. Kebisingan Impulsive (Impact or Impulsive noise)
Contoh : suara pukulan palu, tembakan dan ledakan.
6. Kebisingan impulsive berulang (Continue)
Contoh : suara mesin tempa perusahaan atau tempaan tiang pancang bangunan
(Suma’mur, 2009)
Sumber kebisingan berdasarkan bentuk sumbernya, ada dua jenis, yaitu:
1. Sumber kebisingan berasal dari titik (sumber diam) yang penyebaran
kebisingannya dalam bentuk bola-bola konsentris dengan sumber kebisingan
sebagai pusatnya dan menyebar di udara dengan kecepatan sekita 360 m/detik.
2. Sumber garis suara berasal dari sumber yang bergerak dan perembetan
kebisingan dalam bentuk silinder-silinder konsentris dengan sumber kebisingan
sebagai sumbunya dan menyebar di udara dengan kecepatan sekitar 360
m/detik, sumber kebisingan ini umumnya dari keguatan transportasi (Sasongko
et.al, 2000)
Jenis kebisingan berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia, dapat dibagi
sebagai berikut :
1. Bising yang mengganggu (irritating noise) intensitasnya tidak keras.
2. Bising yang menutupi (masking noise) merupakan bunyi yang menutupi
pendengaran yang jelas, secara langsung bunyi ini membahayakan kesehatan
dan keselamatan tenaga kerja, karena teriakan atau isyarat tanda bahaya
tenggelam dan kebisingan dari sumber lain.
3. Bising yang merusak (damaging / injurious noise) ialah bunyi yang
intensitasnya melampui Nilai Ambang Batas, bunyi jenis ini akan merusak atau
menurunkan fungsi pendengaran. (Soeripto,1993).

D. Tekanan dan Intensitas Bunyi


Intensitas bunyi adalah energy gelombang bunyi yang menembus
permukaan bidang tiap satuan luas tiap detik. Pada dasarnya gelombang bunyi
adalah rambatan energy yang berasal dari sumber bunyi yang merambat ke segala
arah, sehingga muka gelombang membentuk atau mnyerupai bentuk bola (Anonim,
2013).
Gelombang longitudinal, khususnya gelombang yang terdengar sebagai
bunyi apabila masuk ke telinga dalam daerah frekuensi 20-20.000 Hz disebut
sebagai gelombang bunyi. Gelombang bunyi yang masuk ke telinga, mengakibatkan
partikel-partikel udara yang berada pada selaput gendang bergetar pada frekuensi
dan amplitudo tertentu, dan dapat pula dikatakan bahwa getaran tersebut merupakan
variasi tekanan udara pada selaput gendang telinga. Tekanan udara yang ada pada
selaput gendang tersebut naik melebihi tekanan atmosfir, lalu turun kembali sampai
di bawah tekanan atmosfir dengan gerak harmonik yang memiliki frekuensi sama
dengan frekuensi pada partikel udara yang sebelumnya. Selisih antara tekanan udara
pada selaput gendang dengan tekanan atmosfir disebut sebagai amplitudo tekanan.
Amplitudo tekanan berbanding lurus dengan amplitudo perpindahan (Zemansky
et.al., 1999).
Pada dasarnya, telinga selalu tanggap terhadap jangkauan tekanan bunyi
yang sangat luas walaupun tekanannya sendiri sangat kecil (Prasetio, 1985). Bunyi
terlemah mempunyai variasi tekanan maksimum sebesar 1000 Hz, untuk amplitude
perpindahan yang sama dengan amplitudo tekanan kira-kira sebesar 10 -9 cm,
sehingga jika dilihat dari variasi ini telinga manusia merupakan organ yang sangat
peka (Zemansky et al., 1999).

E. Nilai Ambang Batas Kebisingan di Tempat Kerja


Nilai ambang batas kebisingan adalah intensitas tertinggi dan merupakan
nilai rata-rata yang masih dapat diterima oleh manusia tanpa mengakibatkan
hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu yang cukup lama/terus-menerus,
selanjutnya ditulis NAB.
Standar kebisingan berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No.PER. 13/MEN/2011 adalah sebagai berikut:
Tabel 7.1 Nilai ambang Batas Kebisingan di Tempat Kerja
Intensitas Pemajanan maksimal Waktu Pemajanan per Hari
(dBA)
85 8 jam
88 4 jam
91 2 jam
94 1 jam
97 30 menit
100 15 menit
103 7,5 menit
106 3,75 menit
109 1,88 menit
112 1,44 menit
115 28,12 detik
118 14,06 detik
121 7,03 detik
124 3,52 detik
127 1,76 detik
130 0,88 detik
133 0,44 detik
136 0,22 detik
139 0,11 detik
140 -
Sumber: Permenakertrans No. PER. 13/MEN/2011
F. Pengendalian Kebisingan
Menurut Jennie dan Heri Iskandar (2007) pengendalian kebisingan di
lingkungan kerja bisa dilakukan antara lain dengan upaya dari Pemerintah Republik
Indonesia mengeluarkan program keselamatan dan kesehatan kerja yang dikenal
dengan program K3. Program tersebut juga disertai dengan beberapa regulasi untuk
memberikan kepastian hukum pada implementasi program K3.
Satu diantara upaya pelaksanaan program K3 adalah program perlindungan
pendengaran untuk meminimalkan dampak negative akibat kebisingan di tempat
kerja bagi para karyawan. Pada dasarnya kebisingan dapat dikendalikan
menggunakan beberapa langkah seperti :
1. Menggunakan mesin-mesin yang tidak terlalu bising (Pusat K3, 2009)
2. Penempatan penghalang pada jalan transmisi. Isolasi tenaga kerja atau mesin
atau unit operasi adalah upaya segera dan baik dalam upaya mengurangi
kebisingan. untuk itu, perencanaan harus matang dan material yang dipakai untu
isolasi harus mempunyai bobot yang cukup berat, menutup secara tepat di
lubang yang ditutupinya danlapisan dalamnya terbuat dari bahan yang menyerap
suara agar tidak terjadi getaran yang menyebabkan terjadinya sumber
kebisingan (Suma’mur, 2009)
3. Dengan memakai tutup telinga (ear muff) biasanya lebih efektif daripada sumbat
telinga (ear plug) dan dapat menurunkan intensitas kebisingan yang sampai ke
saraf pendengar. Alat-alat ini dapat mengurangi intensitas kebisingan sekitar 10-
25 dB (Suma’mur, 2009)
4. Pengendalian secara administrasi, pengendalian ini meliputi rotasi kerja pada
pekerja yang terpapar oleh kebisingan dengan intensitas tinggi ke tempat atau
bagian lain yang lebih rendah, pelatihan bagi pekerja terhadap bahaya
kebisingan, cara mengurangi paparan bising dan melindungi pendengaran.
5. Pelaksanaan waktu paparan bagi intensitas di atas NAB (Suma’mur, 2009).
G. Anatomi Telinga
Telinga adalah salah satu organ vital manusia yang berfungsi sebagai organ
pendengaran. Berdasarkan fungsi dan sensitivitas organ pendengaran, maka
berbagai upaya secara langsung perlu dilakukan untuk meminimalkan pengaruh
suara dengan intensitas yang melebihi batas ambang. Organ pendengaran tersebut
dapat berfungsi dengan baik karena adanya saraf kranial kedelapan atau nervus
auditorius. Telinga, secara anatomi terbagi menjadi beberapa bagian diantaranya
telinga luar, telinga tengah, dan rongga telinga dalam (Pearce 2002).
Telinga luar adalah bagian telinga yang terdiri atas aurikel atau pinna yang
berfungsi membantu mengumpulkan gelombang suara, dan meatus auditorius
externa yang menjorok kedalam menjauhi pinna dan berfungsi untuk
menghantarkan getaran suara menuju membrana timpani. Liang tersebut memiliki
panjang kurang lebih 2,5 cm dan sepertiga bagian luarnya tersusun atas tulang
rawan, sementara dua pertiga bagiannya tersusun atas tulang. Bagian tulang rawan
ditutupi kulit dengan jaringan ikat bawah kulit lengkap dengan folikel rambut, gl.
sebacea dan gl. ceruminosa, sedangkan bagian tulang ditutupi oleh kulit yang tipis
dan langsung melekat pada periosteum (Pearce 2002).
Telinga tengah atau rongga timpani adalah bilik kecil yang mengandung
udara dan terletak di sebelah dalam membran timpani atau gendang telinga. rongga
udara tersebut berfungsi untuk menjaga keseimbangan tekanan udara dalam
atmosfir sehingga cidera akibat tidak seimbangnya tekanan udara dapat dihindari.
Berdasarkan susunannya, rongga telinga tengah tersusun atas rangkaian tulang-
tulang pendengaran yang berfungsi untuk mengalirkan getaran suara dari gendang
telinga menuju rongga telinga dalam. Secara anatomis, telinga tengah terdiri atas
beberapa bagian diantaranya sebagai berikut (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia 1995) :
1. Gendang telinga (membran tympanical) adalah bagian telinga tengah yang
terdiri atas pars tensa dan pars flacida. Pars tensa mempunyai tiga lapisan yaitu
lapisan epitel luar, lapisan jaringan ikat, dan lapisan epitel dalam, sedangkan
pars flacida hanya terdiri atas dua lapisan tanpa jaringan ikat.
2. Ruang telinga tengah (cavitas tympanical) adalah bagian telinga tengah yang
terletak antara telinga luar dan telinga dalam, dan merupakan bangunan
berbentuk kotak yang tipis memanjang dari atas ke bawah yang dilengkapi
dengan enam dinding. Di dalam ruang telinga tengah terdapat 3 buah tulang
pendengaran yaitu malleus, incus, dan stapes. Ketiga tulang pendengaran
tersebut saling berhubungan dengan persendian dan menghubungkan gendang
telinga dengan jendela lonjong pada telinga dalam.
3. Tuba auditiva.
4. Anrum mastoideum dan cellulae mastoidea.
Rongga telinga dalam adalah bagian telinga yang berada pada bagian os
petrosum tulang temporalis yang tersusun atas berbagai rongga yang menyerupai
saluran-saluran dalam tulang temporalis. Saluran-saluran membrane ini
mengandung cairan dan ujung-ujung akhir saraf pendengaran atau keseimbangan.
Gambaran umum telinga dan bagian-bagiannya sebagaimana disajikan pada
Gambar 7.2.

Gambar 7.2 irisan telinga dan bagian-bagian yang berfunsi sebagai


Alat Pendengar (Pearce, 2002)

H. Fisiologi Sistem Pendengaran Manusia


Telinga manusia dapat menangkap getaran suara antara 20-20.000 Hz
dengan nada rendah yang diterima oleh organon corti pada membrana basilaris pada
bagian basal kokhlea, sedangkan untuk nada tinggi pada apex kokhlea. Intensitas
suara yang dapat didengar manusia adalah dengan kisaran 0-140 dB (batas ambang
sakit). Telinga sebagai indra pendengaran berfungsi ketika suara yang ditimbulkan
oleh getaran atmosfer yang dikenal sebagai gelombang suara, bergerak melalui
rongga telinga luar yang menyebabkan membrana timpani bergetar. Getaran-getaran
tersebut selanjutnya diteruskan menuju inkus dan stapes melalui malleus yang
terkait pada membran timpani. Getaran-getaran tersebut selanjutnya juga timbul
pada setiap tulang yang ada, sehingga tulang-tulang tersebut memperbesar getaran,
yang kemudian disalurkan melalui fenestra vestibuler menuju perilimfe. Getaran-
getaran perilimfe dialihkan melalui membran menuju endolimfe dalam saluran
kokhlea, dan rangsangan tersebut terus ada hingga mencapai ujung-ujung akhir
saraf dalam organ corti, untuk selanjutnya diantarkan menuju otak oleh nervus
auditorius (Pearce 2002).
Suara yang berhasil ditangkap oleh indra pendengaran, baik tidaknya proses
penerimaan, dan respon manusia terhadap suara tersebut sangat bergantung pada
keberadaan organ-organ yang ada pada telinga sebagai indra pendengaran manusia.
Secara fisiologis, telinga dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian yang
berfungsi sebagai alat penghantar (conducting apparatus) dan bagian yang
berfungsi sebagai alat penerima (perceiving apparatus) (Departemen Kesehatan
RI 1995). Bagian telinga yang berfungsi sebagai alat penghantar gelombang bunyi
terdiri atas daun telinga, liang telinga luar gendang telinga, tulang-tulang
pendengaran, ruang telinga tengah, tuba auditiva, dan jendela lonjong. Bagian-
bagian tersebut sangat vital sehingga kerusakan pada bagian-bagian tersebut dapat
menyebabkan ketulian pada manusia. Disamping adanya bagian telinga yang
berfungsi sebagai penghantar gelombang suara, telinga juga memiliki bagian yang
berfungsi sebagai alat penerima gelombang suara yang dikenal dengan perceiving
apparatus (Heri Iskandar, 2007)
Perceiving apparatus terdiri atas kokhlea dengan organ corti, ganglion
spirale, n. cochlearis. Kerusakan pada bagian-bagian tersebut akan
mengakibatkan tuli indera saraf (sensori-neuraral hearing loss, SNHL) atau
perceptive hearing loss. Mekanisme kerja bagian ini adalah menyambaikan
gelombang yang diterima pada perilimfe pada scalamedia selanjutnya diteruskan ke
helicotrema, scala tympani dan menggerakkan foramen rotundum untuk membuang
getaran tersebut ke telinga tengah. Akibat gelombang pada peri dan endolympha ini
maka terjadi pula gelombang yang sama pada membrana basalis yang
mengakibatkan cel rambut pada organon corti menyapu membrana tectoria sampai
membengkok dan terjadi loncatan potensial listrik yang diteruskan sebagai
rangsangan saraf ke otak untuk diolah dan disadari (Departemen Kesehatan RI
1995).

