Anda di halaman 1dari 8

VALUASI EKONOMI SUMBER DAYA AIR

Disusun Oleh :
1. Lutfi Dwimulya/ 21317009
2. Artanininai Br Tarigan/ 21317010
3. Yanyan Achmad Hoesen/21317006
4. Cynthia Ekaputri Purwanto/ 21317008
5. Salma Nursaadah/ 21317012
6. Dikdik Permadi/ 21317011
7. Nadine Claudia Elvira S/ 21317007
8. Ni Putu Sekar T. L/ 21317013
Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya.
Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan, keberlanjutan keadaan,
sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan mahluk hidup baik pada waktu sekarang maupun pada
generasi yang akan datang. Pendayagunaan sumber daya air adalah upaya penatagunaan,
penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air secara optimal,
berhasilguna dan berdayaguna. Pengendalian dan penanggulangan daya rusak air adalah upaya
untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh
daya rusak air yang dapat berupa banjir, lahar dingin, ombak, gelombang pasang, dan lain-lain.
Pengelolaan adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi
penyelenggaraan konservasi, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak
air. Penatagunaan sumber daya air adalah upaya untuk menentukan zona pemanfaatan sumber
air dan peruntukan air pada sumber air. Penyediaan sumber daya air adalah upaya pemenuhan
kebutuhan akan air dan daya air untuk memenuhi berbagai keperluan dengan kualitas dan
kuantitas yang sesuai. Penggunaan sumber daya air adalah pemanfaatan sumber daya air dan
prasarananya sebagai media dan atau materi. Pengembangan sumber daya air adalah upaya
peningkatan kemanfaatan fungsi sumber daya air tanpa merusak keseimbangan lingkungan.
Air sebagai Sumber Daya Ekonomi Dewasa ini air sudah menjadi barang ekonomi dan
mahal karena keberadaannya semakin langka, bahkan banyak yang tercemar bermacam-
macam limbah dari hasil aktivitas manusia dan rumah tangga, limbah pertanian, peternakan,
industri dan lain sebagainya. Indikator atau tanda air telah tercemar adalah perubahan suhu air,
pH atau konsentrasi ion hidrogen, warna, bau dan rasa air, timbulnya endapan, koloid bahan
terlarut, mikroorganisme dan radioaktif air. Wilayah kota dan kabupaten merupakan wilayah
yang memiliki sumber daya air, berupa air permukaan dan air tanah yang potensial. Hal
tersebut nampak dari beberapa sungai yang berukuran cukup besar dan mata air yang
merupakan sumber potensial bagi penyediaan kebutuhan air baku penduduk. Keseimbangan air
tanah (neraca air) di dapat dibuat berdasarkan besar input dan output yang ada. Input
merupakan debit air sungai yang ada, sedangkan output merupakan total penggunaan air untuk
keperluan domestik (rumah tangga), untuk irigasi dan untuk industri pariwisata.
Pengelolaan sumber daya air semakin hari semakin dihadapkan ke berbagai
permasalahan. Permasalahan umum dalam pengelolaan sumber daya air pada dasarnya terdiri
atas tiga aspek yaitu terlalu banyak air, kekurangan air dan pencemaran air. Peningkatan
kebutuhan akan air telah menimbulkan eksploitasi sumber daya air secara berlebihan sehingga
mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan sumber daya air yang pada gilirannya
menurunkan kemampuan pasokan air. Gejala degradasi fungsi lingkungan sumber daya air
ditandai dengan fluktuasi debit air di musim hujan dan kemarau yang semakin tajam,
pencemaran air, berkurangnya kapasitas waduk dan lainnya. Pengelolaan sumber daya air perlu
diarahkan secara holistik, untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harmonis antar
wilayah, antar sektor, dan antar generasi. Semua pihak terkait perlu dilibatkan dalam setiap
tahap pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumber daya air dari tahap perencanaan
sampai dengan operasi dan pemeliharaan. Dalam pengelolaan sumber daya air, pemerintah
daerah tidak boleh memandang air hanya sebagai komoditas ekonomi tetapi perlu
mempertimbangkan fungsi sosialnya.
Berdasarkan tipologi valuasi ekonomi Barton (1994), Barbier (1993) dan Freeman (2002),
penentuan valuasi (nilai) ekonomi SDAL menggunakan Nilai Total Valuasi (TEV) SDAL, dengan skema
sebagai berikut:
1. Nilai Guna Langsung (DUV): mencakup seluruh manfaat SDA dan lingkungan yang dapat diperkirakan
langsung dari konsumsi dan produksi melalui satuan harga berdasarkan mekanisme pasar. Nilai guna
tersebut dibayar oleh seseorang atau masyarakat yang secara langsung menggunakan dan
mendapatkan manfaat dari SDA dan lingkungan. Nilai DUV dihitung berdasarkan kontribusi SDA dan
lingkungan dalam membantu proses produksi dan konsumsi saat ini (komiditi yang secara langsung
dapat dikonsumsi atau bahan produksi barang atau jasa)
2. Nilai Guna Tidak Langsung (IUV): terdiri atas manfaat fungsional dari proses ekologi yang secara
terus-menerus memberikan konstribusinya terhadap masyarakat dan ekosistem. Areal pertanian
yang cukup luas memberikan manfaat tidak langsung berupa kenyamanan udara, keindahan
pemandangan, pengendali banjir, erosi dan sedimentasi, serta pemasok sumber air tanah baik bagi
petani maupun masyarakat lainnya.
3. Nilai Guna Pilihan (OV): tidak dieksploitasi pada saat ini, tetapi "disimpan" demi kepentingan yang
akan datang. Manfaat ini bersifat bonus dimana konsumen mau membayar untuk aset yang tidak
digunakan, dengan alasan yang sederhana yakni untuk menghindari risiko karena tidak memilikinya
di masa mendatang.
4. Nilai Keberadaan (EV): muncul dari kepuasan seseorang atau komunitas atas keberadaan suatu aset,
walaupun yang bersangkutan tidak berminat untuk menggunakannya. Dengan kata lain nilai
diberikan seseorang atau masyarakat kepada SDAL tertentu karena memberikan manfaat spiritual,
estetika dan budaya.
5. Nilai Warisan (BV): diberikan oleh masyarakat yang hidup saat ini terhadap SDA dan lingkungan
tertentu agar tetap ada dan utuh untuk diberikan kepada generasi akan datang. Nilai ini berkaitan
dengan konsep penggunaan masa datang atau pilihan dari orang lain untuk menggunakannya.
Metode Valuasi Ekonomi SDAL Ada dua pendekatan yang digunakan dalam mengukur nilai
ekonomi SDAL menurut Turner, Pearce dan Bateman (1993), yaitu :

1. Contingent Valuation Method (CVM) Metode ini digunakan untuk membuat perkiraan nilai
ekonomi untuk hampir semua ekosistem atau jasa lingkungan. CVM dapat digunakan untuk
memperkirakan nilai-nilai penggunaan dan nilai-nilai non-penggunaan. Merupakan metode yang
paling banyak digunakan untuk memperkirakan nilainilai non-penggunaan, atau nilai-nlai
"penggunaan pasif". Metode ini dilakukan dengan cara meminta orang untuk langsung
menyatakan kesediaan mereka untuk membayar jasa lingkungan tertentu, berdasarkan skenario
hipotetis. CVM karena bersifat contingent (tergantung) di mana informasi yang diperoleh sangat
tergantung pada hipotesis yang dibangun. CVM secara langsung melibatkan partisipasi masyarakat
dalam survei dengan cara menanyakan kepada masyarakat berapa banyak mereka akan bersedia
membayar untuk jasa lingkungan tertentu. Dalam beberapa kasus, orang ditanyakan tentang
seberapa besar jumlah kompensasi yang bersedia mereka terima untuk jasa lingkungan tertentu.
Hal ini disebut "kontingen" penilaian, karena orang diminta untuk menyatakan kesediaan mereka
untuk membayar, tergantung pada skenario hipotetis tertentu dan deskripsi jasa lingkungan.
Pendekatan CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a. Dengan teknik eksperimental melalui simulasi dan permainan.
b. Dengan teknik survei. Didalam tahap operasional penerapan pendekatan CVM terdapat lima
tahap kegiatan (proses), yaitu sebagai berikut:
c. Tahap I: membuat hipotesis pasar.
d. Tahap II: mendapatkan nilai lelang (bids).
e. Tahap III: menghitung rataan WTP (willingness to pay) dan WTA (willingness to accept).
f. Tahap IV: memperkirakan kurva lelang (bid curve).
g. Tahap V: mengagregatkan data.
2. Travel Cost Method (TCM) Merupakan metode tertua yang digunakan untuk pengukuran nilai
ekonomi tidak langsung. Metode ini seringkali digunakan untuk menganalisis permintaan terhadap
rekreasi di alam terbuka (outdoor recreation) seperti memancing, berburu, hiking dan lain
sebagainya. Metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi
tempat-tempat rekreasi di atas. Dengan mengetahui pola ekspenditur dari konsumen ini, maka
dapat dikaji berapa nilai yang diberikan konsumen kepada sumber daya alam dan lingkungan yang
dikunjunginya. Metode TCM ini dapat digunakan untuk mengukur manfaat dan biaya akibat:
a. Perubahan biaya akses (tiket masuk) di suatu tempat rekreasi.
b. Penambahan tempat rekreasi baru.
c. Perubahan kualitas lingkungan tempat rekreasi.
d. Penutupan tempat rekreasi yang ada.
Secara umum ada dua teknik sederhana yang digunakan untuk menentukan nilai ekonomi
berdasarkan TCM yaitu:
a. Pendekatan sederhana melalui zonasi.
b. Pendekatan individual TCM menggunakan data sebagian besar dari survei.
3. Hedonic Pricing (HP) Teknik Hedonic Pricing pada prinsipnya adalah mengestimasi nilai implisit
karakteristik atau atribut yang melekat pada suatu produk dan mengkaji hubungan antara
karakteristik yang dihasilkan tersebut dengan permintaan barang dan jasa. Misalnya, permintaan
rumah yang dibangun di tepi danau akan banyak ditentukan oleh karakteristik yang dihasilkan dari
danau itu (keindahan, kebersihan dan sebagainya). Di sisi lain, nilai properti (perumahan) juga
banyak ditentukan oleh kualitas lingkungan dan diasumsikan bahwa semakin buruk kualitas
lingkungan, maka semakin menurun nilai properti tersebut. Analisis HP terdiri dari dua tahap,
yaitu:
a. Tahap I : penentuan variabel kualitas lingkungan yang akan dijadikan studi (fungsi HP) dan
pengkajiannya memerlukan ketersediaan data spasial dan data harga suatu objek yang akan
dinilai.
b. Tahap II : penentuan fungsi permintaan dari kualitas lingkungan berdasarkan informasi yang
diperoleh dari Tahap I. Penentuan fungsi permintaan ini akan dipengaruhi oleh informasi
mengenai sisi penawaran pasar. Masalah yang timbul dalam melakukan HP dengan
menggunakan metode regresi sederhana untuk menghitung tingkat permintaan, yaitu:  Ada
variabel yang tidak termasuk dalam regresi (omitted variables) saat pemilihan variabel bebas,
di mana ada kemungkinan variabel yang semestinya mempengaruhi fungsi permintaan tidak
dimasukkan ke dalam model sehingga akan menghasilkan nilai R2 yang kecil dan koefisien
yang bias.  Adanya multi kolinieritas, di mana variabel bebas yang dipilih dalam model
kemungkinan saling terkait satu sama lain sehingga menimbulkan kolinieritas. Munculnya
kolinieritas ini bisa saja menghasilkan tanda yang salah untuk koefisien peubah bebas. 
Pemilihan fungsi HP juga harus diperhatikan sebab apakah sudah tepat jika fungsi tersebut
dimodelkan secara linier dan bukan non-linier. Kesalahan memilih fungsi ini akan
menghasilkan interpretasi yang keliru.

NON D-CURVE APPROACHES 


1. Dose-Response Method 
 Ini merupakan prosedur tidak langsung valuasi biaya lingkungan dan

manfaat. Dosis analisis metode Response hubungan antara mengatakan, polusi dan efek yang
dimilikinya, misalnya, efek kesehatan. Ini adalah proses karakterisasi hubungan antara dosis agen
diberikan, dan terjadinya efek yang merugikan kesehatan antara terkena. Insiden efek ini
kemudian diperkirakan sebagai fungsi dari paparan agen. 'Dosis' menunjukkan jumlah agen
sementara 'respon' mengacu pada pengaruh agen sekali diberikan. Hubungan dosis-respon
ditentukan secara grafis dengan menentukan efek dari berbagai dosis diberikan pada respon.
Secara umum, meningkatkan dosis agen berbahaya akan menghasilkan peningkatan proporsional
dalam kedua kejadian efek samping serta keparahan efek. Metode ini biasanya diberikan ketika
penduduk terkena tidak menyadari efek dari polusi karena tidak langsung; itu juga digunakan di
negara-negara berkembang di mana ada kurangnya data untuk metode penilaian tersebut.

2. Replacement Cost
 Damage Cost Method, Replacement Cost, dan Subtitute Cost Method

merupakan metode yang memperkirakan nilai jasa ekosistem berdasarkan biaya untuk
menghindari kerusakan akibat layanan yang hilang terkait, biaya penggantian jasa ekosistem, atau
biaya penyediaan jasa pengganti. Metode ini tidak memerlukan pengukuran yang ketat dari nilai-
nilai ekonomi, yang didasarkan pada kesediaan masyarakat untuk membayar untuk suatu produk
atau jasa. Sebaliknya, mereka menganggap bahwa biaya untuk menghindari kerusakan atau
mengganti ekosistem atau jasa dengan memberikan perkiraan yang berguna dari nilai ekosistem
atau jasa tersebut. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa, jika orang mengeluarkan biaya untuk
menghindari kerusakan yang disebabkan oleh layanan ekosistem hilang, atau untuk mengganti
jasa ekosistem, maka layanan tersebut harus bernilai setidaknya apa yang orang membayar untuk
menggantikan mereka. Dengan demikian, metode ini paling tepat diterapkan dalam kasus di mana

penghindaran kerusakan atau penggantian pengeluaran benar-benar telah dibuat. 


3. Mitigation Behavior
 Mitigation Behavior (perilaku mitigasi) adalah metode untuk melihat

perilaku masyarakat yang mengalami suatu peristiwa/bencana lingkungan yang belum pernah
dialami sebelumnya, misal bencana banjir. Orang tanpa pengalaman banjir cenderung

meremehkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh peristiwa semacam itu.
 Metode ini

digunakan untuk melihat orang-orang yang terkena dampak bencana banjir yang dibandingkan
dengan orang yang tidak terpengaruh, tetapi juga tinggal di daerah rawan banjir. Metode ini
dilakukan dengan wawancara dengan orang- orang yang terkena bencana (misal banjir). Hasil
menunjukkan bahwa orang tanpa pengalaman banjir yang dibayangkan konsekuensi dari banjir
berbeda dari orang- orang yang benar-benar mengalami kerugian parah akibat banjir. Orang-
orang yang tidak terkena banjir akan meremehkan dampak negatif akibat bencana tersebut.
Berdasarkan hasil, dapat disimpulkan bahwa komunikasi risiko tidak harus fokus hanya pada
aspek teknis; untuk memicu motivasi untuk perilaku mitigasi, komunikasi yang sukses juga harus
membantu orang untuk membayangkan konsekuensi emosional negatif dari suatu bencana alam.

4. Opportunity Cost
 Opportunity Cost of Capital (OCC) adalah nilai ekonomi yang hilang akibat

pemilihan penggunaan modal suatu investasi, ketika memilih investasi yang lainnya. Pada
umumnya OCC diukur melalui tingkat IRR (Internal Rate Return) dari suku bunga pinjaman

bank.
 Penerapan otonomi daerah memberikan dampak tekanan yang tinggi terhadap
pengelolaan kawasan konservasi. Menimbulkan negoisasi-negoisasi dengan pemerintah daerah
setempat terutama pemanfaatan lahan. Tidak jarang menimbulkan konflik kepentingan antara
pengelola kawasan konservasi dengan pemerintah daerah setempat dimana secara teritorial
kawasan konservasi terletak di daerah setempat. Apalagi kepentingan mengejar PAD (Pendapatan
Asli Daerah) oleh pemerintah daerah setempat dan pertimbangan OCC kawasan konservasi yang
lebih menguntungkan apabila dapat digunakan sebagai peruntukan lainnya seperti pertanian.

Anda mungkin juga menyukai