Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

SADD DZARIAH

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh

Disusun oleh:
Sarah Nurfarizki (3422019)
Rissa Giska (3422014)
Dwi Yana Erza (3422005)

Dosen Pengampu:
Rozikal Nanda Putra, M.Sy

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH LOKAL A

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SJECH M. DJAMIL DJAMBEK

BUKITTINGGI

T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karuniaNya, sehingga makalah ditugaskan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Ushul Fiqh ini dapat terselesaikan dengan baik tanpa
suatu halangan apapun.
Makalah UshulFiqh yang berjudul Sadd Dzariah ini kami susun
sebagai tugas Ushul Fiqh dan juga memberikan wawasan dan pemahaman
yang lebih tentang bagaimana Sadd Dzariah. Sebagai penulis makalah ini,
kami menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
mendukung kelancaran dan terciptanya makalah ini. Terutama kepada dosen
Ushul Fiqh yaitu bapak Rozikal Nanda Putra, M.Sy.
Kami juga menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih
banyak kesalahan dan jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran sangat kami butuhkan untuk menyempurnakan makalah ini dimasa
yang akan datang. Atas kurang lebihnya kami mengucapkan terimakasih.

Bukittinggi, 14 November 2022

Kelompok 12

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................1
C. Tujuan Perumusam Masalah.................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................3
A. Pengertian Sadd Dzariah.......................................................................3
B. Rukun Sadd Dzariah.............................................................................4
C. Kedudukan Sadd Dzariah.....................................................................5
D. Pengelompokkan Sadd Dzariah............................................................7
E. Panda gan Ulama tentang Sadd Dzariah...............................................9
F. Pengaplikasian Sadd Dzariah pada Permasalahan Kontemporer.........13
BAB III PENUTUP.........................................................................................15
A. Kesimpulan...........................................................................................15
B. Saran.....................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti
mempunyai tujuan tertentu yang jelas tanpa mempersoalkan apakah
perbuatan yang dituju itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau
mudharat. Sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang dituju itu,
ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya yang harus dilaluinya.
Bila seseorang ingin mendapatkan ilmu pengetahuan misalnya, maka
ia harus belajar. Untuk sampai dapat belajar, ia harus memalui beberapa
fase kegiatan seperti mencari guru, menyiapkan tempat, dan alat-alat
belajarnya. Keegiatan pokok dalam hal ini adalah belajar atau menuntut
ilmu, dan kegiatan lain itu disebut perantara, jalan atau pendahuluan.
Perbutan-perbuatan pokok yang di tuju oleh seseorang telah diatur
oleh syara’ dan termasuk ke dalam hukum taklifi yangt lima atau yang
disebut al-ahkam al-khamsah. Untuk dapat melakukan perbuatan pokok
yang diperintahkan atau yang dilarang, harus terlebih dahulu melakukan
perbuatan yang mendahuluinya. Berwudhu sebagai perantara bagi
wajibnya shalat, hukumnya adalah wajib. Demikian pula berkhalwat
sebagai perantara kepada zina yang diharamkan, hukumnya adalah
haram. Masalah seperti ini tidak diperbincangkan para ulama karena
hukumnya sudah jelas.
Bagi wasilah (perantara) itu hukumnya adalah sebagaimana hukum
yang berlaku pada apa yang dituju.
Persoalan yang diperbincangkan para ulama adalah perbuatan
perantara (pendahuluan) yang belum mempunyai dasar hukumnya.
Perbuatan perantara itu disebut oleh ahli Ushul dengan dzariah.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang yang telah dijelaskan maka yang menjadi
rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1
1. Apa yang dimaksud dengan sadd dzariah?
2. Apa saja rukun sadd dzariah?
3. Bagaimana kedudukan sadd dzariah?
4. Bagaimana pengelompokkan saddu dzariah?
5. Bagaimana padangan ulama tentang saddu dzariah?
6. Bagaimana pengaplikasian pada permasalahan saddu dzariah?

C. Tujuan Perumusan Masalah


Berdasarkan pokok permasalahan yang telah disebutkan di atas,
maka tujuan dari perumusan masalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memahami maksud dari sadd dzariah.
2. Untuk mengetahui apa saja rukun dari sadd dzariah.
3. Untuk memahami bagaimana kedudukan sadd dzariah.
4. Untuk memahami bagaimana pengelompokkan sadd dzariah.
5. Untuk mengetahui bagaimana pandangan ulama tentang sadd
dzariah.
6. Untuk mengetahui bagaimana pengaplikasian pada permasalahan di
sadd dzariah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sadd Dzariah


Kalimat sadd dzariah berasal dari dua kata (frase/idhofah), yaitu
sadd dan dzariah. Kata sadd, berarti menutup cela, dan menutup
kerusakan, dan juga berarti mencegah atau melarang.1 Sedangkan kata
dzariah secara bahasa berarti jalan yang membawa kepada sesuatu,
secara hissi atau ma’nawi (baik tau buruk). Arti lughawi ini
mengandung konotasi yang netral tanpa memberikan hasil kepada
perbuatan.2
Pengertian inilah yang diangkat oleh Ibnu Qayyim ke dalam
rumusan defenisi tentang dzariah apa-apa yang menjadi perantara dan
jalan kepada sesuatu. Jadi, menurutnya, bahwa pembatasan pengertian
dzariah yang bertujuan kepada yang di anjurkan. Oleh sebab itu,
menurutnya pengertian dzariah lebih baik dikemukakan yang bersifat
umum, sehingga dzariah mengandung dua pengertian, yaitu yang
dilarang, disebut sadd al-dzariah dan yang dituntut untuk dilaksanakan
disebut fath al-dzariah.
Sementara itu, Syatibi mengatakan bahwa dzariah berarti:

Sesungguhnya hakikat dari kaidah dzariah adalah dia yang


menghubungkan sesuatu yang maslahat kepada mafsadat. Maksudnya,
seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan
karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan ia
capai berakhir pada suatu kemafsadatan.3

1
Su’ud bin Mulluh Sultan al-‘Anzi, Saddu Dzarai ‘Inda-I-Imam Ibnu Qayyim Al-
Jauziyyah, wa atsaruhu fi ikhtiyaratihi alfiqhiyyahh, (Omman: Daru-I-Atsariyyah, 2007),
hlm. 64
2
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. 424
3
Yusuf Abdurrahman Al-Farat, Al Tatbiqat Al-Mu’asirat Lisaddi-I-dzari’at,
qahirah, (Omaman: Daru-I-Fikri Al-‘Arabi, 2003), hlm. 11

3
Selanjutnya, Badran memberikan definisi dzariah sebagai berikut:

Apa yang menyampaikan kepada sesuatu yang terlarang yang


mengandung kerusakan.4
Sedangkan Qarafi, mengartikan dzariah berarti perantara atau sarana
kepada sesuatu perkara. Maksudnya adalah mencegah dan menahan
jalan-jalan yang tampaknya hukumnya mubah, namun bisa
menjerumuskan pada perkara yang haram, demi mengikis habis sebab
keharaman dan kemaksiatan, atau mencegah terjadinya perkara yang
haram itu.5
Adapun Ibnu ‘Asyur berpendapat disebut sadd dzariah karena sudah
menjadi sebutan untuk mencegah perantara/sarana kepada kerusakan.
Wahbah Zuhaili menginginkan definisi yang netral, untuk itu ia
memilih definisi yang dikemukan Ibnu Qayyim. Ia mendefinisikan sadd
dzariah yaitu “Melarang dan menolak segala sesuatu yang dapat menjadi
sarana kepada keharaman, untuk mencegah kerusakan dan berbahaya.”6

B. Rukun Sadd Dzariah


Muhammad Hasyim Al-Burhani menetapkan rukun dzariah kepada
tiga, yaitu:
1. Perkara yang tidak dilarang dengan sendirinya (sebagai perantara
washilah, sarana, atau jalan). Dalam hal ini dibagi menjadi tiga
keadaan:
a. Maksud dan tujuan perbuatan itu adalah untuk perbuatan yang
lain, seperti bai’ul ajal.
b. Maksud dan tujuan perbuatan itu adalah untuk perbuatan itu
sendiri, seperti mencaci dan mencela sembahan orang lain.
c. Perbuatan itu menjadi asas menjadikannya sebagai perantara atau
washilah, seperti larangan menghentakkan kaki bagi seseorang

4
Amir Syarifuddin, Op.Cit., hlm. 424
5
Ibrahim bin Mahna bin ‘Abdilahi bin Mahanna, Sadd Dzarai’ ‘Inda Syaikh Islam
Ibnu Taimiyyah, (Riyadh: Dar Fadilah, 2004), hlm. 26
6
Wahbah Zuhayli, Al-Wajiz Ushul Fiqh, (Suriyah: Dar-I-Fikr, 1999), hlm. 108

4
wanita yang ditakutkan akan menampakkan perhiasannya yang
tersembunyi.
2. Kuatnya tuduhan kepadanya (al-ifdha). Inilah yang menjadi
penghubung antara washilah kepada perbuatan yang dilarang (Al-
Mutawasil Ilaih), yaitu adanya tuduhan dan dugaan yang kuat bahwa
perbuatan tersebut akan membawa kepada mafsadah.
3. Kepada perbuatan yang dilarang (Al-Mutawasil Ilaih). Ulama
mengatakan rukun ketiga ini sebagai “Al-Mamnu” (perbuatan yang
dilarang, atau mubah, maka wasilah atau dzariah tersebut hukumnya
tidak dilarang.7

C. Kedudukan Sadd Dzariah


Sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya,
sadd dzariah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan
hukum (istinbath al-hukm) dalam islam. Namun, sebagian ulama ada
yang menempatkannya dalam deretan dalil-dalil syara’ yang tidak
disepakati oleh ulama.
Ditempatkannya dzariah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan
hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya, mengandung arti
bahwa meskipun syara’ tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum
suatu perbuatan, namun karena perbuatan itu ditetapkan sebagai
washilah bagi suatu perbuatan yang dilarang secara jelas, maka hal ini
menjadi petunjuk atau dalil bahwa hukum washilah itu adalah
sebagaimana hukum yang ditetapkan syara’ terhadap perbuatan pokok.
Masalah ini menjadi perhatian ulama karena banyak ayat-ayat al-qur’an
yang mengisyaratkan ke arah itu, umpamanya:
a. Surat al-An’am (6): 108

7
Muhammad Hisyam Al-Burhani, Sadd al Dzari’ah fi Al Syari’ah Al Islamiyah,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), hlm.103-122

5
Artinya:“Janganlah kamu caci orang yang menyembah selainAllah,
karena nanti ia akan mencaci Allah secara memusuhi tanpa
pengetahuan.”
Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu
boleh-boleh saja, bahkan jika perlu memeranginya boleh
memeranginya. Namun, karena perbuatan mencaci dan menghina itu
akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci dan
menghina itu menjadi dilarang.
b. Surat an-Nur (24): 31

Artinya: “Janganlah perempuan itu menghentakkan kakinya agar


diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”
Sebenarnya menghentakkan kaki itu boleh-boleh saja bagi
perempuan, namun karena menyebabkan perhiasannya yang
tersembunyi dapat diketahui orang sehingga akan menimbulkan
ransangan bagi yang mendengar, maka menghentakkan kaki itu
menjadi terlarang.
Dari dua contoh ayat di atas terlihat adanya larangan bagi
perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang,
meskipun semula pada dasarnya perbuatan itu boleh hukumnya.
Dalam hal ini dasar pemikiran hukumnya bagi ulama adalah bahwa
setiap perbuatan mengandung dua sisi: (1) sisi yang mendorong
untuk berbuat, dan (2) sasaran atau tujuan yang menjadi naltijab
(kesimpulan/akibat) dari perbuatan itu. Dengan memandang pada
natijah-nya, perbuatan itu ada dua bentuk:
1. Natijah-nya baik. Maka segala sesuatu yang mengarah
kepadanya adalah baik dan oleh karenanya dituntut untuk
mengerjakannya.

