Anda di halaman 1dari 100

1

BAB I

PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang

Bagi manusia air sangat penting terutama untuk proses menanam padi.
Kebutuhan pangan di indonesia terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah
penduduknya, maka untuk memenuhi produksi bahan makanan pokok berupa padi
dan palawija. Untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok tersebut, dilaksanakan
pengoptimalan lahan pertanian yang telah ada dan pembukaan lahan baru. Salah satu
kegiatan pembukaan lahan dilakukan pada daerah Dung Watu, Desa Ngelewan,
Kecamatan Sambit, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Sistem pengairan
terpadu sesuai kriteria perencanaan (KP) Irigasi sangat diperlukan bagi
keberlangsungan pertanian pada daerah tersebut. Hal ini berkaitan dengan kelancaran
pasokan air agar hasil pertanian meningkat.

Daerah Irigasi Bendo memiliki luas 3.757 Ha, dengan rencana pola tanam padi
– padi – palawija . Proses irigasi memanfaatkan air dari Sungai Keyang yang
dibendung oleh Bendung Tambak Watu. Terdapat saluran sekunder Tambak Watu
kanan dan Tambak Watu kiri.

Dalam studi ini, penulis merencanakan sistem irigasi petak tersier Dung Watu
pada Daerah Irigasi Bendo. Luas area petak tersier tersebut 53,7 Ha. Aspek-aspek
yang perlu direncanakan antara lain jaringan irigasi, pola tanam, kebutuhan air irigasi
dan saluran pembuang.

Perencanaan diawali dengan menyusun jaringan irigasi, Kemudian dilakukan


perhitungan kebutuhan air sesuai pola tanam, analisis dimensi saluran, serta
menggambarkan potongan memanjang dan melintang saluran tersebut. Tahap
perencanaan dilanjutkan dengan menyusun Rencana Anggaran Biaya (RAB)
pembangunan petak tersier Dung Watu. Diharapkan penyusun Laporan Akhir ini
2

dapat menghasilkan sistem irigasi, perhitungan kebutuhan air, dan dimensi saluran
sesuai dengan Kriteria Perencanaan (KP) Irigasi, serta Rencana Anggaran Biaya
(RAB) secara ekonomis.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dalam kajian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Berapa besarnya kebutuhan air irigasi di petak sawah tersier Dung Watu pada
Daerah Irigasi Bendo Kabupaten Ponorogo?
2. Berapa dimensi saluran pembawa dan pembuang petak tersier Dung Watu
pada Daerah Irigasi Bendo Kabupaten Ponorogo?
3. Berapa jumlah boks dan pelengkap pada petak tersier Dung Watu di Daerah
Irigasi Bendo Kabupaten Ponorogo?
4. Berapa Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang diperlukan untuk
pembangunan jaringan irigasi petak tersier Dung Watu pada Daerah Irigasi
Bendo Kabupaten Ponorogo ?

1.3 Batasan Masalah

Agar lebih mengarahkan masalah yang akan dibahas sehingga akan


memperoleh hasil yang baik maka diberikan batasan masalah sebagai berikut:
1. Tidak merencanakan saluran primer dan sekunder
2. Tidak dihitung debit intake
3. Data curah hujan menggunakan kala ulang 10 tahun yaitu antara tahun 2009
sampai dengan tahun 2018
4. Data Klimatologi Kabupaten menggunakan satu stasiun curah hujan
Stasiun hujan yang digunakan adalah Lanud Iswahyudi
5. RAB disusun berdasarkan Harga Satuan Pekerjaan 2018 Kabupaten
Ponorogo.
3

1.4 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penulisan Laporan Akhir ini bertujuan


untuk :
1. Menghitungbesarnya kebutuhan air irigasi di petak tersier Dung Watu pada
Daerah Irigasi Bendo Kabupaten Ponorogo
2. Menghitung dimensi saluran pembawa dan pembuang petak tersier Dung
Watu pada Daerah Irigasi Bendo Kabupaten Ponorogo
3. Menghitung berapa jumlah boks dan pelengkap pada petak tersier Dung Watu
di Daerah Irigasi Bendo Kabupaten Ponorogo
4. Menghitung Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang diperlukan untuk
pembangunan jaringan irigasi petak tersier Dung Watu pada Daerah Irigasi
Bendo Kabupaten Ponorogo

1.5 Manfaat

Dalam penyusunan laporan akhir ini diharapkan akan memberikan banyak


manfaat bagi semua pihak. Adapun manfaat dari penulisan ini antara lain :
1. Peneliti
Dapat memahami perencanaan Instansi terkait Perencanaan Jaringan Irigasi
Petak Tersier Dung Watu pada Daerah Irigasi Bendo Kabupaten Ponorogo.
2. Instansi Terkait
Sebagai refrensi dalam pemecahan permasalahan dalam perencanaan irigasi di
Daerah Irigasi Bendo Kabupaten Ponorogo
3. Masyarakat

Merencanakan jaringan petak tersier Dung Watu pada Daerah Irigasi Bendo
Kabupaten Ponorogo dengan pola tanam padi-padi-palawija guna
meningkatkan hasil yang optimal dan berguna sebagai ilmu pengetahun bagi
masyarakat bahwa pentingnya sistem jaringan irigasi yang berhubungan
dengan pola tanam yang direncanakan.
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Irigasi

Irigasi adalah menyalurkan air yang perlu untukpertumbuhan tanaman ke tanah


yang diolah dan mendistribusinya secara sistematis (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).
Irigasi adalah usaha penyediaan,pengaturan dan pembuangan air irigasi untuk
menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi
air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak (PP No. 20 tahun 2006tentang
Irigasi). Meskipun demikian, suatu definisi yang lebih umum dan termasuk sebagai
irigasi adalah penggunaan air pada tanah untuk setiap jumlah delapan kegunaan
sebagai berikut :

1. Menambah air kedalam tanah untuk menyediakan cairan yang


diperlukan untuk pertumbuhan tanam-tanaman.
2. Untuk menyediakan jaminan panen pada saat musim kemarau yang
pendek.
3. Untuk mendinginkan tanah dan atmosfir, sehingga menimbulkan
lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanam-tanaman.
4. Untuk mengurangi bahaya pembekuan.
5. Untuk mencuci atau mengurangi garam dalam tanah.
6. Untuk mengurangi bahaya erosi tanah.
7. Untuk melunakan pembajakan dan penggumpalan tanah.
8. Untuk memperlambat pembentukan tunas dengan pendinginan karena
penguapan.
5

2.2 Klasifikasi Jaringan Irigasi

Menurut KP 01 tentang Kriteria Perencanaan Bagian Jaringan Irigasi yaitu,


Berdasarkan cara pengaturan pengukuran aliran air dan lengkapnya fasilitas, jaringan
irigasi dapat dibedakan ke dalam tiga tingkatan lihat yakni:

2.2.1 Irigasi Sederhana

Di dalam irigasi sederhana, pembagian air tidak diukur atau diatur, air lebih
akan mengalir ke saluran pembuang. Para petani pemakai air itu tergabung dalam satu
kelompok jaringan irigasi yang sama, sehingga tidak memerlukan keterlibatan
pemerintah di dalam organisasi jaringan irigasi semacam ini. Persediaan air biasanya
berlimpah dengan kemiringan berkisar antara sedang sampai curam. Oleh karena itu
hampir-hampir tidak diperlukan teknik yang sulit untuk sistem pembagian airnya.
Jaringan irigasi yang masih sederhana itu mudah diorganisasi tetapi memiliki
kelemahan-kelemahan yang serius. Pertama-tama, ada pemborosan air dan, karena
pada umumnya jaringan ini terletak di daerah yang tinggi, air yang terbuang itu tidak
selalu dapat mencapai daerah rendah yang lebih subur. Kedua, terdapat banyak
penyadapan yang memerlukan lebih banyak biaya lagi dari penduduk karena setiap
desa membuat jaringan dan pengambilan sendiri-sendiri. Karena bangunan
pengelaknya bukan bangunan tetap/permanen, maka umurnya mungkin pendek.
6

Gambar 2.1Irigasi Sederhana (Sumber KP-01 2010: 24)

2.2.2Irigasi Semiteknis

Dalam banyak hal, perbedaan satu – satunya antara jaringan irigasi sederhana
dan jaringan semiteknis adalah bahwa jaringan semiteknis ini bendungnya terletak di
sungai lengkap dengan bangunan pengambilan dan bangunan pengukur di bagian
hilirnya. Mungkin juga dibangun beberapa bangunan permanen di jaringan saluran.
Sistem pembagian air biasanya serupa dengan jaringan sederhana. Adalah mungkin
bahwa pengambilan dipakai untuk melayani/ mengairi daerah yang lebih luas dari
daerah layanan pada jaringan sederhana. Oleh karena itu biayanya ditanggung oleh
lebih banyak daerah layanan. Organisasinya akan lebih rumit jika bangunan tetapnya
berupa bangunan pengambilan dari sungai, karena diperlukan lebih banyak
keterlibatan dari pemerintah, dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum.
7

Gambar 2.2Irigasi Semiteknis (Sumber KP-01 2010: 26)

2.2.3 Irigasi Teknis

Salah satu prinsip dalam perencanaan jaringan teknis adalah pemisahan antara
jaringan irigasi dan jaringan pembuang/ pematus. Hal ini berarti bahwa baik saluran
irigasi maupun pembuang tetap bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing, dari
pangkal hingga ujung. Saluran irigasi mengalirkan air irigasi ke sawah-sawah dan
saluran pembuang mengalirkan air lebih dari sawah-sawah ke saluran pembuang
alamiah yang kemudian akan diteruskan ke laut .
Petak tersier menduduki fungsi sentral dalam jaringan irigasi teknis. Sebuah
petak tersier terdiri dari sejumlah sawah dengan luas keseluruhan yang idealnya
maksimum 50 ha, tetapi dalam keadaan tertentu masih bisa ditolerir sampai seluas 75
ha. Perlunya batasan luas petak tersier yang ideal hingga maksimum adalah agar
8

pembagian air di saluran tersier lebih efektif dan efisien hingga mencapai lokasi
sawah terjauh.

Gambar 2.3Irigasi Teknis (Sumber KP-01 2010: 29)

Tabel 2.1 Klasifikasi Jaringan Irigasi

Klasifikasi Jaringan

Sederha
Teknis Semi Teknis
na
Bangunan Banguna Bangunan permanen Bangun
atau semi permanen
1 Utama n an
permane sementa
n ra
2 Kemampuanbangunandal Baik Sedang Jelek
9

ammengukurdan
mengaturdebit
Saluran Saluran
irigasi irigasi
Saluran irigasibdan
3 Jaringan dan
pembuangtidaksepe
dan
saluran pembuan pembua
nuhnyaterpisah
g ng
terpisah jadi satu
Belum
Belumdikembangka adajarin
Dikemba
n gan
4 Petak tersier ngkan
atau terpisah
sepenuh
densitasbangunanter yang
nya
sier jarang dikemba
ngkan
Tinggi
Kurang
Efisiensi 50 – 60 Sedang
5 secara < 40%
% 40 – 50%
(Ancar-
keseluruhan (Ancar- (Ancar-ancar)
ancar
ancar)
Tak

6 Ukuran Tak ada lebih


Sampai 2.000 ha
batasan dari 500
ha
Cenderu
Ada ke
7 Jalan Usaha seluruh
Hanya sebagian ng
Tani areal tidak
areal
ada
8 Kondisi O & P  Ada Belum teratur Tidak
10

instans
i
yang
menan ada
gani O&P
 Dilaks
anakan
teratur
Sumber: (KP 01 2010: 21)

2.3 Peta Ikhtisar

Peta ikhtisar adalah cara penggambaran berbagai macam bagian dari


suatu jaringan irigasi yang saling berhubungan. Peta ikhtisar tersebut
dapat dilihat pada peta tata letak. Peta ikhtisar irigasi tersebut memperlihatkan:
a. Bangunan – bangunan utama
b. Jaringan dan trase saluran irigasi
c. Jaringan dan trase saluran pembuang
d. Petak – petak primer, sekunder dan tersier
e. Lokasi bangunan
f. Batas-batas daerah irigasi
g. Jaringan dan trase jalan
h. Daerah – daerah yang tidak diairi (misal desa – desa)
i. Daerah – daerah yang tidak dapat diairi (tanah jelek, terlalu tinggi dsb).
Peta ikhtisar umum dibuat berdasarkan peta topografi yang dilengkapi
dengan garis-garis kontur dengan skala 1 : 25.000. Peta ikhtisar detail yang biasa
disebut peta petak, dipakai untuk perencanaan dibuat dengan
skala 1 : 5.000, dan untuk petak tersier 1 : 5.000 atau 1 : 2.000. (KP 01 2010: 21).
11

2.3.1 Jaringan Tersier


Petak ini menerima air irigasi yang dialirkan dan diukur pada
bangunan sadap (off take) tersier yang menjadi tanggung jawab Dinas
Pengairan. Di daerah-daerah yang ditanami padi luas
petak tersier idealnya maksimum 50 ha, tapi dalam keadaan tertentu
dapat ditolelir sampai seluas 75 ha. Petak tersier harus mempunyai batas-batas
yang jelas seperti misalnya parit, jalan, batas desa dan batas perubahan
bentuk medan (terrain fault). Petak tersier dibagi menjadi petak-petak kuarter,
masing- masing seluas kurang lebih 8 – 15 ha.
Petak tersier harus terletak langsung berbatasan dengan saluran
sekunder atau saluran primer. Perkecualian: kalau petak-petak tersier
tidak secara langsung terletak di sepanjang jaringan saluran irigasi
utama yang dengan demikian, memerlukan saluran tersier yang
membatasi petak-petak tersier lainnya, hal ini harus dihindari.
Panjang saluran tersier sebaiknya kurang dari 1.500 m, tetapi dalam
kenyataan kadang-kadang panjang saluran ini mencapai 2.500 m.
Panjang saluran kuarter lebih baik di bawah 500 m, tetapi prakteknya
kadang-kadang sampai 800 m.
Untuk menentukan layout, aspek – aspek berikut akan dipertimbangkan:
a. Luas petak tersier
b. Batas – batas petak tersier
c. bentuk yang optimal
d. kondisi medan
e. jaringan irigasi yang ada
f. operasi jaringan
(KP-05, 2010: 51)
12

Kriteria umum untuk Pengembangan Petak Tersier


a. Ukuran petak tersier 50 — 100 ha
b. Ukuran petak kuarter 8 — 15 ha
c. Panjang saluran tersier <1500 m
d. Panjang saluran kuarter < 500 m
e. Jarak antara saluran kuarter & pembuang < 300 m
(KP-05, 2010: 59)

Gambar 2.4Petak Tersier yang Ideal (Sumber KP-05, 2010: 53)

2.4Jaringan Irigasi
Jaringan irigasi merupakan satu kesatuan bangunan dan saluran yang
dipergunakan untuk mengatur jalannya air irigasi, dimulai dari penyediaan,
pengambilan, pembagian, pemberian dan pemanfaatannya. Secara umum saluran atau
jaringan irigasi di bagi jadi jaringan utama dan tersier.

2.4.1 Saluran Irigasi


13

Saluran irigasi merupakan sarana penghubung antara sumber air dan petak
tanah pertanian atau persawahan . Saluran irigasi terdiri dari :

1) Jaringan Saluran Irigasi Utama


Saluran primer membawa air dari jaringan utama ke saluran sekunder dan ke
petak-petak tersier yang diairi. Batas ujung saluran primer adalah pada bangunan bagi
yang terakhir. Saluran sekunder membawa air dari saluran primer ke petak-petak
tersier yang dilayani oleh saluran sekunder tersebut. Batas saluran sekunder adalah
pada bangunan sadap terakhir. Saluran pembawa membawa air irigasi dari sumber air
lain (bukan seumber yang memberi air pada bangunan utama) kejaringan irigasi
primer. (sidharta,1997:61) Saluran tersier membawa air dari bangunan sadap tersier
di jaringan utama ke dalam petak tersier lalu ke saluran kuarter. Batas ujung saluran
ini dalah boks bagi kuarter yang terakhir.

2) Jaringan Saluran Irigasi Tersier


Saluran irigasi tersier membawa air dari bangunan sadap tersier di jaringan utama
ke dalam petak tersier lalu di saluran kuarter. Batas ujung saluran ini adalah box bagi
kuarter yang terakhir. .Saluran kuarter membawa air dari box bagi kuarter melalui
bangunan sadap tersier atau parit sawah ke sawah.

3) Jaringan Saluran Pembuangan Utama

Saluran pembuang primer mengalirkan air lebih dari saluran pembuang sekunder
keluar daerah irigasi. Saluran pembuang primer sering berupa saluran pembuang alam
yang mengalirkan kelebihan air ke sungai, anak sungai, atau ke laut. Saluran
pembuang sekunder menampung air dari jaringan pembuangan tersier dan membuang
air tersebut ke pembuangan primer atau langsung ke pembuangan alam dan keluar
daerah irigasi.
14

4) Jaringan Saluran Pembuang Tersier


Saluran pembuang tersier terletak di dan antara petak-petek tersier yang termasuk
dalam unit irigasi sekunder yang sarna danmenampung air, baik dari pembuangan
kuarter maupun dari sawah-sawah. Air tersebut dibuang ke dalam jaringan pembuang
sekunder. Saluran pembuang sekunder menerima buangan air dari saluran pembuang
kuarter yang menampung air langsung dari sawah.

2.4.2 Bangunan Irigasi

Bangunan utama dapat didefinisikan sebagai “semua bangunan yang


direncanakan di sungai atau aliran air untuk membelokkan air ke dalam jaringan
irigasi, biasanya dilengkapi dengan kantong lumpur agar bisa mengurangi kandungan
sedimen yang berlebihan serta memungkinkan untuk mengukur dan mengatur air
yang masuk”.(Sumber KP-02, 2010: 01). Ada beberapa jenis lain bangunan utama
untuk mengairi dan membelokkan air kedalam saluran diantaranya :
1) Bangunan Bagi dan Sadap
Bangunan bagi dan sadap pada irigasi teknis dilengkapi dengan pintu dan alat
pengukur debit untuk memenuhi kebutuhan air irigasi sesuai dan pada waktu tertentu.
Namun dalam keadaan tertentu sering dijumpai kesulitan-kesulita dalam operasi dan
pemeliharaan sehingga muncul usulan sistem Proposional . Yaitu bangunan bagi dan
sadap tanpa pintu dan alat ukur tetapi dengan syarat-syarat sebagai berikut :
- Elevasi ambang ke semua arah harus sama
- Bentuk ambang harus sama agar koefisien debit sama.
- Lebar bukaan proposional dengan luas sawah yang diairi.

Tetapi disadari bahwa sistem proposional tidak bisa diterapkan dalam irigasi
yang melayani lebih dari satu jenis tanaman dari penerapan sistem golongan. Untuk
15

kriteria ini menetapkan agar diterapkan tetap memakai pintu dan alat ukur debit
dengan memenuhi tiga syarat proporsional :

- Bangunan bagi terletak di saluran primer dan sekunder pada suatu titik cabang
dan berfungsi untuk membagi aliran antara dua saluran atau lebih
- Bangunan sadap tersier mengalirkan air dari saluran primer atau sekunder ke
saluran tersier penerima
- Bangunan bagi dan sadap mungkin digabung menjadi satu rangkaian bangunan.
- Boks-boks bagi di saluran tersier membagi aliran untuk dua saluran atau lebih
(tersier, subtersier,dan/atau kuarter) (KP – 01, 1986 :21-22)

2) Bangunan Pengatur Muka Air

Bangunan-bangunan pengatur muka air mengatur/mengkontrol muka air di


jaringan irigasi utama sampai batas-batas yang diperlukan untuk dapat memberikan
debit yang konstan kepada bangunan sadap tersier. Bagunan pengatur mempunyai
potongan pengontrol aliran yang dapat di stela atau tetap. Untuk bangunan-bangunan
pengatur yang dapat di setel dianjurkan untuk menggunakan pintu (sorong) radial
atau lainnya. Bangunan-bangunan pengatur diperlukan di tempat-tempat di mana
tinggi muka air di saluran dipengaruhi oleh bangunan terjun atau got miring (chute).
Untuk mencegah meninggi atau menurunnya muka air di saluran dipakai mercu tetap
atau celah control trapezium (trapezoidal notch). (KP – 01, 1986:24)

3) Bangunan-bangunan pengukur dan pengatur

Aliran akan diukur di hulu (udik) saluran primer, dicabang saluran jaringan
primer dan di bangunan sadap sekunder maupun tersier. Bangunan ukur dapat
dibedakan menjadi bangunan ukur aliran atas bebas (freeoverflow). Beberapa dari
bangunan pengukur dapat juga dipakai untuk mengatur aliran air. Bangunan ukur
yang dapat dipakai ditunjukkan pada Tabel 2.2
16

Tabel 2.2 Alat-alat ukur

Tipe Mengukur dengan Mengatur


Bangunan ukur Aliran Tidak
Ambang lebar atas

Bangunan ukur Aliran Tidak


Parshall Atas

Bangunan ukur Aliran Tidak

Cipoletti Atas

Bangunan ukur Aliran Ya

Romijn Atas

Ya
Bangunan ukur Aliran
Crump-de Gruyter Bawah

Ya
Bangunan sadap pipa Aliran
sederhana Bawah

Ya
17

Constant-Head Orifice Aliran


(CHO) Bawah
Tidak
Cut Throat Flume Aliran
Atas
Sumber : (KP – 01, 1986:23)

Untuk menyederhanakan operasi dan pemeliharaan, bangunan ukur yang dipakai


di sebuah jaringan irigasi hendaknya tidak terlalu banyak, dan diharapkan pula
pemakaian alat ukur tersebut bisa benar-benar mengatasi masalah yang dihadapi oleh
para petani. Pada aturan KP-04 1986 Bangunan memberikaan uraian terinci mengenai
peralatan ukur dan penggunanya. Peralatan berikut dianjurkan pemakaiannya :

- Pada hulu saluran primer


Untuk aliran besar alat ukur ambang lebar dipakai untuk pengukuran dan pintu
sorong atau radial pengantar
- Pada bangunan bagi bangunan sadap sekunder
Pintu Romijn dan Crump-de Gruyter dipakai untuk mengukur dan mengatur aliran.
Jika debit terlalu besar, maka alat ukur ambang lebar dengan pintu sorong atau
radial bisa dipakai seperti untuk saluran primer
- Pada bangunan sadap tersier
Untuk megatur dan mengukur aliran dipakai alat ukur Romijn atau jika fluktuasi di
saluran besar dapat dipakai alat ukur Crump-de Gruyter. Di petak-petak tersier
kecil di sepanjang saluran primer dengan tinggi muka air yang bervariasi dapat
dipertimbangkan untuk memakai bangunan sadap pipa sederhana, di lokasi yang
petani tidak bisa menerima entuk ambang sebaiknya dipasang aalt ukur parshall
atau cut throat flume.
- Alat ukur parshall memerlukan ruangan yang panjang , presisi yang tinggi dan
sulit pembacaannya, alat ukur cut throat flume lebih pendek dan mudah
pembacaannya (KP-01, 1986:22-23)
18

4) Bangunan Pembawa

Bangunan-bangunan pembawa membawa air dari ruas hulu ke ruas hilir saluran.
Aliran yang melalui bangunan ini bisa superkritis atau subkritis.

a. Bangunan pembawa dengan aliran superkritis

Bangunan pembawa dengan aliran tempat dimana lereng medannya maksimum.


Saluran Superkritis diperlukan di tempat lebih curam daripada kemiringan maksimaL
saluran. (Jika ditempat dimana kemiringan medannya lebih curam daripada
kemiringan dasar saluran, maka bisa terjadi aliran superkritis yang akan dapat
merusak saluran. Untuk itu diperlukan bangunan peredam).

- Bangunan Terjun

Dengan bangunan terjun, menurunnya muka air (dan tinggi energi) dipusatkan di
satu tempat bangunan terjun bisa memiliki terjun tegak atau terjun miring. Jika
perbedaan tinggi energi mencapai beberapa meter, maka konstruksi got miring
perlu dipertimbangkan.

- Got Miring

Daerah got miring dibuat apabila trase saluran melewati ruas medan dengan
kemiringan yang tajam dengan jumlah perbedaan tinggi energi yang besar. Got
miring berupa potongan saluran yang diberi pasangan (lining) dengan aliran
superkritis, dan umumnya mengikuti kemiringan medan alamiah.

b. Bangunan pembawa dengan aliran subkritis (bangunan silang)

- Gorong-Gorong
19

Gorong-gorong dipasang di tempat-tempat dimana saluran lewat dibawah


bangunan (jalan, rel kereta api) atau apabila pembuang lewat dibawah saluran.
Aliran didalam gorong-gorong umumnya aliran bebas.

- Talang

Talang dipakai untuk mengalirkan air irigasi lewat diatas saluran lainnya, saluran
pembuang alamiah atau cekungan dan lembah-lembah. Aliran didalam talang
adalah aliran bebas.

- Sipon

Sipon dipakai untuk mengalirkan air irigasi dengan menggunakan gravitasi


dibawah saluran pembuang, cekungan, anak sungai atau sungai. Sipon juga
dipakai untuk melewatkan air dibawah jalan, jalan kereta api, atau bangunan-
bangunan yang lain. Sipon merupakan saluran tertutup yang direncanakan untuk
mengalirkan air secara penuh dan sangat dipengaruhi oleh tinggi tekan.

- Jembatan Sipon

Jembatan sipon adalah saluran tertutup yang bekerja atas dasar tinggi tekan dan
dipakai untuk mengurangi ketinggian bangunan pendukung diatas lembah yang
dalam. (KP – 01, 1986:24-25)

5) Bangunan Pelengkap

Tanggul-tanggul diperlukan untuk melindungi daerah irigasi terhadap banjir yang


berasal dari sungai atau saluran pembuang yang besar. Pada umumnya tanggul
diperlukan disepanjang sungai disebelah hulu bendung atau disepanjang saluran
primer.
20

Fasilitas-fasilitas operasional diperlukan untuk operasi jaringan irigasi secara


efektif dan aman. Fasilitas-fasilitas tersebut antara lain meliputi antara lain: kantor-
kantor di lapangan, bengkel, perumahan untuk staf irigasi, jaringan komunikasi, patok
hektometer, papan eksploitasi, papan duga, dan sebagainya

Bangunan-bangunan pelengkap yang dibuat di dan sepanjang saluran meliputi:

- Pagar, rel pengaman dan sebagainya, guna memberikan pengaman sewaktu terjadi
keadaan-keadaan gawat;

- Tempat-tempat cuci, tempat mandi ternak dan sebagainya, untuk memberikan


sarana untuk mencapai air di saluran tanpa merusak lereng;

- Kisi-kisi penyaring untuk mencegah tersumbatnya bangunan (sipon dan


goronggorong panjang) oleh benda-benda yang hanyut;

- Jembatan-jembatan untuk keperluan penyeberangan bagi penduduk.

- Sanggar tani sebagai sarana untuk interaksi antar petani, dan antara petani dan
petugas irigasi dalam rangka memudahkan penyelesaian permasalahan yang terjadi
di lapangan. Pembangunannya disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi petani
setempat serta letaknya di setiap bangunan sadap/offtake. (KP -01, 1986:27-28)

2.5 Pola Tanam

Untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman, penentuan pola tanam


merupakan hal yang perlu dipertimbangkan. Tabel dibawah ini merupakan contoh
pola tanam yang dapat dipakai. (Sidharta,1997:25)

Tabel 2.3 Pola Tanam untuk Satu Tahun

Ketersediaan Air untuk Irigasi Pola Tanam untuk Satu Tahun


21

Tersedia air cukup banyak Padi – padi – palawija

Tersedia air dalam jumlah cukup Padi – padi – bero

Padi – palawija - palawija

Daerah yang cenderung kekurangan air Padi – palawija – bero

Palawija – padi – bero

Sumber : Sidharta,1997:25

2.6 Siklus Hidrologi (Water Cyle)

Siklus hidrologi adalah salah satu dari enam siklus biogeokimia yang


berlangsung dan berada di bumi. Kata hidrologi berasal dari bahasa Yunani yaitu
“Hydrologia” yang berarti ilmu air. Hidrologi ialah cabang ilmu geografi yang
membahas tentang distribusi, kualitas dan pergerakan air di bumi. Siklus hidrologi
memegang peran penting bagi kelangsungan hidup organisme yang ada di bumi.
Siklus air atau siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari
atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfer melalui tahap kondensasi, presipitasi,
evaporasi dan transpirasi. Siklus hidrologi merupakan siklus atau sirkulasi air yang
berasal dari Bumi kemudian menuju ke atmosfer dan kembali lagi ke bumi yang
berlangsung secara terus menerus. Karena bentuknya memutar dan berlangsung
secara berkelanjutan inilah yang menyebabkan air seperti tidak pernah habis. Melalui
siklus ini, ketersediaan air di daratan bumi dapat tetap terjaga, proses siklus hidrologi
juga berdampak pada teraturnya suhu lingkungan, cuaca, hujan dan keseimbangan
ekosistem bumi.Pemanasan air laut oleh paparan sinar matahari merupakan kunci
proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara terus menerus. Air berevaporasi,
kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan, salju, hujan es dan salju
(sleet), hujan gerimis atau kabut.
22

Lebih dalam lagi ilmu hidrologi mengkaji tentang hidrometeorologi (air yang


berada di udara dengan wujud gas), potamologi (aliran permukaan air), kriologi (air
dengan wujud padat misalnya es dan salju), geohidrologi (air tanah),
serta limnologi (air permukaan yang cenderung  lebih tenang misalnya danau dan
waduk).Selanjutnya, air hujan ini akan meresap ke dalam tanah (infiltrasi dan
perkolasi) atau mengalir menjadi air permukaan (run off). Air yang ada di permukaan
serta sebagian air yang ada di bawah permukaan, baik itu yang mengalir atau yang
tergenang seperti air pada waduk, danau, rawa, sungai.

Air tersebut terkumpul dan mengalir yang akhirnya membentuk sungai yang
mengalir menuju laut.Baik aliran air yang berada di bawah tanah maupun air
permukaan keduanya menuju ke tubuh air di permukaan Bumi (laut, danau dan
waduk). Panasnya air laut didukung oleh sinar matahari karena matahari merupakan
kunci sukses dari siklus hidrologi sehingga mampu berjalan secara terus menerus
kemudian air berevoporasi, kemudian jatuh ke bumi sebagai prespitasi dengan bentuk
salju, gerimis atau atau kabut, hujan, hujan es dan salju dan hujan batu.

Dengan kata lain hidrosfer merupakan semua air yang berada di Bumi, baik
dalam bentuk cair yakni air, padat berupa es dan salju, maupun dalam bentuk gas
yakni berupa uap air.

- Proses siklus hidrologi

Sebuah siklus pastilah mempunyai beberapa tahapan. Tahapan- tahapan


tersebut apabila tergabung antara satu dengan yang lainnya maka akan terciptalah
sebuah siklus. Dengan kata lain, siklus ini terjadi karena adanya tahapan- tahapan
yang saling berkaitan satu sama lain dan bentuknya memutar.Sirkulasi air yang
berpola siklus itu tidak pernah berhenti dari atmosfer ke bumi dan kembali ke
atmosfer melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Air di lautan, akan
menguap karena energi panas yang disediakan oleh paparan radiasi sinar matahari
23

dan membentuk uap air.Pada perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi dapat
berevaporasi kembali ke atas atau langsung jatuh yang kemudian di intersepsi oleh
tanaman sebelum mencapai tanah. Uap air ini bergerak ke atas ke ketinggian yang
lebih tinggi membentuk awan. Tahapan proses terjadinya siklus hidrologi terus
bergerak secara berkelanjutan dalam berbagai tahapan yang berbeda.

- Evaporasi

Siklus hidrologi berawal dengan terjadinya penguapan air yang ada di


permukaan bumi. Air-air yang tertampung di danau, sungai, laut, bendungan atau
waduk berubah menjadi uap air dengan bantuan panas matahari. Penguapan serupa
juga terjadi pada air yang terdapat di permukaan tanah. Penguapan semacam ini
disebut dengan istilah evaporasi. Evaporasi adalah Suatu proses yang mengubah air
yang berwujud cair menjadi air dalam wujud gas atau biasa disebut dengan
penguapan. sehingga memungkinkan ia untuk naik ke atas atmosfer bumi. Semakin
tinggi panas matahari (misalnya saat musim kemarau), maka jumlah air yang menjadi
uap air dan naik ke atmosfer bumi.

- Transpirasi

Penguapan air ini bukan hanya terjadi di badan air dan tanah. Penguapan air
juga dapat berlangsung di jaringan makhluk hidup, seperti hewan dan tumbuhan.
Penguapan semacam ini dikenal dengan istilah transpirasi. selain itu, transpirasi juga
mengubah air yang berwujud cair dalam jaringan makhluk hidup menjadi uap air dan
membawanya naik ke atas menuju atmosfer. Akan tetapi, jumlah air yang menjadi
uap melalui proses transpirasi umumnya jauh lebih sedikit dan lebih kecil
dibandingkan dengan jumlah uap air yang dihasilkan melalui proses evaporasi.

- Kondensasi
24

Kondensasi merupakan proses berubahnya uap air menjadi partikel- partikel es.
Ketika uap air dari proses evaporasi, transpirasi, evapotranspirasi, dan sublimasi
sudah mencapai ketinggian tertentu, uap air tersebut akan berubah menjadi partikel-
partikel es yang berukuran sangat kecil melalui proses konsendasi.Perubahan wujud
ini terjadi karena pengaruh suhu udara yang sangat rendah saat berada di ketinggian
tersebut. Partikel- partikel es yang terbentuk tersebut akan saling mendekati satu
sama lain dan bersatu hingga membentuk sebuah awan. Semakin banyak partikel es
yang bersatu, maka akan semakin tebal dan juga hitam awan yang terbentuk. Inilah
hasil dari proses kondensasi.

- Sublimasi

Tahapan yang lainnya adalah sublimasi yaitu proses naiknya uap air ke atas
atmosfer bumi. Sumblimasi merupakan proses perubahan es di kutub atau di puncak
gunung menjadi uap air, tanpa harus melalui proses pencairan. Sublimasi ini juga
tidak sebanyak penguapan (evaporasi maupun transpirasi), namun meski sedikit tetap
saja sublimasi ini tetap berkontribusi erat terhadap jumlah uap air yang naik ke
atmosfer, namun jumlah air yang di hasilkan menjadi lebih sedikit.Dibandingkan
dengan evaporasi maupun transpirasi, proses sublimasi ini berjalan lebih lambat dari
pada keduanya. Sublimasi ini terjadi pada tahap siklus hidrologi panjang.

- Adveksi

Adveksi merupakan perpidahan awan dari satu titik ke titik lainnya namun
masih dalam satu horizontal. Jadi setelah partikel- partikel es membentuk sebuah
awan yang hitam dan gelap, awan tersebut dapat berpindah dari satu titik ke titik yang
lain dalam satu horizontal.Proses adveksi ini terjadi karena adanya angin maupun
perbedaan tekanan udara sehingga mengakibatkan awan tersebut berpindah. Adveksi
adalah proses perpindahan awan dari satu titik ke titik lain dalam satu horizontal
akibat arus angin atau perbedaan tekanan udara. Proses adveksi ini memungkinkan
25

awan yang terbentuk dari proses kondensasi akan menyebar dan berpindah dari
atmosfer yang berada di lautan menuju atmosfer yang ada di daratan. Namun perlu
diketahui bahwa tahapan adveksi ini tidak selalu terjadi dalam proses hidrologi,
tahapan ini tidak terjadi dalam siklus hidrologi pendek.

- Runoff

Proses terjadinya siklus hidrologi selanjutnya ialah tahap run off. Tahapan run
off ini terjadi ketika sudah di permukaan Bumi. Run off (limpasan) ialah suatu proses
pergerakan air dari tempat yang tinggi menuju tempat rendah di permukaan
bumi.Proses pergerakan air ini berlangsung melalui saluran-saluran air contohnya
danau, got, muara, sungai, laut hingga samudra. Dalam proses inilah air yang
mengalami siklus hidrologi akan kembali ke lapisan hidrosfer.

- Infiltrasi

Proses selanjutnya adalah proses infiltrasi. Air yang sudah berada di bumi
akibat proses presipitasi, tidak semuanya mengalir di permukaan bumi dan
mengalami run off. Sebagian kecil dari air tersebut akan bergerak menuju ke pori-
pori tanah, merembes, dan menumpuk menjadi air tanah.Proses pergerakan air ke
dalam pori- pori tanah ini disebut sebagai proses infiltrasi. Proses infiltrasi akan
secara lambat membawa  air tanah untuk menuju kembali ke laut.Setelah melalui
proses run off dan infiltrasi, kemudian air yang telah mengalami siklus hidrologi akan
kembali berkumpul ke lautan. Dalam waktu yang berangsur- angsur, air tersebut akan
kembali mengalami siklus hidrologi yang baru, dimana diawali dengan evaporasi.
Dan itulah beberapa dari tahapan siklus hidrologi.

2.7Analisis Hidrologi
26

Secara umum hidrologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang


kehadiran dan gerakan air di alam. Secara khusus, hidrologi didefinisikan sebagai
ilmu yang mempelajari sistem kejadian air di atas permukaan dan di dalam tanah.
Analisis hidrologi dimaksudkan untuk memprediksi keberadaan sumber air pada
daerah kajian dengan menggunakan persamaan empiris yang memperhitungkan
parameter-parameter alam yang mempengaruhi. Analisa hidrologi ini ditujukan untuk
memberikan perkiraan menganai ketersediaan air, kebutuhan air yang mungkin
terjadi.

2.7.1 Curah Hujan Efektif


Curah hujan efektif adalah jumlah curah hujan yang jatuh pada periode waktu
tertentu selama masa pertumbuhan tanaman yang secara efektif dapat memenuhi
kebutuhan tanaman. Curah hujan efektif menggunakan rumus sebagai berikut
Repadi = 70% . R80............................................................................................................................................(2.1)
Dengan :
Repadi : Curah hujan efektif harian padi (mm/hari) dengan kemungkinan terjadi 70%
R80 : Curah hujan andalan dengan kemungkinan terjadi 80% (mm/periode)

2.7.2 Debit Andalan


Menurut KP – 01 tahun 1986, debit andalan (dependable flow) adalah debit
minimum sungai untuk memungkinkan terpenuhi yang sudah ditentukan yang dapat
dipakai untuk irigasi. Kemungkinan terpenuhi ditetapkan 80% (kemungkinan bahwa
debit sungai lebih rendah dari debit andalan adalah 20%). Debit andalan ditentukan
untuk periode tengah – bulan. .Debit minimum sungai dianalisis atas dasar data debit
harian sungai.
Untuk menghitung debit andalan digunakan metode tahun dasar perencanaan (basic
years).
n
P= + 1 …………………………………………………………………….....(2.2)
1
27

dengan :
P = probilitas
n = jumlah data debit

2.7.3 Evapotranspirasi

Evaporasi dan transporasi merupakan factor penting dalam studi


pengembangan sumber daya air. Evaporasi adalah proses fidik yang mengubah suatu
cairan menjadi gas, sedangkan transpirasi adalah penguapan air yang terjadi melalui
tumbuhan. Jika kedua proses tersebut saling berkaitan disebut dengan
evapotranspirasi. Sehingga evapotranspirasi merupakan gabungan antara peoses
penguapan dari permukaan tanah bebas (evaporasi) dan penguapan yang berasal dari
daun tanaman (transpirasi) (KP - 01, 1986).
Besarnya nilai evaporasi dipengaruhi oleh iklim, sedangkan untuk transpirasi
dipengaruhi oleh iklim, varietas, jenis tanaman, serta umur tanaman. Persamaan yang
digunakan dalam perhitungan kebutuhan air tanaman adalah sebagai berikut :
ET = k x Eto ………………………………...………………….……(2.3)
Dimana:
k = koefisien tanaman
Eto = evapotranspirasi (mm/hari)
Metode yang dapat digunakan untu menghitung besarnya evapotranspirasi
adalah metode Penman Modifikasi yang telah disesuaikan dengan keadaan daerah
Indonesia (Suhardjono, 1990:54)
Eto = c x Eto* ………………………………………………………..…. (2.4)
Eto* = W (0.7 x Rs – Rn1) + (1 – W) x f(u) x (ea – ed) ………………..…(2.5)
Rumus penyederhaan Penman ini mempunyai ciri khusus sebagai berikut:
W = faktor yang berhubungan dengan suhu (t) dan elevasi daerah
28

Rs = radiasi gelombang pendek (mm/hari)


= (0,25 + 0,54 . n/N) . Ra ………………………………….…..(2.6)
Ra = radiasi gelombang pendek yang memenuhi batas luar atmosfir
(angka angot)
Rn1 = radiasi bersih gelombang panjang
= f (t) .f (ed) .F (n/N)…………………………………………..(2.7)
f(T) = fungsi suhu = σ . Ta4 …………………………………….….(2.8)
f(ed) = fungsi tekanan uap
= 0,34 – 0,044 . (ed)1/2 …………………………….……...….(2.9)
f(n/N) = fungsi kecerahan
= 0,1 + 0,9 . n/N ………………………………………..….…(2.10)
f(u) = fungsi kecepatan angina angina pada ketinggian 2 meter (m/det)
(ea – ed) = perbedaan tekanan uap jenuh dengan uap sebenanya
ed = ea . RH ………………………………………………...…...(2.11)
RH = kelembaban udara relative (%)
c = angka koreksi Penman yang besarnya melihat kondisi siang dan malam
Prosedur perhitungan Eto berdasarkan rumus Penman Modifikasi adalah
sebagai berikut:
1. Mencari data suhu rerata bulanan (t)
2. Berdasar nilai (t) cari nilai (ea), (W), (1–W) dan f(t) dengantabel
3. Cari data kelembaban relatif (RH)
4. Berdasar nilai (ea) dan RH cari (ed)
5. Berdasar nilai (ed) cari nilai f(ed)
6. Cari letak lintang daerah yang ditinjau
7. Berdasar letak lintang cari nilai (Ra)
8. Cari data kecerahan matahari (n/N)
9. Berdasar nilai (Ra) dan (n/N) cari besaran (Rs)
10. Berdasar nilai (n/N) cari nilai f(n/N)
11. Cari data kecepatan angin rerata bulanan (u)
29

12. Berdasar nilai (u) cari besaran f(u)

Tabel 2.4 Nilai Angka Koefisien Bulanan (C), untuk rumus Penman
Bulan C
Januari 1,100
Pebruari 1,100
Maret 1,000
April 0,900
Mei 0,900
Juni 0,900
Juli 0,900
Agustus 1,000
September 1,100
Oktober 1,100
Nopember 1,100
Desember 1,100
Sumber: Suharjono, 1989: 49
30

Tabel 2.5 Besaran nilai angot (Rg) dalam evaporasi Ekivalen dalam
Hubunganya dengan Letak Lintang (mm/hari) (untuk Indonesia,
antara 5 ° LU sampai 10 ° LS

Lintang Utara Katulistiwa Lintang Selatan


Bulan
5 4 2 0 2 4 6 8 10
Januari 13.0 14.3 14.7 15.0 15.3 15.5 15.8 16.1 16.1
Pebruari 14.0 15.0 15.3 15.5 15.7 15.8 16.0 16.1 16.0
Maret 15.0 15.5 15.6 15.7 15.7 15.6 15.6 15.5 15.3
April 15.1 15.5 15.3 15.3 15.7 14.9 14.7 14.4 14.0
Mei 15.3 14.9 14.6 14.4 14.1 13.8 13.4 13.1 12.6
Juni 15.0 14.4 14.2 13.9 13.5 13.2 12.8 12.4 12.6
Juli 15.1 14.6 14.3 14.1 13.7 13.4 13.1 12.7 11.8
Agustus 15.3 15.1 14.9 14.8 14.5 14.3 14.0 13.7 12.2
September 15.1 15.3 15.3 15.3 15.2 15.1 15.0 14.9 13.3
Oktober 15.7 15.1 15.3 15.4 15.5 15.6 15.7 15.8 14.6
November 14.3 14.5 14.8 15.4 15.3 15.5 15.8 16.0 15.6
Desember 14.6 14.1 14.4 14.8 15.1 15.4 15.7 16.0 16.0

Maksimum 13.0 14.1 14.2 13.9 13.5 13.2 12.8 12.4 11.8
Rerata 15.7 15.5 15.6 15.7 15.7 15.8 16.0 16.1 16.1
Minimum 13.0 14.1 14.2 13.9 13.5 13.2 12.8 12.4 11.8

Sumber : Suhardjono, 1989:44


31

Tabel 2.6 Hubungan suhu (t) dengan nilai ea (mbar, w, (1-w) dan f(t)

Suhu Ea W (1-W)
F(t)
(T) mbar Elevasi 1-250 m
20 23.4 0.68 0.32 14.6
21 24.9 0.70 0.3 14.8
22 26.4 0.71 0.29 15
23 28.1 0.72 0.28 15.2
24 29.8 0.73 0.27 15.4
25 31.7 0.74 0.26 15.7
26 33.6 0.75 0.25 15.9
27 35.7 0.76 0.24 16.1
28 37.8 0.77 0.23 16.3
29 40.1 0.78 0.22 16.5
30 42.4 0.78 0.22 16.7
31 44.9 0.79 0.21 17
32 47.9 0.8 0.2 17.2
33 50.3 0.81 0.19 17.5
34 53.2 0.81 0.19 17.7
35 56.2 0.82 0.18 17.9
36 59.4 0.83 0.17 18.1
37 62.8 0.84 0.16 18.3
38 66.3 0.84 0.16 18.5
39 69.9 0.85 0.15 18.7
Sumber : Suhardjono, 1989:44
32
33

Tabel 2.7 Perhitungan Evapotranspirasi Potensial menggunakan Metode Penmann Modifikasi

Bulan
No Uraian Satuan
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
0
1 Temperatur (t) C 24.783 24.778 23.597 23.845 23.724 22.612 22.574 22.462 23.123 23.815 23.941 23.726
2 Kelembaban Relatif (Rh) % 90.791 90.832 92.013 92.575 91.183 93.001 89.966 91.200 87.583 87.017 87.587 91.122
3 Kecerahan matahri (n/N) % 48.622 50.532 60.409 67.405 73.172 72.942 75.653 73.861 69.793 64.633 60.548 54.634
4 Kecepatan Angin (u) km/hari 85.294 102.740 88.303 75.545 76.198 80.548 92.194 135.979 125.850 110.132 107.026 67.437
km/jam 3.554 4.281 3.679 3.148 3.175 3.356 3.841 5.666 5.244 4.589 4.459 2.810
m/dt 0.987 1.189 1.022 0.874 0.882 0.932 1.067 1.574 1.457 1.275 1.239 0.781
Perhitungan
5 Tekanan uap jenuh (ea) mbar 31.035 31.167 29.112 29.760 29.443 27.454 27.420 27.182 28.389 30.256 30.483 29.800
6 Tekanan uap sebenarnya (ed) mbar 28.177 28.310 26.787 27.550 26.847 25.532 24.669 24.790 24.864 26.328 26.699 27.154
7 Fungsi tekanan uap (f(ed)) 0.106 0.106 0.112 0.109 0.112 0.118 0.121 0.121 0.121 0.114 0.113 0.111
8 Tek. Uap jenuh - Tek. Uap sebenarnya (ea - ed) mbar 2.858 2.857 2.325 2.210 2.596 1.922 2.751 2.392 3.525 3.928 3.784 2.646
9 Fungsi kecepatan angin pada elevasi 2 m (f(U)) (m/dt) 0.500 0.547 0.508 0.474 0.476 0.487 0.519 0.637 0.610 0.567 0.559 0.452
10 Faktor yang berhubungan dengan suhu (w) 0.736 0.737 0.726 0.730 0.728 0.716 0.716 0.715 0.721 0.732 0.734 0.730
11 Fungsi waktu (f(t)) 15.595 15.616 15.328 15.400 15.358 15.124 15.120 15.092 15.234 15.472 15.508 15.402
12 Tekanan angot (Rg) 15.950 16.050 15.550 14.550 13.250 12.600 12.900 13.850 14.950 15.750 15.900 15.850
13 Radiasi gelombang pendek (Rs) mm/hari 8.175 8.392 8.960 8.933 8.548 8.113 8.495 8.987 9.372 9.434 9.174 8.639
14 Fungsi kecerahan matahari (f(n/N)) 0.538 0.555 0.644 0.707 0.759 0.756 0.781 0.765 0.728 0.682 0.645 0.592
15 Radiasi gel. Panjang Rn1 mm/hari 0.892 0.917 1.108 1.187 1.305 1.346 1.434 1.396 1.338 1.205 1.127 1.009
16 Angka koreksi (C) 1.100 1.100 1.100 0.900 0.900 0.900 0.900 1.000 1.100 1.100 1.100 1.100
17 Evaporasi (Eto*) mm/hari 4.134 4.266 4.310 4.231 3.962 3.583 3.825 4.132 4.536 4.735 4.636 4.229
18 Evaporasi potensian (Eto) mm/hari 4.547 4.692 4.741 3.808 3.566 3.225 3.443 4.132 4.989 5.208 5.100 4.652
Sumber: Hasil Perhitungan
34

2.8 Analisis Kebutuhan Air untuk Irigasi


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebutuhan air di sawah untuk
irigasi. Beberapa faktor tersebut antara lain sebagai berikut (anonim irigasi dan
bangunan air, 1977)
2.8.1 Curah Hujan
Curah hujan merupakan jumlah air yang jatuh dipermukaan bumi selama
satu periode tertentu yang bisa diukur dalam satuan mm. Tidak semua curah hujan
yang jatuh dipermukaan bumi dimanfaatkan tanaman untuk pertumbuhannya, ada
sebagian yang menguap dan yang mengaliri sebagai limpasan permukaan. Air
hujan yang jatuh di atas permukaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu curah hujan
andalan dan curah hujan efektif.
1. Curah Hujan Andalan
Curah hujan andalan adalah besarnya curah hujan yang diandalkan tersedia setiap
beberapa tahun sekali, sesuai dengan kala ulang yang diambil. Besarnya adalah
sebesar curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan.
Perhitungannya adalah sebagai berikut :
a. Curah hujan bulanan dari stasiun A diurutkan nilai terkecil sampai
yang terbesar.
b. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Harza Enginering Corp
International, R80 dapat diartikan bahwa dari 10 kejadian, curah hujan
yang direncanakan tersebut akan terlampaui sebanyak 8 kali.
Rumus :
n
R80= +1 ………………………………………….….………………..(2.12)
5
Dimana n adalah periode tahun pengamatan
2. Curah Hujan Efektif
Tidak semua curah hujan yang jatuh ke tanah dapat dimanfaatkan tanaman untuk
pertumbuhannya, ada sebagian yang menguap dan mengalir sebagai limpasan
permukaan. Air hujan yang jatuh di atas permukaan dapat dibagi menjadi dua
yaitu :
a. Curah hujan nyata, yaitu sejumlah air yang jatuh pada periode
tertentu.
35

b. Curah hujan efektif, yaitu sejumlah curah hujan yang jatuh pada suatu
daerah atau petak sawah semasa pertumbuhan tanaman dan dapat
dipakaiuntuk memenuhi kebutuhannya.
dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa curah hujan efektif
merupakan sebagian saja dari curah hujan nyata. Kegunaan curah hujan efektif
adalah :
a. Untuk perhitungan kebutuhan air irigasi.
b. Untuk merencanakan sistem saluran irigasidan drainase di lahan
irigasi.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan besarnya curah
hujan efektif, yaitu :
1. Metode Standar Perencanaan Irigasi
Rumus :
0,7 x R 80
Re = ……………………………..………………………...(2.13)
hari
Dimana
Re = Curah hujan efektif (mm)
R80 = curah hujan bulanan dengan probabilitas 80%

2.9Pengolahan Tanah
Untuk penanaman padi, tanah terlebih dahulu harus diolah,
untukpengolahan tanah diperlukan air agar tanah tersebut menjadi
lembek.Banyaknya air yang diperlukan dalam periode pengolahan tanah
berkisarantara 150-250 mm. Banyaknya air irigasi yang paling banyak adalah
saatterjadi pengolahan tanah, apalagi bila tidak terjadi turun hujan atau
waktuuntuk pengolahan tanah tersebut sangat sempit.
Pengolahan tanah pada umumnya dilakukan 20-30 hari
sebelumpenanaman dimulai pengolahan tanah ini dilakukan dalam 2 tahap,
yaitupembajakan dan panggarukan.Sebagai pedoman diambil jangka waktu
1,5bulan untuk menyelesaikan penyiapan lahan diseluruh petak tersier.
36

Bila mana untuk penyiapan lahan diperkirakan akan dipakai


peralatanmesin secara luas, maka jangka waktu penyiapan akan diambil 1 bulan.
Perludiingat bahwa transplantasi (perpindahan bibit kesawah) mungkin
sudahdimulai setelah 3 sampai 4 minggu di beberapa bagian petak tersier
dimanapengolahan sudah selesai (Sidharta, 1997:29)

2.10 Kebutuhan Air di Sawah (NFR)

Perhitungan kebutuhan bersih air di sawah untuk tanaman padi sawah dapat
dibedakan menjadi kebutuhan pada masa pengolahan lahan dan kebutuhan air
pada masa pertumbuhan. Kebutuhan air untuk tanaman padi dapat ditentukan
dengan persamaan (Standar Perencanaan Irigasi KP-01, 1986) berikut ini :
NFR = lr –Re ( Penyiapan lahan) ……………………………….…...….(2.14)
NFR = ETc + Wlr + P -Re (Untuk masa pertumbuhan) …………….…..(2.15)
Sementara untuk menghitung kebutuhan air di sawah untuk tanaman palawija
ditentukan dengan menggunaan persamaan (Standar Perencanaan Irigasi KP-01,
1986):
NFR = ETc + P -Re ……………………………………………………..(2.16)
Keterangan :
NFR = kebutuhan bersih air tanaman padi disawah (mm/hari)
Ir = kebutuhan air untuk penyiapan lahan (mm/hari)
Re = hujan efektif (mm/hari)
ETc = kebutuhan air untuk pengunaan konsumtif tanaman (mm/hari)
Wlr = kebutuhan air untuk penggantian lapisan air (mm/hari),
P = kebutuhan air untuk perkolasi dan rembesan (mm/hari).

2.10.1 Kebutuhan Penyiapan Lahan (Ir)


Kebutuhan air untuk penyiapan lahan dapat dihitung dengan mengunakan
metode yang dikembangkan oleh Van De Goor Zijlstra (Standar Perencanaan
Irigasi KP 01, 1986). Adapun persamaan kebutuhan air untuk penyiapan lahan
dapat dituliskan sebagai berikut:
37

k
e
I=M k ……………………………………………..………..…..(2.17)
e −1

Keterangan:
Ir = Kebutuhan air irigasi di tingkat persawahan
M = Kebutuhan untuk pengganti air yang hilang akibat evaporasi dan
perkolasi di sawah yang telah jenuh
E = Bilangan eksponen 2.7182
M = E0 + P ……………………………..……………………….………(2.18)
E0 = Evaporasi air terbuka yang diambil1,1 x ET0 selama penyiapan lahan
P = Perkolasi (mm/hari)
K = (MxT)/S …………………………………………………....………(2.19)
T = Jangka waktu penyiapan lahan yang digunakan 30 hari
S = Air yang dibutuhkan untuk penjenuhan ditambah lapisan air 50 mm.
Tabel 2.8Kebutuhan Airuntuk PenyiapanLahanPadi Sawah
T= 30 Hari T= 45 Hari
E0+ S=250mm S=300mm S=250mm S=300mm
P I I I I I I(lt/ I I(lt/
(mm/ (mm/ (lt/d (mm/ (lt/d (mm/ dt/ (mm/ dtk/
hari) hari) t/ha hari) t/ha hari) hari hari) hari
5,0 11,1 1,28 12,70 1,47 8,40 0,97 9,05 1,10
5,5 11,4 1,32 13,00 1,50 8,80 1,02 9,08 1,13
6,0 11,7 1,35 13,30 1,54 9,10 1,05 10,10 1,17
6,5 12,0 1,39 13,60 1,57 9,40 1,09 10,40 1,20
7,0 12,3 1,43 13,90 1,61 9,80 1,13 10,80 1,25
7,5 12,7 1,46 14,20 1,64 10,10 1,17 11,10 1,28
8,0 13,0 1,50 14,50 1,68 10,50 1,22 11,40 1,32
8,5 13,3 1,54 14,80 1,71 10,80 1,25 11,80 1,36
9,0 13,6 1,57 15,20 1,76 11,20 1,30 12,10 1,41
9,5 14,0 1,62 15,50 1,79 11,60 1,34 12,50 1,45
10,0 14,3 1,65 15,80 1.83 12,00 1,39 12,90 1,48
10,5 14,7 1,70 16,20 1,88 12,40 1,44 13,20 1,53
11,0 15,0 1,73 16,50 1,91 12,80 1,48 13,60 1,57
(Sumber: KP-05, 2010)

2.10.2 Kebutuhan Air untuk Konsumtif Tanaman


38

Kebutuhan air tanaman adalah sejumlah air yang dibutuhkan untuk


mengganti air yang hilang akibat penguapan. Besarnya kebutuhan air tanaman
(consumptive use) dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

ETc = Kc x ETo …………................................................................................(2.20)

dimana,
ETc = evapotranspirasi tanaman, mm/hari
ETo = evapotranspirasi tanaman acuan, mm/hari
Kc = koefisien tanaman (tabel)
Harga koefisien tanaman padi dapat dilihat pada Tabel 2.9 dan untuk tanaman
non padi dapat dilihat pada Tabel 2-10.
Tabel 2.9 Koefisien Tanaman Padi
Nedeco/Prosida FAO
Periode 15 hari ke
Variates Biasa Variatas Unggul Variatas Biasa Variatas Unggul
1 1.2 1.2 1.1 1.1
2 1.2 1.27 1.1 1.1
3 1.32 1.33 1.1 1.05
4 1.4 1.3 1.1 1.05
5 1.35 1.3 1.1 1.05
6 1.25 0 1.05 0.95
7 1.12 - 0.95 0
8 0 - 0 -
Sumber : KP-01 (1986)
Tabel 2.10 Koefisien Tanaman Palawija
1/2 bulan
Tanaman Jangka Tumbuh/hari
no 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kedelai 85 0,5 0,75 1,0 1,0 0,82 0,45
Jagung 80 0,5 0,59 0,96 1,05 1,02 0,95
Kacang tanah 130 0,5 0,51 0,66 0,85 0,95 0,95 0,95 0,55 0,55
Bawang 70 0,5 0,51 0,69 0,90 0,95
Buncis 75 0,5 0,64 0,89 0,95 0,88

Sumber : KP 01 tahun 1986

2.10.3 Pergantian Lapisan Air (WLR)


39

Pergantian lapisan air dilakukan sebanyak dua kali masing-masing 50 mm


(atau 3.3 mm/hari selama ½ bulan) selama sebulan dan dua bulan setelah
transplantasi.

2.10.4 Perkolasi
Perkolasi adalah gerakan air ke bawah dari daerah tidak jenuh ke dalam
daerah jenuh. Laju perkolasi lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

 Tekstur tanah

 Permeabilitas tanah

Laju perkolasi normal sesudah dilakukan penggenangan berkisar antara 1-3


mm/hari. Untuk perhitungan kebutuhan air laju perkolasi diambil harga standar 2
mm/hari.

2.11Pembagian Air di Petak Tersier

Sistem pembagian air yang akan diterapkan merupakan masalah


pokoksebelum jaringan tersier dapat direncana. Ada tiga sistem pembagian
air,yakni:

- Pengaliran secara terus-menerus

- Rotasi permanen

- Kombinasi antara pengaliran secara terus-menerus dan rotasi.

Sistem pengaliran secara terus-menerus memerlukan pembagian air yang


proporsional, jadi besarnya bukaan pada boksharus proporsional/sebanding
dengan daerah irigasi di sebelah hilir.

Pemberian air irigasi ke petak-petak kuarter di petak tersier berlangsung


secara terus-menerus. Pemberian air ini dialirkan ke tiap blok sawah dipetak
kuarter. Khususnya pada waktu debit kecil, efisiensi penggunaan air sangat
rendah akibat kehilangan air yang relatif tinggi. Agar pemanfaatan air menjadi
lebih efisien, aliran air irigasi dapat dikonsentrasi dan dibagi secara berselang-
40

seling ke petak-petak kuarter tertentu.Sistem ini disebut rotasi permanen


(permanent rotation). Konsekuensi teknis dan sistem ini adalah kapasitas saluran
yang lebih tinggi, pemberian pintu pada semua boks serta pembagian air yang
tidak proporsional. Jadi sistem ini lebih mahal dan eksploitasinya lebih rumit.

Perencanaan petak tersierharus didasarkan pada sistem pengaliran terus


menerus. Sistem pemberian air secara rotasi dipakai dijaringan irigasi selama
debit rendah untuk mengatasi kehilangan air yang relatif tinggi. Sistem rotasi ini
diterapkan jika debit yang tersedia dibawah 60%– 80% dan debit rencana. Bila
tersedia debit lebih dari itu maka dipakai sistem pengaliran terus-menerus.

Penerapan sistem kombinasi memerlukan boks-boks bagi yang:

(1) Memungkinkan pembagian air yang proporsional dan

(2) Memungkinkan pembagian air secara rotasi.

Pengaturan dan pembagian air yang adil memerlukan pintu yang dapat
disetel sesuai dengan daerah hilir yang akan diberi air. Karena pembagian air ini
bisa berbeda-beda selama rotasi, maka setelan harus fleksibel. Fluktuasi debit
akan mempengaruhi pembagian air secara proporsional dipakai pintu sorong
untuk mengatur aliran selama pemberian air secara rotasi. (KP-05, 2010 : 24).

2.12 Efisensi Irigasi

Efisiensi adalah perbandingan debit air irigasi yang sampai dilahan


pertanian dengan debit air irigasi yang keluar dari pintu pengambilan yang
dinyatakan dalam persen. Kehilangan ini disebabkan karena adanya penguapan,
kegiatan eksploitasi, kebocoran dan rembesan. Untuk perencanaan dianggap
sepertiga dari jumlah air yang diambil akan hilang sebelum air itu sampai di
sawah.

Total efisiensi irigasi untuk padi diambil sebesar 65% (Buku Petunjuk
Perencanaan Irigasi,10), dengan asumsi 90 % efisiensi pada saluran primer, 90 %
efisiensi pada saluran sekunder dan 80 % efisiensi pada jaringan tersier. Pada
41

tanaman padi efiensi pada lahan pertanian tidak diperhitungkan tapi untuk analisa
keseimbangan air diperhitungkan sebagai kebutuhan lahan. Efisiensi irigasi
keseluruhan untuk palawija diambil sebesar 50 % (KP-01, 1986).

2.13 Debit Rencana

Untuk menentukan dimensi saluran, kapasitas rencana diperhitungkan


terhadap debit maksimal Q = 100 % x Q maksimal. Debit rencana sebuah saluran
dihitung dengan rumus umum berikut :Sumber : (KP 05, Petak Tersier ,2010: 56)

NFR × A
Qt =
et

Keterangan : A = Luas daerah yang diairi (ha)

Et = Efisiensi irigasi di petak tersier

NFR = Kebutuhan bersih air di sawah (lt/dt/ha)

Qt = Debit rencana (lt/dt)

2.14Dimensi Irigasi

Dimensi saluran dihitung berdasarkan rumus kontinuitas persamaan strikler


digunakan untuk menghitung kecepatan aliran (Standar Perencanaan Irigasi KP –
03, 1986).
Saluran pasangan, memiliki jenis-jenis bahan yang dapat digunakan sebahan
bahan pembangunan saluran irigasi. Menurut KP – 03 tahun 1986 menyebutkan
banyak bahan yang dapat dipakai untuk pasangan saluran Tetapi pada
prakteknya di Indonesia hanya ada empat bahan yang dianjurkan
pemakaiannya :
- Pasangan batu
- Beton
42

- Tanah
- Dapat juga menggunakan Beton Ferro cement
Pembuatan pasangan dari bahan-bahan lain tidak dianjurkan, dengan
alasan sulitnya memperoleh persediaan bahan, teknik pelaksanaan yang lebih
rumit dan kelemahan-kelemahan bahan itu sendiri.
Pasangan batu dan beton lebih cocok untuk semua keperluan, kecuali
untuk perbaikan stabilitas tanggul. Pasangan tanah hanya cocok untuk
pengendalian rembesan dan perbaikan stabilitas tanggul.

Setelah debit rencana ditentukan, dimensi saluran dapat dihitung dengan


rumus Manning berikut:
v = 1/n R2/3s1/2………………….……………….………………………...... (2.21)

Dimana:
A
R =
P
.
…………………………
….……………..……. …………………………...(2.22)
P = B + 2h …..….. ……………………..
……………………………….…………..(2.23)
A = (B + m.h) h ……..…..……………………………………..................................
(2.24)

Gambar 2.5 Saluran Irigasi Berbentuk Trapesium


Sumber: Standar Perencanaan Irigasi KP – 03, 1986
43

Dimana :
Q = debit saluran (m3/dt)
v = kecepatan aliran (m/dt)
A = luas penampang basah(m2)
R = jari-jari hidrolis(m)
P = keliling basah (m)
B = lebar dasar(m)
h = tinggi air (m)
s = kemiringan saluran
n = koefisien kekasaran menurut manning
m = kemiringan talud (1 vertikal : m horizontal) (KP – 05, 1986: 64 – 66)

Tabel 2.11 Harga Koefisien Manning


No. Permukaan N
1 Kaca, plastik, kuningan 0.010
2 Kayu 0,011 – 0,014
3 Besi Tuang 0,013
4 Plesteran Semen 0,011
5 Pipa Pembuangan 0,013
6 Beton 0,01-0,017
7 Pasangan Batu 0,017-0,040
8 Batu Pecah 0,035-0,040
9 Batu Bata 0,014
10 Bata dilapisi mortar 0,01
Sumber :Dr. Ir. Bambang Yulistiyanto, 2007

Saluran Irigasi Kuarter tidak diberi pasangan agar para petani


diperbolehkan mengambil air dari saluran ini, yang membedakan yaitu dari
nilaikoefisien kekasaran bergantung kepada faktor-faktor berikut:

a. Kekasaran permukaan saluran


b. Ketidakteraturan permukaan saluran
c. Trase
d. Vegetasi (tetumbuhan)
44

e. Sedimen

Sumber: (KP – 03, 2010: 21)

2.14.1 Kecepatan Maksimum


Kecepatan-kecepatan maksimum untuk aliran subkritis berikut ini dian-
jurkan pemakaiannya:
- pasangan batu : kecepatan maksimum 2 m/dt
- pasangan beton : kecepatan maksimum 3 m/dt
- pasangan tanah : kecepatan maksimum yang diizinkan seperti tertuang
dalam bab 2.4 (Saluran Tanpa Pasangan)
- Ferrocemen : kecepatan 3 m/dt (KP – 03,1986:61)

2.14.2 Kemiringan Talud


Untuk saluran pasangan, kemiringan talut bisa dibuat lebih curam.
Untuk saluran yang lebih kecil (h < 0.40 m) kemiringan talut dibuat vertikal.
Saluran-saluran besar mungkin juga mempunyai kemiringan talut yang tegak
dan direncanakan sebagai flum. Untuk saluran yang lebih besar, kemiringan
samping minimum 1: 1 untuk h sampai dengan 0,75 m. Untuk saluran yang
lebih besar, harga-harga kemiringan talut pada Tabel 2.6 dianjurkan
pemakaiannya.

Tabel 2.12 Harga-harga kemiringan talut untuk saluran pasangan


Jenis tanah h < 0,75 m 0,75 m < h < 1,5 m
Lempung pasiran
Tanah pasiran kohesif 1 1
Tanah pasiran, lepas 1 1,25
Geluh pasiran, lempung berpori 1 1,5
Tanah gambut lunak 1,25 1,5
Sumber : KP – 03, 1986:64

Tabel 2.13 Kemiringan Minimum Talud untuk Berbagai Bahan Tanah


Bahan Tanah Simbol Kisaran Kemiringan
Batu < 0,25
Gambut kenyal Pt 1-2
45

Lempung kenyal,geluh
Tanah Lus CL, CH, MH 1-2
Lempung pasiran,tanah pasiran SC, SM
Kohesif SM 1,5 – 2,5
Pasir lanauan Pt 2-3
Gambut lunak 3–4
Sumber : KP – 03, 1986:31

Khususnya saluran-saluran yang lebih besar, stabilitas talut yang diberi


pasangan harus diperiksa agar tidak terjadi gelincir dan sebagainya. Tekanan air
dari belakang pasangan merupakan faktor penting dalam keseimbangan ini.

2.14.3Tinggi Jagaan
Harga-harga tersebut diambil dari USBR. Tabel ini juga menunjukkan
tinggi jagaan tanggul tanah yang sama dengan tanggul saluran tanah tanpa
pasangan.
Tabel 2.14 Tinggi Jagaan untuk Saluran Pasangan
Debit Tanggul (F) Pasangan (F1)
m3/dt M M
< 0,5 0,40 0,20
0,5 – 1,5 0,50 0,20
1,5 – 5,0 0,60 0,25
0,5 – 10,0 0,75 0,30
10,0 – 15,0 0,85 0,40
> 15,0 1,00 0,50
Sumber : KP – 03, 1986:65

2.14.4 Modulus Pembuang


Jumlah kelebihan air yang harus dibuang per satuan luas per satuan waktu
disebut modulus pembuang atau koefisien pembuang dan inibergantung pada:

- Curah hujan selama periode tertentu

- Pemberian air irigasi pada waktu itu

- Kebutuhan air untuk tanaman

- Perkolasi tanah
46

- Genangan di sawah-sawah selama atau pada akhir periode yang bersangkutan

- Luasnya daerah

- Sumber-sumber kelebihan air yang lain.

Pembuang air permukaan untuk satuan luas dinyatakan sebagai:

D(n) = R(n)T + n(IR - ET - P) - ∆S ....................................................................


(2.25)

dimana:

n = jumlah hari berturut-turut

D(n) = pengaliran air permukaan selama n hari, mm

R(n)T = curah hujan dalam n hari berturut-turut dengan periode ulang T tahun,
mm

IR = pemberian air irigasi, mm/hari

ET = evapotranspirasi, mm/hari

P = perkolasi, mm/hari

∆S = tambahan genangan, mm.

Untuk penghitungan modulus pembuang, komponennya dapat diambil


sebagai berikut:

a. Dataran Rendah

- Irigasi IR = nol jika irigasi dihentikan, atau

- Irigasi IR = evapotranspirasi ET jika irigasi diteruskan.

- Kadang-kadang irigasi mungkin dihentikan ke sawah, tetapi airdari jaringan


irigasi utama dialirkan kedalam jaringan pembuang melalui petak tersier.

- Tampungan tambahan di sawah pada 150mm lapisan air maksimum, tampungan


∆S pada akhir hari-hari berturutan n diambil maksimum 50 mm.
47

- Perkolasi P sama dengan nol.

b. Daerah Terjal

Seperti untuk kondisi dataran rendah, tetapi perkolasi P sama dengan 3


mm/hari. Untuk modulus pembuang rencana, dipilih curah hujan 3 hari dengan
periode ulang 5 tahun.

Kemudian modulus pembuang tersebut adalah:

D(3)
Dm = lt/dt...............................................................................................(2.26)
3× 8,64

2.14.5 Debit Rencana

Debit drainase rencana dan sawah di petak tersier dihitung sebagai berikut:

Qd = f Dm A

dimana:

Qd = debit rencana, lt/dt

f = faktor pengurangan (reduksi) daerah yang dibuang airnya, (satu untukpetak


tersier)

Dm = modulus pembuang lt/dt.ha

A = luas daerah yang dibuang airnya, ha

Untuk daerah-daerah sampai seluas 400 ha pembuang air per satuan luas
diambil konstan. Jika daerah-daerah yang akan dibuang airnya lebih besar, dipakai
harga per satuan luas yang lebih kecil (lihat KP - 03 Saluran). Jika data tidak
tersedia, dapat dipakai debit minimum rencana sebesar 7 lt/dt.ha.
48

2.14.6 Kelebihan Air Irigasi

Kelebihan air irigasi harus dialirkan ke saluran pembuang (tersier) intern


selama waktu persediaan air irigasi lebih tinggi dari yang dibutuhkan.
Pembuangan air irigasi perlu karena:

- Bangunan sadap tersier tidak diatur secara terus-menerus

- Banyak saluran sekunder tidak dilengkapi dengan bangunan pembuang


(wasteway)

- Ada jaringan-jaringan irigasi yang dioperasikan sedemikian rupa sehingga


debit yang dialirkan berkisar antara Q70 dan Q100 Telah diandalkan
bahwa air irigasi yang diberikan tidak berpengaruh terhadap kapasitas
pembuang yang diperlukan.

Anggapan ini dapat dibenarkan hanya apabila jatah air untuk masing-masing
petak tersier sama dengan kebutuhan air untuk petakitu pada saat tertentu. Tetapi,
saluran primer dan saluran sekunder yang besar biasanya dioperasikan sedemikian
rupa sehingga saluran-saluran itu mengalirkan debit yang berkisar antara Q80 dan
Q100. Karena banyak jaringan irigasi yang ada tidak memiliki bangunan
pembuang di jaringan utama, maka ini berarti bahwa selama periode kebutuhan
air dibawah Q100 dan/atau selama masa-masa hujan lebat, kelebihan air harus
dialirkan ke jaringan pembuang intern melalui bangunan sadap tersier. Ada 3 cara
yang mungkin untuk mengalirkan air ke jaringan pembuang intern, yakni melalui:

a. Saluran irigasi tersier

b. Saluran kuarter

c. Petak sawah.

Ad.a

Apabila kelebihan air irigasi dibuang melalui saluran tersier ke saluran


pembuang terdekat, maka bangunan pembuang itu sebaiknya ditempatkan jauh di
hulu untuk mengurangi panjang saluran dengan kapasitas penuh. Jika saluran
49

pembuang letaknya dekat dengan boks bagi tersier, maka boks itu diberi bukaan
khusus agar air lebih dapat langsung dibelokkan ke saluran pembuang.
Bergantung pada layout jaringan irigasi dan pembuang, kelebihan air dapat juga
dibuang lewat boks kuarter pertama atau kedua ke pembuang terdekat. Dalam hal
ini, saluran tersier dan boks bagi tersier hingga boks kuarter hendaknya punya
kapasitas cukup untuk membawa kelebihan air tersebut. Kelebihan air irigasi yang
akandibuang diperkirakan sebesar 70% dari debit maksimum. Bukaan khusus
pada boks sebaiknya direncana untuk 70% dari Qmaks. Bukaan boks dilengkapi
dengan pintu sorong, yang hanya boleh dioperasikan oleh ulu-ulu. Di hari bukaan
itu harus dibuat bangunan terjun dan saluran pembuang pendek. Bukaan ini tidak
mempunyai ambang, pintu sorong diletakkan pada dasar boks bagi. Bukaan
sebaiknya kecil saja agar kecepatan aliran di saluran tersier tidak menjadi terlalu
tinggi.

ad.b

Untuk membuang kelebihan air melalui saluran kuarter, masing-masing


saluran kuarter direncana sedemikian sehingga kapasitas maksimum rencananya
sama dari hulu sampai hilir. Saluran-saluran itu dihubungkan dengan pembuang
dengan sebuah bangunan akhir

ad.c

Apabila kelebihan air akan mengalir dari sawah ke saluran pembuang, maka
petani harus menggali saluran kecil diantara 2 deret tanaman padi. Tanggul sawah
sebaiknya mempunyai semacam bangunan pembuang guna mengontrol
kedalaman air di sawah. Cara yang terakhir ini berarti bahwa para petani tidak
diperkenankan menutup pengambilan air di sawah selama turun hujan lebat. Juga
selama padi menjadi masak, 2 sampai 3 minggu menjelang panen, sawah tidak
dapat dikeringkan sama sekali karena masih ada kelebihan air yang mengalir dari
sawah itu ke saluran pembuang. Cara b mempunyai beberapa keuntungan,karena
masing-masing saluran didalam petak tersier akan mengalirkan air sekurang-
kurangnya 70% dari Qmaks, maka para petani didalam petak kuarter bisa dengan
50

bebas mengelola pembagian air mereka sendiri (berkonsultasi dengan ulu-ulu).


Pembagian air disebuah petak kuarter tidak ada hubungannya dengan pengelolaan
air di petak-petak kuarter lainnya dan pembagian air di petak tersier hampir
proporsional. Perencanaan dan operasi boks bagi untuk cara b lebih sederhana
daripada untuk a dan c.

Tetapi, setiap saluran kuarter sebaiknya dihubungkan ke saluran pembuang


dengan sebuah bangunan akhir.Di sebelah hilir bangunan ini diperlukan bangunan
terjun dan lindungan dasar. Cara a lebih murah dari cara b karena hanya satu
saluran tersier yang harus punya kapasitas minimum sekurang-kurangnya 70%
dari kapasitas rencana bangunan sadap. Biasanya saluran itu berkapasitas 100%.
Saluran tersier ini dihubungkan ke saluran pembuang pada sebuah boks bagi. Di
hilir boks tersebut harus dibuat sebuah bangunan terjun dan saluran pembuang.
Bukaan ke saluran pembuang diberi pintu yang dioperasikan oleh ulu-ulu
P3A.Kelemahan sistem ini adalahdiperlukannya kegiatan operasi diluar jadwal,
dan bangunan pembuangberpintu menyebabkan kehilangan air lebih banyak
lagi.Kecuali jika pembuang tersier ditempatkan dekat saluran kemungkinan (a)
tidak dianjurkan.Alternatif yang dianjurkan adalah (b).

Karakteristik Saluran Pembuangan Muka air di saluran pembuang intern harus


ditentukan dengan mempertimbangkan hal-hal berikut:

- Muka air harus cukup rendah agar kelebihan air dapat dibuang dari sawah-sawah
yang terendah di petak tersier, tapi juga mempertimbangkan tinggi muka air
yang diperlukan apabila saluran pembuang intern menuju pembuang sekunder
atau primer.

- Biaya pelaksanaan dan pemeliharaan harus diusahakan minimum. Hal ini berarti
bahwa tinggi muka air harus lebih rendah dari tinggi medan di sekitarnya; dan
kecepatan aliran dibatasi agar erosi tidak terjadi.

Untuk layout saluran pembuang intern, daerah-daerah rendah yang jelas


atau pembuang yang ada sebaiknya digunakan. Kemiringan saluran pembuang
akan sedapat mungkin mengikuti kemiringan medan. Saluran pembuang
51

direncana sedemikian sehingga sedikit saja terjadi erosi dan


sedimentasi.Kecepatan aliran dan kemiringan saluran pembuang bergantung pada
keadaan topografi, kapasitas rencana serta sifat-sifat tanah.

Kecepatan aliran sebaiknya tidak lebih dari 0,50– 0,60 m/dt agar saluran
pembuang tidak mengalami erosi. Jika kecepatan lebih tinggi, maka harus dibuat
bangunan terjun di saluran pembuang itu. Setelah kapasitas saluran pembuang
ditentukan, dimensi dapat dihitung dengan rumus Strickle

dimana:

1
Q= A R 2/3 I ½……………………………………………………………(2.27)
n

Dimana:

Q = kapasitas rencana, m3/dt

k = koefisien kekasaran manning, m/dt

A = luas penampung basah, m2

R = jari-jari hidrolis, m

I = kemiringan muka air.

Untuk koefisien kekasaran , sebaiknya diterapkan harga-harga berikut:

Tabel 2.15 Harga Koefisien Manning


No. Permukaan N
1 Kaca, plastik, kuningan 0.010
2 Kayu 0,011 – 0,014
3 Besi Tuang 0,013
4 Plesteran Semen 0,011
5 Pipa Pembuangan 0,013
6 Beton 0,01-0,017
7 Pasangan Batu 0,017-0,040
8 Batu Pecah 0,035-0,040
9 Batu Bata 0,014
10 Bata dilapisi mortar 0,01
52

Sumber : Dr. Ir. Bambang Yulistiyanto, 2007

Lebar minimum dasar saluran untuk saluran pembuang kuarter sebaiknya


diambil 0,30 m dan untuk saluran pembuang tersier 0,50 m. Kemiringan talut
terutama bergantung pada sifat tanah dan kapasitas saluran. Kemiringan talut
biasanya diambil 1 : 1. Di daerah-daerah yang keadaan tanahnya jelek, sebaiknya
kemiringan talut diambil 1 : 1,5 atau 1 : 2. Karena kelebihan air mengalir
langsung dari sawah-sawah ke saluran pembuang, maka kemiringan talut yang
kecil akan bisa mencegah erosi pada talut.

Perbandingan antara lebar dasar saluran dengan kedalaman air bergantung


tidak hanya pada debit, tapi juga pada situasi saluran pembuang yang ada.
Perbandingan untuk saluran pembuang yang lebih kecil adalah 1 (kedalaman air
sama dengan lebar dasar saluran).

Untuk saluran pembuang yang lebih besar serta saluran pembuang di daerah
datar (pantai), perbandingan berkisar antara 1 dan 3. Bagian dasar saluran
pembuang tersier akan direncana sekurang-kurangnya 0,60 m dibawah muka
tanah. Dimensi pembuang dibuat sama di seluruh panjang satu ruas saluran
pembuang.

Pada dasarnya tidak direncana tanggul di sepanjang saluran pembuang


intern.Dengan membuka atau menutup tanggul sawah, para petani dapat mengatur
pembuangan kelebihan air dari sawah yang berbatasan dengan saluran pembuang.

Tanggul sebaiknya direncana disepanjang saluran pembuang di daerah-


daerah dimana muka air rencana lebih tinggi dari muka medan. Langkah-langkah
khususharusdiambil untuk membuang air dari daerah rendah, misalnya membuat
bangunan pembuang (outlet) berpintu pada tanggul

Selain saluran pembuang intern, kadang-kadang masih harus direncana


saluran pembuang lain di petak tersier. Jika perlu, saluran pembuang disepanjang
jalan, sepanjang saluran irigasi atau saluran pembuang primer, hendaknya juga
dicakup dalam perencanaan jalan dan saluran ini.
53

Debit pembuang kelebihan air normal irigasi akan kecil saja. Kadang-
kadang masalah yang timbul adalah pengendapan sedimen, khususnya di saluran
pembuang yang lebih besar. Jika mungkin, saluran pembuang sebaiknya direncana
pada kemiringan minimum 0,5 % dengan kecepatan aliran diatas 0,45 m/dt. Di
tempat -tempat dimana saluran pembuang sejajar dengan saluran garis tinggi, hal
ini tidak selalu mungkin, lagipula akan diperlukan kegiatan pemeliharaan
tambahan. Dalam hal demikian, saluran garis tinggi sebaiknya direncana pada
batas interval yang lebih tinggi dari kecepatan yang diizinkan

Rerumputan pendek sebaiknya dibiarkan tumbuh di saluran pembuang,


karena ini akan mengurangi bahaya erosi serta menahan kecepatan yang tinggi.
Bangunan terjun hendaknya dibuat jika terjadi erosi yang sangat
mengkhawatirkan.Muka air rencana di saluran pembuang kuarter harus sesuai
dengan (atau sedikit lebih tinggi dari) muka air rencana di saluran pembuang
tersier, dan begitu seterusnya sampai sungai utama atau laut.Bangunan yang
dibuat pada titik cabang saluran diperlukan untuk mencegah terjadinya erosi
dimana saluran pembuang tersier masuk ke saluran pembuang sekunder dengan
perbedaan elevasi dasar saluran.

Rerumputan pendek sebaiknya dibiarkan tumbuh di saluran pembuang,


karena ini akan mengurangi bahaya erosi serta menahan kecepatan yang tinggi.
Bangunan terjun hendaknya dibuat jika terjadi erosi yang sangat
mengkhawatirkan, Muka air rencana di saluran pembuang kuarter harus sesuai
dengan (atau sedikit lebih tinggi dari) muka air rencana di saluran pembuang
tersier, dan begitu seterusnya sampai sungai utama atau laut.Bangunan yang
dibuat pada titik cabang saluran diperlukan untuk mencegah terjadinya erosi
dimana saluran pembuang tersier masuk ke saluran pembuang sekunder dengan
perbedaan elevasi dasar saluran.

Tabel 2.16 Kriteria Perencanaan Saluran Pembuang

Karakteristik Satuan Saluran Saluran


54

Perencanaan Pembuang Pembuang


Tersier kuarter
Kecepatan minimum m/dt 0,70 0.50
Kecepatan maksimu m/dt 0,45 0,45
Harga k m1/3/dt 30 25
Lebar dasar minimum m 0.50 0,30
Kemiringan Talud 1:1 1:1

Sumber : KP – 05, 2013

2.15Rancangan Anggaran Biaya


Rencana Anggaran Biaya adalah suatu bangunan atau proyek adalah
perhitungan banyaknya biaya yang diperlukan untuk bahan dan upah,serta biaya-
biaya lain yang berhubungan dengan pelaksanaan bangunan atau proyek. 

Anggaran biaya merupakan harga dari bahan bangunan yang dihitung


dengan teliti, cermat dan memenuhi syarat. Anggaran biaya pada bangunan yang
sama akan berbeda- beda di masing- masing daerah, disebabkan karena
perbedaan harga bahan dan upah tenaga kerja. Dalam menyusun Anggaran Biaya
dapat dilakukan dengan 2 cara berikut : 
a) Anggaran biaya sangat teliti
b) Anggaran biaya sementara atau taksiran kasar
Sebuah buku standard yaitu buku “Analisa“ dan ada empat faktor dibutuhkan,
keempat faktor diantaranya adalah:
a) Harga bahan-bahan setempat
b) Harga upah tukang/pekerja setempat
c) Keamanan di tempat pekerjaan
d) Transport material ketempat pekerjaan. (Mukomoko,1985:67)
dalam merencanakan anggaran biaya membutuhkan harga satuan pekerjaaan
pada suatu daerah tersebut atau dapat menggunkan SNI. Berikut langkah-langkah
dalam menentukan suatu rencana anggaran biaya :

1. Menghitung Volume Pekerjaan


55

Menghitung semua item pekerjaan . Mulai dari pekerjaan yang meliputi


pekerjaan pematangan lahan samapai pekerjaan finishing. Volume pekerjaan
bisa dalam satuan meter kubik (m3), meter persegi (m2) dan juga meter
panjang atau meter lari (m’) tergantung dari item pekerjaan yang dilakukan.
Volume ( contoh : Galian Tanah , (m3) = [(L 1+ L2 ¿¿¿ 2)× h]×l …………
(2.28)
dengan :
L1 = Lebar penampang atas
L2 = Lebar penampang bawah
h = Tinggi saluran
l = Panjang saluran
Luasan , m2 = Panjang x Lebar
Jumlah, m’

Contoh :
Tabel 2.17 Contoh Perhitung Volume
Perhitungan Dimensi
No Uraian Pekerjaan Satuan Volume Gambar Kerja
L1 L2 h l
Pekerjaan Tanah

1 m3 1 0,8 0,5 500 225


Pekerjaan Galian

2. Menghitung Analisa Harga Satuan Pekerjaan


Menghitung analisa setiap item pekerjaan. Dalam menganalisa harga satuan
harus mementingkan perkiraan kebutuhan dari pekerjaan tersebut atau
menggunakan satuan pekerjaan pada daerah tersebut atau menggunakan harga
SNI yang sudah ditetapkan.

3. Menghitung RAB ( Rencana Anggaran Biaya )


Menghitung RAB ( Rencana Anggaran Biaya ) dengan cara mengalikan
volume pekerjaan dengan harga satuan pekerjaan.
Upah Pekerja = jumlah pekerja x harga satuan upah..
56

(2.28)
Bahan = bahan x harga satuan bahan………..
(2.29)
Harga bahan dan Upah = upah pekerja + bahan………………
(2.30)

4. Membuat Rekapitulasi Biaya


Menjumlahkan semua item pekerjaan mulai dari pekerjaan persiapan,
pekerjaan tanah, sampai pekerjaan finishing. Sehingga didapatkan estimasi
biaya dari proyek tersebut.

BAB III
METODOLOGI
3.1 Tinjauan Umum

Agar perencanaan yang dilakukan menghasilkan hitungan dan gambar yang


sesuai dengan Kriteria Perencanaan (KP) Irigasi, maka perlu dilakukan
penyusunan metode perencanaan. Metode ini akan dijadikan acuan dalam
melaksanakan tahap-tahap perencanaan, sehingga waktu yang disediakan dapat
dimanfaatkan seoptimal mungkin. Tahap-tahap yang dimaksud terdiri :

1. Mengidentifikasi masalah dan Kriteria Perencanaan


2. Mengumpulkan data perencanaan
3. Melakukan studi literature
4. Melakukan analisis data hidrologi dan klimatologi
5. Merencanakan lay out
57

6. Merencanakan bangunan irigasi serta saluran pembawa dan pembuang


irigasi
7. Menggambar dimensi dan potongan saluran
8. Menyusun Rencana Anggaran Biaya

3.2 Pengumpulan Data

Untuk melakukan perencanaan petak tersier pada daerah irigasi, data – data
yang dibutuhkan antara lain :

1. Peta Topografi

Peta ini berupa peta kontur, data ini diperlukan untuk mengetahui elevasi
dan untuk mengetahui analisis jaringan.

2. Skema Daerah Irigasi

Skema ini merupakan data yang paling penting . Skema ini untuk
mengetahui nama petak dan luas petak yang akan direncanakan.

3. Data Curah Hujan

Data Curah Hujan adalah 10 tahun terakhir, dengan 3 stasiun hujan


terdekat dengan lokasi studi. Data curah hujan digunakan untuk
menghitung analisis hidrologi.

4. Data Klimatologi

Data ini berupa data suhu rata – rata, suhu maksimum, suhu minimum,
lama penyinaran matahari, kecepatan angina, dan kelembapan selama 10
tahun terakhir. Data ini digunakan untuk menghitung kebutuhan air irigasi.

6. Harga Satuan Pekerjaan

Data ini digunakan untuk menghitung Rencana Anggaran Biaya


perencanaan Jaringan Irigasi Petak Tersier Dung Watu.
58

3.3 Tahap – Tahap Perencanaan

Kegiatan perencanaan irigasi petak tersier ini dimulai dengan menentukan


wilayah yang akan direncanakan sistem irigasinya. Selanjutnya, dilakukan
pengumpulan data pendukung perencanaan dan survei lokasi, sehingga
perencanaan yang dibuat dapat dipertanggungjawabkan validtas dan kesesuaian
dengan kondisi di lapangan. Langkah – langkah tersebut dapat digambarkan
dalam diagram alir berikut ini

Mulai

Peta Topografi Data Curah Hujan HSPK


Klimatologi

Merencanakan Menghitung Menghitung Menghitung


Layout evapotranspirasi curah hujan curah hujan
potensial efektif rencana

Merencanakan
Menghitung Menghitung
Skema Jaringan NFR Dimensi Saluran
Pembuang

Menghitung debit
saluran tersier

Menghitung Dimensi
Saluran pembawa
59

Tidak Sesuai

Kontrol Dimensi (Fr < AHSP


0,55, Qsal. > Qkebutuhan,
& Vmin < Vrencana <
Vmaks

Menyusun Skema Jaringan & Bangunan

Membuat Gambar Perencanaan

Menghitung Volume Pekerjaan

Menyusun RAB

Selesai
Gambar 3.1 Diagram Alir Metodelogi

Langkah pertama dalam perencanaan irigasi yaitu merencanakan lay out


petak tersier Dung Watu . Kegiatan dilanjutkan dengan menentukan arah aliran air
dan menghitung elevasi tiap titik menggunakan metode interpolasi.

Berikutnya, dilakukan perhitungan evapotranspirasi potensial berdasarkan


data klimatologi. Rumus penman digunakan dalam proses ini, dikarekanakan data
yang dimiliki lengkap (suhu rata – rata, data penyinaran , kelembaban udara, dan
kecepatan angin). Data curah hujan dimanfaatkan untuk menghitung curah hujan
efektif untuk tanaman padi dan palawija. Hasil perhiungan evapotranspirasi dan
curah hujan efektif akan dimanfaatkan untuk menghitung kebutuhan air irigasi.

Proses berikutnya yaitu menghitung debit saluran pembawa. Hasil


interpolasi tiap titik digunakan untuk menentukan kemiringan saluran, dan hasil
perhitungan kebutuhan air irigasi digunakan dalam perhitungan ini. Jika debit
sudah diketahui, maka dimensi saluran pembawa dapat dihitung menggunakan
Rumus Stickler. Kontrol dilakukan dengan membandingkan kecepatan dan Fr
60

rencana dengan kecepatan Fr izin. Selain itu, debit rencana juga dibandingkan
dengan debit kebutuhan dengan debit rencana. Jika ketiga variabel tadi sudah
sesuai standar, maka kegiatan dapat dilanjutkan dengan menyusun skema
bangunan dan jarigan.

Proses menghitung curah hujan rencana dilakukan dengan kala ulang 10


tahun. Setelah itu, dimensi saluran pembuang dapat dihitung dengan
memanfaatkan hasil perhitungan curah hujan rancangan tadi.

Dengan memanfaatkan data dimensi dan elevasi saluran pembawa, serta


dimensi saluran pembuang, maka gambar perencanaan dapat dibuat. Gambar
tersebut akan dijadikan acuan untuk perhitungan volume pekerjaan. Jika sudah
selesai, maka tahap terakhir yakni menyusun RAB dengan standar harga
pekerjaan mengacu pada HSPK Kabupaten Ponorogo di tahun 2018.

BAB IV

DATA PERENCANAAN
4.1 Lokasi Perencanaan

Lokasi Daerah Irigasi Bendo terletak ± 20 km di dari kota Ponorogo ke


arah tenggara atau ± 17 menit perjalanan dari pusat kota mengendarai sepeda
motor. Lokasi area Irigasi secara administrasi meliputi beberapa kecamatan,
diantaranya Kecamatan Sawoo, Kecamatan Ngerayun, Kecamatan Sambit,
Kecamatan Mlarak, Kecamatan Jetis , Kecamatan Bungkal, dan Kecamatan
Ponorogo. Daerah Irigasi Bendo memiliki batas-batas wilayah, yaitu sebelah utara
berbatasan dengan Kabupaten Madiun, Magetan, dan Nganjuk , Sebelah selatan
berbatasan dengan Kabupaten Pacitan, dan sebelah barat berbatasan dengan
kabupaten Pacitan dan Wonogiri.
61

Gambar 4.1Lay outJaringan Irigasi pada Daerah Irigasi Tambak Watu

(Sumber : Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Ponorogo, 2018)

a. Studi : Perencanaan Jaringan Irigasi Petak Tersier Dung Watu


b. Lokasi studi : Area Sawah, Dusun Ngelewan, Kecamatan Sambit,
Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur
c. Luas : 53,7 Ha
62

4.2 Data Curah Hujan

Data curah hujan yang diambil merupakan 3 stasiun curah hujan terdekat
dengan lokasi perencanaan. Stasiun – stasiun tersebut yaitu Stasiun Ngrayun,
Stasiun Ponorogo, Stasiun Pulung. Periode data yang digunakan dari ke tiga
stasiun tersebut 10 tahun terakhir. Data tersebut berupa data harian, bulanan , atau
tengah bulan.
63

Tabel 4.1 Data Curah Hujan Perbulan


TABEL CURAH HUJAN PER BULAN
BULAN
No Tahun Sta Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II
Ngrayun 12.200 20.231 19.778 21.000 25.111 22.538 9.111 13.000 32.000 16.000 3.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 7.000 8.000 26.154 15.700 2.500 4.222
Ponorogo 12.667 13.833 15.429 41.750 13.615 33.636 8.167 3.667 13.400 1.500 5.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 17.000 25.667 4.500 9.857 3.400 18.000
1 2009
Pulung 22.500 16.000 19.273 24.000 17.200 16.500 11.857 21.667 24.667 17.250 29.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 20.125 20.000 26.091 25.000 15.000 11.500
rata-rata 15.789 16.688 18.160 28.917 18.642 24.225 9.712 12.778 23.356 11.583 12.333 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 14.708 17.889 18.915 16.852 6.967 11.241
Ngrayun 6.111 14.000 17.889 16.714 18.100 21.077 18.600 17.000 9.692 11.818 11.250 6.500 17.571 10.000 21.000 2.000 38.250 13.583 13.750 12.100 15.545 7.571 18.571 10.083
Ponorogo 16.750 9.733 19.000 16.500 22.714 18.444 4.875 13.083 16.444 3.333 11.800 1.800 12.000 13.250 1.000 1.600 18.111 13.400 21.250 12.750 19.000 11.125 16.733 11.364
2 2010
Pulung 13.444 10.923 8.100 23.571 16.083 21.667 21.000 22.000 22.538 12.143 10.125 4.750 10.167 15.750 0.000 11.600 40.444 14.800 11.000 17.462 21.083 22.727 30.000 11.333
rata-rata 12.102 11.552 14.996 18.929 18.966 20.396 14.825 17.361 16.225 9.098 11.058 4.350 13.246 13.000 7.333 5.067 32.269 13.928 15.333 14.104 18.543 13.808 21.768 10.927
Ngrayun 24.778 25.643 18.214 5.000 8.818 16.273 5.091 18.167 13.000 10.000 2.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 18.000 18.571 17.125 14.400 21.455
Ponorogo 10.900 13.143 12.000 5.500 12.750 12.583 3.917 16.000 19.800 24.000 9.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 54.000 9.700 5.455 5.667 7.818
3 2011
Pulung 13.286 14.500 11.500 7.556 15.556 18.300 6.333 18.429 8.556 5.500 3.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 16.000 10.800 10.727 14.000 20.500
rata-rata 16.321 17.762 13.905 6.019 12.375 15.719 5.114 17.532 13.785 13.167 4.833 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 29.333 13.024 11.102 11.356 16.591
Ngrayun 13.308 18.818 5.857 31.200 20.714 13.000 9.800 27.667 11.750 18.750 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 1.000 11.400 1.333 22.625 20.600 23.667
Ponorogo 13.462 8.900 4.750 10.000 16.625 9.833 16.857 5.750 12.833 1.500 2.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.500 17.000 6.333 14.700 15.600 15.538
4 2012
Pulung 16.692 11.909 7.500 29.875 14.400 14.000 18.333 16.250 11.143 6.000 3.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 16.000 14.000 18.909 20.167 9.091
rata-rata 14.487 13.209 6.036 23.692 17.246 12.278 14.997 16.556 11.909 8.750 2.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.333 0.833 14.800 7.222 18.745 18.789 16.099
Ngrayun 33.250 13.857 21.167 11.222 21.000 18.250 18.917 23.714 13.333 5.400 11.667 23.182 3.600 17.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 22.000 12.667 17.857 19.375 22.667
Ponorogo 11.154 9.429 23.800 7.692 8.200 14.875 13.375 15.250 11.000 17.111 7.125 18.667 13.500 34.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 13.000 21.222 8.857 20.444 19.700
5 2013
Pulung 17.300 9.286 19.545 11.500 6.167 16.143 20.800 13.333 14.250 15.778 6.100 6.000 7.667 37.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 28.500 22.500 28.667 15.889 19.200
rata-rata 20.568 10.857 21.504 10.138 11.789 16.423 17.697 17.433 12.861 12.763 8.297 15.949 8.256 29.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 21.167 18.796 18.460 18.569 20.522
Ngrayun 26.500 26.600 8.800 15.500 13.286 12.857 11.750 4.500 14.200 0.000 0.000 24.000 5.375 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 7.000 12.500 26.875 26.364
Ponorogo 18.700 8.000 3.667 3.875 13.333 16.333 5.375 23.000 14.167 7.750 4.000 35.000 2.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 11.333 11.000 8.600 15.300
6 2014
Pulung 16.000 9.444 10.750 11.143 30.000 20.000 13.667 12.375 11.600 12.000 0.000 24.667 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 9.250 14.667 23.286 29.667
rata-rata 20.400 14.681 7.739 10.173 18.873 16.397 10.264 13.292 13.322 6.583 1.333 27.889 2.625 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 9.194 12.722 19.587 23.777
Ngrayun 29.750 17.000 26.273 30.000 20.000 28.000 27.000 21.769 6.400 0.000 3.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 11.500 32.000 14.600 32.143
Ponorogo 10.500 17.600 20.182 17.600 7.091 16.750 18.375 19.600 7.000 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 11.000 0.000 0.000 0.000 0.000 8.000 17.000 19.000 17.100
7 2015
Pulung 21.800 16.273 21.429 20.333 13.375 27.545 39.200 21.429 17.200 0.000 9.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 44.400 23.700 17.417 8.600
rata-rata 20.683 16.958 22.628 22.644 13.489 24.098 28.192 20.933 10.200 0.333 4.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3.667 0.000 0.000 0.000 0.000 21.300 24.233 17.006 19.281
Ngrayun 24.000 13.182 19.538 10.455 8.667 19.500 21.143 19.714 18.875 29.200 18.167 10.000 3.000 4.571 16.714 7.333 7.167 27.111 16.857 8.500 17.727 19.500 12.357 8.143
Ponorogo 8.556 11.500 16.214 16.273 4.818 17.333 20.923 5.400 6.000 15.500 6.429 15.625 4.500 5.750 12.600 0.000 1.667 15.500 12.625 4.833 11.125 24.846 9.500 3.444
8 2016
Pulung 23.714 21.714 23.375 21.300 12.700 22.333 25.692 26.000 20.600 12.429 19.250 11.600 13.333 13.000 35.250 18.000 11.600 23.375 21.625 22.667 30.125 33.500 17.500 8.200
rata-rata 18.757 15.465 19.709 16.009 8.728 19.722 22.586 17.038 15.158 19.043 14.615 12.408 6.944 7.774 21.521 8.444 6.811 21.995 17.036 12.000 19.659 25.949 13.119 6.596
Ngrayun 12.929 15.923 17.364 19.500 12.889 19.727 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Ponorogo 13.222 15.231 24.455 11.500 18.750 12.091 4.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
9 2017
Pulung 30.250 18.857 26.143 30.286 28.857 12.600 15.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
rata-rata 18.800 16.670 22.654 20.429 20.165 14.806 6.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Ngrayun 13.182 17.071 18.923 31.000 28.222 17.143 7.000 6.000 0.000 2.000 0.000 7.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 16.800 12.800 7.125 14.833
Ponorogo 20.182 12.500 12.800 5.000 22.400 20.800 11.273 15.000 0.000 2.500 0.000 2.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 17.667 22.500 16.667 24.500
10 2018
Pulung 14.750 15.455 20.636 11.750 15.000 23.800 12.222 15.000 0.000 0.000 10.000 4.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.000 22.667 23.250 30.667 25.500
rata-rata 16.038 15.009 17.453 15.917 21.874 20.581 10.165 12.000 0.000 1.500 3.333 4.333 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.667 19.044 19.517 18.153 21.611
64

(Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Ponorogo,2018)


65

4.3 Data Klimatologi

Data Klimatologi diambil dari stasiun Lanud Iswahyudi Maospati ,


Madiun Jawa Timur. Data ini berupa suhu rata – rata, lama penyinaran
matahari, kecepatan angina, dan kelembaban. Data lengkap ada di
LAMPIRAN I

Tabel 4.2 Data Klimatologi tahun 2009 - 2018

No. Parameter Satuan Bulan


Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
I. Data
o
1. Suhu, T ( C) 24.78 24.78 23.60 23.85 23.72 22.61 22.57 22.46 23.12 23.81 23.94 23.73
2. Kelembaban Relatip, RH (%) 90.79 90.83 92.01 92.58 91.18 93.00 89.97 91.20 87.58 87.02 87.59 91.12
3. Lama Penyinaran, n/N (%) 48.62 50.53 60.41 67.40 73.17 72.94 75.65 73.86 69.79 64.63 60.55 54.63
4. Kecepatan angin, u (km/hari) 85.29 102.74 88.30 75.55 76.20 80.55 92.19 135.98 125.85 110.13 107.03 67.44

(Sumber : Lanud Iswahyudi Maospati , Madiun Jawa Timur, 2018)

4.4 Harga Satuan Pekerjaan

Harga satuan pekerjaan ini merupakan harga satuan pekerjaan untuk


wilayah Kabupaten Ponorogo tahun 2018. Data tersebut digunakan untuk
menghitung Rencana Anggaran Biaya (RAB) petak Dung Watu di Daerah
Irigasi Bendo. Data tersebut bisa dilihat di LAMPIRAN I
66

BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Analisis Data Curah Hujan


Data curah hujan digunakan untuk menghitung curah hujan efektif.Data
yang digunakan adalah curah hujan tahun 2009 hingga 2018 dengan 3 Stasiun
curah hujan, yaitu STA. Ngrayun , STA Pulung , dan STA Ponorogo. Dalam
perhitungan data curah hujan menggunakan metode basic year, diambil nilai
total curah hujan bulan januari hingga Desember dari ke 3 STA pada tahun
2009 – 2018.
Tabel 5.1 Data Curah Hujan di STA Ngrayun tahun 2009
DAT A HUJAN T AHUNAN T H 2009

NAMA STASIUN : NGRAYUN /NO : 47d LAPORAN : TAHUNAN


PADA DAS : /NO DAS : FORMULIR : 17 - E
KECAMATAN : NGRAYUN CAB KORWIL PROPINSI
ELEVASI : 1037
NOMOR PETA :
KOORDINAT :
SUB. DINAS : PENGAIRAN PONOROGO

TANGGAL JAN PEB MAR APR MEI JUNI JULI AGST SEPT OKT NOP DES
1 - - - 8 - - - - - - 7 -
2 7 5 66 - - - - - - - 9 -
3 1 39 1 9 - - - - - - 12 -
4 - 31 - 5 - - - - - - 25 -
5 - 14 - 2 47 - - - - - 12 -
6 - 9 1 - 32 - - - - - 62 -
7 2 - 9 35 17 - - - - - - 4
8 9 - - - - - - - - 3 18 3
9 21 1 71 6 - - - - - 16 31 1
10 1 - 49 - - - - - - 2 37 4
11 2 - - - - - - - - 1 19 -
12 10 69 4 3 - - - - - 8 - 2
13 - 7 22 13 - 3 - - - 12 3 -
14 59 3 - 1 - - - - - - 16 1
15 10 - 3 - - - - - - - 89 -
16 - 12 37 - - - - - - 5 5 2
17 8 12 24 - - - - - - - 17 -
18 - 28 1 3 - - - - - - 13 -
19 9 - 29 - 16 - - - - - 55 16
20 45 2 13 - - - - - - - 33 -
21 1 4 23 - - - - - - - 15 -
22 2 64 41 - - - - - - 18 1 8
23 18 38 49 - - - - - - - - 1
24 66 7 66 - - - - - - 2 - 1
25 3 23 - 35 - - - - - - 10 -
26 29 9 12 1 - - - - - - 2 5
27 32 58 4 - - - - - - 18 6 -
28 27 7 8 - - - - - - 1 - 1
29 2 - - - - - - - - 4 - -
30 - - 23 - - - - - - - - 4
31 21 - - - - - - - - - - 0
TOTAL 385 442 556 121 112 3 0 0 0 90 497 53
Hari Huj an 23 21 22 12 4 1 0 0 0 12 23 15
Huj an Max 66 69 71 35 47 3 0 0 0 18 89 16
To tal Setahun = 2259 mm rata-rata dalam 10 th terakhir = 1043 mm
67

Sumber : Data Hujan Tahunan Dinas Pengairan Kabupaten Ponorogo Tahun 2018
Total dari curah hujan hari hujan dari setiap bulan di STA Ngrayun,
Pulung dan Ponorogo di rekap menjadi satu tabel
Tabel 5.2 Rekapan Total Curah Hujan Setiap Bulan di STA
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
Tahun
I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II
2009 12.200 20.231 19.778 21.000 25.111 22.538 9.111 13.000 32.000 16.000 3.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 7.000 8.000 26.154 15.700 2.500 4.222
2010 6.111 14.000 17.889 16.714 18.100 21.077 18.600 17.000 9.692 11.818 11.250 6.500 17.571 10.000 21.000 2.000 38.250 13.583 13.750 12.100 15.545 7.571 18.571 10.083
2011 24.778 25.643 18.214 5.000 8.818 16.273 5.091 18.167 13.000 10.000 2.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 18.000 18.571 17.125 14.400 21.455
2012 13.308 18.818 5.857 31.200 20.714 13.000 9.800 27.667 11.750 18.750 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 1.000 11.400 1.333 22.625 20.600 23.667
2013 33.250 13.857 21.167 11.222 21.000 18.250 18.917 23.714 13.333 5.400 11.667 23.182 3.600 17.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 22.000 12.667 17.857 19.375 22.667
2014 26.500 26.600 8.800 15.500 13.286 12.857 11.750 4.500 14.200 0.000 0.000 24.000 5.375 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 7.000 12.500 26.875 26.364
2015 29.750 17.000 26.273 30.000 20.000 28.000 27.000 21.769 6.400 0.000 3.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 11.500 32.000 14.600 32.143
2016 24.000 13.182 19.538 10.455 8.667 19.500 21.143 19.714 18.875 29.200 18.167 10.000 3.000 4.571 16.714 7.333 7.167 27.111 16.857 8.500 17.727 19.500 12.357 8.143
2017 12.929 15.923 17.364 19.500 12.889 19.727 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
2018 13.182 17.071 18.923 31.000 28.222 17.143 7.000 6.000 0.000 2.000 0.000 7.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 16.800 12.800 7.125 14.833

Ngrayun
Sumber : Data Hasil Perhitungan

Untuk mendapatkan hasil curah hujan efektif digunakan metode Basic


Year, hasil rekapan total curah hujan harian diurutkan dari terkecil sampai ke
yang terbesar. Kemudian, untuk irigasi dipakai R 80, artinya curah hujan yang
lebih kecil dari R 80 mempunyai kemungkinan 20% dan yang lebih besar atau
sama dengan R 80 sebesar 80%. Dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
R80 = n/5 + 1
= 10/5 + 1
= 3, artinya dipilih data 3 terkecil
68

Tabel 5.3 Data Curah Hujan di STA Ngrayun

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Tahun
I II Total I II Total I II Total I II Total I II Total I II Total I II Total I II Total I II Total I II Total I II Total I II Total
2009 6.111 13.182 19.293 5.857 5.000 10.857 8.667 12.857 21.524 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
2010 12.200 13.857 26.057 8.800 10.455 19.255 8.818 13.000 21.818 5.091 4.500 9.591 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.333 7.571 8.905 2.500 4.222 6.722
2011 12.929 14.000 26.929 17.364 11.222 28.586 12.889 16.273 29.162 12.889 16.273 29.162 6.400 0.000 6.400 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 7.000 12.500 19.500 7.125 8.143 15.268
2012 13.182 15.923 29.105 17.889 15.500 33.389 13.286 17.143 30.429 9.111 13.000 22.111 9.692 2.000 11.692 1.000 0.000 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 11.500 12.800 24.300 12.357 10.083 22.440
2013 13.308 17.000 30.308 18.214 16.714 34.929 18.100 18.250 36.350 9.800 17.000 26.800 11.750 5.400 17.150 2.000 0.000 2.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 8.000 8.000 12.667 15.700 28.367 14.400 14.833 29.233
2014 24.000 17.071 41.071 18.923 19.500 38.423 20.000 19.500 39.500 11.750 18.167 29.917 13.000 10.000 23.000 3.000 6.500 9.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 8.500 8.500 15.545 17.125 32.670 14.600 21.455 36.055
2015 24.778 18.818 43.596 19.538 21.000 40.538 20.714 19.727 40.442 18.600 19.714 38.314 13.333 11.818 25.152 3.000 7.000 10.000 3.000 0.000 3.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 11.400 12.400 16.800 17.857 34.657 18.571 22.667 41.238
2016 26.500 20.231 46.731 19.778 30.000 49.778 21.000 21.077 42.077 18.917 21.769 40.686 14.200 16.000 30.200 11.250 10.000 21.250 3.600 4.571 8.171 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 1.000 7.000 12.100 19.100 17.727 19.500 37.227 19.375 23.667 43.042
2017 29.750 25.643 55.393 21.167 31.000 52.167 25.111 22.538 47.650 21.143 23.714 44.857 18.875 18.750 37.625 11.667 23.182 34.848 5.375 10.000 15.375 16.714 2.000 18.714 7.167 13.583 20.750 13.750 18.000 31.750 18.571 22.625 41.196 20.600 26.364 46.964
2018 33.250 26.600 59.850 26.273 31.200 57.473 28.222 28.000 56.222 27.000 27.667 54.667 32.000 29.200 61.200 18.167 24.000 42.167 17.571 17.500 35.071 21.000 7.333 28.333 38.250 27.111 65.361 16.857 22.000 38.857 26.154 32.000 58.154 26.875 32.143 59.018

Sumber : Hasil Perhitungan


Tabel 5.4 Hasil Data Curah Hujan Rata-rata 3STA untuk Tanaman padi dan palawija
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
STA
I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II
NGRAYUN 9.050 6.600 12.155 7.856 9.022 8.808 9.022 11.391 4.480 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 4.900 8.750 4.988 5.700
PONOROGO 7.630 6.600 8.400 3.850 5.740 8.808 3.413 3.780 5.989 1.050 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 4.433 6.200 3.967 5.473
PULUNG 10.325 7.646 7.525 8.050 9.363 11.300 8.556 9.333 5.989 0.000 1.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 7.560 10.267 10.500 6.020
RATA-RATA 9.002 6.949 9.360 6.585 8.042 9.639 6.997 8.168 5.486 0.350 0.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 5.631 8.406 6.485 5.731

Sumber: Hasil Perhitungan


69

Setelah data curah hujan di urutkan maka data ketemu pada tahun 2011 .
Kemudian data tersebut di rata-rata sesuai bulan kemudian di kali 0,7 untuk padi
dan untuk palawija sebesar 0,5 disesuaikan oleh bulan jenis tanaman. Lalu
menghitung curah hujan efektif dengan persamaan sebagai berikut:
1. Menjumlahkan seluruh curah hujan pada bulan tersebut per hari hujan
2. Menentukan curah hujan efektif dengan : ( bulan januari di minggu I )

Jumlah Curah Hujan


CH efektif = x koefisien ( padi / palawija )
Jumlah Hari Hujan
55
= x 0,7
9
= 4,277 mm/hari
Kemudian, dihitung pula curah hujan efektif di STA pulung dan ponorogo.
Kemudian dari hasil ke tiga stasiun di jumlah sesuai bulannya masing-masing lalu
di rata-rata agar didapatkan curah hujan efektif untuk menghitung kebutuhan air
tanaman dan kebutuhan air di saluran. Bisa dilihat pada Tabel Perhitungan 5.4

5.2 Kebutuhan Air Tanaman dan Kebutuhan Air di Saluran


Perhitungan kebutuhan air di sawah digunakan rumus NFR (Netto Water
Field Requitment ). Kemudian untuk kebutuhan air di saluran memperhitungkan
efisiensi irigasi sebesar 80%.

5.2.1 Analisis Data Klimatologi


Dalam menganalisis data klimatologi ( evaporasi potensial ), menggunakan
metode penman modified dengan mempertimbangkan data suhu, data kelembapan
udara, data kecepatan angin dan lamanya penyinaran matahari . Contoh
perhitungan di ambil pada bulan oktober , dengan data sebagai berikut:
T = 23,815oc
Rh = 87,017%
n/N = 64,633%
u = 1,275 m/dt
70

w = 0,728
ea =31,349 (hasil dari interpolasi Tabel 2.6)
Rh x ea
ed =
100
87,017 x 31,349
=
100
= 27,279 mbar
ea – ed = 31,349 – 27,279
= 4,070 mbar
f(ed) = 0,34 – (0,044 x ed1/2)
= 0,34 – (0,044 x 27,2791/2)
= 0,110
f(u) = 0,27 x (1 + 0,864 x u)
= 0,27 x (1 + 0,864 x 1,275)
= 0,567 m/dt
Rg =15,750 (hasil interpolasi Tabel 2.5)
n/ N
Rs = 0,25 + 0,54 x ( ) x Rg
100
64,633
= 0,25 + 0,54 x ( ) x 15,750
100
= 9,434 mm/hari
n/ N
F(n/N) = 0,1 + 0,9 x ( )
100
64,633
= 0,1 + 0,9 x ( )
100
= 0,682
F(t) = 15,363 (hasil interpolasi Tabel 2.6)
Rnl = f(ed) x f(t) x f(n/N)
= 0,110 x 15,363 x 0,682
= 1,154
Faktor Koreksi( c ) = 1,1 (Tabel 2.4 )
Evaporasi (Eto*) = w x (0,75 x Rs – Rnl) + (1 – w) x f(u) x (ea - ed)
= 0,738 x (0,75 x 9,434 – 1,154) + (1 – 0,728) x
71

0,567 x 4,070
= 4,768 mm/hari

Evaporasi potensial = Eto* x c


= 4,768 x 1,1
= 5,245 mm/hari
Sehingga, didapakan hasil nilai evaporasi potensial pada bulan januari
sebesar 5,245 mm/hari.
72
73

Tabel 5.5 Perhitungan Evaporasi Potensial Menggunakan Metode Penman Modified


Bulan
No Uraian Satuan
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
0
1 Temperatur (t) C 24.783 24.778 23.597 23.845 23.724 22.612 22.574 22.462 23.123 23.815 23.941 23.726
2 Kelembaban Relatif (Rh) % 90.791 90.832 92.013 92.575 91.183 93.001 89.966 91.200 87.583 87.017 87.587 91.122
3 Kecerahan matahri (n/N) % 48.622 50.532 60.409 67.405 73.172 72.942 75.653 73.861 69.793 64.633 60.548 54.634
4 Kecepatan Angin (u) km/hari 85.294 102.740 88.303 75.545 76.198 80.548 92.194 135.979 125.850 110.132 107.026 67.437
km/jam 3.554 4.281 3.679 3.148 3.175 3.356 3.841 5.666 5.244 4.589 4.459 2.810
m/dt 0.987 1.189 1.022 0.874 0.882 0.932 1.067 1.574 1.457 1.275 1.239 0.781
Perhitungan
5 Tekanan uap jenuh (ea) mbar 30.818 31.279 29.115 21.084 29.371 27.441 27.376 27.186 30.034 31.349 31.496 31.180
6 Tekanan uap sebenarnya (ed) mbar 27.980 28.411 26.790 19.519 26.781 25.520 24.629 24.794 26.305 27.279 27.586 28.412
7 Fungsi tekanan uap (f(ed)) 0.107 0.105 0.112 0.146 0.112 0.118 0.122 0.121 0.114 0.110 0.109 0.105
8 Tek. Uap jenuh - Tek. Uap sebenarnya (ea - ed) mbar 2.838 2.868 2.325 1.565 2.590 1.921 2.747 2.392 3.729 4.070 3.910 2.768
9 Fungsi kecepatan angin pada elevasi 2 m (f(U)) (m/dt) 0.500 0.547 0.508 0.474 0.476 0.487 0.519 0.637 0.610 0.567 0.559 0.452
10 Faktor yang berhubungan dengan suhu (w) 0.738 0.736 0.726 0.729 0.727 0.716 0.716 0.714 0.721 0.728 0.729 0.727
11 Fungsi waktu (f(t)) 15.635 15.633 15.319 15.369 15.345 15.122 15.119 15.092 15.225 15.363 15.379 15.345
12 Tekanan angot (Rg) 15.950 16.050 15.550 14.550 13.250 12.600 12.900 13.850 14.950 15.750 15.900 15.850
13 Radiasi gelombang pendek (Rs) mm/hari 8.175 8.392 8.960 8.933 8.548 8.113 8.495 8.987 9.372 9.434 9.174 8.639
14 Fungsi kecerahan matahari (f(n/N)) 0.538 0.555 0.644 0.707 0.759 0.756 0.781 0.765 0.728 0.682 0.645 0.592
15 Radiasi gel. Panjang Rn1 mm/hari 0.902 0.915 1.107 1.581 1.307 1.347 1.436 1.395 1.267 1.154 1.080 0.958
16 Angka koreksi (C) 1.10 1.10 1.10 0.90 0.90 0.90 0.90 1.00 1.10 1.10 1.10 1.10
17 Evaporasi (Eto*) mm/hari 4.134 4.264 4.310 3.878 3.955 3.583 3.823 4.127 4.611 4.768 4.660 4.262
18 Evaporasi potensian (Eto) mm/hari 4.548 4.691 4.741 3.490 3.560 3.225 3.441 4.127 5.073 5.245 5.126 4.689

Sumber :Data Hasil Perhitungan


74

5.2.2 Pola Tanam Petani


Tabel 5.6 Pola Tanam Petani Selama 1 Tahun

Bulan Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September
No Besaran & Satuan
Periode I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II

1 Pola Tanam Pd Kedelai Pd


Pd
2 Koefisien Tanaman 1.200 1.270 1.330 1.300 1.300 0.000 1.200 1.270 1.330 1.300 1.300 0.000 0.500 0.750 1.000 1.000 0.820 0.450
Kc 1.200 1.270 1.330 1.300 1.300 0.000 1.200 1.270 1.330 1.300 1.300 0.000 0.500 0.750 1.000 1.000 0.820 0.450
1.200 1.270 1.330 1.300 1.300 0.000 1.200 1.270 1.330 1.300 1.300 0.000 0.500 0.750 1.000 1.000 0.820 0.450
3 Rata - rata Koefisien Tanaman 1.200 1.235 1.267 1.300 1.310 0.867 0.650 0.000 1.200 1.235 1.267 1.300 1.310 0.867 0.600 0.417 0.750 0.917 0.940 0.757 0.635 0.450
4 Evaporasi Potensial Eto ( mm/h ) 5.245 5.245 5.126 5.126 4.689 4.689 4.548 4.548 4.691 4.691 4.741 4.741 3.490 3.490 3.560 3.560 3.225 3.225 3.441 3.441 4.127 4.127 5.073 5.073
5 Kebutuhan Air Konsumtif Etc ( mm/h ) 6.294 6.478 6.493 6.664 6.142 4.063 2.956 0.000 0.000 0.000 5.690 5.856 4.421 4.537 4.663 3.085 1.935 1.344 2.581 3.154 3.880 3.123 3.221 2.283
6 Rasio Luas 0.250 0.750 1.000 1.000 1.000 1.000 0.750 0.250 0.000 0.000 0.250 0.750 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 0.750 0.250
7 Kebutuhan Air Konsumtif dengan Rasio Luas mm/hr 1.574 4.858 6.493 6.664 6.142 4.063 2.217 0.000 0.000 0.000 1.422 4.392 4.421 4.537 4.663 3.085 1.935 1.344 2.581 3.154 3.880 3.123 2.416 0.571
8 Perkolasi P ( mm/h ) 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000
9 Evaporasi Terbuka Eo (mm/h ) 5.770 5.770 5.639 5.639 5.158 5.158 5.002 5.002 5.160 5.160 5.215 5.215 3.839 3.839 3.915 3.915 3.547 3.547 3.785 3.785 4.540 4.540 5.580 5.580
10 Penggantian Air Karena Eo & P M ( mm/h ) 8.770 8.770 8.639 8.639 8.158 8.158 8.002 8.002 8.160 8.160 8.215 8.215 6.839 6.839 6.915 6.915 6.547 6.547 6.785 6.785 7.540 7.540 8.580 8.580
11 K 0.877 0.877 0.864 0.864 0.816 0.816 0.800 0.800 0.816 0.816 0.822 0.822 0.684 0.684 0.692 0.692 0.655 0.655 0.679 0.679 0.754 0.754 0.858 0.858
12 eK 2.399 2.399 2.368 2.368 2.257 2.257 2.222 2.222 2.258 2.258 2.270 2.270 1.979 1.979 1.994 1.994 1.922 1.922 1.968 1.968 2.122 2.122 2.354 2.354
13 Penyiapan Lahan Pd ( mm/h ) 15.037 15.037 14.953 14.953 14.646 14.646 14.548 14.548 14.648 14.648 14.683 14.683 13.826 13.826 13.873 13.873 13.648 13.648 13.793 13.793 14.259 14.259 14.915 14.915
14 Rasio Luas Penyiapan Lahan 0.750 0.250 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250 0.750 1.000 1.000 0.750 0.250 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.250 0.750
15 Kebutuhan Penyiapan Lahan dengan Rasio Luas 11.278 3.759 0.000 0.000 0.000 0.000 3.637 10.911 14.648 14.648 11.012 3.671 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3.729 11.186
16 Penggantian Lapisan Genangan WLR ( mm/h ) 3.333 3.333 3.333 3.333 3.333 3.333 3.333 3.333 3.333 3.333
17 Rasio Luas Penggantian Lapisan Genangan 0.250 0.500 0.500 0.500 0.250 0.250 0.500 0.500 0.500 0.250
18 Penggantian Lapisan Genangan dengan Rasio Luas 0.833 1.667 1.667 1.667 0.833 0.833 1.667 1.667 1.667 0.833
19 Kebutuhan Air di Sawah GFR ( mm/h ) 15.851 11.618 10.326 11.330 10.809 8.730 9.687 13.911 17.648 17.648 15.435 11.062 8.254 9.204 9.329 7.751 5.768 4.344 5.581 6.154 6.880 6.123 9.145 14.757
20 Curah Hujan Efektif Re ( mm/h ) 0.000 0.000 5.631 8.406 6.485 5.731 9.002 6.949 9.360 6.585 8.042 9.639 6.997 8.168 5.486 0.350 0.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
21 Kebutuhan Air Bersih di Sawah NFR ( mm/h ) 15.851 11.618 4.695 2.925 4.324 2.999 0.686 6.963 8.288 11.063 7.393 1.424 1.258 1.036 3.844 7.401 5.268 4.344 5.581 6.154 6.880 6.123 9.145 14.757
22 NFR ( lt/dt/ha ) 1.835 1.345 0.543 0.339 0.500 0.347 0.079 0.806 0.959 1.280 0.856 0.165 0.146 0.120 0.445 0.857 0.610 0.503 0.646 0.712 0.796 0.709 1.058 1.708
23 NFR Maksimal lt/dt/ha 1.835

Sumber : Data Hasil Perhitungan


75

Data pola tanam petani untuk mementukan kebutuhan air bersih di sawah.
Bisa dilihat pada Tabel 5.6 . Pola tanam yang dipilih adalah padi – padi –
palawija, dengan masa tanam padi 3 bulan dan palawija (kedelai) 3 bulan. Dalam
pola tanam padi – padi – palawija membutuhkan penyiapan lahan dan pembibitan
(Pd) dengan jangka waktu 30 – 45 hari, masa istirahat (bero) selama 15 hari, dan
WLR penggantian lapisan genangan selama 15 hari.
Diprediksi oleh Badan Metereologi Klimatogi dan Geofisika pada tahun
2018, musim hujan dimulai ketika intensitas curah hujan mencapai lebih dari 50
mm. Sehingga, untuk tanaman padi, sesuai dengan intensitas curah hujan selama
10 tahun di mulai pada bulan oktober.

5.2.3 Kebutuhan Air Konsumtif


Penggunaan konsumtif adalah jumlah air yang dipakai oleh tanaman untuk
proses fotosintesis dari tanaman tersebut. Penggunaan konsumtif pada bulan
Oktober minggu 1 adalah sebagai berikut :
ETc = ETo x k
= 5,245 x 1,2
= 6,294 mm/hari

5.2.4 Perkolasi
Perkolasi adalah gerakan air ke bawah dari daerah tidak jenuh ke dalam
daerah jenuhdiperuntukan kepada tanaman padi selama pengolahan lahan. Dalam
menentukan besarnya perkolasi tergantung dari jenis tanah dan medan di lokasi.
Pada daerah Dung Watu jenis tanahnya adalah clay. Sehingga didapatkan nilai
perkolasi sebesar 3 mm/hari.

5.2.5 Kebutuhan Air untuk Penyiapan Lahan


Berikut perhitungan kebutuhan air untuk penyiapan lahan pada bulan
oktober minggu pertama :
M = (1,1 x Eto) x P
= 5,770 x 3
76

= 8,770 mm/hari
T = 30 hari
S = 300 mm/hari, karena terdapat bero pada pola tanam di petak
Tersier Dung Watu.
M xT
K =
S
8,770 x 30
=
30
= 0,877
M x ek
Pd =
e k −1
0,887
8,770 x 2,7183
= 0,887
2,7183 −1
= 15,037 mm/hari

5.2.5 Kebutuhan Air Irigasi


Untuk menghitung kebutuhan air irigasi diperlukan beberapa langkah.
Setelah mengetahui hasil data curah hujan efektif, koefisien tanaman,
evapotranspirasi, perkolasi, kebutuhan konsumtif tanaman, dan kebutuhan air
untuk penyiapan lahan, langkah selanjutnya yaitu :
a) Ratio penyiapan lahan pada bulan Oktober minggu 1 = 0,25
b) Pergantian lapisan air (WLR) adalah jumlah air yang diperlukan
untuk mengganti lapisan air di sawah 1,5 bulan dan 2 bulan dari
penyiapan lahan. Besarnya 3,3 mm/hari. Namun pada bulan
Oktober minggu 1 masih dalam penyiapan lahan, maka nilai
WLR sebesar 0 mm/hari.

c) Kebutuhan air di sawah netto


(NFR) = (Etc x 0,25) + P + WLR + (Pd x 0,75) – curah hujan
= (1,574) + 3 + 0 + (11,278) – 0
= 15,851 mm/hari
= 15,851 x (10000/86400)
77

= 1,835 lt/dt/ha
5.3 Kebutuhan Air di Tiap Petak Sawah
Kebutuhan air di setiap petak sawah dipengaruhi oleh luas petak dan NFR
(kebutuhan air disawah netto), berikut perhitungan kebutuhan air di tiap petak
sawah Dung Watu dan kebutuhan rencana saluran :
Diketahui :
Petak A1 = 8,7 Ha
Petak A2 = 9,6 Ha
Petak B1 = 7,1 Ha
Petak B2 = 13 Ha
Petak B3 = 15,3 Ha
NFR = 1,835 lt/dt/ha (diambil paling maksimal)
Efisiensi saluran (Efk) tersier = 80%
Keb. Air petak A1 = Luas Petak x NFR x Efk
= 8,7 x 1,835 x 80%
= 12,76894 lt/dt
= 0,012769 m3/dt
Keb. Air petak A2 = Luas Petak x NFR x Efk
= 9,6 x 1,835 x 80%
= 14,08986 lt/dt
= 0,01409 m3/dt
Keb. Air petak B1 = Luas Petak x NFR x Efk
= 7,1 x 1,835 x 80%
= 10,42063 lt/dt
= 0,010421 m3/dt
Keb. Air petak B2 = Luas Petak x NFR x Efk
= 13 x 1,835 x 80%
= 19,08002 lt/dt
= 0,01908 m3/dt
Keb. Air petak B3 = Luas Petak x NFR x Efk
= 15,3 x 1,835 x 80%
78

= 22,45572 lt/dt
= 0,022456 m3/dt
Total kebutuhan debit petak yang masuk ke saluran tersier Dung Watu
adalah 0,078815 m3/dt. Berikut adalah contoh tabel kebutuhan air di tiap petak
sawah dan kebutuhan rencana saluran

Tabel 5.7 Tabel Kebutuhan Air di Tiap Petak Sawah


A NFR Maksimal Efisiens Q Bersih
petak
Ha lt/dt/ha i lt/dt m3/dt
1 8.7 80% 12.76894 0.012769
2 9.6 80% 14.08986 0.01409
3 7.1 1.835 80% 10.42063 0.010421
4 13 80% 19.08002 0.01908
5 15.3 80% 22.45572 0.022456
  Total 78.81516 0.078815
Sumber : Data Hasil Perhitungan

5.4 Perencanaan Dimensi Saluran pembawa


Dalam Perencanaan dimensi saluran pembawa menggunakan rumus
manning. Saluran direncanakan dalam bentuk persegi dari bahan batu kali. Dalam
perencanaan ini ada beberapa control untuk menentukan dimensi yang sesuai,
yaitu :
1. Kecepatan maksimum 2 m/dt dan kecepatan minimum 0,2 m/dt
2. Bilangan Froudepada saluran harus kurang dari 0,55
Berikut adalah contoh perhitungan untuk perhitungan saluran dimensi pada
saluran tersier Dung Watu (K1 – B1) :
n = 0,017 (pasang batu kali)
b = 1,2 m (hasil coba-coba)
hair = 1 m (hasil coba-coba)
El. Awal Asli = 127 m
El. Akhir Asli = 119,678 m
El. Awal Rencana = 133 m (hasil coba-coba)
El. Akhir Rencana = 116 m (hasil coba-coba)
79

Tinggi Jagaan = 0,30 m


maka, dimensi saluran dapat dicari menggunakan rumus sebagai berikut :
A =bxh
= 1,2 x 1
= 1,2 m2

s = 0,1267 didapatkan dari hasil coba-coba dengan nilai Q = 0,2095


m3/dt, selain itu agar V saluran memenuhi Vijin yang di tentukan serta bilangan
Froude kurang dari 0,55. Untuk V saluran dan bilangan Froude sudah memenuhi
kontrol yang ditentukan, dengan perhitungan sebagai berikut :
V = 1/n x R2/3 x s1/2
=1/0,017 x 0,3752/3 x 0,12671/2
= 0,2 m/dt (0,2 m/dt < V saluran < 2 m/dt)
V
Fr =
√ 9,81 x h
0,5
=
√ 9,81 x 1
= 0,056(Fr < 0,55 )
Pada perhitungan ini elevasi yang digunakan dalam perencanaan dimensi
pembawa yaitu elevasi rencana. Kemudian hitung berapa elevasi muka air, elevasi
dasar saluran, elevasi tanggul. Berikut contoh perhitungan saluran K1-B1 :
 Elevasi Rencana Awal
El. Muka Air = El. Awalrencana + 5 (bila langsung ke sawah ) + (Ls
x s)
= 133 + 5 + (134,209 x 0,1267)
= 155 m
El. Dasar Saluran = El. Muka Air - hair
= 155 m - 1 m
= 154 m
El. Tanggul = El. Muka Air + tinggi jagaan
= 155 m + 0,3 m
= 155,3 m
80

 Elevasi Rencana Akhir


El. Muka Air = El. Akhir rencana + 10 ( jika langsung masuk ke
petak sawah)
= 116 + 10
= 126 m
El. Dasar Saluran = El. Muka Air - hair
= 126 m - 1 m
= 125 m
El. Tanggul = El. Muka Air + tinggi jagaan
= 126 m + 0,2 m
= 126,2 m
 Kontrol Muka Air
Awal =El Muka Air Awal – El. AwalAsli
= 155 m - 127 m
= 28
Akhir = El Muka Air Akhir - El. AkhirAsli
= 126 m - 119,078 m
= 6,992
(Awal = Akhir atau Awal >Akhir )
Sehingga dimensi pada saluran K1 – B1 yaitu b = 1,2 m dan hsaluran = 1,3 m

5.5 Sistem Rotasi Pembagian Air pada Petak Sawah


untuk melakukan sistem rotasi pembagian air pada tiap petak sawah harus
dilakukan langkah-lang sebagai berikut :
1. menjumlahkan luasan petak yang ingin di aliri
2. menentukan berapa Q yang ingin direncanakan
Berikut adalah contoh perhitungan untuk perhitungan rotasi pembagian air :
Sub tersier A = 18,3 ha ( petak A1 + petak A2)
Sub tersier B = 35,4 ha ( petak B1, petak B2, petak B3 )
Q > 50% = 100% x total petak tersier x NFR
81

= 100% x 53,7 x 1,835


= 98,51895 lt/dt/ha

Q < 50% = 50% x total petak tersier x NFR


= 50% x 53,7 x 1,835
= 49,25947lt/dt/ha

Q subtersier A = 50% x total petak tersier x NFR


= 50% x 18,3 x 1,835
= 16,7867481lt/dt/ha
= 16,7867481lt/dt/ha x 168 jam
= 57.2513966 jam ( 2 hari 9 jam )
Q subtersier B = 50% x total petak tersier x NFR
= 50% x 35,4 x 1,835
= 32.47273lt/dt/ha
= 32.47273lt/dt/ha x 168 jam
= 110.7486jam ( 4 hari 4 jam )

Tabel 5.8 Sistem Rotasi pada Tiap petak

NFR
Waktu
Luas (Ha) Rotasi (jam) Rotasi (hari) Debit air tersedia (lt/dt/ha)
(lt/dt/ha)
Hari dan Jam (WIB)
18.3 Terus Terus 98.51894797
Senin, 07.00 - Senin 07.00
35.4 Terus Terus
1.835
18.3 57.25139665 2 hari 7 Jam Senin, 07.00 - Rabu , 16.00
49.25947398
35.4 110.7486034 4 hari 4 jam Rabu , 16.00 - Minggu 20.00

Sumber : Data hasil perhitungan


82

Tabel 5.9Alur Sistem Rotasi pada Tiap Petak


Cara pemberian air Terus menerus Rotasi
Q dalam % >65% <50%
Q dalam lt/dt 98.519 49.259
Hari Jam (WIB) Petak yang diairi Jam (WIB) Petak yang diairi
Senin 07. 00 07. 00
Selasa A
Rabu 16. 00
Kamis A dan B
Jumat B
Sabtu
Minggu 20. 00
Senin 07. 00
A
Selasa 03. 00
Rabu
Kamis B
Jumat A dan B
Sabtu 08. 00
Minggu
Senin 07. 00

Sumber : Data hasil perhitungan


5.6 Perencanaan Saluran Pembuang
Untuk merencanakan saluran pembuang digunakan perhitungan dengan kala
ulang selama 5 tahun dan dicari curah hujan rancangannya menggunakan metode
gumble

Curah hujan rancangannya menggunkan metode gumble, membutuhkan


data hujan maksimal di tiap tahun. Kemudian data hujan ketiga stasiun di rata-
rata, berikut data hujan pada tahun 2008

Stasiun Pulung =78 mm

Stasiun Ponorogo = 145 mm

Stasiun Ngrayun = 89 mm

78+145+89
Rata-rata curah hujan = = 104 mm
3
83

Tabel 5.10Perhitungan Curah Hujan Rata-rata dari 3 Stasiun

Stasiun Stasiun Stasiun


Tahun Rata2(x)
Ponorogo Pulung Ngrayun

2009 145 78 89 104.00


2010 90 118 90 99.33
2011 112 87 73 90.67
2012 83 97 128 102.67
2013 112 100 120 110.67
2014 99 86 97 94.00
2015 89 98 109 98.67
2016 124 96 131 117.00
2017 98 88 55 80.33
2018 96 67 98 87.00
Sumber : Data hasil perhitungan

Kemudian mengurutkan hasil rata-rata ditiap tahun dari terbesar ke terkecil


lalu menghitung Cs dan Ck untuk menentukan perhitungan curah hujan
rancangan.

Tabel 5.11Tabel Perhitungan Curah Hujan Rancangan

2
Urutan x p (%) TR (tahun) X-Xrata (X-Xrata) (X-Xrata)3 (X-Xrata)4

1 117.000 9.09 0.110 18.567 344.721111 6400.321963 118832.6444


2 110.667 18.18 0.055 12.233 149.654444 1830.772704 22396.45274
3 104.000 27.27 0.037 5.567 30.9877778 172.4986296 960.2423716
4 102.667 36.36 0.028 4.233 17.9211111 75.86603704 321.1662235
5 99.333 45.45 0.022 0.900 0.81 0.729 0.6561
6 98.667 54.55 0.018 0.233 0.05444444 0.012703704 0.002964198
7 94.000 63.64 0.016 -4.433 19.6544444 -87.1347037 386.2971864
8 90.667 72.73 0.014 -7.767 60.3211111 -468.493963 3638.636446
9 87.000 81.82 0.012 -11.433 130.721111 -1494.578037 17088.00889
10 80.333 90.91 0.011 -18.100 327.61 -5929.741 107328.3121
Jumlah 984.3333 1082.456 500.253 270952.419

Sumber :hasil perencanaan


84

Menghitung nilai Cs dan Ck, dengan cara sebagai berikut :

S =
√ ( x−x)2
n−1
= 10,967

n . ∑ ( X− X)3
Cs =
( n−1 ) . ( n−2 ) . S 3
= 0,527

n2 . ∑ ( X− X) 4
Ck =
( n−1 ) . ( n−2 ) . ( n−3 ) . S4
= 3,7164

Dari hasil perhitungan nilai Cs < 1.1396 dan nilai Ck , 5,4002, sehingga metode yang
digunakan adalah metode gumble

Nilai Yn = 0,4952
Nilai Sn = 09496
TR = 5 tahun
Yt = -ln .¿)
= 2,250
S
d rancangan = x̄ + (Yt – Yn) .
Sn
= 110,037
Setelah menghitung drancangan dengan kala ulang 5 tahun kemudian
menghitung uji simpang horizontal menggunakan metode smirnov-kolmogorov
dan uji simpang vertikal menggunakan metode chi-square. Berikut contoh
perhitungan :

1.) Uji Simpang Horizontal


85

Dalam uji horizontal ini hanya menarik garis horizontal dari hasil x
terhadap garis kemiringan d rancangan
86

Gambar 5.1Grafik Uji Simpang Horizontal


Sumber : Hasil Perencanaan

Dengan menarik garis grafik seperti gambar di atas bisa menghitung ∆H.
dengan rumus sebagai berikut

∆H = P kejadian empiris – P kejadian teoritis

= 9% -12% -

= -3%

e = 2,781

N = 10

Do = 41 %

|Dp|<Do = sesuai
87

Tabel 5.12Tabel Perhitungan Uji Simpang Horizontal

Urutan Xempiris P kejadian empiris


P │ΔP│
P kegagalan empiris P kejadian teoritis
1 117.000 9% 12% -3%
2 110.667 18% 22% -4%
3 104.000 27% 30.00% -3%
4 102.667 36% 34% 2%
5 99.333 45% 38.50% 7%
6 98.667 55% 40.50% 14%
7 94.000 64% 48.00% 16%
8 90.667 73% 54.00% 19%
9 87.000 82% 58% 24%
10 80.333 91% 68% 23%
Maksimum 24%

Sumber : Hasil Perencanaan

2.) Uji Simpang Vertikal

Dalam uji horizontal ini hanya menarik garis vertikal dari hasil x
terhadap garis kemiringan d rancangan
88

Gambar 5.2Grafik Uji Simpang Horizontal


Sumber : Hasil perencanaan

Dengan menarik garis grafik seperti gambar di atas bisa menghitung ∆H.
dengan rumus sebagai berikut

Xempiris = 117

Xteoritis = 119

( Xempiris−Xteoritis)²
X2 =∑
Xteoritis

= 6,417 ( jumlah dari hasil X2)

Ketentuan :

df =7

α = 5%

X2 critis = 14,067

X2< X2 critis = sesuai


89

Tabel 5.13Perhitungan Uji Simpang Horizontal

Xempiri
Urutan Xteoritis X²
s
1 117.000 119 0.034
2 110.667 112 0.016
3 104.000 108 0.148
4 102.667 101 0.028
5 99.333 96 0.116
6 98.667 90 0.835
7 94.000 84 1.190
8 90.667 77.5 2.237
9 87.000 67.5 5.633
10 80.333 53 14.096
jumlah 984.333 908 6.417

Sumber : Hasil Perhitungan

Tabel 5.14Hasil kala ulang dan drancangan

Curah hujan dengan kala ulang


d rancangan
TR (th) Yt ̄x S/Sn Yt-Yn
(mm/hari)
5 1.4999 98.4333 11.5490 1.0047 110.037
10 2.2504 98.4333 11.5490 1.7552 118.704
15 2.6738 98.43333333 11.5490 2.1786 123.593

Sumber : Hasil perencanaan

Kemudian mencari modulus pembuang untuk mencari berapa air yang


tersisa setelah digunakan dalam petak sawah . Berikut rumus untuk mencari
modulus pembuang pada petak A1 :
I =0
ET = 3,224
P = 3 mm/hari (terjal)
R(n)t = 110,037 mm/hari
90

n =3
Ds = 50 mm/hari
Dm = R(n)t + n (I – ET – P) – Ds
= 110,037 + 3 (0 – 0 – 3) – 50
= 1,96902 lt/dt/ha
Qd = f x Dm x A
= 1 x 1,96902 x 8,7
17,1305<¿ dt
=
1000
= 0,0171305 m3/dt

Tabel 5.15Hasil Perhitungan Modulus Pembuang

I ET P DS n Dm A Qd Qd
Petak f D(n)
(mm/hari) (mm/hari) (mm/hari) (mm) (hari) (m3/dt/ha) (Ha) (lt/dt) (m3/dt)
A1 3.22456317 3.224563166 3 50 3 0.007 8.7 17.13047 1 1.96902 0.01713
A2 3.22456317 3.224563166 3 50 3 0.007 9.6 18.90259 1 1.96902 0.018903
B1 3.22456317 3.224563166 3 50 3 0.007 7.1 13.98004 1 1.96902 0.01398
B2 3.22456317 3.224563166 3 50 3 0.007 13 25.59726 1 1.96902 0.025597
B3 3.22456317 3.224563166 3 50 3 0.007 15.3 30.12601 1 1.96902 0.030126

Sumber : Hasil perhitungan

5.7 Perencanaan Dimensi Saluran pembuang


Dalam Perencanaan dimensi saluran pembawa menggunakan rumus
manning. Saluran direncanakan dalam bentuk persegi dari bahan batu kali. Dalam
perencanaan ini ada beberapa control untuk menentukan dimensi yang sesuai,
yaitu :
1. Kecepatan maksimum 0,7 m/dt dan kecepatan minimum 0,45 m/dt
2. Bilangan Froude pada saluran harus kurang dari 0,55

Berikut adalah contoh perhitungan untuk perhitungan saluran dimensi pada


saluran tersier Dung Watu (A2 – B1) :
n = 0,017 (pasang batu kali)
91

b = 1 m (hasil coba-coba)
hair = 1,1 m (hasil coba-coba)
El. Awal Asli = 119,108 m
El. Akhir Asli = 119 m
El. Awal Rencana = 119,108 m (hasil coba-coba)
El. Akhir Rencana = 119 m (hasil coba-coba)
Tinggi Jagaan = 0,30 m
maka, dimensi saluran dapat dicari menggunakan rumus sebagai berikut :
A =bxh
=1x1
= 1 m2
s = 0,00048, didapatkan dari hasil coba-coba dengan nilai Q =
0,0189 m3/dt, selain itu agar V saluran memenuhi Vijin yang di tentukan serta
bilangan Froude kurang dari 0,55. Untuk V saluran dan bilangan Froude sudah
memenuhi kontrol yang ditentukan, dengan perhitungan sebagai berikut :
V = 1/n x R2/3 x s1/2
=1/0,017 x 0,3332/3 x 0,000481/2
= 0,62 m/dt (0,45 m/dt < V saluran < 0,7 m/dt)
V
Fr =
√ 9,81 x h
0,62
=
√ 9,81 x 1,3
= 0,197(Fr < 0,55 )
Pada perhitungan ini elevasi yang digunakan dalam perencanaan dimensi
pembawa yaitu elevasi rencana. Kemudian hitung berapa elevasi muka air, elevasi
dasar saluran, elevasi tanggul. Berikut contoh perhitungan saluran A2-B1 :
 Elevasi Rencana Awal
El. Muka Air = El. Awal rencana + hair
= 119,108m +1 m
= 120,108 m
El. Dasar Saluran = El. Muka Air - hair
92

= 120,108 m - 1 m
= 119,108 m
El. Tanggul = El. Muka Air + tinggi jagaan
= 120,108 m + 0,3 m
= 120,408 m

 Elevasi Rencana Akhir


El. Muka Air = El. Akhir rencana + hair
= 119 m + 1 m
= 120 m
El. Dasar Saluran = El. Muka Air - hair
= 120 m - 1 m
= 121 m
El. Tanggul = El. Muka Air + tinggi jagaan
= 120 m + 0,3 m
= 120,300 m
 Kontrol Muka Air
Awal =El Muka Air Awal – El. AwalAsli
= 120,108 m –119,108 m
=1m
Akhir = El Muka Air Akhir - El. AkhirAsli
= 120 m - 119 m
=1m
(Awal = Akhir atau Awal >Akhir )
Sehingga dimensi pada saluran T1 – A1 yaitu b = 1 m dan hsaluran = 1,3 m

5.8 Bangunan Boks


Dalam perencanaan irigasi harus di hitung . Berikut contoh perhitungan boks T1
T1-K1
Brencana = 0,6 m
Q = 0,013 m3/dt
93

Q = 1,45 x b x H2/3
0,013 = 1,45 x 0,6 x H2/3
0,013
H2/3 =
1,45 x 0,6
H = 0,06 m

T1-A1
Hrencana = 0,195 m
Q = 0,013 m3/dt
Q = 1,45 x b x 0,1952/3
0,013 = 1,45 x b x 0,1952/3
0,013
b =
1,45 x 0,336

b = 0,06 m

Untuk mencari elevasi muka air boks di pilih elevasi saluran yang paling
tertinggi dari kedua perhitungan.
Elevasi muka air boks
T1-K1 = El. Dasar muka air di saluran + hsaluran + 1/3 h
= 175 + 1,3 + 0,06/3
= 177,02 m
Elevasi muka ambang
Elevasi muka ambang = El.muka air boks – H
= 177,02 m – 0,06 m
= 176,96 m
P = Elevasi muka ambang – El.dasar
= 176,96–175,7
= 6,96 m
Kontrol = P/H
= 6,96 / 0,06
= 116 m > 2m OK
94

Tabel 5.16Perhitungan Boks


Nama Boks Saluran Q Butuh Elevasi dasar saluran Elevasi Muka air Elevasi muka air boks b h w A V
K1 - B3 0.022456 149 151 4.00 2 0.2 8 0.163504
K1 K1 - B2 0.019080 144.3 145 155.03 1.00 0.7 0.2 0.7 1.16762
K1 - B1 0.010421 154 155 1.20 1 0.2 1.2 0.174634
T1 - A1 0.014090 170 172 2.50 2 0.3 5 0.216885
T1 177.02
T1 - K1 0.012769 175.7 177 1.30 1.3 0.2 1.69 0.152461

V ijin p Kontrol
Kontrol V Elevasi Peil Elevasi muka ambang Elevasi Dasar Boks
V Maks V min
2 0.2 ok
2 0.2 ok 154.0266667 154.9466667 149 5.946667 74.33333
2 0.2 ok
2 0.2 ok
175.02 176.96 170 6.96 116
2 0.2 ok

Sumber : Hasil perhitungan

5.9Rencana Anggaran Biaya


Dalam menghitung rencana anggaran biaya ada beberapa langkah-langkah
diantaranya :
5.9.1 Volume Pekerjaan
Volume pekerjaan pada saluranT1 – A1yaitu :

Gambar 5.3 Potongan Melintang T1 – A1


Sumber : Hasil perhitungan

Dari gambar diatas dapat di hitung volume pekerjaan pasangan batu,


plesteran,siaran, galian saluran, timbunan .
95

Volume pekerjaan pasangan batu kali = (1,6 x 0,3 ) x 2 x Ls


= (0,48) x 2 x 326,023
= 371,66 m3
Timbunan = 3186,04 m3
Plesteran = (0,1 x 0,3 ) x 2 x Ls
= 19,561 m3
Siaran = 1043,27 m2
Galian = 26,169 m3

5.9.2 Analisa Harga Satuan Pekerjaan


Harga satuan untuk masing-masing item pekerjaan dihitung dengan rumus :
Harga satuan barang atau tenaga kerja x koefisien

Tabel 5.17Tabel Analisa Harga Satuan Pekerjaaan


Harga Jumlah
Koefisie
No Uraian Kode Satuan Satuan Harga
n
(Rp) (Rp)
A TENAGA
Pekerja L.01 OH 1.100 70,000 77,000
Mandor L.04 OH 0.110 90,000 9,900
JUMLAH TENAGA KERJA 86,900
B BAHAN
pasir cor m3 0.100 410,000 41,000
Pc Kg 1.000 1,350 1,350.00

JUMLAH HARGA BAHAN 42,350


C PERALATAN
-
JUMLAH HARGA ALAT -

D Jumlah (A+B+C) 129,250


E Overhead & Profit 15% x D 19,388
F Harga Satuan Pekerjaan (D+E) 148,638

Sumber : Hasil perhitungan

5.9.3 Rencana Anggaran Biaya


Rencana anggaran biaya merupakan perhitungan biaya yang di perlukan
untuk bahan dan upah, serta biaya lain dalam proyek. Perhitungan dimulai dengan
rumus : ( contoh perhitungan pekerjaan pasangan siaran T1-A1)

Harga Per item Pekerjaan = Volume x Harga Satuan


= 1043,27 m2 x Rp 148.638
96

= Rp 155.069.566,30
Hasil perhitungan yang lain bisa dilihat pada Lampiran Data Perhitungan
97

BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan pengolahan data, perhitungan pola tanam terhadap
kebutuhan air dan dimensi saluran pada petak tersier Dung Watu diperoleh
kesimpulan :
1.) Kebutuhan debit air terbesar dengan pola tanam padi – padi – palawija
sebesar 1,835 lt/dt/ha
2.)Dimensi terbesar dan terkecil yang dibutuhkan untuk saluran irigasi tersier
sebesar (b) 4m & (h) 2 m pada saluran K1 – B3 dan (b) 1 m & (h) 0,7 m pada
saluran K1 – B2
3.) Jumlah bangunan pada petak tersier Dung Watu ada 2 Boks dan 1 talang
untuk irigasi
4.) Rencana Anggaran Biaya yang di butuhkan sebesar Rp 7.956.113.000 ,-

6.2 Saran
Untuk pengembangan lebih lanjut maka penulis memberikan saran yang
bisa bermanfaat dan membantu untuk masa yang akan datang, yaitu
1. Dalam melakukan perencanaan harus di perhatikan kontur pada daerah irigasi
atau petak , dalam perencanaan dimensi saluran irigasi yang dapat menjangkau
ke seluruh petak sawah, sehingga saluran irigasi yang direncakan dapat
berfungsi secara maksimal
2. Memperhatikan penempatan letak-letak bangunan irigasi secara efektif dan
efisien.
98
99
100

Anda mungkin juga menyukai