Secara lughawi, kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlahahan. Dengan demikian tafsir ijmali adalah penafsiran Al-Quran yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Quran melalui pembahasan yang bersifat umum (global), tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara rinci. Penafsir dengan metode ini, dalam penyampaiannya menggunakan bahasa yang ringkas dan sederhana, serta memberikan idiom yang mirip, bahkan sama dengan bahasa Al-Quran. Nabi dan para Sahabat menafsirkan al-Qur’an secara ijmali, tidak memberikan uraian yang memadai karenanya didalam tafsir mereka pada umumnya akan menemukan uraian yang detail. Karena itu tetaplah bisa dikatakan bahasa metode ijmali merupakan metode tafsir al-Qur’an yang mula-mula muncul, penamaan tafsir secara ringkas sebagai tafsir ijmali belum digunakan pada masa Nabi, Sahabat dan Tabiin. Namun metode ijmali muncul belakangan.M.Quraish Shihab mengatakan bahwa metode yang selama ini digunakan oleh para mufassir sejak masa kodefikasi oleh al- Faraw (w.207H) sampai tahun 1960 adalah menafsirkan al-Qur’an ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mushaf al-Qur’an.Bentuk demikian menjadikan petunjuk-petunjuk al-Qur’an terpisah-pisah dan tidak disodorkan kepada pembacanya secara menyeluruh. Metode tafsir dimaksud termasuk didalamnya metode tafsir ijmali yang berarti bahwa metode ini paling tidak telah ada pada masa al-Farra. 2. Pengertian Tafsir Tahlili Kata tahlili adalah bentuk masdar dari kata hallala-yuhallilu-tahliilan, yang berasal dari kata halla-yahullu-halln yang berarti membuka sesuatu. Tidak ada sesuatu pun yang tertutup darinya. Dari sini dapat difahami bahwa arti kata tahlil berarti membuka sesuatu yang tertutup atau yang terikat dan mengikat sesuatu yang berserakan agar tidak terlepas atau tercecer. Secara etimologi tafsir tahlili adalah metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya, dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai urutan-urutannya di dalam mushaf, melalui penafsiran kosa kata “ma’an al-mufradat” diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat, munasabah (keterkaitan) ayat dengan ayat serta menjelaskan hubunga maksud ayat-ayat, sebab turunnya suatu ayat, dan dalil-dalil. Tafsir ini berasal sejak pada masa sahabat nabi s.a.w pada mulanya terdiri dari tafsiran atas beberapa ayat saja,yang kadang kadang mencakup pemjelasan mengenai kosakatanya. Dalam perjalanan waktu para ulama tafsir merasakan kebutuhan adanya tafsir yang mencakup seluruh isi al qur'an. Karenanya pada akhir abad ketiga dan awal keempat Hijriyah (ke-10M) ahli ahli tafsir seperti Ibnu Majah,At Thabari,dan lain lain lalu mengkaji keseluruhan isi Al qur'an dan membuat model model paling maju dari tafsir Tahlili ini.Sedangkan perkembangannya menurut M.Quraish Shihab jauh sebelum metode maudhu'i digunakan atau paling lambat At Thabari (310/922M). Kitab kitab al qur'an yang pernah di tulis para mufassir pada masa awal pembukuan tafsir hampir semuanya menggunakan metode Tahlili,baik itu kitab Tafsir bi al ma'thur seperti jami'al bayan Ta'wil ayi Alqur'an milik Ibnu Jarir At Thabari maupun At tafsir Al-kabir atau Mafatih Al-ghayb karya Muhammad Fakhr al-din al- Razi,begitu juga dengan aliran tafsir al-Isyari seperti kitab Gharaib al-quran wa Raghain al Furqan karya an-Naysaburi(728M/1328H). 3. Perbedaan Tafsir Ijmali dengan Tahlili a. Metode Tafsir Ijmali membahas al-Quran dengan global, ringkas, dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Sistematika penulisannya juga mengikuti susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an. Sedangkan metode tafsir ijmali menafsirkan al-Quran dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat, mulai dari berdasarkan urutan-urutan ayat atau surah dalam mushaf, hubungan ayat- ayatnya, hubungan surah-surahnya, sebab-sebab turunnya, dan sebagainya. b. Metode tafsir ijmali juga Bebas dari penafsiran israiliah: Dikarenakan singkatnya penafsiran yang diberikan, maka tafsir ijmali relatif murni dan terbebas dari pemikiran-pemikiran Israiliat yang kadang-kadang tidak sejalan dengan martabat al-Qur’an. Sebaliknya, karena metode tahlili tidak membatasi mufassir dalam mengemukakan pemikiran-pemikiran tafsirnya, maka berbagai pemikiran dapat masuk ke dalamnya, tidak tercuali pemikiran Israiliat. Sepintas, hal ini tidak menjadi persoalan, selama tidak dikaitkan dengan pemahaman al-Qur’an. Tetapi bila dihubungkan dengan pemahaman kitab suci, timbul masalah karena akan terbentuk opini bahwa apa yang dikisahkan di dalam cerita itu merupakan maksud dari firman Allah, atau petunjuk Allah, padahal belum tentu cocok dengan yang dimaksud Allah di dalam firman-Nya tersebut. c. Metode tafsir ijmali dapat membuat petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa seakan-akan Al-Qur’an memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan kepada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat yang sama dengannya. Terjadinya perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh kurang diperhatikannya ayat-ayat lain yang mirip atau sama dengannya. Sedangkan dengan metode tahlili, mudah mengetahui relevansi/munasabah antara suatu surat atau ayat dengan surat atau ayat lainnya sehingga al-Quran dapat dipahami secara big picture.