Pada modul ini, kita akan membahas aspek ekonomi dari sumber daya air dengan terlebih dahulu
membahas peran sumber daya air dan kemudian pembahasan alokasi sumber daya air yang
optimal dan berkelanjutan.
Adam Smith tokoh ekonomi era Klasik dan Bapak ekonomi pasar bebas pernah mengaakan
“Nothing is more useful than water, scarcely anything can be had in exchange for it” (tidak ada
yang lebih bermanfaat dari pada air, namun jarang sekali sesuatu ditukarkan untuk memperoleh
air). Pernyataan Adam Smith tersebut menunjukkan apa yang disebut sebagai paradoks dari
sumber daya air. Paradoks ini juga dikenal Water Diamond Paradox atau paradoks air dan
berlian. Kita bisa hidup tanpa berlian namun kita tidak bisa hidup tanpa air. Namun mengapa
harga berlian begitu mahal sementara air begitu murah? Pernyataan Adam Smith tersebut juga
menunjukkan bagaimana penilaian kita terhadap air. Jika suplai air berlimpah misalnya di musim
hujan, pernyataan Adam Smith tersebut ada benarnya, tak seorang pun mau berkorban untuk
memperoleh air.
Air bukan hanya vital untuk hidup manusia, namun air juga berperan penting dalam penyediaan
pangan dan pertumbuhan ekonomi. Kita memang membutuhkan air untuk minum dan kebutuhan
domestik lainnya, namun itu hanya beberapa liter saja per hari yang kita gunakan. Sebagian besar
air kita butuhkan untuk penyediaan pangan. Untuk menghasilkan 1kg beras dibutuhkan 3400
liter air. Demikian juga untuk menghasilkan 1kg daging sapi dibutuhkan 15000 liter air. Secara
keseluruhan kegiatan pertanian sendiri menghabiskan 70% pengambil air tawar secara global.
The Economist bahkan memprediksi bahwa ketika penduduk dunia meningkat dari 7,4 miliar
saat ini ke 10 miliar pada pertengahan abad ini, produksi pertanian harus ditingkatkan sebanyak
60% dari kondisi saat ini untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk dunia. Dan ini akan
memberi tekanan yang lebih besar lagi pada sumber daya air.
Meski demikian vital peran air dalam kehidupan manusia dan kegiatan ekonomi, pengelolaan
sumber daya air banyak mengalami tantangan terkait dengan penyediaan dan penggunaan.
Sumber daya air disediakan oleh alam pada jumlah tertentu pada lokasi tertentuy dan pada waktu
tertentu. Dengan demikian pengelolaan air terkait bagaimana menjaga ketersediaan dan
mengatur bagaimana memanfaatkannya menjadi sangat penting
Permasalahan ketersediaan dan pemanfaatan air ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pertama
adalah kebijakan terhadap sumber daya air (water policy). Di beberapa daerah kebijakan air ini
bahkan tidak dikembangkan sama sekali karena air dianggap murah dan cukup sensitif bagi
pengambil kebijakan untuk menentukan tarif terhadap air. Akibatnya konsumen tidak memiliki
insentif untuk mengkonservasi air. Demikian juga investor tidak memiliki insentif untuk
membangun jaringan pipa air yang murah dan terjangkau.
Faktor kedua yang berpengaruh penting dalam penyediaan dan pemanfaatan sumber daya air
adalah praktek-praktek pertanian yang tidak efisien dalam memanfaatkan air. Pemanfaatan air
untuk kegiatan pertanian sangat meningkat tajam akhir-akhir ini, sehingga sekitar seperlima
cadangan air bawah dunia telah mengalami over eksploitasi (The Economist, 2016). Situasi ini
akan memperburuk ketersediaan air di masa mendatang. Selain itu juga akan merusak lapisan
pasir dan tanah liat yang merupakan bagian penting dari air bawah tanah sehingga mengurangi
kapasitas aquifer untuk melakukan pemulihan kembali.
Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap sumber daya air adalah perubahan iklim. Perubahan
iklim telah menyebabkan beberapa belahan bumi kekeringan sementara sebagian lagi mengalami
iklim basah yang berlebihan. Perubahan iklim akan mempengaruhi siklus evaporasi, kondensasi
serta presipitasi. Iklim yang hangat cenderung mempercepat siklus tersebut dan mengubah pola
hujan sehingga akan mengubah pola ketersediaan air. Kekeringan akan meningkatkan “water
stress” dan mengubah kecepatan pengisian waduk dan cadangan air bawah tanah. Di sisi lain
atmosfir yang cenderung menghangatkan akan meningkatkan kelembaban udara sehingga
meningkatkan kecenderungan terjadinya curah hujan yang lebat dan tiba-tiba. Kondisi ini dapat
menyebabkan timbulnya banjir yang kemudian menambah sedimen terhadap sungai dan waduk
serta berpengaruh terhadap kapasitas penampungan air dan kualitas air itu sendiri.
Alokasi Sumber Daya Air
Alokasi air merupakan masalah ekonomi untuk menentukan bagaimana suplai air yang tersedia
harus dialokasikan kepada pengguna atau calon pengguna. Pengguna air secara garis besar
terbagi dalam dua kategori yakni konsumtif dan non-konsumtif. Kelompok konsumtif ini antara
lain adalah rumah tangga, unit usaha (warung, restoran, hotel), industri dan pertanian. Kelompok
pengguna non-konsumtif memanfaatkan air sebagai media seperti:
Tabel 8.1 berikut menyajikan ketiga kriteria tersebut beserta tujuan pengelolaannya.
Tabel 8.1.
Alokasi Sumber Daya Air
Kriteria Tujuan
Efisiensi Biaya penyediaan air yang rendah
Penerimaan per unit sumber daya yang tinggi
Mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
Equity Akses terhadap air bersih untuk semua masyarakat
Sustainability Menghindari terjadinya deplesi pada air bawah tanah (ground water
depletion)
Menyediakan cadangan air yang cukup untuk memelihara ekosistem
Meminimalkan pencemaran air
Selain dari kriteria di atas, Howe et al. (1986) menambahkan beberapa kriteria alokasi sumber
daya air antara lain:
1. Fleksibilitas dalam penyediaan air sehingga sumber daya air dapat digunakan pada periode
waktu yang berbeda dan dari satu tempat ke tempat lainnya sesuai dengan perubahan
permintaan.
2. Terjaminnya (security) bagi pengguna yang haknya sudah terkukuhkan sehingga mereka
dapat memanfaatkan air seefisien mungkin.
3. Akseptabilitas politis dan publik sehingga tujuan pengelolaan bisa diterima oleh masyarakat.
Di dalam sistem antrian ini ada dua sistem alokasi yang cukup dominan yakni Riparian Water
Rights yang dikembangkan di Inggris dan Prior Appropriation Water Right yang dikembangkan
di negara-negara barat lainnya khususnya negara-negara Anglo-Saxon.
Istlah Riparian sebenarnya mengacu kepada daerah yang berada atau berdekatan dengan sungai
maupun danau. Dalam sistem riparian, seorang pemilik lahan yang berada di daerah Riparian
memiliki hak yang sama dengan pemilik lahan riparian lainnya (disebut dengan istilah on equal
standing) untuk memanfaatkan air. Hak pemilikkan riparian ini tidak hilang jika pemilik lahan di
daerah riparian tersebut tidak memanfaatkan air sekalipun.
Sistem riparian ini memang banyak memiliki kelemahan karena alokasi air tidak didasarkan pada
kriteria ekonomi sehingga sering menimbulkan eksternalitas yang sering terjadi pada sumber
daya yang bersifat common property.
Sistem antrian yang kedua yakni Prior Appropriation Water Right didasarkan pada prinsip bahwa
hak atas pemilikan air diperoleh melalui penemuan maupun kepemilikan secara turun temurun.
Dalam sistem ini kepemilikan bersifat absolute artinya pemilik hak atas air diperbolehkan untuk
tidak membagi pemanfaatan atas air kepada pihak lain. Namun demikian, berbeda dengan sistem
riparian, jika pemilik air tersebut tidak menggunakan sumber daya air untuk kepentingan yang
bermanfaat (beneficial use) maka hak tersebut bisa hilang. Salah satu masalah yang sering timbul
dalam sistem appropriation ini adalah menyangkut aspek legal kepemilikan.
Salah satu model alokasi sumber daya air yang didasarkan pada water pricing adalah Marginal
Cost Pricing atau MCP. Konsep ini telah diadopsi oleh berbagai negara sebagai suatu mekanisme
water pricing yang paling banyak digunakan. Mekanisme MCP didasarkan pada prinsip ekonomi
bahwa alokasi sumber daya air yang secara sosial optimal adalah dimana manfaat sosial marjinal
yang diperoleh dari konsumsi air setara dengan biaya sosial marjinal yang dikeluarkannya.
Manfaat marjinal dicirikan oleh kurva permintaan terhadap air, sementara biaya sosial marjinal
yang menggambarkan kurva suplai dari air menggambarkan biaya yang harus dibayar oleh
pengguna untuk memproduksi satu unit tambahan dari air. Biaya marjinal atas sumber daya air
ini termasuk didalamnya adalah biaya pengguna (user cost) atau biaya korbanan terjadinya
deplesi sumber daya, dan biaya eksternal seperti biaya lingkungan dan sebagainya.
MCP juga memiliki beberapa kelemahan. Spulber dan Sabbaghi (1994) melihat bahwa ada
beberapa kelemahan menyangkut penggunaan MCP yakni antara lain:
1. Biaya marjinal bersifat multi dimensi yang menyangkut beberapa input termasuk di
dalamnya adalah kuantitas dan kualitas dari sumber daya air.
2. Biaya marjinal berbeda untuk jangka pendek (short run marginal cost) dan jangka panjang
(long run marginal cost)
3. Biaya marjinal juga dipengaruhi oleh perubahan permintaan baik secara temporal maupun
permanen. Komposisi biaya tetap dan biaya variabel akan sangat ditentukan oleh perubahan
permintaan dan ini akan sangat berpengaruh terhadap biaya marjinal.
Menyadari beberapa kesulitan di atas, Hartwick dan Olewiler (1998) misalnya mengusulkan
mekanisme water pricing berdasarkan step tarrif atau increasing block rates (IBR) sebagai
alternatif dari MCP. Sistem IBR selain memungkinkan penggunaan air yang efisien, juga dapat
beradaptasi dengan situasi pada saat permintaan air memuncak. Jika terjadi permintaan yang
tinggi pada musim kemarau misalnya, blok tarif yang tinggi dapat digunakan untuk mencegah
terjadinya konsumsi air yang berlebihan sehingga membantu konservasi air. Selain itu sistem ini
juga memungkinkan penyediaan air bagi masyarakat ekonomi lemah dengan biaya yang rendah.
Prinsip IBR tersebut secara grafik dapat dilihat pada Gambar 8.2 berikut.
Gambar 8.2.
Penentuan Harga Air
Berdasarkan IBR
C. ALOKASI
PUBLIK
Sumber daya air termasuk
salah satu sumber daya
yang dalam pengelolaannya cukup unik. Hal ini karena sulitnya memperlakukan air sebagaimana
barang yang bisa diperdagangkan (marketed goods). Air kebanyakan merupakan barang publik,
sehingga diperlukan intervensi pemerintah dalam pengalokasiannya. Penyediaan sumber daya air
seperti pembangunan waduk, dam dan sejenisnya sering memerlukan investasi yang sangat besar
yang biasanya terlalu mahal untuk dilakukan oleh swasta. Oleh karena alasan-alasan inilah maka
sebagian pihak mendukung adanya intervensi publik atau pemerintah dalam alokasi sumber daya
air. Alokasi sumber daya air yang dilakukan oleh pemerintah memiliki beberapa kelebihan.
Dinar et al (1997) misalnya menyatakan bahwa alokasi yang dilakukan oleh public atau
pemerintah dapat menjawab aspek equity dalam pengelolaan sumber daya air karena pemerintah
dapat mengalokasi air kepada daerah yang tidak mencukupi sehingga masyarakat miskin dapat
mengakses air.
Meski diakui memiliki beberapa kelebihan, sistem user-based ini juga tidak terlepas dari
kekurangan-kekurangan. Salah satu kelemahan tersebut antara lain kurangnya kapasitas
kelembagaan lokal dalam menangani kebutuhan inter sektoral seperti antara kebutuhan rumah
tangga dan industri. Di tingkat lokal, mungkin mereka memahami benar kebutuhan air untuk
kebutuhan rumah tangga, namun kebutuhan industri, meski dalam skala kecil, sering di luar
jangkauan mereka.
Water market pada prinsipnya adalah merupakan pertukaran hak atas pemanfaatan air (water use
right). Konsep ini harus dibedakan dengan pertukaran secara sementara antara pengguna air yang
sering disebut sebagai spot market. Water market harus mengikuti kaidah-kaidah prinsip
ekonomi dalam pengoperasian pasar yang antara lain termasuk; penjual dan pembeli memiliki
informasi yang sama, pasar bersifat kompetitif yang berimplikasi bahwa keputusan yang diambil
oleh salah satu pihak tidak mempengaruhi keputusan terhadap pihak lain, dan pelaku ekonomi
memiliki motif untuk memaksimumkan manfaat ekonomi. Kondisi-kondisi tersebut
memungkinkan dicapainya keseimbangan penawaran dan permintaan dalam transaksi air.
Lebih jauh Rosegrant dan Binswanger (1994) melihat bahwa water market memiliki
kelebihan antara lain:
Konsep tentang sustainability sebenarnya bukanlah konsep yang baru. Sustainability berasal dari
kata latin “sustera” yang artinya menyangga, telah diadopsi dalam berbagai konsep pemikiran
sumber daya alam dan lingkungan sejak abad ke 18 hingga saat ini.
Selain pemikiran Thomas Malthus tentang pertumbuhan penduduk dan daya dukung alam yang
dicetus pada tahun 1798, pemikiran tentang sustainability juga muncul sebelum konsep Malthus
yakni pada tahun 1713 di Jerman. Pada periode ini di Jerman muncul istilah “nanhhaltigkeit”
yang merupakan konsep Jerman tentang keberlanjutan pada pengelolaan sumber daya hutan.
Sejak terbitnya The Limit to Growth, perhatian terhadap konsep keberlanjutan terus bergulir.
Pada tahun 1980 badan PBB untuk lingkungan yaitu UNEP menyusun World Conservation
Strategy yang mencoba mencari solusi jangka panjang dan mengintegrasikan tujuan ekonomi
dan konsern dalam pembangunan. Dalam dokumen strategi ini kata-kata sustainable kemudian
muncul secara eksplisit dengan kalimat “development that is sustainable”.
Secara implisit konsep sustainable development yang dituangkan dalam komisi Bruntland
tersebut mengandung dua konsensus antara pembangunan versus lingkungan atau dapat juga
diartikan sebagai kebutuhan versus sumber daya dan jangka pendek versus jangka panjang.
Meski demikian kesepakatan yang kini diadopsi secara umum adalah keberlanjutan harus dilihat
dari tiga dimensi yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dikenal dengan konsep “Triple
Bottom Line” yang dikenalkan oleh John Elkington (1994). Konsep ini digambarkan pada
Gambar 9.1 berikut ini.
Konsep “triple bottom line” tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut. Pada garis bawah yang
pertama (first bottom line), adalah profit account dimana setiap usaha tentu saja memiliki
orientasi untuk memperoleh keuntungan atau profit (termasuk menerima kerugian). Pada garis
bawah yang kedua merupakan pengukuran “people account” atau neraca sosial. Konsep ini
mengukur sejauh mana tanggung jawab sosial sebuah usaha atau kegiatan dilaksanakan. Bottom
line yang ketiga disebut “planet account” atau neraca (pertimbangan) planet yang mengukur
sejauh mana tanggung jawab terhadap lingkungan dijalankan. Dengan demikian Triple Bottom
Line (TBL) mengandung unsur 3P yakni profit, people, dan planet. Awalnya konsep ini
digunakan untuk mengukur keragaman atau performa korporasi atau perusahaan terkait dengan
ketiga aspek di atas, namun konsep ini kemudian diadopsi untuk mengukur pembangunan
Haris (2000) melihat bahwa konsep keberlanjutan dapat dirinci menjadi tiga aspek keberlanjutan
yang menyangkut aspek:
Pembangunan berkelanjutan kini telah diadopsi menjadi agenda pembangunan global yang telah
disepakati Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan konsep yang disebut Sustainable Development
Goals atau SDGs . SDGs merupakan agenda pembangunan jangka menengah 2015-2030 yang
menggantikan agenda sebelumnya yakni Millenium Development Goals atau MDGs. SDGs
terdiri dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan dengan 169 indikator yang meliputi aspek
ekonomi, sosial, dan lingkungan.