I. Dampak Kebisingan
Pengaruh pemaparan kebisingan secara umum dapat di kategorikan menjadi
dua yang didasarkan pada tinggi rendahnya intensitas kebisingan dan lamanya
waktu pemaparan. Pertama, pengaruh pemaparan kebisingan intensitas tinggi (di
atas NAB) dan kedua, adalah pengaruh pemaparan kebisingan intensitas rendah (di
bawah NAB) (Tawakka et.al, 2004)
1. Dampak kebisingan intensitas tinggi
a. Pengaruh pemaparan kebisingan intensitas tinggi (di atas NAB) adalah
terjadinya kerusakan pada indera pendengaran yang dapat menyebabkan
penurunan daya dengar baik yang bersifat sementara maupun bersifat
permanen, biasanya didahului dengan pendengarana yang bersifat sementara
yang dapat menganggu kehidupan yang bersangkutan baik di tempat kerja
maupun dilingkungna keluarga dan lingkungan sosialnya.
b. Pengaruh kebisingan akan sangat terasa apabila jenis kebisingannya
terputus-putus dan sumbernya tidak diketahui.
c. Secara fisiologis, kebisingan dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan
gangguan kesehatan seperti, meningkatnya tekanan darah dan denyut
jantung, risiko serangan jantung meningkat gangguan pencernaan.
d. Reaksi masyarakat, apabila kebisingan akibat suatu proses produksi
demikian hebatnya sehingga masyarakat sekitarnya protes menuntut agar
kegiatan tersebut dihentikan dll.

