Anda di halaman 1dari 20

Rancangan Materi

Presentasi

MATERI INISIASI 8

MATAKULIAH : EKONOMI SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN


(ESPA 4317)

Ekonomi Sumber Daya Air

M.A,S Sridjoko Darodjatun ST., M.Si

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS TERBUKA
2018
Cakupan Isi Materi

• Ekonomi Sumber Daya Air


• Alokasi Sumber Daya Air
 QUEUING SYSTEM (SISTEM ANTRIAN)
 WATER PRICING (MEKANISME HARGA)
 ALOKASI PUBLIK
 ALOKASI BERDASARKAN PENGGUNA (USER-BASED)
 ALOKASI BERBASIS PASAR (WATER MARKET)
Peran Sumber Daya Air Dalam Kehidupan

Adam Smith tokoh ekonomi era Klasik dan Bapak ekonomi pasar bebas pernah
mengaakan “Nothing is more useful than water, scarcely anything can be had in
exchange for it” (tidak ada yang lebih bermanfaat dari pada air, namun jarang
sekali sesuatu ditukarkan untuk memperoleh air). Pernyataan Adam Smith tersebut
menunjukkan apa yang disebut sebagai paradoks dari sumber daya air. Paradoks
ini juga dikenal Water Diamond Paradox atau paradoks air dan berlian. Kita bisa
hidup tanpa berlian namun kita tidak bisa hidup tanpa air. Namun mengapa harga
berlian begitu mahal sementara air begitu murah? Pernyataan Adam Smith
tersebut juga menunjukkan bagaimana penilaian kita terhadap air.
 

Air bukan hanya vital untuk hidup manusia, namun air juga berperan penting
dalam penyediaan pangan dan pertumbuhan ekonomi. Kita memang
membutuhkan air untuk minum dan kebutuhan domestik lainnya, namun itu hanya
beberapa liter saja per hari yang kita gunakan. Sebagian besar air kita butuhkan
untuk penyediaan pangan. Untuk menghasilkan 1kg beras dibutuhkan 3400 liter
air.
Permasalahan ketersediaan dan pemanfaatan air ini dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Pertama adalah kebijakan terhadap sumber daya air (water policy). Di
beberapa daerah kebijakan air ini bahkan tidak dikembangkan sama sekali karena
air dianggap murah dan cukup sensitif bagi pengambil kebijakan untuk
menentukan tarif terhadap air.
Sumber daya air cenderung bersifat barang publik
sehingga ketiadaan pengaturan hak kepemilikan akan
berimplikasi pada alokasi sumber daya air yang tidak
optimal dan akan berpengaruh pada ketersediaan dan
pemanfaatannya. Oleh karena kompleksitas
pengaturan hak tersebut, pengaturan sumber daya air
kemudian dilakukan dengan berbagai macam
mekanisme alokasi
Alokasi Sumber Daya Air
Pengguna air secara garis besar terbagi dalam dua kategori yakni konsumtif dan non-
konsumtif. Kelompok konsumtif ini antara lain adalah rumah tangga, unit usaha
(warung, restoran, hotel), industri dan pertanian. Kelompok pengguna non-konsumtif
memanfaatkan air sebagai media seperti:
1. Media pertumbuhan ikan pada kasus perikanan.
2. Sumber penggerak turbin pada PLTA
3. Rekreasi (berenang, kayaking dan lain sebagainya)
Alokasi Sumber Daya Air

Kriteria Tujuan

Efisiensi  Biaya penyediaan air yang rendah


 Penerimaan per unit sumber daya yang tinggi
 Mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan

Equity  Akses terhadap air bersih untuk semua masyarakat

Sustainability  Menghindari terjadinya deplesi pada air bawah tanah (ground water depletion)
 Menyediakan cadangan air yang cukup untuk memelihara ekosistem
 Meminimalkan pencemaran air
QUEUING SYSTEM (SISTEM ANTRIAN)

Sebagai komoditas ekonomi, air memiliki dua karakteristik


penting yakni alokasi dan kualitas. Oleh karenanya alokasi
sumber daya air erat terkait dengan dua sifat tadi. Salah satu
sistem alokasi yang terkait dengan masalah lokasi adalah
sistem alokasi air yang didasarkan pada sistem antrian atau
queuing system. Sistem ini merupakan sistem alokasi air
yang paling tua. Sistem ini dikembangkan sejak abad
pertengahan di beberapa negara di Eropa.
Di dalam sistem antrian ini ada dua sistem
alokasi yang cukup dominan yakni Riparian
Water Rights yang dikembangkan di Inggris
dan Prior Appropriation Water Right yang
dikembangkan di negara-negara barat lainnya
khususnya negara-negara Anglo-Saxon.
WATER PRICING (MEKANISME HARGA)

Sebagaimana dikemukakan di atas, sistem alokasi yang didasarkan pada


antrian banyak menimbulkan inefisiensi dalam pemanfaatan air karena
ketiadaan kriteria ekonomi. Padahal sebagaimana dikemukakan pada
pendahuluan, bahwa air tidak bisa lagi diperlukan sebagai barang publik
murni. Air dalam beberapa hal merupakan barang nilai tambah (value
added commondity). Usaha untuk memberikan nilai kepada sumber daya
alam tersebut melalui berbagai mekanisme seperti water treatment
sehingga sampai ke tangan konsumen dan aman diminum memerlukan
biaya yang tidak sedikit.
Alokasi Optimal Berdasarkan MCP
Gambar 8.1 berikut memperlihatkan alokasi optimal
berdasarkan prinsip MCP. Alokasi optimal secara sosial
adalah pada titik P* dan Q* dimana manfaat marjinal sama
dengan biaya marjinal. Jika kemudian terjadi eksternalitas
negatif dalam pemanfaatan sumber daya air, maka biaya
marjinal akan bergeser ke kiri yang menyebabkan makin
berkurangnya suplai air sehingga keseimbangan baru dicapai
pada harga yang lebih tinggi dengan kuantitas makin sedikit
QL < Q*.
ALOKASI PUBLIK

Sumber daya air termasuk salah satu sumber daya yang dalam
pengelolaannya cukup unik. Hal ini karena sulitnya memperlakukan air
sebagaimana barang yang bisa diperdagangkan (marketed goods).
Salah satu bentuk alokasi publik dalam pengelolaan sumber daya air adalah irigasi
dalam skala besar dimana pemerintah menentukan sumber air yang digunakan
untuk sistem irigasi kemudian mengalokasikannya berdasarkan sistem yang telah
ditentukan. Bentuk lain dari alokasi publik adalah izin dari pemerintah terhadap
perusahaan atau individu untuk memanfaatkan air bawah tanah. Demikian juga
batasan terhadap penggunaan air permukaan yang diperuntukkan bagi perikanan,
cagar alam maupun transportasi adalah bentuk lain dari alokasi publik bagi
kepentingan penggunaan non-konsumtif di atas.
ALOKASI BERDASARKAN PENGGUNA (USER-BASED)

Salah satu karakteristik yang melekat kuat pada sistem alokasi berbasis
alokasi ini akan sangat tergantung dari fungsinya kelembagaan di tingkat
komunal (Meinzen-Dick et al. 1997). Dinar et al (1997) misalnya
menyatakan bahwa norma sosial yang merupakan bagian dari aspek
kelembagaan jika didukung oleh aturan yang mengatur penggunaan yang
berlebihan akan memberikan insentif untuk konservasi.
Meski diakui memiliki beberapa kelebihan, sistem user-based
ini juga tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan. Salah
satu kelemahan tersebut antara lain kurangnya kapasitas
kelembagaan lokal dalam menangani kebutuhan inter sektoral
seperti antara kebutuhan rumah tangga dan industri. Di
tingkat lokal, mungkin mereka memahami benar kebutuhan
air untuk kebutuhan rumah tangga, namun kebutuhan
industri, meski dalam skala kecil, sering di luar jangkauan
mereka.
ALOKASI BERBASIS PASAR (WATER MARKET)

Salah satu sistem alokasi sumber daya air yang relatif masih
menimbulkan kontroversi adalah alokasi dengan menggunakan
mekanisme pasar atau sering disebut water market. Kontroversi ini timbul
karena sebagian masyarakat melihat bahwa air yang merupakan
kebutuhan esensial yang tidak bisa diperjual belikan dan harus tersedia
“free of charge”.
Water market pada prinsipnya adalah merupakan pertukaran hak atas
pemanfaatan air (water use right). Konsep ini harus dibedakan dengan
pertukaran secara sementara antara pengguna air yang sering disebut
sebagai spot market.
Lebih jauh Rosegrant dan Binswanger (1994) melihat bahwa water
market memiliki kelebihan antara lain:

1. Memungkinkan terjadinya pengukuhan hak atas pengelolaan air


(well-establishment of property right). Hak yang diakui tersebut pada
gilirannya bisa mendorong insentif bagi pemilik air untuk
berinvestasi pada teknologi penghemat air (water-saving technology).
2. Memberikan insentif kepada pengguna air untuk memperhatikan
biaya eksternal yang ditimbulkan akibat penggunaan air, sehingga
mengurangi tekanan terhadap sumber daya air.
3. Memberikan fleksibilitas bagi pengguna untuk bereaksi terhadap
perubahan permintaan dan penawaran.
4. Sistem pasar mengharuskan kedua belah pihak (penjual dan pembeli)
untuk menyetujui terhadap perubahan atau realokasi dari air,
sehingga pengguna air dalam sistem pasar ini lebih diberdayakan.
Ekonomi Pembangunan Berkelanjutan

Konsep Sustainability (Keberlanjutan)


Pemikiran tentang keberlanjutan ini kemudian mengemuka pada tahun
1970an dengan terbitnya buku yang ditulis oleh Meadow et al, 1972, yang
berjudul “The Limit to Growth” (LTG), yang juga dikenal dengan Club of
Rome.
Secara implisit konsep sustainable development yang dituangkan dalam
komisi Bruntland tersebut mengandung dua konsensus antara
pembangunan versus lingkungan atau dapat juga diartikan sebagai
kebutuhan versus sumber daya dan jangka pendek versus jangka panjang.
Meski demikian kesepakatan yang kini diadopsi secara umum adalah
keberlanjutan harus dilihat dari tiga dimensi yakni ekonomi, sosial, dan
lingkungan yang dikenal dengan konsep “Triple Bottom Line” yang
dikenalkan oleh John Elkington (1994).
Triple Bottom Line
Dalam kaitannya dengan sumber daya alam, Elkington (1998) lebih jauh
mengartikan keberlanjutan sebagai kondisi yang memenuhi tiga hal yakni:

1. Pemanfaatan sumber daya terbaharukan yang tidak melebihi laju


regenerasinya (pemulihan).
2. Pemanfaatan sumber daya tidak terbaharukan yang tidak melewati
pengembangan sumber daya terbaharukan sebagai substitusi sumber daya
tidak terbaharukan.
3. Laju emisi pencemaran tidak melewati kapasitas asimilasi dan lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai