Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu tafsir termasuk salah satu cabang ilmu-ilmu keislaman yang belum
matang (ghayr al-nadij) yang masih terus berkembang dan selalu terbuka untuk
dikembangkan. Sebagai suatu penjelasan khusus, maka tafsir pasti dihasilkan dengan
menggunakan cara atau metode tertentu agar dapat sampai pada maksud dari ayat-
ayat al-Qur’an. Jika ditinjau dari cara para mufasir menafsirkan ini, para ahli telah
membuat empat kategori metode tafsir, yaitu metode Tafsir ijmali, metode Tafsir
Tahlili, metode Tafsir Muqaram dan metode Tafsir Maudu’i. Setiap metode tersebut,
selain memiliki keistimewaan, juga terdapat kelemahan-kelemahannya. Kendati
demikian, penggunaan beberapa metode tersebut telah digunakan dan disesuaikan
dengan maksud yang ingin dicapai. Namun, tidak berarti penafsiran telah selesai,
justru ini masih menyisakan atau menunjukkan bahwa ilmu tafsir al-Qur’an sebagai
salah satu cabang dari ilmu keislaman, belum matang.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tafsir ijmali dan tahlili?
2. Apa asal mula tafsir ijmali dan tahlili?
3. Apa ciri-ciri tafsir ijmali dan tahlili?
4. Apa keutamaan dan kelemahan tafsir ijmali dan tahlili?
5. Siapa tokoh dan karya tafsir ijmali dan tahlili?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian tafsir ijmali dan tahlili
2. Untuk mengetahui asal mula tafsir ijmali dan tahlili
3. Untuk mengetahui ciri-ciri tafsir ijmali dan tahlili
4. Untuk mengetahui keutamaan dan kelemahan tafsir ijmali dan tahlili
5. Mengetahui tokoh dan karya tafsir ijmali dan tahlili

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir Ijmali dan Tahlili


a. Ijmali
Secara etimologi ijmali berarti umum, sehingga dapat kita jelaskan bahwa tafsir
al-ijmali adalah tafsir terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang penjelasannya bersifat
umum. Adapun secara istilah metode ijmali adalah cara mengungkapkan isi Al-Qur'an
melalui pembahasan umum (global), yang tidak deskriptif, sedikit memberikan
penjelasan yang panjang dan luas, dan tidak dilakukan secara rinci. Al-Farmawiy
mendefinisikan tafsir ijmali sebagai berikut;
“Tafsir ijmali adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dengan mengemukakan
makna-maknanya secara global, hal itu dengan cara dimana seorang mufassir
membahas ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tertib bacaan dan susunan yang ada
dalam mushaf.”1

b. Tahlili
Tafsir tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan
kandnungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya.2 Tafsir tahlili ialah
mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dari segala segi da maknanya, ayat demi ayat dan
surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf utsmani.
Secara etimologis, metode tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an
dengan meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian
makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah
(munasabat), hingga sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh al-munasabat)
dengan bantuan latar belakang turunnya ayat (asbab al-Nuzul) riwayat-riwayat
yang berasal dari Nabi Saw., sahabat dan tabi’in.3

1
Aldomi Putra,”Metodologi Tafsir”, Jurnal Ulunnuha, Vol. 7, No. 1, Juli 2018, hlm. 48.
2
Abd. Al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.
12.
3
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia Press, 1999), hlm. 159.

2
B. Asal Mula Tafsir Ijmali dan Tahlili
a. Ijmali
Para pakar menganggap bahwa metode ijmali merupakan metode yang
pertama kali lahir dalam sejarah perkembangan metodologi tafsir. Hal ini didasarkan
pada kenyataan bahwa pada era Nabi Muhammad SAW dan para sahabatpersoalan
bahasa terutama Bahasa Arab bukanlah menjadi penghambat dalam memahami al-
Qur’an. Tidak saja karena mayoritas sahabat adalah orang Arab dan ahli Bahasa Arab,
tetapi juga mereka mengetahui secara baik latar belakang turunnya (asbab al-Nuzul)
ayat dan bahkan menyaksikan serta terlibat langsung dalam situasi dan kondisi umat
islam ketika ayat al-Qur’an turun.
Realitas sejarah yang demikian sangat kondusif dalam menyuburkan
penyemaian metode Ijmali, karena sahabat tidak memerlukan penjelasan yang rinci
dari Nabi, tetapi cukup dengan isyarat dan uraian sederhana, sebagaimana yang
dilakukan beliau ketika menafsirkan kata Zulm dengan Syirk. Boleh dikatakan bahwa
pada awal-awal islam metode ijmali menjadi satu-satunya opsi dalam memahami dan
menafsirkan Al-Qur’an. Prosedur metode Ijmali yang praktis dan mudah dipahami
rupanya turut memotivasi ulama tafsir belakangan untuk menulis karya tafsir dengan
merapkan metode ini.4