2. Dampak kebisingan intensitas rendah


Tingkat intensitas kebisingan rendah atau di bawah NAB banyak ditemukan
dilingkungan kerja seperti perkantoran, ruang administrasi perusahaan dan lain
sebagainya. Intensitas kebisingan yang masih di bawah NAB tersebut secara
fisiologis tidak menyebabkan kerusakan pendengaran. Namun demikian,
kehadirannya sering dapat menyebablkan penurunan penurunan performansi kerja,
sebagai salah satu penyebab stres dan gangguan kesehatan lainnya. Stres yang
disebabkan karena yang pemaparan kebisingan dapat menyebabkan terjadinya
kelelahan dini, kegelisahan dan depresi.
Pengaruh kebisingan pada tenaga kerja adalah adanya gangguan-gangguan
seperti dibawah ini (Depnakertrans R.I, 2009) :
a. Gangguan Fisiologis
Gangguan fisiologis adalah gangguan yang mula-mula timbul akibat bising.
Dengan kata lain fungsi pendengaran secara fisiologis dapat terganggu.
Pembicaraan atau instruksi dalam pekerjaan tidak dapat di dengar secara
jelas sehingga dapat menimbulkan kecelakaan kerja. Pembicara terpaksa
berteriak-teriak, selain memerlukan tenaga ekstra juga menimbulkan
kebisingan. Kebisingan juga dapat menggangu cardiac out put dan tekanan
darah. Contoh gangguan fisiologis: naiknya tekanan darah, nadi menjadi
cepat, emosi meningkat, vasokonstriksi pembuluh darah (semutan), otot
menjadi tegang dan metabolisme tubuh meningkat.
b. Gangguan Psikologis
Gangguan fisiologis lama-lama bisa menimbulkan gangguan
psikologis.Suara yang tidak dikehendaki dapat menimbulkan stress,
gangguan jiwa sulit konsentrasi, dan berfikir dan lain-lain. pengaruh
kebisingan terhadap tenaga kerja adalah mengurangi kenyamanan dalam
bekerja, menggangu komunikasi, mengganggu konsentrasi (Budiono et.al,
2003). Kebisingan dapat mengganggu pekerjaan dan menyebabkan
timbulnya kesalahan karena tingkat kebisingan yang kecil pun dapat
mengganggu konsentrasi sehingga muncul sejumlah keluhan yang berupa
perasaan lamban dan keengganan untuk melakukan aktivitas menurut
(Benny et.al, 2002). Kebisingan mengganggu perhatian tenaga kerja yang
melakukan pengamatan dan pengawasan terhadap suatu proses produksi atau
hasil serta dapat membuat kesalahan-kesalahan akibat terganggunya
konsentrasi. Kebisingan yang tidak terkendali dengan baik juga dapat
menimbulkan efek lain yang salah satunya berupa meningkatnya kelelahan
tenaga kerja (Suma’mur, 2009).
c. Gangguan patologis organis
Gangguan kebisingan yang paling menonjol adalah pengaruhnya terhadap
alat pendengaran atau telinga, yang dapat menimbulkan ketulian yang
bersifat sementara hingga permanen. Kebisingan dapat menurunkan daya
dengar dan tuli akibat kebisingan. Pengaruh utama dari kebisingan kepada
kesehatan adalah kerusakan pada indera-indera pendengaran yang
menyebabkan ketulian progresif. Pemulihan terjadi secara cepat sesudah
dihentikan kerja di tempat bising untuk kebisingan sementara (Suma’mur,
2009). Ditempat kerja, tingkat kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin
dapat merusak pendengaran dan dapat pula menimbulkan kesehatan (tingkat
kebisingan 80 s/d 90 dB (A) atau lebih dapat membahayakan pendengaran).
Seseorang yang dapat kebisingan secara terus-menerus dapat menyebabkan
dirinya menderita ketulian.
J. Pengendalian Kebisingan
Langkah efektif untuk pencegahan gangguan pendengaran adalh dengan melakukan
pengendalian pada sumber bahaya dengan melakukan eliminasi, subtitusi, engineering,
administrasi.
Pada tahap perencanaan / engineering pastikan memilih peralatan dengan efek
kebisingan paling rendah, mesin dengan intensitas kebisingan tinggi jauhkan dari area yang
terdapat banyak pekerja disana.
Jika mesin tersebut masih bising lakukan pemasangan barier, pasang peredam jika perlu
total enclosure / partial enclosure.
Untuk Tahap Administrasi bisa melakukan hal-hal sebagai berikut :
– Berlakukan area tersebut sebagai area terbatas, hanya boleh dimasuki personil yang
terlatih, menggunakan Alat Pelindung Pendengaran
– Pengaturan jadwal kerja sesuai NAB, misal 85 dBA bekerja selama 8 jam, 88 dBA bekerja
selama 4 jam, dst.
1. Alat Pelindung Diri / Alat Pelindung pendengaran
Pemakaian Alat pelindung pendengaran adalah upaya terakhir dalam upaya
pencegahan gangguan pendengaran, ada 2 jenis :
a. Ear plug / sumbat telinga
b. Ear muff / tutup telinga
Faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan Alat Pelindung Pendengaran adalah :
1. Dapat melindungi pekerja dari kebisingan
2. Nyaman diapakai dan efisien
3. Cocok dengan Alat Pelindung diri yang lainnya misal helm dan kacamata
3. Masih bisa berkomunikasi ketika digunakan, karena jika berlebihan dapat menimbulkan
bahaya lainnya misal tidak dapat mendengar isyarat atau sirene tanda bahaya.

2. Training Motivasi
Berikan penjelasan ke karyawan tentang akibat kebisingan serta bagaimana cara
mencegahnya, buktikan bahwa tidak ada orang yang kebal terhadap kebisingan dengan
memberikan data catatan rekam medis audiometri serta data pengukuran area kerja.
Pelatihan dengan metoda visualisasi adalah cara yang efektif untuk menjelaskan ke
karyawan.

3. Pemeliharaan Catatan
Pelihara data pengukuran area kerja, audiometri test karyawan dan evaluasi secara
berkala. Lakukan upaya teknis untuk area kerja yang memiliki tingkat kebisingan melebihi
NAB.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan

1) Kebisingan adalah semua suara atau bunyi yang tidak dikehendaki yang
bersumber dari mesin-mesin atau alat-alat yang digunakan pada saat sedang
bekerja.

2) Gangguan kesehatan karyawan secara spesifik adalah gangguan pendengaran.

3) Gangguan pendengaran adalah berkurangnya fungsi pendengaran seseorang


(hearing loss).

4) Penggunaan alat pelindung telinga adalah frekuensi pemakaian alat pelindung


telinga selama bekerja.

5) Penyakit adalah gangguan kesehatan yang pernah diderita pekerja dan diduga
berhubungan dengan pendengaran, seperti otitis media, hypertensi, trauma
capitis, diabetes melitus, dan TB paru.

6) Tempat kerja adalah ruangan para karyawan selama melakukan proses produksi.

7) Tempat tinggal adalah rumah tinggal para karyawan dan situasi sekeliling rumah
yang berhubungan dengan kebisingan.
DAFTAR PUSTAKA

Babba, Jennie. 2007. Hubungan Antara Intensitas Kebisingan Di Lingkungan Kerja


Dengan Peningkatan Tekanan Darah (Penelitian Pada Karyawan PT Semen
Tonasa di Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan). Tesis. Universitas
Diponegoro

Benny L, Priatna dan Adhi Ari Utomo dalam Edhie Sarwono, dkk, 2002, Green
Company Pedoman Pengelolaan Lingkungan, Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (LK3), Jakarta: PT Astra Internasional Tbk.

Christy, Chandika Chandra. 2010. Dampak Faktor Bahaya Kebisingan Terhadap


Tenaga Kerja Di Bagian Unit Power Plant Pusat Pendidikan Dan Pelatihan
Migas Bumi Cepu, Blora, Jawa Tengah. Laporan Khusus. Universitas
Sebelas Maret

Djelantik A. B, dan Soejoto. 2004. Memelihara Pendengaran, Menjaga Kesehatan.


Diakses 1 Agustus 2016. http://www.kompas.com.

Eleftheriou, P.C. 2001. Industrial Noise and Its Effects on Human Hearing. Applied
Acoustics 63 (2002): 35-42

Fahmi U. 2008. Health Safety and Environment. Bina Diknakes,.

Ikron, I Made Djaja dan Ririn Arminsih Wulandari. 2007. Pengaruh Kebisingan
Lalulintas Jalan Terhadap Gangguan Kesehatan Psikologis Anak Sdn
Cipinang Muara Kecamatan Jatinegara, Kota Jakarta Timur, Propinsi Dki
Jakarta, 2005. Makara, Kesehatan, Vol. 11, No. 1, Juni 2007: 32-37.
Universitas Indonesia

Iskandar, Heri. 2007. Kajian Dampak Kebisingan (Dalam Lingkungan Pabrik)


Terhadap Penurunan Tingkat Pendengaran Karyawan Di Kawasan Industri
Kota Tangerang. Tesis. Institut Pertanian Bogor
Kementrian Perindustrian. 2014. Target Pertumbuhan Industri 2015. Artikel
Kemenperin 2015

Kholik, Heri Mujayin dan Dimas Adji Krishna. 2012. Analisis Tingkat Kebisingan
Peralatan Produksi Terhadap Kinerja Karyawan. Jurnal Teknik Industri, Vol.
13, No. 2, Agustus 2012: 194–20. Universitas Muhammadiyah Malang

Listyaningrum, Andrias Wahyu. 2011. Pengaruh Intensitas Kebisingan terhadap


Ambang Dengar Tenaga Kerja di PT Sekar Bengawan Kabupaten
Karanganyar. Skripsi. Universitas Sebelas Maret

Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1996. Baku Tingkat Kebisingan, Surat


Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep-48/MENLH/
1996/25 November 1996, Jakarta

Menteri Tenaga Kerja, 1999, Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: KEP-
51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja,
Jakarta

Miyakita, T and A. Ueda. 1997. Estimates of workers with noise-induced hearing


loss and population at risk. Journal of Sound and Vibration 205(4)(1997):
441-449

Noor, Haula. 2004. Pengaruh Kebisingan terhadap Ingatan. Skripsi. UIN Syarif
Hidayatullah

Pearce E.C 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. PT. Gramedia. Jakarta

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER. 13/MEN/2011

Pratiwi, Indah. 2013. Pengaruh Pencahayaan, Kebisingan Dan Temperatur Terhadap


Performansi Kerja. Makalah National Conference on Applied Ergonomics
(CAE). Universitas Gadjah Mada
Ramdan, Iwan M. 2007. Dampak Giliran Kerja, Suhu dan Kebisingan terhadap
Perasaan Kelelahan Kerja di PT LJP Provinsi Kalimantan Timur. The
Indonesian Journal of Public Health, Vol. 4, No. 1, Juli 2007: 8-13.
Universitas Mulawarman

Sasongko, Budi, Basuki, dan Hendrayanto. 2000. Kebisingan Lingkungan.


Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang

Sasongko, Budi, Basuki, dan Hendrayanto. 2007. Internal Audit dan Delima Etika.
Surabaya: STIE Perbanas.

Sears, F.W., dan Zemansky, M.W., 1999, Fisika Untuk Universitas 1: Mekanika,
Panas, dan Bunyi, Penerbit Trimitra Mandiri, Jakarta

Setiawan, Anugra. 2014. Pengaruh Kecepatan Dan Jumlah Kendaraan Terhadap


Kebisingan (Studi Kasus Kawasan Kos Mahasiswa Di Jalan Raya
Prabumulih-Palembang Km 32 Indralaya Sumatera Selatan). Jurnal Teknik
Sipil dan Lingkungan Vol. 2, No. 4, ISSN : 2355-374X. Universitas
Sriwijaya

Setiawan, M Fathoni. 2010. Tingkat Kebisingan Pada Perumahan di Perkotaan.


Jurnal Teknik Sipil & Perencanaan, Nomor 2 Volume 12 (191-200).
Universitas Negeri Semarang.

Soepardi & Iskandar, 2001, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala Leher, FKUI, Jakarta.

Soeripto M. 2008. Higiane Industri. Jakarta: Balai Penerbit FK Universitas


Indonesia.

Sugeng, Budiono. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan Kesehatan Kerja. Semarang :
Badan Penerbit UNDIP

Suma’mur, P K. 1992. Hygiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja. Gunung


Agung, Jakarta
Supardi, E. A 2002. Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan Telinga Hidung
Tenggorokan (THT). Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Jakarta.

Tarwaka, Solichul HA. Bakri dan Lilik Sudiajeng. 2004. Ergonomi Untuk
Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas, UNIBA PRESS, Surakarta

Ulandari, Andi Anita AM, M furqaan Naiem dan Andi wahyuni. 2014. Hubungan
Kebisingan Dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Laundry Rumah Sakit
Kota Makassar. Universitas Hasanuddin

Wafiroh, Anza Hana. 2013. Pengukuran Tingkat Kebisingan di Lingkungan SMPN


2 Jember. Skripsi. Universitas Jember

Widana, I Ketut dan I Gede Oka Pujihadi. 2014. Kebisingan Berpengaruh Terhadap
Beban Kerja Dan Tingkat Kelelahan Tenaga Kerja Di Industri Pengolahan
Kayu. Seminar Nasional Sains dan Teknologi 2014: ISSN : 2407-1846.
Politeknik Negeri Bali

www.suaramerdeka.com/harian/0704/14/kot12.html

Yusuf, Muhammad. 2007. Pengaruh Kebisingan Terhadap Waktu Penyelesaian


Pekerjaan Operator. AKPRIND Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai