Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Air adalah fondasi kelangsungan hidup manusia dan perkembangan sosial. Sistem sumber daya
air terkait erat dengan aktivitas kompleks serta target penawaran dan permintaan. Kekurangan air
biasa terjadi di masyarakat dan alokasi efektif sumber daya air yang terbatas di setiap sektor
kompetitif telah menjadi masalah mendesak bagi pengelola sumber daya air. Mahdi dan Hassan
(2013) mengembangkan algortima optimasi baru dengan menggabungkan proses mutase ke
optimasi kumpulan partikel untuk pengelolaan sumber daya air. Laura dkk. (2014) menyarankan
mencari solusi untuk masalah sumber daya air multi melalui metode alokasi indeks daya berbasis
ekonomi. Metode ini dapat menghitung rencana alokasi melalui berbagai aturan pengambilan
keputusan multi – kriteria berbasis jarak untuk mendapatkan alokasi air yang berbeda untuk
berbagai optimalitas dan stabilitas.
Kabupaten Lombok Tengah adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Perkembangan dan pertumbuhan penduduk daerah Lombok Tengah yang meningkat tiap tahunnya
menuntun pemerintah Kabupaten Lombok Tengah untuk menyediakan sarana dan prasarana yang
memadai. Salah satunya adalah pemenuhan kebutuhan air baku. Dalam rangka mempercepat
pembangunan perekonomian di wilayah Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara
Barat, serta untuk menunjang percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi nasional, perlu
mengembangkan wilayah Mandalika sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Wilayah
Mandalika memiliki potensi dan keunggulan secara geo-ekonomi dan geo-strategis. Keunggulan
geo-strategis wilayah Mandalika adalah memiliki konsep pengembangan pariwisata yang
berwawasan lingkungan dengan pengembangan pembangkit listrik tenaga surya dan berlokasi
dekat dengan Bandar Udara Internasional Lombok. Berdasarkan potensi dan keunggulan yang ada,
Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika sesuai PP No. 52 Tahun 2014 memiliki luas 1.035,67 ha
yang terletak di wilayah Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara
Barat.

1
Mengingat penyediaan air baku merupakan salah satu program pemerintah untuk memenuhi
kebutuhan air baku penduduk Kabupaten Lombok Tengah sebesar 860.209 jiwa dan kebutuhan air
baku untuk pariwisata KEK Mandalika dengan kebutuhan 250 liter per detik yang nantinya
digunakan untuk Kawasan Pariwisata, Perhotelan dan sirkuit Moto GP terbagi atas kebutuhan air
di kawasan Mandalika sebesar 200 liter per detik dan 50 liter per detik untuk kebutuhan air
masyarakat di sekitar Mandalika maka perlu adanya supply air baku dari luar kawasan Lombok
Tengah. Berdasarkan data Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Nusa Tenggara
Barat daerah KEK Mandalika merupakan daerah yang berada pada posisi aquifer produktif kecil
sehingga membutuhkan supply air dari luar kawasan.

Untuk memenuhi kebutuhan air baku di KEK Mandalika maka dibutuhkan sumber daya air
pendukung dan tampungan air yang ada dipulau Lombok. Saat ini tampungan air / waduk yang
memiliki potensi sebagai salah satu sumber air baku Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika
yaitu Bendungan Batujai yang berada di Kabupaten Lombok Tengah dengan volume tampungan
waduk 23,50 juta m3 dan Bendungan Meninting yang saat ini sedang dibangun di Kabupaten
Lombok Barat dengan volume tampungan waduk sebesar 9,91 juta m3, adapun untuk Bendungan
Meninting menggunakan sistem HLD (High Level Diversion) untuk mengalirkan air ke HLD
Jangkok – Babak dimana nantinya tampungan Bendung Jangkok akan dialokasikan seluruhnya
untuk memenuhi kebutuhan air baku KEK Mandalika.

1.2. Rumusan Masalah


1) Bagaimanakah imbangan alokasi air High Level Diversion (HLD) Jangkok Sesaot,
Bendungan Meninting dan Bendungan Batujai ?
2) Berapakah alokasi air yang dapat diberikan dari sistem HLD Jangkok Sesaot, Bendungan
Meninting dan Bendungan Batujai ?
3) Bagaimanakah kinerja pemodelan pada optimasi dan simulasi interkoneksi HLD Jangkok
Sesaot, Bendungan Meninting dan Bendungan Batujai ?
4) Bagaimanakah kinerja pemodelan pada pembuatan model spesifik optimasi dan simulasi ?

