Muhamad Muhdar*
Abstract
Polluter- Pays Principle (PPP) was initially known as economic instrument to maintain
the balance between natural resources exploitation and economic activities. In its further
development, PPP was defined as basic instrument of legal responsibility. In Indonesian legal
perspective, PPP was not arranged adequately, either in its basic level of law arrangement
or in its definition subsisted in court’s verdicts, including its clear existence in legal system.
However, the principle has become reference in practical level, especially in the settlement of
environmental pollution cases. For Indonesia, the position of this principle was supposed to
be defined in accordance with its purposes of formulation by applying economic instruments,
such as charge for guarantee fund, environmental tax, as well as charge for environmental
service. In legal perspective, the principle was not relevant to be used as the basis for legal
responsibility, including cannot be understood as an excuse for polluting.
*
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dosen Fakultas Hukum
Universitas Balikpapan, Kalimantan Timur (e-mail: em_muhdar@yahoo.com).
1
Schlosberg menyebutkan bahwa keadilan lingkungan adalah pendistribusian, but it is also about individual and
community recognation, partipation, and functioning. Lihat: David Schlosberg, 2007, Defining Environmental
Justice, Theories, Movements, and Nature, Oxford University Press, New York, hlm. viii.
68 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 1, Februari 2009, Halaman 67 - 80
2
Marsudi Triatmodjo, 2001, Pengembangan Pengaturan Hukum dan Kelembagaan Pencemaran Laut oleh Sum-
ber dari Darat di Kawasan Asia Tenggara, Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 3
3
Ibid.
4
Ibid.
5
Ibid., hlm. 371.
6
Dalam pengertian umum, sumber daya didefinisikan sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi.
Dapat juga dikatakan sumber daya adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang
bermanfaat bagi kebutuhan manusia.
Muhdar, Eksistensi Polluter Pays Principle dalam Pengaturan Hukum Lingkungan 69
7
Daud Silalahi, 1996, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni,
Bandung, hlm. 12.
8
Rangkuti, Sundari, 2000, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, edisi kedua, Airlangga
University Press, Surabaya, hlm. 238.
9
Philippe Sands, 2003, Principles of International Environmental Law, Second Edition, Cambridge Cambridge
University Press, United Kingdom, hlm. 281.
70 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 1, Februari 2009, Halaman 67 - 80
dasar pengaturan hukum, pemaknaan dalam kaidah berkenaan dengan kaidah hukum
putusan-putusan pengadilan, termasuk ke dalam bentuk kaidah perilaku. Dalam definisi
jelasan eksistensinya dalam sistem hukum, Scholten di atas disimpulkan lebih lanjut
tetapi ditemukan dalam praktek-praktek bahwa asas-asas hukum mewujudkan sejenis
penyelesaian kasus-kasus pencemaran yang sistem sendiri, yang sebagian termasuk
terjadi di Indonesia. ke dalam sistem hukum, tetapi sebagian
Dari gambaran di atas, tulisan ini akan lainnya tetap berada di luar sistem hukum.
menelaah eksistensi polluter pays principle, Menurut Paul Scholten, asas-asas hukum
terutama, apakah polluter pays principle itu berada di dalam sistem hukum maupun
memiliki pembenar menurut hukum untuk di belakangnya. Dalam hal ini, pikiran
digunakan sebagai dasar pertanggungjawaban Scholten terarah pada sistem hukum positif.
terhadap kasus-kasus pencemaran, dan Peranan ganda dari asas hukum berkenaan
bagaimana sebaiknya prinsip ini dapat dengan sistem hukum positif itu berkenaan
digunakan dalam mendukung pengelolaan dengan sifat asas hukum sebagai kaidah
lingkungan hidup? penilaian. Asas hukum mengungkapkan
nilai, yang harus kita perjuangkan untuk
B. Prinsip Hukum dan Konsep Pen- mewujudkannya, tetapi hanya sebagian saja
gaturan dalam Hukum Lingkungan dapat direalisasikan dalam hukum positif.
Prinsip hukum adalah prinsip (asas) Sejauh nilai suatu asas hukum diwujudkan
yang menjadi dasar bagi suatu sistem dalam kaidah hukum dalam sistem hukum
hukum10, yang berguna dalam pembuatan positif, maka asas hukum itu berada dalam
maupun dalam penerapan hukum. sistem tersebut.
