SADD DZARIAH
Disusun oleh:
Sarah Nurfarizki (3422019)
Rissa Giska (3422014)
Dwi Yana Erza (3422005)
Dosen Pengampu:
Rozikal Nanda Putra, M.Sy
BUKITTINGGI
T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karuniaNya, sehingga makalah ditugaskan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Ushul Fiqh ini dapat terselesaikan dengan baik tanpa
suatu halangan apapun.
Makalah UshulFiqh yang berjudul Sadd Dzariah ini kami susun
sebagai tugas Ushul Fiqh dan juga memberikan wawasan dan pemahaman
yang lebih tentang bagaimana Sadd Dzariah. Sebagai penulis makalah ini,
kami menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
mendukung kelancaran dan terciptanya makalah ini. Terutama kepada dosen
Ushul Fiqh yaitu bapak Rozikal Nanda Putra, M.Sy.
Kami juga menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih
banyak kesalahan dan jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran sangat kami butuhkan untuk menyempurnakan makalah ini dimasa
yang akan datang. Atas kurang lebihnya kami mengucapkan terimakasih.
Kelompok 12
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................1
C. Tujuan Perumusam Masalah.................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................3
A. Pengertian Sadd Dzariah.......................................................................3
B. Rukun Sadd Dzariah.............................................................................4
C. Kedudukan Sadd Dzariah.....................................................................5
D. Pengelompokkan Sadd Dzariah............................................................7
E. Panda gan Ulama tentang Sadd Dzariah...............................................9
F. Pengaplikasian Sadd Dzariah pada Permasalahan Kontemporer.........13
BAB III PENUTUP.........................................................................................15
A. Kesimpulan...........................................................................................15
B. Saran.....................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti
mempunyai tujuan tertentu yang jelas tanpa mempersoalkan apakah
perbuatan yang dituju itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau
mudharat. Sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang dituju itu,
ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya yang harus dilaluinya.
Bila seseorang ingin mendapatkan ilmu pengetahuan misalnya, maka
ia harus belajar. Untuk sampai dapat belajar, ia harus memalui beberapa
fase kegiatan seperti mencari guru, menyiapkan tempat, dan alat-alat
belajarnya. Keegiatan pokok dalam hal ini adalah belajar atau menuntut
ilmu, dan kegiatan lain itu disebut perantara, jalan atau pendahuluan.
Perbutan-perbuatan pokok yang di tuju oleh seseorang telah diatur
oleh syara’ dan termasuk ke dalam hukum taklifi yangt lima atau yang
disebut al-ahkam al-khamsah. Untuk dapat melakukan perbuatan pokok
yang diperintahkan atau yang dilarang, harus terlebih dahulu melakukan
perbuatan yang mendahuluinya. Berwudhu sebagai perantara bagi
wajibnya shalat, hukumnya adalah wajib. Demikian pula berkhalwat
sebagai perantara kepada zina yang diharamkan, hukumnya adalah
haram. Masalah seperti ini tidak diperbincangkan para ulama karena
hukumnya sudah jelas.
Bagi wasilah (perantara) itu hukumnya adalah sebagaimana hukum
yang berlaku pada apa yang dituju.
Persoalan yang diperbincangkan para ulama adalah perbuatan
perantara (pendahuluan) yang belum mempunyai dasar hukumnya.
Perbuatan perantara itu disebut oleh ahli Ushul dengan dzariah.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang yang telah dijelaskan maka yang menjadi
rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1
1. Apa yang dimaksud dengan sadd dzariah?
2. Apa saja rukun sadd dzariah?
3. Bagaimana kedudukan sadd dzariah?
4. Bagaimana pengelompokkan saddu dzariah?
5. Bagaimana padangan ulama tentang saddu dzariah?
6. Bagaimana pengaplikasian pada permasalahan saddu dzariah?
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Su’ud bin Mulluh Sultan al-‘Anzi, Saddu Dzarai ‘Inda-I-Imam Ibnu Qayyim Al-
Jauziyyah, wa atsaruhu fi ikhtiyaratihi alfiqhiyyahh, (Omman: Daru-I-Atsariyyah, 2007),
hlm. 64
2
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. 424
3
Yusuf Abdurrahman Al-Farat, Al Tatbiqat Al-Mu’asirat Lisaddi-I-dzari’at,
qahirah, (Omaman: Daru-I-Fikri Al-‘Arabi, 2003), hlm. 11
3
Selanjutnya, Badran memberikan definisi dzariah sebagai berikut:
4
Amir Syarifuddin, Op.Cit., hlm. 424
5
Ibrahim bin Mahna bin ‘Abdilahi bin Mahanna, Sadd Dzarai’ ‘Inda Syaikh Islam
Ibnu Taimiyyah, (Riyadh: Dar Fadilah, 2004), hlm. 26
6
Wahbah Zuhayli, Al-Wajiz Ushul Fiqh, (Suriyah: Dar-I-Fikr, 1999), hlm. 108
4
wanita yang ditakutkan akan menampakkan perhiasannya yang
tersembunyi.
2. Kuatnya tuduhan kepadanya (al-ifdha). Inilah yang menjadi
penghubung antara washilah kepada perbuatan yang dilarang (Al-
Mutawasil Ilaih), yaitu adanya tuduhan dan dugaan yang kuat bahwa
perbuatan tersebut akan membawa kepada mafsadah.
3. Kepada perbuatan yang dilarang (Al-Mutawasil Ilaih). Ulama
mengatakan rukun ketiga ini sebagai “Al-Mamnu” (perbuatan yang
dilarang, atau mubah, maka wasilah atau dzariah tersebut hukumnya
tidak dilarang.7
7
Muhammad Hisyam Al-Burhani, Sadd al Dzari’ah fi Al Syari’ah Al Islamiyah,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), hlm.103-122
5
Artinya:“Janganlah kamu caci orang yang menyembah selainAllah,
karena nanti ia akan mencaci Allah secara memusuhi tanpa
pengetahuan.”
Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu
boleh-boleh saja, bahkan jika perlu memeranginya boleh
memeranginya. Namun, karena perbuatan mencaci dan menghina itu
akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci dan
menghina itu menjadi dilarang.
b. Surat an-Nur (24): 31
6
2. Natijah-nya buruk. Maka segala sesuatu yang mendorong ke-
padanya adalah juga buruk, dan karenanya dilarang.8
8
Amir Syarifuddin, Op.Cit., hlm. 426-427
7
2. Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkan, Abu Ishak al-Syatibi
membagi dzariah kepada 4 macam, yaitu:
a) Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya,
bila perbuatan dzariah itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi
kerusakan. Umpamanya menggali lubang di tanah sendiri dekat
pintu rumah seseorang di waktu gelap, dan setiap orang yang
keluar dari rumah itu pasti akan terjatuh ke dalam lubang
tersebut. Sebenarnya mengg ali lubang itu boleh-boleh saja.
Namun penggalian yang dilakukan dalam kondisi yang seperti
itu akan mendatangkan kerusakan.
b) Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya,
dengan arti kalau dzariah itu dilakukan, maka kemungkinan
besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya perbuatan
yang dilarang. Umpamanya menjual anggur kepada pabrik
pengolahan minuman keras, atau menjual pisau kepada penjahat
yang sedang mencari musuhnya. Menjual anggur itu boleh-boleh
saja dan tidak mesti pula anggur yang dijual itu dijadikan
minuman keras, namun menurut kebiasaan, pabrik minuman
keras membeli anggur untuk diolah menjadi minuman keras.
Demikian pula menjual pisau kepada penjahat tersebut,
kemungkinan besar akan digunakan untuk membunuh atau
menyakiti orang lain.
c) Dzari’ah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut
keban yakannya. Hal ini berarti bila dzari’ah itu tidak
dihindarkan sering kali sesudah itu akan mengakibatkan
berlangsungnya perbuatan yang terlarang. Umpamanya jual beli
kredit. Memang tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada
riba, namun dalam prakteknya sering dijadikan sarana untuk
riba.
d) Dzari’ah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau
perbuatan terlarang. Dalam hal ini seandainya perbuatan itu
dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan.
8
Umpamanya menggali lubang di kebun sendiri yang jarang
dilalui orang. Menurut kebiasaannya tidak ada orang yang
berlalu (lewat) di tempat itu yang akan terjatuh ke dalam lubang.
Namun tidak tertutup kemungkinan ada yang nyasar lalu dan
terjatuh ke dalam lubang.9
3. Dilihat dari hukumnya, Al Qarafi membaginya kepada tiga bagian,
yaitu:
a) Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki
berhala bagi orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa
penyembah berhala tersebut akan membalas mencaci maki Allah
seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan menggali sumur di
tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut
biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
b) Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa
menjadi jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang
diharamkan. Contohnya menanam anggur, meskipun ada
kemungkinan untuk dijadikan khamar.
c) Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau
diperbolehkan, seperti memandang perempuan karena bisa
menjadi jalan terjadinya zina,dan jual beli berjangka karena
khawatir ada unsur riba.
9
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001),
hlm. 428-429
9
Jumhur ulama yang pada dasarnya menempatkan faktor manfaat dan
mudarat sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, pada
dasarnya juga menerima metode saddu dzariah itu, meskipun berbeda
dalam kadar penerimaannya. Kalangnan ulama Malikiyah yang dikenal
banyak menggunakan faktor maslahat dengan sendirinya juga banyak
menggunakan metode saddu dzariah.
Mustafa Syalabi mengelompokkan beberapa pendapat ulama tentang
sadd dzariah ke dalam tiga kelompok, yaitu:
1) Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti, atau berat
dugaan akan menimbulkan kerusakan, seperti pada bentuk dzariah
ke-1 dan ke-2 dalam pembagian dzariah menurut Syatibi di atas.
Dalam hal ini sepakat ulama untuk melarang dzariah tersebut
sehingga dalam kitab-kitab fiqh mazhab tersebut ditegaskan tentang
haramnya meng gali lubang di tempat yang biasa dilalui orang yang
dapat dipastikan akan mencelakakan. Demikian juga haramnya
menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuman keras dan
diharamkan menjual pisau kepada penjahat yang akan membunuh
korbannya.
2) Dzariah yang kemungkinan mendatangkan kemudaratan atau larang
an, seperti pada dzariah bentuk ke-4 dalam pembagian menurut al-S
yatibi di atas. Dalam hal ini ulama juga sepakat untuk tidak
melarang nya artinya pintu dzariah tidak perlu ditutup (dilarang).
Dalam kitab-k itab fiqh mazhab tidak terdapat larangan menanam
dan memperjualb elikan anggur, begitu pula tidak ada larangan
membuat dan menjual pisau di waktu normal serta menggali lubang
di kebun sendiri yang tidak pernah dilalui orang.
3) Dzariah yang terletak di tengah-tengah antara kemungkinan
membawa kerusakan dan tidak merusak, sebagaimana pada dzariah
bentuk ke-3 dalam pembagian menurut al-Syatibi di atas. Dalam hal
ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Syalabi
mengemukakan bahwa Imam Malik dan Ahmad ibn Hanbal
10
mengharuskan melarang dzariah tersebut, sedangkan al-Syafi‘i dan
Abu Hanifah menyatakan tidak perlu melarangnya.
Dasar pegangan ulama untuk menggunakan sadd dzariah adalah
kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara
maslahat dan mafsadat. Bila maslahat yang dominan, maka boleh dilaku
kan dan bila mafsadat yang dominan, maka harus ditinggalkan. Bila
sama kuat di antara keduanya, maka untuk menjaga kehati-hatian harus
diambil prinsip yang berlaku, yaitu sebagaimana dirumuskan dalam
kaidah:
Bila antara yang halal dan yang haram berbaur (bercampur), maka
prinsipnya dirumuskan dalam kaidah:
Bila berbaur yang haram dengan yang halal, maka yang haram
mengalahkan yang halal.
Sebagaimana bagi ulama yang mengambil tindakan kehati-hatian
dalam beramal, adalah sabda Nabi:
Yang halal itu sudah jelas dan yang haram itu sudah jelas. Yang terletak
di antara keduanya termasuk urusan yang meragukan (syubhat).
Ketahuilah bahwa ladang Allah itu adalah padang yang
11
diharamkannya. Siapa yang bergembala di sekitar padang larangan
Allah itu diragukan akan terjatuh ke dalamnya.
Ulama yang menolak metode sadd dzariaah secara mutlak adalah ulama
Zhahiriyah. Penolakan itu secara panjang lebar dibeberkan oleh Ibnu
Hazm yang intisarinya adalah sebagai berikut:
a) Hadis yang dikemukakan oleh ulama yang mengamalkan sadd
dzariah itu dilemahkan dari segi sanad dan maksud artinya. Hadis itu
diriwayatkan dalam banyak versi yang berbeda perawinya. Maksud
hadis tersebut ialah bahwa yang diharamkan adalah yang menggem
bala di dalam padang yang terlarang, sedangkan yang menggembala
di sekitarnya tidak dilarang. Antara menggembala di dalam dengan
di sekitar padang itu, hukumnya tidak sama. Karena itu hukumnya
kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah (boleh).
b) Dasar pemikiran sadd dzariah itu adalah ijtihad dengan berpatokan
kepada pertimbangan kemaslahatan, sedangkan ulama Zhahiriyah
menolak secara mutlak ijtihad dengan ra’yu (daya nalar) seperti ini.
c) Hukum syara’ hanya menyangkut apa-apa yang ditetapkan Allah
dalam Al-Qur’an atau dalam Sunah dan Ijma’ ulama. Adapun yang
ditetap kan di luar ketiga sumber itu bukanlah hukum syara’. Dalam
hubungan nya dengan saddu dzari ah dalam bentuk kehati-hatian
yang ditetap kan hukumnya dengan nash atau ijma’, hanyalah
hukum pokok atau maqashid, sedangkan hukum pada washilah atau
dzari‘ah tidak pernah ditetapkan oleh nash atau ijma’. Oleh karena
itu cara seperti ini ditolak, sesuai dengan firman Allah dalam surat
an-Nahl (16): 116:
12
Dengan argumentasi di atas, kalangan ulama Zhahiriyah dengan
tegas menolak saddu al-dzari‘ah.10
10
Ibid, hlm. 429-432
13
Dalam hal ini terutama masalah nasab dan hubungan famili Islam
sangat memperhatikan hubungan nasab dan famili, karena berkait
dengan urusan yang lebih jauh. Dengan proses kelahiran yang tidak
wajar ini maka akan timbul kekacauan hukum yang serius. Misalnya,
seseorang bisa memesan sel telur pada sebuah bank sel telur yang
mungkin sudah dilengkapi dengan penyedia jasa rahim sewaan. Atau
seseorang bisa saja punya anak tanpa istri atau suami.11
11
Ahmad Sarwat, Lc, Fiqh Kontemporer, (Jakarta: DU Center, 2018), hlm. 28
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara bahasa, Dzarai’ merupakan jama’ dari Dzariah yang artinya
“jalan menuju sesuatu”. Sedangkan menurut istilah dzariah dikhususkan
dengan “sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan
mengandung kemudharatan”. Akan pendapat ini ditentang oleh Ibnu
Qayyim yang menyatakan bahwa dzariah itu tidak hanya menyangkut
sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan
demikian lebih tepat kalu dzariah itu dibagi menjadi dua, yakni sadd
dzariah (yang dilarang), dan fathdzari’ah (yang dianjurkan).
Sadd Dzariah adalah mencegah segala sesuatu yang menjadi jalan
menuju kerusakan. Oleh karena itu, apabila ada perbuatan baik yang
akan mengakibatkan terjadinya kerusakan, maka hendaklah perbuatan
yang baik itu dicegah agar tidak terjadi kerusakan.
Pada umumnya semua ulama menerima metode sadd dzariah, Hanya
saja penerapannya yang berbeda. Perbedaan tentang ukuran kualifikasi
dzariah yang akan menimbulkan kerusakan dan yang dilarang. Dzariah
yang dimaksudkan sebagai dalil syara adalah dzariah yang tidak
disinggung oleh nash tetapi mengarah kepada hukum yang dimaksud.
Misalnya, tidakan-tindakan yang dapat merangsang bangkitnya syahwat,
merupakan dzariah terhadap perbuatan zina. Tetapi dalam hal ini tidak
ada nash yang melarangnya. Meskipun demikian, karena mengarah
kepada hukum yang dilarang, maka larangan yang berlaku pada yang
dituju (zina) dapat diterapkan di sini didasarkan pada dalil sadd dzariah.
Penggunaan sadd dzariah sangat efektif untuk mengantisipasi
dampak-dampak negatif dari perkembangan zaman dan kemajuan
teknologi. karena, metode ini tidak hanya berfokus pada legal formal
suatu tindakan, tetapi juga pada akibat suatu tindakan.
15
B. Saran
Setelah dijelaskan mengenai materi sadd dzariah diharapkan para
pembaca dapat memahami isi dari materi tersebut dan bisa menambah
ilmu pengetahuan lebih dalam tentang sadd dzariah.
16
DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Anzi Su’ud bin Mulluh Sultan. 2007. Saddu Dzarai ‘Indo-I-Imam Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah, wa atsaruhu fi ikhtiyaratihi alfiqhiyyahh.
Omman: Daru-I-Atsariyyah.
Al-Burhani Muhammad Hisyam. 1985. Sadd al Dzari’ah fi Al Syari’ah Al
Islamiyah. Damaskus: Dar al-Fikr.
Al-Farat Yusuf Abdurrahman. 2003. Al Tatbiqat Al-Mu’asirat Lisaddi-I-
dzari’at, qahirah. Omman: Daru-I-Fikri Al-‘Arabi.
Bin Mahanna Ibrahim bin Mahna bin ‘Abdilahi. 2004. Sadd Dzarai’ ‘Inda
Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah. Suriyah: Dar-I-Fikr.
Syarifudin Amir. 2001. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.