b. Tahlili
Dari sekian metode tafsir yang ada, metode tahlili merupakan metode yang
paling lama usianya dan paling sering digunakan. Slain mejelaskan kosa kata dan
lafaz, tahlili juga menjelaskan sasaran yang dituju dan kandungan ayat, seperti unsur-
unsur i’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, serta menjelaskan apa yang
dapat diambil dari ayat tersebut untk hokum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, dan
norma-norma akhlak. Hampir seluruh kitab kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang ada
sekarang dan yang digunakan dalam studi tafsir adalah menggunakan metode tafsir t
ahlili, yaitu menafsirkan ayat-ayat secara berurutan menurut urutan ayat-ayat yang
ada dalam mushaf, mjlai dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat al-Nas. Di
antara faktor yang mendorong munculnya metode ini adala ketidakpuasan terhadap
metode ijmali dalam menafsirkan ayat al-Qur’an karena dianggap tidak memberi
ruang dalam mengemukakan analisis yang memadai.

4
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman,
(Jakarta: Sulthan Thaha Press, 2007), hlm. 47-48.

3
Metode tafsir tahlili ini terus mengalami perkembangan, bahkan sampai
sekarang al-tafsir al-tahlili masih tetap mengalir. Dari beberapa penafsir baik itu dari
aliran tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi, tafsir al-isyari semuanya menggunakan
metode tafsir tahlili. Kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang ditulis pada masa-masa awal
pembukuan tafsir hampir dan bahkan semuanya menggunakan metode tafsir tahlili.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa munculnya tafsir tahlili karena kebutuhan umat
islam terhadap penjelasan yang rinci terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Di antara karya
tafsir dengan menggunkan metode tahlili adalah karangan Ibn Jarir al-Thabari “Jami’
al-Bayan‘an Ta’wil ayatil Qur’an” dan karangan al-Baghawi “Ma’alim al-Tanzil”.5

C. Ciri-Ciri Tafsir Ijmali dan Tahlili


a. Ijmali
Ciri khas metode ijmali, antara lain:
1. Mufasir langsung menafsirkan setiap ayat dari awal sampai akhir, tanpa
memasukkan upaya perbandingan dan tidak disertai dengan penetapan judul,
seperti yang terjadi pada metode kompratif (muqaran) dan metode maudhu’I
(tematik).
2. Penafsiran yang sangat rigkas dan bersifat umum, membuat metode ini lebi
sanat tertutup bagi muncunya ide-ide yang lain sang mufasir untuk
memperkaya wawasan penafsiran. Oleh karena itu, tafsir ijmali dilakukan
secara rinci, tetapi ringkas, sehingga membaca tafsir metode ini mengesankan
persis sama dengan membaca al-Qur’an.
3. Dalam tafsir-tafsir ijmali tidak semua ayat ditafsirkan dengan penjelasan yang
ringkas, terdapat beberapa ayat tertentu (sangat terbatas) yang ditafsirkan agak
luas, tetapi tidak sampai mengarah pada penafsiran yang bersifat anlitis.
Artinya, walaupun ada beberapa ayat yang ditafsirkan agak panjang, hanya
sebatas penjelasan yang tidak analitis dan tidak komparatif.6

b. Tahlili
Ciri-ciri utama metode tafsir tahlili ini antara lain:
1. Membahas segala sesuatu yang menyangkut ayat itu dari segala seginya.

5
Rosalinda, Tafsir Tahlili: sebuah Metode Penafsiran Al-Qur’an, Hikmah, Vol.15, No. 2, 2019, hlm. 3.
6
Hasbi As-Shiddiqiey, Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2009), hlm. 21.

4
2. Mengungkapkan asbab an-nuzul ayat yang ditafsirkannya, jika ayat tersebut
memang memiliki asbab an-nuzul.
3. Menfsirkan ayat per ayat secara berurutan, dalam pembahasannya selalu
melihat korelsi antar ayat, untuk menemukan makna penafsiran itu.
4. Tafsir tahlili bias bercorak tafsir bil ma’tsur, kalau titik tekan pembahasannya
pada riwayat, baik berupa hadits, atsar sahabat, atau pendapat ulama yang
kemudian dikuatkan oleh rasio (ra’yu). Sebaliknya, bias bercorak tafsir bil al-
ra’yi, jika titik tekan uraiannya berdasarkan rasio, sementara riwayat
diposisikan hanya sebagai penguat asumsi-asumsi logika penafsiran tersebut.7

D. Keutamaan dan Kelemahan Tafsir Ijmali dan Tahlili


a. Ijmali
Metode ijmali ini memiliki beberapa keutamaan, seperti:
1. Praktis dan mudah dipahami. Tafsir yang memakai metode ijmali relatif lebih
praktis dan mudah dipahami.
2. Bebas dari penafsiran israiliyat, dikarenakan pendeknya penafsiran yang
dikemukakan, maka tafsir ijmali terasa murni dan terbebas dari pemikiran-
pemikiran israiliyat.
3. Dekat dengan bahasa al-Qur’an: Tafsir ijmali ini memakai bahasa yang
ringkas dan padat, sehingga pembaca tidak merasa bahwa ia telah membaca
kitab tafsir. Hal ini disebabkan, karena tafsir dengan metode global
menggunakan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahsa arab tersebut.8

Sedangkan kelemahan metode ijmali adalah sebagai berikut:


1. Tidak terdapat tempat untuk memberikan analisis yang memadai: Tafsir yang
memakai metode ijmali tidak menyediakan tempat untuk mengemukakan
uraian dan pembahasan yang dapat memuaskan pemahaman terhadap suatu
ayat.
2. Menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial: al-Qur’an merupakan satu-
kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu
pengertian yang utuh, tidak terpecah-pecah dan berarti, hal-hal yang global
7
Abd. Al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.
12.
8
Achmad Imam Bashori, “Pergeseran Tafsir Tahlily Menuju Tafsir Ijmaliy”, Jurnal kaca Jurusan
Ushuluddin STAI Al-Fithrah, Vol. 9, No. 1, Februari 2019, hlm. 117-118.

5
atau samar-samar di dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain ada
penjelasan yang lebih rinci.9

b. Tahlili
Keutamaan metode ini antara lain:
1. Ruang lingkup yang luas: metode analisis mempunyai ruang lingkup yang
termasuk luas. Metode ini dapat digunakan oleh mufassir dalam dua
bentuknya; ma’tshur dan ra’yi dapat dikembangkan dalam berbagai penafsiran
sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir. Sebagai contoh: ahli bahasa,
misalnya, mendapat peluang yang luas untuk menafsirkan al-Qur’an dari
pemahaman kebahasaan, seperti Tafsir al-Nasafi, karangan Abu al-Su’ud, ahli
qiraat seperti Abu Hayyan, menjadikan qiraat sebagai titik tolak dalam
penafsirannya. Demikian pula ahli filsafat, kitab tafsir yang didominasi oleh
pemikiran-pemikiran filosofis seperti Kitab Tafsir al-Fakhr al-Razi. Mereka
yang cenderung dengan sains dan teknologi menafsirkan al-Qur’an dari sudut
teori-teori ilmiah atau sains seperti Kitab Tafsir al-Jawahir karangan al-
Tanthawi al-Jauhari, dan seterusnya.
2. Memuat berbagai ide: metode analitis relatif memberikan kesempatan yang
luas kepada mufassir untuk mencurakan ide-ide dan gagasannya dalam
menafsirkan al-Qur’an. Itu berarti, pola penafsiran metode ini dapat
menampung berbagai ide yang terpendam dalam bentuk mufassir termasuk
yang ekstrim dapat ditampungnya. Dengan terbukanya pintu selebar-lebarnya
bagi mufassir untuk mengemukakan pemikiran-pemikirannya dalam
menafsirkan al-Qur’an, maka lahirlah kitab tafsir berjilid-jilid seperti kitab
Tafsir al-Thabari (15 jilid), Tafsir Ruh al-Ma’ani (16 jilid), Tafsir al-Fakhr
al-Razi (17 jilid), Tafsir al-Maraghi (10 jilid), dan lain-lain.

Kelemahan dari metode tafsir tahlili adalah:


1. Menjadikan petunjuk al-Qur’an parsial: metode analitis juga dapat membuat
petunjuk al-Qur’an bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa
seakan-akan al-Qur’an memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak
konsisten karena penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama

9
Achmad Imam Bashori, “Pergeseran Tafsir Tahlily Menuju Tafsir Ijmaliy”, Jurnal Kaca Jurusan
Ushuluddin STAI Al-Fithrah, Vol. 9, No.1, hlm. 118.

6
dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang memperhatikan ayat-ayat
lain yang mirip atau sama dengannya.
2. Melahirkan penafsir subjektif: metode analitis ini memberi peluang yang luas
kepada mufssir untuk mengumumkan ide-ide dan pemikirannya. Sehingga,
kadang-kadang mufassir tidak sadar bahwa dia tidak menafsirkan al-Qur’an
secara objektif, dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang
menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kemauan bahwa nafsunya tanpa
mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku.
3. Masuk pemikiran Israiliat: metode tahlili tidak membatasi mufassir dalam
mengemukakan pemikiran-pemikiran tafsirnya, maka berbagai pemikiran
dapat masuk ke dalamnya, tidak terkecuali pemikiran Israiliat. Sepintas lalu,
kisah-kisah Israiliat tidak ada persoalan, selama tidak dikaitkan sengan
pemahaman al-Qur’an. Tetapi bila dihubungkan dengan pemahaman kitab
suci, timbu problem karena akan terbentuk opini bahwa apa yang dikisahkan
di dalam cerita itu merupakan maksud dari fiman Allah, atau petunjuk Allah,
padahal, belum tentu cocok dengan yang dengan yang dimaksud Allah di
dalam firman-Nya tersebut. Di sini letak negatifnya kisah-kisah Israiliat.
Kisah-kisah itu dapat masuk ke dalam tafsir tahlili karena metodenya memang
terbuka untuk itu.10

E. Tokoh dan Karya Tafsir Ijmali dan Tahlili


a. Ijmali
Di antara kitab Tafsir yang menggunakan metode ini adalah sebagai berikut:
1. Tafsir Al-jalalain, karya Jalal al-Din al-Suyuthi dan Jalal al-Din al-Mahally.
2. Tafsir Al-Qur’an al-Azhim karya Muhammad Farid Wajdi.
3. Shafwah al-bayan li Ma’any Al-Qur’an karya Syaikh Hasanain Muhammad
Makhluf.
4. Tanwir al-Miqbas min tafsir Ibnu Abbas karya Ibnu Abbas yang dihimpun al-
Fairuz abady.
5. Tafsir al-Wasith, produk lembaga Pengkajian Universitas al-Azhar Mesir,
karya suatu komite Ulama.
6. Al-Tafsir al-Muyassar karya Syaikh Abd al-jalil Isa.

10
Al-Qurthubi, al-Jami’li Ahkam al-Qur’an Juz. I. t.p t.t., hlm. 280, dalam Nashruddin Baidan. hlm. 60.

7
7. Al-Tafsir al-Mukhtashar, produk Majelis Tinggi Urusan Umat Islam, karya
suatu komite ulama.11

b. Tahlili
Di antara kitab Tafsir yang menggunakan metode ini adalah sebagai berikut:
1. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an karya ibn Jarir al-Thabari (224-310 H).
2. Ma’alim al-Tanzil karya al-Baghawi (443/436-516 H).
3. Al-Muharrah al-Wajiz karya ibn ‘Athiyyah (481-542 H).
4. Al-Bahar al-Muhit karya Abu Hayan (654-745 H).
5. Al-Jami’mli Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi (671 H).
6. Tafsir al-Qur’an al-Azhim karya ibn Katsir (700-774 H).
7. Fathul Qadir karya al-Syaukani (1250 H).
8. Ru al-Ma’ani karya al-Alusi (1217-1270 H).
9. Majalis al-Tadzkir karya al-Jazairi (1360 H ).
10. Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya ibn ‘Asyur (1296-1393 H).
11. Kitab Al-Tafsir al-Munir karya Wahbah al-Zuhaili (1351-1437 H).12

BAB III
11
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman,
(Jakarta: Sulthan Thaha Press, 2007), hlm. 48.
12
Hasan Hanafi, Islam in the Modern World: Religion, Ideologi and Development 1(Heliopolis: Dar
Kebaa Bookshop, 2000), hlm. 510.

8
PENUTUP

A. Kesimpulan
Metode ijmali (global) adalah mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara
ringkas dan padat, tetapi mencakup semuanya (global). Metode tahlili (analistis) adalah
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di
dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di
dalamnyasesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat
tersebut. Masing-masing metode tersebut memiliki keutamaan dan kelemahan, sehingga
menurut beberapa pendapat tidak ada metode yang terbaik dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an.

B. Saran
Setelah dijelaskan mengenai materi metode tafsir beserta ciri-ciri dan keutamaan serta
kelemahan diatas, diharapkan para pembaca dapat memahami isi dari materi tersebut dan
bisa menambah ilmu pengetahuan lebih dalam tentang metode tafsir ijmali dan tahlili.

Anda mungkin juga menyukai