6
2. Natijah-nya buruk. Maka segala sesuatu yang mendorong ke-
padanya adalah juga buruk, dan karenanya dilarang.8

D. Pengelompokkan Sadd Dzariah


Dzariah dapat dikelompokkan dengan melihat kepada beberapa segi:
1. Dengan memandang kepada akibat (dampak) yang ditimbulkannya,
Ibn Qayyim membagi dzariah menjadi empat, yaitu:
a) Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada
kerusakan seperti meminum minuman yang memabukkan yang
membawa kepada kerusakan akal atau mabuk, perbuatan zina
yang membawa pada kerusakan tata keturunan.
b) Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditu
jukan untuk perbuatan buruk yang merusak, baik dengan sengaja
seperti nikah muhalil, atau tidak sengaja seperti mencaci
sembahan agama lain. Nikah itu sendiri hukumnya pada
dasarnya boleh, namun karena dilakukan dengan niat
menghalalkan yang haram menjadi tidak boleh hukumnya.
Mencaci sembahan agama lain itu sebenarnya hukumnya mubah,
namun karena cara tersebut dapat dijadikan perantara bagi agama
lain untuk mencaci Allah menjadi terlarang melakukannya.
c) Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan
untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga kepada kerusakan
yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannnya, seperti
berhiasnya seseorang perempuan yang baru kematian suami
dalam masa ‘iddah. Berhiasnya perempuan boleh hukumnya,
tetapi dilakuk annya berhias itu justru baru saja suaminya mati
dan masih dalam masa ‘iddah keadaannya menjadi lain.
d) Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun terkadang
membawa kepada kerusakan, sedangkan kerusakannya lebih
kecil dibanding kebaikannya. Contoh dalam hal ini melihat
wajah perem puan saat dipinang.

8
Amir Syarifuddin, Op.Cit., hlm. 426-427

7
2. Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkan, Abu Ishak al-Syatibi
membagi dzariah kepada 4 macam, yaitu:
a) Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya,
bila perbuatan dzariah itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi
kerusakan. Umpamanya menggali lubang di tanah sendiri dekat
pintu rumah seseorang di waktu gelap, dan setiap orang yang
keluar dari rumah itu pasti akan terjatuh ke dalam lubang
tersebut. Sebenarnya mengg ali lubang itu boleh-boleh saja.
Namun penggalian yang dilakukan dalam kondisi yang seperti
itu akan mendatangkan kerusakan.
b) Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya,
dengan arti kalau dzariah itu dilakukan, maka kemungkinan
besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya perbuatan
yang dilarang. Umpamanya menjual anggur kepada pabrik
pengolahan minuman keras, atau menjual pisau kepada penjahat
yang sedang mencari musuhnya. Menjual anggur itu boleh-boleh
saja dan tidak mesti pula anggur yang dijual itu dijadikan
minuman keras, namun menurut kebiasaan, pabrik minuman
keras membeli anggur untuk diolah menjadi minuman keras.
Demikian pula menjual pisau kepada penjahat tersebut,
kemungkinan besar akan digunakan untuk membunuh atau
menyakiti orang lain.
c) Dzari’ah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut
keban yakannya. Hal ini berarti bila dzari’ah itu tidak
dihindarkan sering kali sesudah itu akan mengakibatkan
berlangsungnya perbuatan yang terlarang. Umpamanya jual beli
kredit. Memang tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada
riba, namun dalam prakteknya sering dijadikan sarana untuk
riba.
d) Dzari’ah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau
perbuatan terlarang. Dalam hal ini seandainya perbuatan itu
dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan.

8
Umpamanya menggali lubang di kebun sendiri yang jarang
dilalui orang. Menurut kebiasaannya tidak ada orang yang
berlalu (lewat) di tempat itu yang akan terjatuh ke dalam lubang.
Namun tidak tertutup kemungkinan ada yang nyasar lalu dan
terjatuh ke dalam lubang.9
3. Dilihat dari hukumnya, Al Qarafi membaginya kepada tiga bagian,
yaitu:
a) Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki
berhala bagi orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa
penyembah berhala tersebut akan membalas mencaci maki Allah
seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan menggali sumur di
tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut
biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
b) Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa
menjadi jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang
diharamkan. Contohnya menanam anggur, meskipun ada
kemungkinan untuk dijadikan khamar.
c) Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau
diperbolehkan, seperti memandang perempuan karena bisa
menjadi jalan terjadinya zina,dan jual beli berjangka karena
khawatir ada unsur riba.

E. Pandangan Ulama tentang Sadd Dzariah


Tidak ada dalil yang jelas dan pasti baik dalam bentuk nash maupun
ijma’ ulama tentang boleh atau tidaknya menggunakan sadd dzariah.
Oleh karena itu, dasar pengambilannya hanya semata-mata ijtihad
dengan, berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan
sampai melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan.
Kemudian yang dijadikan pedoman dalam tindakan hati-hati itu adalah
faktor manfaat dan mudarat atau baik dan buruk.

9
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001),
hlm. 428-429

9
Jumhur ulama yang pada dasarnya menempatkan faktor manfaat dan
mudarat sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, pada
dasarnya juga menerima metode saddu dzariah itu, meskipun berbeda
dalam kadar penerimaannya. Kalangnan ulama Malikiyah yang dikenal
banyak menggunakan faktor maslahat dengan sendirinya juga banyak
menggunakan metode saddu dzariah.
Mustafa Syalabi mengelompokkan beberapa pendapat ulama tentang
sadd dzariah ke dalam tiga kelompok, yaitu:
1) Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti, atau berat
dugaan akan menimbulkan kerusakan, seperti pada bentuk dzariah
ke-1 dan ke-2 dalam pembagian dzariah menurut Syatibi di atas.
Dalam hal ini sepakat ulama untuk melarang dzariah tersebut
sehingga dalam kitab-kitab fiqh mazhab tersebut ditegaskan tentang
haramnya meng gali lubang di tempat yang biasa dilalui orang yang
dapat dipastikan akan mencelakakan. Demikian juga haramnya
menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuman keras dan
diharamkan menjual pisau kepada penjahat yang akan membunuh
korbannya.
2) Dzariah yang kemungkinan mendatangkan kemudaratan atau larang
an, seperti pada dzariah bentuk ke-4 dalam pembagian menurut al-S
yatibi di atas. Dalam hal ini ulama juga sepakat untuk tidak
melarang nya artinya pintu dzariah tidak perlu ditutup (dilarang).
Dalam kitab-k itab fiqh mazhab tidak terdapat larangan menanam
dan memperjualb elikan anggur, begitu pula tidak ada larangan
membuat dan menjual pisau di waktu normal serta menggali lubang
di kebun sendiri yang tidak pernah dilalui orang.
3) Dzariah yang terletak di tengah-tengah antara kemungkinan
membawa kerusakan dan tidak merusak, sebagaimana pada dzariah
bentuk ke-3 dalam pembagian menurut al-Syatibi di atas. Dalam hal
ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Syalabi
mengemukakan bahwa Imam Malik dan Ahmad ibn Hanbal

10
mengharuskan melarang dzariah tersebut, sedangkan al-Syafi‘i dan
Abu Hanifah menyatakan tidak perlu melarangnya.
Dasar pegangan ulama untuk menggunakan sadd dzariah adalah
kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara
maslahat dan mafsadat. Bila maslahat yang dominan, maka boleh dilaku
kan dan bila mafsadat yang dominan, maka harus ditinggalkan. Bila
sama kuat di antara keduanya, maka untuk menjaga kehati-hatian harus
diambil prinsip yang berlaku, yaitu sebagaimana dirumuskan dalam
kaidah:

Menolak kerusakan diutamakan ketimbang mengambil kemashlahatan.