2
1.3. Tujuan
1) Mendapatkan imbangan dari alokasi air HLD Jangkok Sesaot, Bendungan Meninting dan
Bendungan Batujai.
2) Mengetahui jumlah debit alokasi air yang dapat diberikan dari sistem HLD Jangkok Sesaot,
Bendungan Meninting dan Bendungan Batujai.
3) Mengetahui kinerja pemodelan pada optimasi dan simulasi interkoneksi HLD Jangkok Sesaot,
Bendungan Meninting dan Bendungan Batujai.
4) Mengetahui kinerja pemodelan pada pembuatan model spesifik optimasi dan simulasi

1.4. Manfaat
1) Pemodelan ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk alokasi air dalam pemenuhan
kebutuhan air baku guna mendukung peningkatan ekonomi di wilayah Kawasan Ekonomi
Khusus Mandalika yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Alokasi Air


2.1.1. Definisi Alokasi Air
Alokasi air terdiri dari kata “alokasi” dan “air”. Berdasarkan KBBI, PP RI No. 121 Tahun 2015
pasal 1, Permen PU-PR No. 09/PRT/2015 dan Permen PU-PR No. 06/PRT/2015 dapat
didefinisikan secara praktis bahwa alokasi air adalah jatah pasokan air optimal dari sumber air
permukaan untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari – hari dan irigasi pertanian rakyat sesuai
kriteria yang ditetapkan.

2.1.2. Kriteria Alokasi Air


Semestinya alokasi air : i) menerapkan prinsip keseimbangan kebutuhan air dan ketersediaan air,
dengan cara menyelaraskan volume dan waktu pemenuhannya (SE Dirjen SDA No.
05/SE/D/2016), dan ii) memperhatikan lingkungan dan sosial, karena ekosistem dan kehidupan
manusia saling mempengaruhi (Hatmoko dkk, 2012: 73). Dalam Permen PU-PR No. 09/PRT/2015
prinsip penggunaan air adalah penghematan penggunaan, ketertiban dan keadilan, ketepatan
penggunaan, keberlanjutan penggunaan dan memprioritaskan penggunaan air permukaan.
Ketentuan di atas selaras dengan kriteria Integrated Water Resources Management (IWRM) (UN
Water, 2015:21) yaitu keberlanjutan – efisiensi – keadilan. Dalam konsep pemodelan kriteria ini
diterjemahkan ssecara praktis sebagai berikut :
1) Keberlanjutan adalah mempertahankan/meningkatkan keberlanjutan pemenuhan kebutuhan
air untuk kehidupan manusia dan pemeliharaan sungai/ekosistem secara bersamaan dari waktu
ke waktu (Meijer dkk,2012: 1272; Roozbahani dkk, 2015 : 658).
2) Efisiensi adalah mengehemat pemanfaatan air tersedia, dengan memaksimalkan pasokan air
tanpa melampaui kebutuhan air dan melupakan ekosistem (Wurbs, 2005: 60; Haro dkk, 2012:
4060)
3) Keadilan adalah mengalokasikan air sesuai prioritas penggunaan air dan mengalihkan
Sebagian air ke bagian lainnya secara proporsional merata antar pengguna sejenis (irigasi)
(Hatmoko dkk, 2012 : 72; Smout dan Gorantiwar, 2006: 350)

4
2.1.3. Prioritas Penggunaan Air
Dalam Permen PU-PR No. 09/PRT/2015, diatur :
1) Prioritas pertama adalah air baku untuk kebutuhan air domestic.
2) Prioritas kedua adalah ekosistem dan irigasi pertanian rakyat.
3) Prioritas ketiga adalah untuk jenis penggunaan air selain di atas seperti industri, tenaga listrik
dan pengusahaan air. Urutan prioritas ketiga ini harus disepakati oleh pemangku kepentingan
(Permen PU-PR No. 06/PRT/M/2015).
4) Ketentuan darurat, seperti terjadinya : i) deficit air irigasi yang sangat besar, ii) kebakaran,
dan iii) penggelontoran pencemaran air sungai yang membahayakan keselamatan
publik/ekosistem, dengan memperhatikan prioritas pertama.

2.1.4. Faktor – K
Praktik alokasi air irigasi diatur dalam Permen PU-PR No. 12/PRT/M/2015, yaitu berdasarkan
rumus K (atau faktor – K) sebagai rasio ketersediaan air dan kebutuhan air (available demand
ratio/ADR). Versi ini rawan inefisiensi dan ketidak adilan (Kelley & Johnson III, 1989: 49 dan
Hatmoko dkk, 2012: 81), karena pasokan air hanya memperhatikan air tersedia. Agar efisien, maka
pasokan ≤ kebutuhan air (Singh, 2015: 1221) dan karena air harus terbagi secara proporsional –
merata, maka ADR perlu dikoreksi menjadi rasio pasokan dan kebutuhan air (release demand
ratio/RDR) yang identik K. Keadilan volumetric dengan indicator K di sistem dapat diukur dari
porsi pasokan dan kebutuhan air (supply/demand), sebagaimana irigasi di banyak negara.
Dari operasional di lapangan, nilai K dapat diindikasikan dari jeda distribusi air di daerah irigasi.
K dapat diklasifikasikan sebagaimana WS Lombok sehingga tersusun standar K (Tabel 2.1).
Tabel 2.1. Standar K pada operasi irigasi
Kategori
Kelas Rentang K Defisit Jeda Distribusi Air
Operasi
K1 80 – 100 % Nol-Sangat Rendah Kontinyu Tanpa Jeda
K2 60 – 79 % Rendah Rotasi Ringan Singkat
K3 40 – 59 % Sedang Rotasi Sedang Sedang
K4 20 – 39 % Tinggi Rotasi Berat Lama
E < 20 % Sangat Tinggi Darurat Prioritas Grup DI
Sumber : BWS NT I (2016) dan diolah kembali.

5
2.1.5. Sistem Alokasi Air
Pendekatan sistem di sistem Sumber Daya Air (SDA) adalah komponen yang berinteraksi untuk
tujuan tertentu (Mays & Tung, 1992: 3, 5). Di sungai dengan komponen – komponen berupa
simpul dan ruas – ruas membentuk sebuah sistem. Sistem dalam hal ini sistem alokasi air disungai
diwakili dan diakhiri simpul yang terhubung dengan ruas (link), membentuk trayektori dengan
aliran masuk (inflow) dari proses hidrologi di DAS dan limpahan dari simpul hulu.

2.2. Model
Mempelajari / mengevaluasi sistem akan lebih mudah menggunakan model, karena model adalah
tiruan sistem dan di dalamnya terdapat interaksi antar komponen sistem (Eriyatno, 2012: 51).
Model dibangun berdasarkan sistem untuk solusi optimal di sistem (Haro dkk, 2012: 4060 dan
Marusic, 2013: 83). Untuk maksud diatas digunakan jenis model : i) model analog (diagramatik)
adalah perwakilan situasi dinamik, dengan mengindikasikan karakteristik kejadian yang dikaji, ii)
model simbolis (matematik) adalah perwakilan symbol dari realitas yang dikaji, dengan format
berupa angka, notasi dan fungsi.
Sistem sungai yang memuat simpul dapat diserupakan dengan jaringan listrik, maka pendekatan
menggunakan model analog adalah relevan. Model analog memerlukan formulasi matematik
untuk interpretasi skema sistem dan komponennya. Model analog mengilustrasikan sistem yang
dimodelkan dengan menyerupai sistem lain. Pada pemodelan ini menggabungkan model analog
dan model matematik, dimana model analog untuk pemetaan konfigurasi sungai dan model
matematik untuk optimasi alokasi air.

2.2.1. Neraca Air


Basis sistem dalam pemodelan ini adalah simpul, dengan meninjau neraca air menggunakan
persamaan keseimbangan massa sebagai berikut :
Hulu (Input)

Kanan Node Kiri


(Input – Output) ∆𝑉 = 0; ∆𝑉 ≠ 0 (Input – Output)

Hilir (Output)

6
Persamaan berikut dapat diterapkan pada operasi waduk dan bending, serta neraca air DAS
(Triatmodjo, 2013: 11). Persamaan ini banyak digunakan, termasuk dalam model alokasi air dan
perhitungan neraca air (water accounting). Bentuk umumnya (Wurbs, 2005: 47, Haro dkk, 2012:
4060) adalah :
I – O = ∆𝑉
Disimpul terdapat unsur : i) masukkan (I/input) berupa variabel aliran masuk (QA) atau aliran local
(QL) dan kontribusi dari simpul hulu (QSI-1), dan ii) keluaran (O/output) berupa variabel pasokan
air (QR) sesuai kebutuhan air (QD), kehilangan air di waduk (V loss) dan limpahan/kontribusi ke
hilir (QSi). Limpahan harus memperhatikan jatah ekosistem (QE) dan mempertimbangkan
kehilangan air di ruas antar simpul. Sementara itu, di waduk terjadi perubahan simpanan (∆𝑉)
antar volume awal (Vbeg) dan volume akhir (Vend) pada langkah waktu (∆𝑡) tertentu. Di waduk
(∆𝑉) ≠ 0 dengan fungsi sehingga dapat surplus atau defisit sedangkan dibendung (∆𝑉) = 0, tidak
terdapat fungsi dimpanan.

2.2.2. Optimasi dan Simulasi


Umumnya tujuan optimasi alokasi air adalah i) memaksimalkan pasokan air, ii) memaksimalkan
keuntungan atau iii) meminimalkan limpahan (Labadie, 2004: 95 – 97; Wurbs, 2005: 60). Optimasi
di sistem sungai dan waduk banyak menggunakan linear program (LP) atau program linear. Bentuk
umum persamaan linear program adalah :
1) Fungsi tujuan (maksimal atau minimal) adalah :
𝑛
𝑍=∑ 𝐶𝑖 . 𝑋𝑖
𝑖=1

2) Fungsi kendala (≤=≥), termasuk kendala non negatif Xi ≥ 0 adalah :


𝑛

∑ 𝐴𝑖𝑗 . 𝑋𝑗 |= 𝐵𝑗

Pendekatan determinastik pada optimasi karena asumsi tidak terjadi ketidak tentuan, sehingga
masa depan analog dengan niai sekarang (Labadie, 2004: 96). Dalam Wurbs (2005: 46 – 59) bahwa
: i) optimasi dapat diselesaikan dengan metode simulasi dan metode standar linear program, ii)
optimasi dan simulasi merupakan alternatif pemodelan dengan karakter berbeda namun
disamarkan, karena banyak model mengandung keduanya, dan iii) nilai optimal nyaris optimal
diperoleh dari eksekusi model simulasi dengan iterasi. Model simulasi menggunakan scenario

7
bagaimana jika (what – if) dan model optimasi memberikan solusi terbaik, sehingga keduanya
digabungkan.
Banyak otoritas air dunia menggunakan simulasi untuk solusi alokasi air. Keunggulan simulasi
(Wurbs, 2005: 59, 79) adalah i) dapat dibuat untuk maksud tertentu (ad hoc) yang menirukan
sistem kompleks dengan strategi komputasi, ii) untuk analisis sistem, iii) dapat dibangun dengan
atau tanpa prosedur pemrograman komputasi dan iv) menggunakan iterasi untuk solusi konvergen.
Adapun langkah solusi iterasi tersebut yaitu menetapkan : i) nilai awal, ii) step iterasi dan iii)
aturan penghentian atau status terminasi (Mays & Tung, 1992 : 67). Simulasi bermanfaat
mengatasi aspek linear / nonlinear dalam perhitungan, termasuk penerapannya pada kasus berbagi
air di jaringan aliran.

2.2.3. Verifikasi dan Validasi


Dalam Eriyatno (2012: 58) pembangunan model memerlukan verifikasi dan validasi. Verifikasi
(pembuktian) dan validasi (pengesahan) digunakan untuk memastikan kebenaran / keberlakuan
model.
Tabel 2.2. Tujuan Verifikasi dan Validasi
Verifikasi Validasi
Memastikan keluaran susunan kode ▪ Mengetahui kinerja model telah sesuai
pemrograman untuk pelacakan skema, tujuan pembuatannya
penyusunan ME, kriteria dan kebijakan ▪ Membandingkan keluaran model dengan
kriteria dan kebijakan yang digunakan
dalam pembangunan model
▪ Membandingkan keluaran model dengan
operasi dilpangan.

2.3. Studi Terdahulu


Dalam penilitian tentang Model Ekualisasi Alokasi Air untuk Sistem Sungai dan Multi waduk oleh
Fariansyah, A.M, 2019 menghasilkan MEQAA perangkat lunak berbasis Ms. Excel yang dibentuk
dari i) pendekatan sistem, ii) persamaan keseimbangan massa, iii) fungsi tujuan dan fungsi kendala
optimasi, dan iv) susunan kode pemrograman (syntax code) yang mengelaborasi butir I, ii, dan iii.

8
MEQAA dioperasikan menggunakan tombol – tombol instruksi untuk i) melahirkan model
spesifik dan ii) mengekualisasi porsi alokasi air (K) sebagai rasio pemberian air dan kebutuhan air.
Pada tahun 2013, F Berhe dkk, tentang MODSIM – Based Water Allocation Modeling of Awash
River Basin menyatakan pekerjaan ini menyediakan penerapan MODSIM 8.1. sistem pendukung
keputusan pengelolaan DAS umum, untuk pemodelan alokasi air. Regresi linier berhasil
diterapkan pada aliran masuk ke Waduk Koka dan Tendaho yang memberikan korelasi tinggi
terhadap aliran masuk historis ke Bendungan Koka dan nilai aliran masuk ke Tendaho yang relatif
rendah.
Pada penelitian Two-Stage Multi-Water Sources Allocation Model in Regional Water Resources
Management under Uncertainty oleh D. Liu dkk, 2017 mendapatkan hasil model TRMSA
diperkenalkan untuk karakteristik sumber pasokan air, yang terdiri dari air permukaan, air tanah
dan air transit. Pada permasalahan yang ada pada alokasi air di setiap sektor pada tahun – tahun
kemarau, tiga skenario digunakan untuk menarik kesimpulan bahwa kebutuhan air pertanian
merupakan mayoritas dari total permintaan dan hanya dengan mengurangi kebutuhan air dan
meningkatkan manfaat konsumsi air per unit untuk pertanian dapat memperbaiki kondisi
kekurangan air di seluruh sistem sumber daya air dan memproleh manfaat

9
BAB III
LANDASAN TEORI

3.1. Kapasitas Tampungan Waduk


Kapasitas tampungan waduk atau volume dari waduk dapat dihitung melalui kondisi topografinya.
Penentuan volume dapat diketahui dengan melihat grafik hubungan antara luas genangan, elevasi
dan volume airnya. Tinggi (elevasi) dasar yang diambil adalah dasar sungai di tempat rencana as
bendungan. Besar kapasitas atau volume antara dua bidang garis dapat dinyatakan dengan
persamaan :
𝐼 = ∑{(𝐹𝑖 + 𝐹𝑖+1 ) × 0,5 × (ℎ𝑖+1 − ℎ𝑖 )}………………………………………………..(2.1)
Dimana :
I = Volume waduk (m3)
Fi = Luasan daerah yang dikelilingi oleh garis tinggi hi
Fi+1 = luasan daerah yang dikelilingi oleh garis tinggi hi+1
Dalam perhitungan kapasitas tampungan waduk telah didapat data yang lengkap berupa grafik
hubungan antara elevasi dengan volume tampungan dan luas genangan, sehingga hanya
perhitungan volume aktif yang akan dilakukan.

3.2. Kebutuhan Air


3.2.1. Kebutuhan Air Irigasi
Kebutuhan air irigasi adalah jumah volume air yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
evapotranspirasi, kehilangan air, kebutuhan air untuk tanaman dengan memperhatikan jumlah air
yang diberikan oleh alam melalui hujan dan kontribusi air tanah. Faktor – faktor yang
mempengaruhi kebutuhan air irigasi adalah sebagai berikut:
1) Areal Tanam
Areal tanam adalah lahan yang menjadi daerah aliran jaringan irigasi. Luas areal tanam di suatu
daerah pengairan yang memiliki jaringan irigasi yang baik untuk tanaman akan mempengaruhi
besarnya kebutuhan air.

10
2) Pola Tanam
Untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman, penentuan pola tanam merupakan hal yang perlu
dipertimbangkan. Tujuan menyusun rencana tata tanam adalah untuk menyusun pola pemanfaatan
air irigasi yang tersedia untuk memperoleh hasil produksi tanam yang maksimal bagi usaha
pertanian. Pola tanam merupakan susunan rencana penanaman berbagai jenis tanaman selama satu
tahun.
3) Sistem Golongan
Untuk memperoleh areal tanam yang optimal dari debit yang tersedia di atasi dengan cara golongan
yaitu pembagian luas areal tanam pada suatu daerah irigasi dengan mulai awal tanam yang tidak
bersamaan. Cara perencanaan golongan teknis yaitu dengan membagi suatu daerah irigasi dalam
beberapa golongan yg mulai pengolahan tanahnya dengan selang waktu 10 atau 15 hari. Dengan
pengunduran waktu memulai pengolahan tanah pada setiap golongan maka kebutuhan air dapat
terpenuhi sesuai dengan debit yang tersedia.
4) Perkolasi
Perkolasi merupakan gerakan air mengalir ke bagian moisture content atas yang lebih dalam
sampai air tanah. Laju perkolasi sangat tergantung kepada sifat – sifat tanah. Pada tanah lempung
berat dengan karakteristik pengolahan yang baik, laju perkolasi dapat mencapai 1 – 3 mm/hari.
Pada tanah – tanah yang lebih ringan, laju perkolasi bisa lebih tinggi. Dari hasil – hasil
penyelidikan tanah pertanian dan penyelidikan kelulusan, besarnya laju perkolasi serta tingkat
kecocokan tanah untuk pengolahan tanah dapat ditetapkan dan dianjurkan pemakaiannya. Guna
menentukan laju perkolasi, tinggi muka air tanah juga harus diperhitungkan. Perembesan terjadi
akibat meresapnya air melalui tanggul sawah.
5) Kebutuhan air untuk lapisan air (WLR)
Penggantian lapisan air diperlukan untuk mengurangi efek reduksi pada tanah dan pertumbuhan
tanaman. Penggantian lapisan air diberikan menurut kebutuhan dan dilakukan setelah pemupukan
atau sesuai jadwal. Jika tidak ada penjadwalan, maka dilakukan penggantian sebanyak 2 (dua) kali,
(masingmasing sebesar 50 mm dan 3.3 mm/hari selama setengah bulan) selama sebulan dan dua
bulan setelah penanaman (Dep. PU, 1986).
6) Koefisien Tanaman
Umur dan jenis tanaman yang ada mempengaruhi besar nilai koefisien tanaman. Faktor koefisien
tanaman digunakan untuk mencari besarnya air yang habis terpakai untuk tanaman pada masa

11
pertumbuhannya. Koefisien tanaman (Kc) untuk tanaman padi dan palawija dapat diperoleh dari
tabel berikut:
Tabel 3.1. Koefisien Tanaman (Kc) Padi

Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi KP-01


Tabel 3.2. Koefisien Tanaman Palawija

Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi KP-01


7) Efisiensi Irigasi
Efisiensi irigasi adalah presentase perbandingan antara jumlah air yang dapat digunakan untuk
pertumbuhan tanaman dengan jumlah air yang dikeluarkan dari pintu pengambilan. Besarnya
efisiensi irigasi dipengaruhi oleh besarnya jumlah air yang hilang di perjalanannya dari saluran
primer, sekunder, hingga tersier.
8) Kebutuhan air dan persiapan lahan
Metode yang digunakan untuk menghitung besarnya kebutuhan air selama jangka waktu
penyiapan lahan yaitu dengan rumus yang telah dikembangkan oleh Van de Goor dan Zijlstra,
yang didasarkan pada laju air konstan dalam liter per detik selama periode penyiapan lahan dengan
persamaan sebagai berikut :
𝐼𝑅 = (𝑀. 𝑒 𝑘 )/(𝑒 𝑘 − 1)…………………………………………………………(2.2)
𝐾 = 𝑀𝑇/𝑆………………………………………………………………………(2.3)
12
Dimana :
IR = Kebutuhan air irigasi di tingkat persawahan (mm/hari)
M = Kebutuhan evaporasi dan perkolasi = Eo + P
Eo = Evaporasi potensial (mm/hari) = Eto x 1,10
P = Perkolasi (mm/hari)
T = Waktu penyinaran tanah (hari)
S = Kebutuhan air untuk penjenuhan ditambah dengan 50 mm
9) Penggunaan konsumtif (Etc)
𝐸𝑡𝑐 = 𝐾𝑐 × 𝐸𝑡𝑜……………………………………………………………...…(2.3)
Dimana :
Kc = Koefisien tanaman
Eto = Evapotranspirasi potensial (mm/hari)
10) Kebutuhan air irigasi untuk palawija
NFR = ETc + P – Re……………………………………………………………..(2.4)
11) Kebutuhan air di sawah untuk padi
NFR = ETc + P – Re + WLR……………………………………………………..(2.5)
Dimana :
ETc = Consumtive use (mm)
P = Kehilangan air akibat perkolasi (mm/hari)
Re = Curah hujan efektif (mm/hari)
WLR = Penggantian lapisan air (mm/hari)
12) Kebutuhan air di pintu pengambilan
Kebutuhan air di pintu pengambilan dapat diketahui dengan persamaan :
DR = NFR / EI…………………………………………………………………...(2.6)
Dimana :
DR = Kebutuhan air di pintu pengambilan
NFR = Kebutuhan air di sawah
EI = Efisiensi irigasi

13
3.3.2. Kebutuhan Air Baku
Perkiraan kebutuhan air bersih tergantung dari banyaknya jumlah penduduk. Banyaknya
kebutuhan air bersih dapat dikelompokkan menjadi (Anwar, Nadjaji: 2012) :
▪ Kebutuhan rumah tangga (domestic use)
▪ Kebutuhan industri dan perdagangan (industrial and commercial use)
▪ Pemakaian fasilitas umum (public use)
▪ Kehilangan pada sistem, kesalahan meter, pencurian air, dll.
Perhitungan proyeksi jumlah penduduk (Metode Geometri) :
Pn = Po . (1 + r)n………………………………………………………………………(2.7)
Dimana :
Pn = Jumlah penduduk n tahun yang akan dating
Po = Jumlah penduduk pada akhir tahun data
r = Angka pertumbuhan penduduk (%)
n = Interval waktu (tahun)
Dalam menghitung jumlah kebutuhan air baku digunakan persamaan sebagai berikut :
Q = Pn x q…………………………………………………………………………….(2.8)
Dimana :
Q = Kebutuhan air baku
Pn = Jumlah penduduk terlayani (jiwa)
q = Debit keluaran individu

3.3.2.1. Standar Kebutuhan Air Baku


Menurut Ditjen Cipta Karya (2000) standar kebutuhan air ada dua yaitu :
1) Standar Kebutuhan Air Domestik
Standar kebutuhan air domestik yaitu kebutuhan air yang digunakan pada tempat – tempat hunian
pribadi untuk memenuhi keperluan sehari – hari seperti : memasak, minum, mencuci dan keperluan
rumah tangga lainnya. Satuan yang digunakan adalah liter/orang/hari.

14
Tabel 3.3. Kriteria Perencanaan Air Bersih

Sumber : Kriteria Perencanaan Ditjen Cipta Karya PU, 1996

2) Standar Kebutuhan Air Non Domestik


Standar kebutuhan air non domestic adalah kebutuhan air bersih diluar keperluan rumah tangga.
Kebutuhan air non domestik terdiri dari penggunaan komersil dan industri, yaitu penggunaan
air oleh badan – badan komersil dan industri serta penggunaan air untuk bangunan – bangunan
pemerintah, rumah sakit, sekolah – sekolah dan tempat – tempat ibadah.

15
Tabel 3.4. Kebutuhan Air Non Domestik untuk Kota Kategori I, II, III, IV

Sumber : Ditjen Cipta Karya Dinas PU, 1996


Tabel 3.5. Kebutuhan Air Non Domestik untuk Kategori V (Desa)

Sumber : Kriteria Perencanaan Ditjen Cipta Karya Dinas PU, 1996


3.3. Neraca Air
Dalam ilmu Hidrologi persamaan Neraca Air banyak digunakan. Neraca air dapat didasarkan pada
prinsip kekekalan massa. Ini dapat dilihat dari persamaan berikut :
∆𝑆
= 𝐼 (𝑡 ) − 𝑂 (𝑡 )
∆𝑡
Dimana :
I adalah inflow m3/s
O adalah outflow m3/s
∆S/∆t adalah perubahan tampungan setiap waktu m 3/s
Persamaan neraca air dapat berlaku untuk periode waktu tertentu dan dapat diterapkan pada sistem
tertentu asalkan batasnya ditentukan. Nama lain dari persamaan neraca air adalah persamaan
penyimpanan, persamaan kontinuitas dan hukum kekekalan massa. Persamaan neraca air
didasarkan pada pemahaman sistem tentang siklus air dengan mempertimbangkan masukan dan
keluarannya.

16
Gambar 3.1. Mind Mapping

17
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Survey Pendahuluan dan Studi Pustaka


Survey pendahuluan dilakukan untuk mengenal kondisi daerah yang akan di studi dan
mengidentifikasi permasalahan yang ada di lapangan, sehingga dapat melakukan Langkah –
Langkah yang diambil guna mencari solusi terhadap permasalahan yang terjadi. Survey
pendahuluan yang dilakukan mengenai daerah studi kepada instansi Balai Wilayah Sungai Nusa
Tenggara I dan melihat langsung ke lapangan. Studi Pustaka yang diperlukan untuk melakukan
analisis data dan dijadikan referensi dalam melaksanakan studi.

3.2. Pengumpulan Data


Setelah mengidentifikasi permasalahan yang ada di lapangan maka langkah selanjutnya adalah
mencari data pendukung untuk menyelesaikan permasaahan tersebut. Data yang digunakan adalah
data sekunder yang merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung berupa catatan maupun
hasil penelitian dari pihak lain. Adapun data sekunder tersebut meliputi :
▪ Skema HLD (High Level Diversion) Jangkok dan Sesaot
▪ Data AWLR (Automatic Water Level Recorder)
▪ Data Klimatologi yang meliputi suhu udara rata – rata, kelembaban relatif, lamanya
penyinaran matahari dan kecepatan angin yang terjadi di daerah studi. Data tersebut yang
nantinya akan diolah untuk mendapatkan besarnya evapotranspirasi yang terjadi pada daerah
studi.
▪ Data jumlah penduduk Kabupaten Lombok Tengah dan sektor pariwisata lainnya untuk
menghitung besar kebutuhan air baku
▪ Data teknis Bendungan Meninting, HLD (High Level Diversion) Jangkok dan Sesaot dan
Bendungan Batujai.

18
3.3. Metode Optimasi dan Simulasi
Pemodelan ini berorientasi pada kesetaraan alokasi air, sesuai kriteria Integrated Water Resources
Management (IWRM) dan aturan / kebijakan operasional. Berdasarkan persamaan keseimbangan
massa dan fungsi optiasi akan dihitung variabel keputusan dengan fungsi tujuan memaksimumkan
pasokan air yaitu :
n T
Total QR = ∑ ∑ QRi,t
i=1 t=1

1) Air tersedia
Air tersedia (QA) dihitung berdasarkan aliran masuk local/local inflow/ lateral flow (QL) dan
limpahan / kontribusi dari simpul hulu (QSi-1) dengan :
QAi,t = QLi,t + QSi-1t
QSi-1 dikondisikan dari simul hulu dengan Batasan QR+QSi ≤ QA (untuk bendung) dan QR +
QSi ≤ QA + 𝑓(𝑉⁄∆𝑡) (untuk waduk) karena terdapatnya fungsi tampungan.

2) Kehilangan air di ruas antar simpul dan aliran Kembali


Kehilangan air akan mereduksi ketersediaan air yang terukur di simpul hilir, sedangkan aliran
Kembali dari DI dapat menambah ketersediaan air yang terukur di simpul hilir. Kedua faktor
ini didekati dengan pembobotan terhadap QA yang dipertimbangkan.

3) Jatah ekosistem
Jatah ekosistem (QE) adalah kriteria utama pemenuhan air domestic dan irigasi, agar
lingkungan berkelanjutan.

4) Faktor – K dan efisiensi daya guna air untuk keadilan berbagi air didekati dengan kesetaraan
volumetrik.

5) Operasi waduk didadasarkan pada keseimbangan air, kehilangan air akibat evaporasi /
rembesan dipengaruhi tinggi muka air di waduk.

19
6) Kesetaraan porsi alokasi air antar simpul dan waktu. Kebijakan operasional adalah : i) jika air
surplus (K=100%), maka waduk terisi penuh, ii) jika air cukup – terbatas (20%≤K<100%),
maka prioritas pengguna sama dengan atau lebih dari simpanan dan iii) jika air sangat kurang
(K<20%), maka tidak ada pemberian air karena diprioritaskan menyimpan air. K yang
dihasilkan kemudian dikategorikan sesuai kelas K agar operasional alokasi air atau giliran
berbagi air di tingkat DI dapat berjalan.

7) Rotasi grup.
Kondisional, jika darurat (K<20%), maka disarankan rotasi grup (on/off node) yaitu
memberikan air kepada prioritas sesuai dengan kesepakatan.

8) Intervensi di simpul tertentu.

9) Kapasitas pintu pengambilan air dan saluran.


Kapasitas 9QC) diasumsikan daoat dilewati kebutuhan air maksimum (QC≥QDmax).

20
3.4. Bagan Alir Penelitian

Gambar 3.2. Bagan alir penelitian

21
Gambar 3.3. Skema HLD Jangkok Sesaot, Bendungan Meninting dan Bendungan Batujai

22
Gambar 3.4. Skema HLD Jangkok Sesaot, Bendungan Meninting dan Bendungan Batujai (Lanjutan)

23

Anda mungkin juga menyukai