Mengenai apa yang dinamakan asas Karl Larenz menyebutkan bahwa asas
hukum atau prinsip hukum terdapat beberapa hukum adalah gagasan yang membimbing
pendapat. Paul Scholten merumuskan asas dalam pengaturan hukum (yang mungkin
hukum sebagai pikiran-pikiran dasar yang ada atau yang sudah ada), yang dirinya
terdapat di dalam dan di belakang sistem sendiri bukan merupakan aturan yang dapat
hukum masing-masing dirumuskan dalam diterapkan, tetapi yang dapat diubah menjadi
aturan-aturan perundang-undangan dan demikian.12 Robert Alexy membedakan
putusan-putusan hakim, yang berkenaan antara asas hukum dan peraturan hukum.
dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan- Menurut pendapatnya, asas hukum adalah
keputusan individual dapat dipandang ‘optimierungsgebote’yang berarti aturan yang
sebagai penjabarannya.11 mengharuskan bahwa sesuatu berdasarkan
Dalam definisi tersebut tampak dengan kemungkinan-kemungkinan yuridis dan
jelas peranan asas hukum sebagai meta- faktual seoptimal mungkin direalisasikan.
10
Black mendefininikan principle sebagai a fundamental truth or doctrine, as of law; a comprehensive rule or
doctrine which furnishes a basis or origin for others; a settled rule of action, procedure, or legal determination,
lihat: Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law Dictionary, 6th ed., West Publishing Co., St. Paul, hlm. 1193.
11
Paul Scholten dalam J.J. H. Bruggink, 1999, Refleksi tentang Hukum, alih bahasa Arief Sidharta, Cetakan ke-2,
Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 119-120.
12
Ibid., hlm. 121.
Muhdar, Eksistensi Polluter Pays Principle dalam Pengaturan Hukum Lingkungan 71
Sebaliknya, aturan hukum adalah yang selalu Polluter Pays Principle (PPP)
dapat atau tidak dapat dipatuhi.13 Ron Jue memberi arah dalam pengaturan hukum
membatasi pengertian asas hukum sebagai lingkungan terkait peristiwa pencemaran.
nilai-nilai yang membatasi kaidah-kaidah Asas ini menunjuk pada suatu kewajiban
hukum disebut asas-asas hukum. Asas atau pembebanan kepada pencemar untuk
hukum itu menjelaskan dan melegitimasi membayar kerugian yang dialami korban.
kaidah hukum, di atasnya bertumpu muatan Permasalahan yang muncul kemudian
ideologis dari tatanan hukum. Karena itu, menyangkut konsep yang dimaknai dalam
kaidah-kaidah hukum dapat dipandang pengaturan hukum lingkungan di Indonesia.
sebagai operasionalisasi atau pengolahan Rumusan penjelasan dalam Pasal 34
lebih jauh dari asas-asas hukum.14 UUPLH, misalnya, menyisakan masalah
Bellefroid menyebutkan bahwa asas tersendiri jika dilihat dari fungsi asas
hukum umum adalah norma dasar yang hukum. Asas pencemar membayar yang
dijabarkan dari hukum positif dan yang memiliki fungsi mengesahkan, seharusnya
oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal tidak dirumuskan dalam bagian penjelasan
dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas pasal. Penempatan rumusan ‘asas pencemar
hukum itu merupakan pengendapan hukum membayar’ (diartikan sebagai PPP) dalam
positif dalam suatu masyarakat.15 penjelasan, berpotensi menimbulkan norma
Asas hukum mempunyai dua fungsi, baru17, dan bahkan membingungkan,
yaitu fungsinya dalam hukum dan ilmu apakah menggunakan ketentuan dalam
hukum. Fungsi asas hukum dalam hukum batang tubuh Pasal 34 ayat (1) UUPLH atau
berdasarkan eksistensinya pada rumusan mengikuti isi penjelasan ayat tersebut. Jika
oleh pembentuk undang-undang dan mengikuti penjelasan, maka maksud prinsip
hakim (ini merupakan fungsi yang bersifat pencemar membayar, bahkan memiliki
mengesahkan) serta mempunyai pengaruh banyak pemaknaan seperti membayar untuk
yang normatif dan mengikat para pihak. mencemari (paying to pollute) atau dapat
Fungsi asas hukum dalam ilmu hukum dimaknai sebagai license to pollute.
hanya bersifat mengatur dan eksplikatif
(menjelaskan). Tujuannya adalah memberi C. Pengaturan Polluter Pays-Principle
ikhtisar, tidak normatif sifatnya dan tidak PPP merupakan salah satu prinsip yang
termasuk hukum positif.16 penting dalam pengelolaan lingkungan,
13
Ibid.
14
Ibid.
15
Bellefroid dalam Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum, Cet. ke-2, Liberty, Yogyakarta, hlm. 34.
16
Ibid., hlm. 36.
17
Sebagai bukti penggunaan asas ini pada tingkat praktek adalah dibebaskannya tersangka pecemaran lingkungan
(pembuangan slude oil/lantung) oleh Polda Kaltim Tahun 2004 dengan alasan pencemar telah melakukan pem-
bayaran (pencemar membayar).
72 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 1, Februari 2009, Halaman 67 - 80
selain prinsip the sustainable development, Watercourses and International Lakes24, the
the prevention principle; the precautionary 1996 London Protocol to the Convention
principle; and the proximity principle.18 on the Prevention of Marine Pollution by
Pengaturan PPP untuk pertama kali Dumping of Wastes and Other Matter.25
dirumuskan oleh Organization for Economic PPP juga ditemukan dalam rumusan
Co-peration and Development (OECD), dan Prinsip ke-16 the Rio Declaration on
dalam ketentuan-ketentuan hukum European Environment and Development yang
Communities (EC) tahun 1972. Selanjutnya menyebutkan bahwa:
tahun 1973, merupakan penerapan pertama
National authorities should endeavor to
kali kedalam masalah-masalah lingkungan promote the internalization of environ-
hidup.19 mental costs and the use of economic
Keberadaan PPP dapat ditemukan dalam instruments, taking into account the
berbagai dokumen hukum (terutama soft law approach that the polluter should, in
dalam kategori soft principles)20, berkembang principle, bear the costs of pollution,
with due regard to the public interests
dalam penggunaannya dan diatur dalam
and, without distorting international
dokumen-dokumen hukum internasional, di trade and investment.26
antaranya, the 1980 Athens Protocol for the
Protection of the Mediteranian Sea against Hal ini juga ditegaskan oleh Sands
Pollution from Land-based Sources and dengan mengemukakan bahwa ‘the practical
activities21, the 1992 Helsinki Convention implications of the polluter pays-principle
on the Transboundary Effects of Industrial are its allocation of economic obligations
Accidents22, the 1993 Lugano Convention in relation to environmentally damaging
on Civil Liability for Damage resulting from activities, particularly in relation to liability,
Activities Dangerous to the Environment23, the the use of economic instrument, and the
1992 Helsinki Convention on the Protection application of rules relating to competition
on the Protection and Use of Transboundary and subsidy’.27 Meskipun demikian, prinsip
ini telah menjadi solusi bagi beberapa
18
Michael Faure and Goran Skogh, 2003, The Economic Analisys. of Environmental Policy and Law, an Introduc-
tion, Edward Elgar Publishing Inc., Massachusett, USA, hlm. 5.
19
Philip Sands QC, Op. cit., hlm. 281-283.
20
Soft Law meliputi solft principles (seperti: Declaration) dan kategori sebagai normative recommendations. Nor-
mative recommendation pada umumnya berisi norma-norma tentang satndar-standar yang dapat dijadikan pe-
doman mengenai apa yang ditetapkan dan bagaimana melakukannya, lihat: Marsudi Triatmodjo, 1998, Peran
dan Fungsi Soft Law dalam Perkembangan Hukum Internasional tentang Hak Asasi Manusia dan Lingkungan
Hidup, Mimbar Hukum, Nomor 31/VIII/1998, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, hlm. 43.
21
United Nations Environmental Programme (UNEP), 1992.
22
United Nations Economic Commission for Europe (UNECE), 1992.
23
European Communities Civil and Commercial Matters, 1993.
24
United Nations Economic Commission for Europe (UNECE), 1992.
25
London Protocol, (International Maritime Organization), 1972/1996.
26
The Rio Declaration, UN, 1992.
27
Philippe Sands, Op. cit., hlm. 280
Muhdar, Eksistensi Polluter Pays Principle dalam Pengaturan Hukum Lingkungan 73
28
Sitti Sundari Rangkuti, Op. cit., hlm. 253.
29
Ibid., hlm. 253.
30
Irina Glazyrina, Vesiliy Glazyrin, Sergey Vinnichenko, 2005, “The Polluter Pays Principle and Potential Con-
flicts in Society”, dalam www.sciencedirect.com/poluter_pays_principle_analysis.pdf, diakses Tanggal 30 Janu-
ari 2009.
74 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 1, Februari 2009, Halaman 67 - 80
ces. This principle not only concerns the diartikan juga sebagai instrumen dasar untuk
allocation of cost of avoidance, removal menuntut pertanggungjawaban hukum atas
and compensation of environmental terjadinya kasus pencemaran.
impact. It also justifies measures of
Dalam sejarah perkembangan hukum
direct conduct (orders, prohibitions),
incentive charge, and leads to claims lingkungan nasional, tidak terdapat
which compel those responsible to do perumusan secara spesifik mengenai
something, or to claim concerning li- eksistensi PPP. PPP mulai menjadi perhatian
ability under civil law. Therefore, this saat dirumuskan dalam Pasal 34 ayat (1)
principle serves as substantial principle UUPLH yang berbunyi:
in determining responsible for environ-
mental impact, danger and risk.31 “setiap perbuatan melanggar hukum
berupa pencemaran dan/atau peru-
Meskipun pandangan di atas sakan lingkungan hidup yang menim-
masih memiliki pertalian dengan aspek bulkan kerugian pada orang lain atau
pengalokasian biaya dalam penanggulangan lingkungan hidup, mewajibkan kepada
pencemaran, tetapi juga memasuki ranah penanggung jawab usaha dan/atau ke-
giatan untuk membayar ganti rugi dan/
pertanggungjawaban hukum. Dalam
atau melakukan tindakan tertentu”.
banyak kasus pencemaran lingkungan,
pertanggungjawaban hukum termasuk Penjelasan pasal tersebut dirumuskan,
tindakan untuk menghilangkan dampak ‘ayat ini merupakan realisasi asas yang ada
negatif menjadi tuntutan dalam proses dalam hukum lingkungan hidup yang disebut
menyeimbangkan antara kepentingan asas pencemar membayar’. Penjelasan pasal
kalangan industri dan kepentingan ini memiliki pengertian berbeda dengan
masyarakat, termasuk kebutuhan menjaga teks dalam batang tubuh Pasal 34 ayat (1)
pelestarian kemampuan lingkungan hidup UUPLH sehingga memiliki konsekuensi
yang serasi dan seimbang.32 yang berbeda dalam tingkat penerapan. Pasal
Dari uraian tersebut di atas, nampak 34 ayat (1) UUPLH memiliki pembenar dari
bahwa prinsip pencemar membayar memiliki aspek pertanggungjawaban perdata dengan
dua pemaknaan, yaitu sebagai instrumen mengacu pada Pasal 1365 Kitab Undang-
ekonomi dengan maksud pembebanan biaya undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang
kepada pelaku pencemar yang potensial dan dalam literatur dikenal dengan perbuatan
31
Seerden, Rene J.G.H., Michiel A, Heldeweg and Kurt R. Deketelaere (eds), 2002, Public Environmental Law
in the European Union and the United States, A Comparative Analysis, The Hague, Published by Kluwer Law
International, Netherlands, hlm. 210-211.
32
Istilah “pelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang” membawah kepada keserasian
antara “pembangunan” dan “lingkungan”, sehingga kedua pengertian itu, yaitu “pembangunan” dan “lingkun-
gan” tidak dipertentangkan satu dengan yang lain. Adapun “pelestarian lingkungan” yang bermakna melestari-
kan lingkungan itu an sich digunakan dalam rangka kawasan pelestarian alam dan kawasan suaka alam. lihat
Koesnadi Hardjasoemantri, 2006, Hukum Tata Lingkungan, ed. 8, cet. ke-19, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, hlm. 98.
Muhdar, Eksistensi Polluter Pays Principle dalam Pengaturan Hukum Lingkungan 75
dalam komponen pengambilan keputusan lagi diperlakukan sebagai suatu benda bebas
untuk menentukan harga pasar tersebut. (rex nullius). Hal ini mempertegas bahwa
Masyarakat menjadi korban pencemaran pemanfaatan sumber-sumber daya alam
dan/atau perusakan lingkungan tidak oleh pelaku ekonomi, sudah waktunya pula
memiliki mekanisme untuk memaksa pelaku memperhitungkan biaya-biaya kerusakan
ekonomi membayar ganti kerugian akibat dan/atau pencemaran lingkungan dalam
kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan proses keputusan pembiayaan kegiatan
kecuali melalui mekanisme pengadilan. Oleh usaha mereka.
sebab itu, sumber-sumber daya alam yang Perhitungan ganti kerugian dalam kasus
biasanya ‘open access’ harus diberi nilai/ lingkungan hidup didasarkan pada hitungan
harga yang memadai, karena kecenderungan jumlah kerugian riil yang diukur berdasarkan
manusia dan badan hukum (berorientasi nilai material milik korban dan jumlah
positif) menggunakannya secara berlebihan kerugian yang dihitung dari nilai ekonomi
(overuse).33 lingkungan. Penilaian ini didasarkan pada
Prinsip internalisasi biaya lingkungan pandangan bahwa dalam pembangunan
mendasari materi muatan pembangunan ekonomi, sumber daya alam dibutuhkan
berkelanjutan, pada hakikatnya menggugah baik sebagai input produksi ekonomi
kesadaran pelaku ekonomi untuk lebih (resource supplier), media asimilasi limbah
kritis memperhitungkan dampak-dampak (waste assimilator), maupun penyedia
yang timbul akibat kegiatan ekonominya. kenyamanan lingkungkungan (direct use of
Patut disadari bahwa ongkos-ongkos sosial utility). Munculnya bahaya akibat perlakuan
kerusakan lingkungan menjadi bagian yang salah terhadap sumber daya alam dan
urgensial dalam proses pengambilan lingkungan karena tidak mengenal nilai
keputusan untuk mewujudkan inspirasi positif dari ketiga fungsi ekonomi tersebut.34
memperoleh keuntungan ekonominya, baik Jasa yang paling nyata yang disediakan oleh
jangka pendek maupun jangka panjang. sumber daya alam berupa utilitas langsung
Perusahaan bisa saja menganggap adalah kenyamanan, estetika dan rekreasi.
lingkungan sebagai benda bebas yang dapat Jasa lain yang bisa diperoleh adalah sumber
digunakan sepenuhnya untuk memperoleh pangan, input untuk produksi, energi,
laba yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, logam, dan kayu. Hitungan ganti kerugian
masyarakat sebagai pelaku keseluruhan akan dengan menggunakan instrument valuasi
melihat lingkungan hidup sebagai bagian ekonomi adalah penting mengingat esensi
bagian kekayaan nyata yang tidak dapat valuasi ekonomi menyangkut penentuan
Pearce and Turner dalam Irham, 2007, Valuasi Ekonomi dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Kerangka
34
Kebijakan Pembangunan berkelanjutan, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Pertanian Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, 21 Maret 2007, hlm. 2.
Muhdar, Eksistensi Polluter Pays Principle dalam Pengaturan Hukum Lingkungan 77
nilai bagaimana menemukan ukuran daerah yang tidak tercemar. Cara yang lain
untuk willingness to pay bagi kualitas lagi adalah dengan menanyakan berapa
lingkungan.35 kesediaannya untuk membayar bagi
Baik dalam teori maupun dalam praktek, pengurangan pencemaran itu. Dapat pula
hal yang paling sulit dalam pendekatan ditanyakan kesediaan seseorang menerima
ekonomi adalah bagaimana menentukan pembayaran agar tetap bersedia menerima
atau mengukur biaya dan manfaat dari pencemaran (willingness to accept).38
usaha penanggulangan pencemaran.36 Biaya Dalam sudut pandang hukum, PPP harus
pencemaran yang tidak dapat diukur dengan dinormatifikasi melalui pengaturan yang jelas.
mudah sering disebut “intangible costs” Beberapa hal yang membutuhkan pengaturan
atau “noneconomic costs”,37 misalnya biaya terkait asas ini adalah penegasannya sebagai
hilangnya kesempatan rekreasi untuk anak- prinsip pertanggungjawaban hukum dalam
anak maupun para pengail ikan. Hanya kasus-kasus lingkungan, terutama sengketa
sebagian kecil biaya pencemaran yang dapat lingkungan dari sisi hukum perdata. Sebagai
diperkirakan secara langsung terutama yang bagian dari sistem hukum perdata, maka
berkaitan dengan kerugian manusia terkait penentuan ganti kerugian pun seharusnya
dengan adanya pencemaran. Kesulitan didasarkan tidak saja pada seberapa besar
menilai dalam kasus pencemaran terutama kerugian manusia tetapi mencakup nilai
kerugian pada komponen lingkungan hidup pada valuasi ekonomi lingkungan, sehingga
tidak menjadi dasar untuk meniadakan yang diharapkan adalah bentuk perlindungan
faktor dalam menentukan ganti kerugian kepentingan manusia dan sekaligus
komponen lingkungan. Salah satu yang dapat melindungi kelestarian lingkungan hidup.
digunakan dalam melakukan pengukuran Pembebanan pembayaran berdasarkan PPP
biaya pencemaran adalah dengan melihat akan lebih baik jika diikuti dengan penentuan
tingkat harga. Tetapi bila kita tidak dapat bagaimana cara menentukan pembayaran,
secara langsung mengetahui harga pasar jumlah pembayaran dan tujuan pembayaran
untuk kerugian yang timbul karena polusi, dalam kasus-kasus pencemaran lingkungan
maka harus ditemukan cara lain, yaitu hidup.
dengan cara menggunakan harga barang Argumen ini didasarkan pada pertim-
lain terutama mengukur berapa nilai udara bangan bahwa selama ini cara menentukan
yang bersih dan nilai air yang bersih dengan nilai kerugian akibat pencemaran lebih ke-
cara melihat kesediaan membayar seseorang pada penentuan nilai dari kerugian korban
(willingness to pay) untuk perumahan di pencemaran (manusia) tanpa mengikutser-
35
Ibid., hlm. 11.
36
Suparmoko, 2006, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lngkungan (Suatu Pendekatan Teoretis), ed. ke-3, cet. ke-2,
BPFE, Yogyakarta, hlm. 288.
37
Ibid., hlm. 289.
38
Ibid., hlm. 290.
78 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 1, Februari 2009, Halaman 67 - 80
takan nilai komponen lingkungan hidup. menjadi bagian penting dalam hukum ling-
Kelemahan penentuan nilai ganti kerugian kungan karena memberikan petunjuk pada
dengan hanya menentukan kerugian korban pembuatan atau penerapan hukum, bahwa
pencemaran, juga dapat dilihat dari me- pelaku pencemar seharusnya melakukan tin-
kanisme penyelesaian sengketa yang dipilih. dakan-tindakan pemulihan lingkungan, ter-
Penyelesaian dengan mekanisme perdata masuk memberikan ganti kerugian kepada
(non litigasi) misalnya, akan menyebabkan korban pencemaran baik karena terbukti ada
kesepakatan menurut tujuan para pihak dan nya pencemaran atau kegiatan yang berpo-
bukan menjadi tujuan perlindungan lingkung tensi mencemari lingkungan.
an hidup. Di samping itu, penerapan PPP se- Prinsip ini dapat digunakan dalam
harusnya terbatas pada kegiatan tertentu dan mendukung pengelolaan lingkungan hidup
dalam batas gangguan terhadap lingkung apabila dilakukan proses normatifikasi dalam
an dalam skala kecil serta pelakunya tidak sistem hukum lingkungan di Indonesia.
mampu menyiapkan teknologi pengelolaan Di samping itu, penerapannya pun harus
limbah yang baik. Namun demikian, pan- terbatas untuk kegiatan tertentu dan dalam
dangan ini pun dapat membuat rancu bagi batas gangguan terhadap manusia dan/atau
proses-proses penyelamatan lingkungan lingkungan pada skala kecil, serta pelakunya
hidup dan keadilan dalam distribusi peman- tidak mampu menyiapkan teknologi
faatan sumber daya lingkungan. pengelolaan limbah.
Dalam perspektif ekonomi, asas ini
E. Penutup seharusnya dikembalikan pada tujuannya
Berdasarkan uraian di atas, dapat di semula, yaitu pembebanan terhadap pence-
ketahui bahwa PPP tidak memiliki pembenar mar potensial demi menghindari pengalihan
menurut hukum untuk digunakan sebagai risiko kepada mereka yang tidak memperoleh
dasar pertanggungjawaban terhadap kasus- keuntungan dalam penggunaan lingkungan
kasus pencemaran. Namun demikian, tetap untuk tujuan ekonomi.
DAFTAR PUSATAKA