Bila antara yang halal dan yang haram berbaur (bercampur), maka
prinsipnya dirumuskan dalam kaidah:

Bila berbaur yang haram dengan yang halal, maka yang haram
mengalahkan yang halal.
Sebagaimana bagi ulama yang mengambil tindakan kehati-hatian
dalam beramal, adalah sabda Nabi:

Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu untuk mengambil apa yang


tidak meragukanmu.
Begitu pula sabda Nabi yang berbunyi:

Yang halal itu sudah jelas dan yang haram itu sudah jelas. Yang terletak
di antara keduanya termasuk urusan yang meragukan (syubhat).
Ketahuilah bahwa ladang Allah itu adalah padang yang

11
diharamkannya. Siapa yang bergembala di sekitar padang larangan
Allah itu diragukan akan terjatuh ke dalamnya.
Ulama yang menolak metode sadd dzariaah secara mutlak adalah ulama
Zhahiriyah. Penolakan itu secara panjang lebar dibeberkan oleh Ibnu
Hazm yang intisarinya adalah sebagai berikut:
a) Hadis yang dikemukakan oleh ulama yang mengamalkan sadd
dzariah itu dilemahkan dari segi sanad dan maksud artinya. Hadis itu
diriwayatkan dalam banyak versi yang berbeda perawinya. Maksud
hadis tersebut ialah bahwa yang diharamkan adalah yang menggem
bala di dalam padang yang terlarang, sedangkan yang menggembala
di sekitarnya tidak dilarang. Antara menggembala di dalam dengan
di sekitar padang itu, hukumnya tidak sama. Karena itu hukumnya
kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah (boleh).
b) Dasar pemikiran sadd dzariah itu adalah ijtihad dengan berpatokan
kepada pertimbangan kemaslahatan, sedangkan ulama Zhahiriyah
menolak secara mutlak ijtihad dengan ra’yu (daya nalar) seperti ini.
c) Hukum syara’ hanya menyangkut apa-apa yang ditetapkan Allah
dalam Al-Qur’an atau dalam Sunah dan Ijma’ ulama. Adapun yang
ditetap kan di luar ketiga sumber itu bukanlah hukum syara’. Dalam
hubungan nya dengan saddu dzari ah dalam bentuk kehati-hatian
yang ditetap kan hukumnya dengan nash atau ijma’, hanyalah
hukum pokok atau maqashid, sedangkan hukum pada washilah atau
dzari‘ah tidak pernah ditetapkan oleh nash atau ijma’. Oleh karena
itu cara seperti ini ditolak, sesuai dengan firman Allah dalam surat
an-Nahl (16): 116:

Janganlah kamu katakan berdasarkan ucapan lisanmu suatu


kebohongan, ini halal dan ini haram, karena mengada-ada terhadap
Allah dalam bentuk bohong.

12
Dengan argumentasi di atas, kalangan ulama Zhahiriyah dengan
tegas menolak saddu al-dzari‘ah.10

F. Pengaplikasian Sadd Dzariah Pada Permasalahan Kotemporer


Dalam amaliyah sehari-hari, sering dijumpai berbagai fenome yang
memerlukan suatu kepastian hukum baru secara syari’i. Berbagai model
kasus kerap kari muncul diera modern, sehingga menuntut dinaamisasi
hukum Islam. Kendati demikian, seorang hamba diharuskan agar lebih
berhati-hati dalam menentukan hukum baru tersebut. Kajian yang
mendalam dengan didasari ilmu syari’at yang kokoh serta keimanan dan
ketaqwaan yang tuus diharapkan mampu menuntun manusia (seorang
mukallaf) kepada pengetahuan yang benar tentang hak dan
kewajibannya, baik interaksinya dengan Allah maupun dengan sesama
manusia.
Diantara contoh permasalahan kontemporer adalah kloning. Majma`
Buhus Islamiyah Al-Azhar di Cairo Mesir telah mengeluarkan fatwa
yang berisi bahwa “kloning manusia itu haram dan harus diperangi serta
dihalangi dengan berbagai cara.”
Naskah fatwa yang dikeluarkan lembaga itu juga menguatkan bahwa
kloning manusia itu telah menjadikan manusia yang telah dimuliakan
Allah menjadi objek penelitian dan percobaan serta melahirkan beragam
masalah pelik lainnya.
Fatwa itu menegaskan bahwa Islam tidak menentang ilmu
pengetahuan yang bermanfaat, bahkan sebaliknya, Islam justru
mensupport bahkan memuliakan para ilmuwan. Namun bila ilmu
pengetahuan itu membahayakan serta tidak mengandung manfaat atau
lebih besar mudharatnya ketimbang manfaat, maka Islam
mengharamkannya demi melindungi manusia dari bahaya itu. Karena
dalam qaidah fiqhiyah dalam Islam dijelaskan bahwa menolak mafsadah
(kerusakan) lebih didahulukan daripada mengambil mashlahat.

10
Ibid, hlm. 429-432

13
Dalam hal ini terutama masalah nasab dan hubungan famili Islam
sangat memperhatikan hubungan nasab dan famili, karena berkait
dengan urusan yang lebih jauh. Dengan proses kelahiran yang tidak
wajar ini maka akan timbul kekacauan hukum yang serius. Misalnya,
seseorang bisa memesan sel telur pada sebuah bank sel telur yang
mungkin sudah dilengkapi dengan penyedia jasa rahim sewaan. Atau
seseorang bisa saja punya anak tanpa istri atau suami.11

11
Ahmad Sarwat, Lc, Fiqh Kontemporer, (Jakarta: DU Center, 2018), hlm. 28

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara bahasa, Dzarai’ merupakan jama’ dari Dzariah yang artinya
“jalan menuju sesuatu”. Sedangkan menurut istilah dzariah dikhususkan
dengan “sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan
mengandung kemudharatan”. Akan pendapat ini ditentang oleh Ibnu
Qayyim yang menyatakan bahwa dzariah itu tidak hanya menyangkut
sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan
demikian lebih tepat kalu dzariah itu dibagi menjadi dua, yakni sadd
dzariah (yang dilarang), dan fathdzari’ah (yang dianjurkan).
Sadd Dzariah adalah mencegah segala sesuatu yang menjadi jalan
menuju kerusakan. Oleh karena itu, apabila ada perbuatan baik yang
akan mengakibatkan terjadinya kerusakan, maka hendaklah perbuatan
yang baik itu dicegah agar tidak terjadi kerusakan.
Pada umumnya semua ulama menerima metode sadd dzariah, Hanya
saja penerapannya yang berbeda. Perbedaan tentang ukuran kualifikasi
dzariah yang akan menimbulkan kerusakan dan yang dilarang. Dzariah
yang dimaksudkan sebagai dalil syara adalah dzariah yang tidak
disinggung oleh nash tetapi mengarah kepada hukum yang dimaksud.
Misalnya, tidakan-tindakan yang dapat merangsang bangkitnya syahwat,
merupakan dzariah terhadap perbuatan zina. Tetapi dalam hal ini tidak
ada nash yang melarangnya. Meskipun demikian, karena mengarah
kepada hukum yang dilarang, maka larangan yang berlaku pada yang
dituju (zina) dapat diterapkan di sini didasarkan pada dalil sadd dzariah.
Penggunaan sadd dzariah sangat efektif untuk mengantisipasi
dampak-dampak negatif dari perkembangan zaman dan kemajuan
teknologi. karena, metode ini tidak hanya berfokus pada legal formal
suatu tindakan, tetapi juga pada akibat suatu tindakan.

15
B. Saran
Setelah dijelaskan mengenai materi sadd dzariah diharapkan para
pembaca dapat memahami isi dari materi tersebut dan bisa menambah
ilmu pengetahuan lebih dalam tentang sadd dzariah.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Anzi Su’ud bin Mulluh Sultan. 2007. Saddu Dzarai ‘Indo-I-Imam Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah, wa atsaruhu fi ikhtiyaratihi alfiqhiyyahh.
Omman: Daru-I-Atsariyyah.
Al-Burhani Muhammad Hisyam. 1985. Sadd al Dzari’ah fi Al Syari’ah Al
Islamiyah. Damaskus: Dar al-Fikr.
Al-Farat Yusuf Abdurrahman. 2003. Al Tatbiqat Al-Mu’asirat Lisaddi-I-
dzari’at, qahirah. Omman: Daru-I-Fikri Al-‘Arabi.
Bin Mahanna Ibrahim bin Mahna bin ‘Abdilahi. 2004. Sadd Dzarai’ ‘Inda
Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah. Suriyah: Dar-I-Fikr.
Syarifudin Amir. 2001. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai