Anda di halaman 1dari 14

METODE TAFSIR: TAHLILI

Makalah ini dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metode Tafsir

Dosen Pengampu : Dr. Faizah Ali Syibromalisi, M.A.

Disusun Oleh :
M. Azrul Muslihin (11220340000037)
Ikrimah Dzulqo’idah (11220340000126)
Suci Naqiyya (11220340000144)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JURUSAN ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

JAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah, puji serta syukur atas rahmat dan rezeki yang telah diberikan oleh
Allah S.w.t kepada kita. Semoga kita senantiasa beriman kepada-Nya dan mendapatkan
Ridha-Nya dan selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan.
Tidak lupa Sholawat serta salam semoga senantiasa di haturkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad S.a.w beserta keluarga dan sahabat beliau yang senantiasa membantu
Rasulullah dalam melaksanakan perintah Allah, yaitu berdakwah kepada seluruh umat
manusia. Yang telah membawa agama islam sebagai agama rahmatan lil aa’lamiin.
Semoga kita mendapatkan syafa’atnya di yaumil qiyamah nanti. Aamiin ya robbal
aa’laamiin.
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Metode
Tafsir pada program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Terimakasih kepada ibu Dr. Faizah Ali Syibromalisi, M.A. selaku dosen pengampu
yang telah memberikan arahan dan bimbingannya.
Tentunya dalam penulisan makalah ini, dengan segala keterbatasan, tidak lepas dari
kekurangan, kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk meminimalisir kekurangan
tersebut. Oleh karena itu, sangat diharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya.

Aamiin yaa rabbal aa’lamiin.

i
KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1
C. Tujuan Masalah .................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................ 2
A. Pengertian Tafsir Tahlili........................................................................................................ 2
B. Sejarah dan Perkembangan Metode Tafsir Tahili ................................................................. 3
C. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Tahlili ............................................................................. 7
D. Kitab-kitab dan Mufassir Tafsir Tahlili................................................................................. 8
BAB III PENUTUP ...................................................................................................................... 10
A. Kesimpulan........................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam pertama dan sebagai pedoman bagi
umat Islam, yang di dalamnya terdapat berbagai macam ayat yang membutuhkan
penafsiran untuk dapat memahaminya dan mempelajarinya. Para mufassir telah menulis
dan mempersembahkan karya-karya mereka, dan menjelaskan metode-metode yang
digunakannya, yang memunculkan berbagai penafsiran dengan metode dan corak yang
beraneka ragam. Metode penafsiran yang digunakan, secara umum dikenal dengan metode
tahlili, ijmali, muqaran, dan maudhu’i.
Metode tahlili para mufassir tidak seragam dalam mengoperasikannya, ada yang
mengurai secara ringkas dan ada pula menguraikannya secara terperinci. Itu semua didasari
oleh kecenderungan para mufassirnya. Pentingnya metode tafsir tahlili ini dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an adalah untuk membantu dan memudahkan bagi orang
yang ingin mempelajari dan memahami ayat al-Qur’an itu sendiri secara mendalam.
Banyak ciri serta cara pendekatan dan pembagian tafsir yang mengandalkan metode
ini, sehingga akan sangat luas pembahasan apabila kita bermaksud menelusurinya satu
demi satu. Dalam pembahasan makalah ini, penulis akan mencoba menjelaskan dan
menguraikan pengertian dari metode tafsir tahlili, ciri- ciri dari metode tafsir tahlili,
bagaimana pembagian dari metode tafsir tahlili, dan juga kelebihan dan kekurangan
metode tahlili.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Tafsir Tahlili
2. Sejarah dan Perkembangan Metode Tafsir Tahlili
3. Kelebihan dan Kekurangan Metode Tafsir Tahlili
4. Kitab-Kitab dan Para Mufassir Tafsir Tahlili

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Pengertian Tafsir Tahlili
2. Mengetahui Sejarah dan Perkembangan Metode Tafsir Tahlili
3. Mengetahui Kelebihan dan Kekurangan Metode Tafsir Tahlili
4. Mengetahui Kiab-Kitab dan Para Mufassir Tafsir Tahlili

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir Tahlili


Tafsir secara bahasa diambil dari kata “fassara-yufassiru-tafsiran” yang berarti
keterangan atau uraian. Sedangkan Tafsir menurut istilah, sebagaimana yang didefinisikan
Abdul al-Azhim a-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi Ulumil Qur’an mengatakan:

‫علم يبحث عن القران الكريم من حيث داللته على مراد هللا تعالى بقدر الطاقة البشرية‬
" Ilmu yang membahas perihal Al-Qur’an Al-Karim dari segi penunjukan dalilnya sesuai
dengan maksud Allah ta‘ala berdasarkan kadar kemampuan manusiawi" 1

Sedangkan Abu Hayyan, sebagaimana yang dikutip oleh Syeikh Manna al-Qatthan
dalam kitabnya yaitu Mabahits fi “ulumil Qur’an, ia mendefinisikan Tafsir sebagai:

،‫ وأحكامها اإلفرادية والتركيبية‬،‫ ومدلوالتها‬،‫هو علم يبحث فيه عن كيفية النطق بألفاظ القرآن‬
"‫ومعانيها التي تحمل عليها حالة التركيب وتتمات لذلك‬

“Adalah Ilmu yang membahas tentang cara pengungkapan lafadz-lafadz Al-Qur’an,


petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika
tersusun (tartib) dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-
hal lain yang melengkapinya.”2

Sedangkan Tahlili berasal dari bahasa Arab hallala-yuhallilu-tahlil yang berarti


“mengurai, menganalisis”. Tafsir metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-
Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai
urutan bacaan yang terdapat di dalam al-Qur’an Mushaf ‘Utsmani. Muhammad Baqir al-
Shadr menyebut tafsir metode tahlili ini dengan tafsir tajzi’i, yang secara harfiah berarti
“tafsir yang menguraikan berdasarkan bagian-bagian, atau tafsir parsial”.

1
Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqany, Manahilul ‘Irfan fî ‘Ulum Al-Quran, jilid 2 (Beirut: Dâr Al-Kitâb
Al-‘Araby, 1995), h. 6.
2
Manna’ Al-Qatthan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, cet. 12 (Mesir: Maktabah Wahbah, 2002), h. 312

2
Dibandingkan dengan metode tafsir lainnya, metode tafsir tahlili atau tajzi’i ini
adalah yang paling tua. Tafsir ini berasal sejak masa para sahabat Nabi Saw. Pada mulanya
terdiri dari tafsiran atas beberapa ayat saja, yang kadang-kadang mencakup penjelasan
mengenai kosakatanya. Dalam prejalanan waktu, para ulama tafsir merasakan kebutuhan
adanya tafsir yang mencakup seluruh isi al-Qur’an.3
Metode ini berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur'an dari berbagai
seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan, dan keinginan mufasirnya yang
dihidangkannya secara runtut sesuai dengan perurutan ayat-ayat dalam Mushaf.
Metode ini memiliki beragam jenis hidangan yang ditekankan penafsiranya; ada
yang bersifat Kebahasaan, Hukum, Sosial Budaya, Filsafat/Sains dan Ilmu Pengetahuan
Tasawuf Isyâry, dan lain-lain.4

B. Sejarah dan Perkembangan Metode Tafsir Tahili


Tafsir taḥlīlī dalam sejarah dan perkembangannya telah mengalami beberapa fase.
Pada fase awal, tafsir ini hanya terdiri dari penafsiran atas kata-kata yang ambigu dan sulit
dipahami. Sementara penafsiran terhadap kata-kata secara kebahasaan jarang sekali
dilakukan pada masa hidupnya Nabi Muhammad Saw., karena tidak adanya kebutuhan
dari masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi sebab kualitas dan kemampuan bahasa dari
masyarakat setempat masih sangat kuat, serta kehidupan mereka belum bercampur dengan
orang-orang non-Arab (‘Ajam) yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab5. Oleh karenanya,
pada masa Nabi Muhammad Saw., tafsir secara kebahasaan belum menjadi sebuah
kebutuhan atau belum ada sebagaimana yang berlaku pada masa setelahnya.

Berlanjut pada fase kedua di mana terjadi perluasan penafsiran secara besar-
besaran. Hal itu menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat atau orang yang baru masuk
Islam, di mana mereka tidak menyaksikan langsung turunnya wahyu sehingga muncul
kebutuhan terhadap tafsir bahasa, hingga Islam menyebar di Timur dan Barat.6

3
Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), h. 172.
4
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2017), h.
378.
5
Muhsin Abd al-Hamid, Tathawwur Tafsīr Al-Qur'ān (Dār al-Kutub wa al- Nasyr, 1989), h. 17.
6
Musy'an Abdu Su'ud al-'Isawi, Tafsīr Tahlīli Tārikh wa Tathawwur (Al-Mu’tamar al'Ilmi as Tsani
likuliyyatil 'Ulumul Insaniyyah, 2013), h. 65.

3
Dalam perkembangan setelahnya, muncul tafsir taḥlīlī pasca dibukukannya
berbagai ilmu keislaman. Banyak ilmu baru bermunculan, yang berfokus pada Al-Qur’an.
Penganalisaan terhadap teks Al-Qur’an pun secara lebih luas dilakukan. Di masa ini
kamus bahasa, juga ilmu bahasa seperti nahwu, sharaf dan balāghah, semakin
berkembang. Dengan demikian muncul penjelasan terhadap ayat Al-Qur’an secara lebih
luas dalam kerangka ilmu bahasa Arab. Tujuannya adalah untuk menjelaskan kata-kata
dalam Al-Qur’an yang sebetulnya masih asing (gharīb) dan jarang diketahui. Itu
sebabnya, ditulislah berbagai kitab yang menjelaskan makna kata dalam Al-Qur'an secara
khusus, sebagai contoh, kitab Majāzul Qur'an karangan Abu 'Ubaidah Mu’ammar bin
Muthanna (w.210 H/724-824 M). Kitab tafsir kebahasaan tersebut berbicara soal mukjizat
dan keagungan Al-Qur’an, menjelaskan qirāat dan gaya bahasa Al-Qur’an, serta makna
dan uslūb-nya. Boleh dikata, Abu 'Ubaidah adalah sebagai peletak awal atas kajian
balāghah Al-Qur'an dari sisi tasybih, kināyah, taqdīm dan takhīr. Meski demikian,
menurut Sukamta, majāz yang dikemukakan dan dijelaskan Abu 'Ubaidah belum
sepenuhnya mengakomodir keseluruhan ta'bīr gaya Al-Qur’an7.

Selain kitab Majāzul Qur'an karya Abu 'Ubaidah, juga ada kitab Ma'ānil Qur'an
karangan Abu Zakaria Yahya bin Ziyad bin Abdullah bin Manzhur bin Marwan al-Aslami
ad-Dailami al-Kufi al-Farra’ (144-207/209 H.) yang berfokus pada lafaz dari segi i'rab
dan derivasinya. Selain kitab Ma'ānil Qur'an karya al-Farra’, kitab Ma'ānil Qur'an karya
al-Akhfasy (w. 215 H.) yang berfokus pada pembahasan al-Makhārijul hurūf, Aswāț al-
Lughawiyah, dan Qirāat, serta penjelasan terkait lafaz dan kedudukannya dalam kalam
Arab secara bahasa, nahw, sharf dan balāghah. Kemudian, bahasan terkait 'Ilm al-
Balāghah yang lahir dari pemikiran ‘Amr bin Baḥr bin Maḥbub al-Kinani al-Laitsi al-
Baṣri al-Jāḥidh/al-Jahizh (159-225 H). Dari karya al-Jaḥidh (sekitar 250 judul buku dan
risalah), salah satunya adalah Al-Bayān wa al-Tabyīn, yang membahas majāz, tashbīh,
tamthīl, ḥaqīqah, dan isti'ārah. Ia mengembangkan 'ilm al-bayān dengan memperjelas
kerangka dasarnya melalui pembahasan al-faṣāḥah wa al-balāghah. Al-Jaḥidh
mengintegrasikan logika dan retorika (al-bayān) dengan menyelaraskan antara pemikiran,
kata-kata, gaya bahasa dan makna. Metode yang dipakai al-Jaḥidh untuk mengelaborasi

7
Sukamta, Majāz dalam Al-Qur’ān, (Yogyakarta: UIN Sunan. Kalijaga, 1999), h. 213.

4
pemikirannya bermuara pada penghormatan terhadap akal rasional.8

Kajian tentang aspek kebahasaan terus dilakukan oleh para pengkaji setelahnya
hingga menghasilkan beberapa karya seperti Al-Badī' (274 H) karya Abu al-‘Abbas
Abdullah bin al-Mu’tazz Billah (247-296 H), dikenal banyak menghimpun gaya bahasa
baru dan menjadikan syair sebagai perbendaharaan contoh-contohnya; Naqd al-Shi’rī
karya Qudāma bin Ja'far (541-620 H), banyak merumuskan kaidah tentang kritik sastra.

Kemudian terjadi perkembangan dalam analisa penetapan hukum (istinbat).


Dalam konteks ini, mufasir mulai mengkaji nash Al-Qur'an dari aspek fiqh, yang ditandai
dengan munculnya kitab Ahkāmul Qur'an karangan Imam Syafi'i (w. 204 H). Kajian yang
sama juga dilakukan pengikut mazhab Maliki seperti Isma’il bin Ishaq al-Qadhi (w. 282
H), kitab Aḥkām Al-Qur'ān al-Karīm karangan at-Ṭahāwi (238-321 H), yang merupakan
pengikut mazhab Hanafi. Pada era ini bermunculan juga kitab yang membahas tentang
asbābun nuzūl seperti yang ditulis oleh Ali bin al-Madini (w. 234 H). Kitab tentang ilmu
qirāat juga mulai ditulis seperti kitab yang dikarang oleh Abi Ubaid bin al-Qasim bin
Salam (w. 224 H), Ahmad bin Zubair al- Kufi dan Ismail bin Ishaq al-Qadi (w. 282 H).
Begitu juga pada era ini sudah ada pembukuan kitab ilmu nāsikh mansūkh yang dikarang
oleh Qatadah bin Da'amah as-Sadusi (w.117 H), Ibn Syihab az-Zuhri (w. 124 H) dan
Muqatil bin Sulaiman (w. 105 H)9.

Seiring dengan adanya kebutuhan terhadap tafsir yang mencakup seluruh isi al-
Qur'an, maka pada akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 H/10 M, muncul tafsir yang
mengkaji keseluruhan isi Al-Qur'an dan membuat model paling maju dari tafsir taḥlīlī
seperti tafsir yang ditulis oleh Ibn Majah, dan ath-Thabari.

Metode tafsir taḥlīlī merupakan metode penafsiran Al-Qur'an yang digunakan oleh
para mufasir klasik dan terus berkembang hingga kini. Dalam perkembangannya, kitab-
kitab tafsir yang menggunakan metode ini ada yang ditulis dengan sangat panjang seperti
karya-karya Imam ath-Thabari, Fakhruddīn ar-Rāzī dan Rūh al-Ma'ānī karya Imam al-
Alusi (1217-1270 H). Sementara diantara karya tafsir dengan metode taḥlīlī yang ditulis
dengan penjelasan sedang adalah seperti tafsir karya An-Naisaburi dan Imam al-

8
Ahmad Mathlub dan Husai Bashir, Al-Balāghah wa al-Tathbīq (Irak: Dār Irāqy, 1999), h. 201.
9
Al-'Isawi, Tafsīr Tahlīli Tārikh…, h. 66-67.

5
Baidhawi. Adapun contoh karya tafsir yang menggunakan metode ini dengan penjelasan
yang ringkas namun jelas dan padat adalah kitab tafsir karya Jalāluddīn as- Suyūṭhī (1445-
1505 M).

Dari segi pendekatan, secara garis besar, tafsir tahlili dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu: Tafsir bi al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi. Namun seiring perkembangan
zaman, selanjutnya metode tahlili berkembang menjadi beberapa bagian, yaitu: at-Tafsir
al-Shufi, Tafsir al-Falsafi, Tafsir al-Fiqhi, Tafsir al-‘Ilmi, dan Tafsir al-Adabi al-
Ijtima’i.10

Dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan metode Tahlili, mufassir biasanya


melakukan sebagai berikut:

1) Menerangkan hubungan (munāsabah) baik antara satu ayat dengan ayat lain
maupun antara satu surah dengan surah lain.

2) Menjelaskan sebab-sebab turunya ayat (Asbāb an-Nuzūl) jika ada.

3) Menganalisis mufradat (kosa kata) dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab.
Untuk menguatkan pendapatnya, terutama dalam menjelaskan mengenai bahasa
ayat bersangkutan, mufassir kadang kadang juga mengutip syair-syair yang
berkembang sebelum dan pada masanya.

4) Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.

5) Menerangkan unsur-unsur fashāḥah, bayān dan i’jāznya, bila dianggap perlu.


Khususnya, apabila ayat-ayat yang ditafsirkan itu mengandung keindahan
balāghah.

6) Menjelaskan hukum yang bisa ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya apabila
ayat-ayat aḥkām, yaitu berhubungan dengan persoalan hukum.

7) Menerangkan makna dan maksud syara’ yang terkandung dalam ayat


bersangkutan. Sebagai sandarannya, mufassir mengambil manfaat dari ayat-ayat
lainnya, hadits Nabi Saw., pendapat para sahabat dan tabi’in, di samping ijtihad

10
Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahis Fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Riyadh: Mansyurat al-Ashr al-Hadits, 1973),
hlm. 165.

6
mufassir sendiri. Apabila tafsir ini bercorak at-tafsīr al-‘Ilmi (penafsiran dengan
ilmu pengetahuan), atau at-Tafsīr al-Adābi al-Ijtimā’i mufassir biasanya mengutip
pendapat para ilmuwan sebelumnya, teori-teori ilmiah modern, dan lain
sebagainya.11

C. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Tahlili

Kelebihan Metode Tafsir Tahlili


• Ruang lingkup yang luas
Metode Tahlili mempunyai ruang lingkup yang termasuk luas. Metode ini
dapat digunakan oleh mufassir dalam dua bentuknya yaitu: bil ma’tsur dan bi ra’yi
yang dapat dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian
masing-masing mufassir.
Sebagai contoh: ahli bahasa, misalnya, mendapat peluang yang luas untuk
menafsirkan al-Qur’an dari pemahaman kebahasaan, seperti Tafsir al-Nasafi,
karangan Abu al-Su’ud, ahli qiraat seperti Abu Hayyan, menjadikan qiraat sebagai
titik tolak dalam penafsirannya. Demikian pula ahli fisafat, kitab tafsir yang
dominasi oleh pemikiran-pemikiran filosofis seperti Kitab Tafsir al-Fakhr al-Razi.
Mereka yang cenderung dengan sains dan teknologi menafsirkan al-Qur’an dari
sudut teori-teori ilmiah atau sains seperti Kitab Tafsir al-Jawahir karangan al-
Tanthawi al-Jauhari, dan seterusnya.

• Memuat berbagai ide


Metode Tahlili relatif memberikan kesempatan yang luas kepada mufassir
untuk mencurahkan ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan al-Qur’an. Itu
berarti, pola penafsiran metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam
seorang mufassir yang ekstrim dapat ditampungnya.
Dengan terbukanya pintu selebar-lebarnya bagi mufassir untuk
mengemukakan pemikiran-pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur’an, maka
lahirlah kitab tafsir berjilid-jilid seperti kitab Tafsir al-Thabari (15 jilid), Tafsir Ruh
al-Ma’ani (16 jilid), Tafsir al-Fakhr al-Razi (17 jilid), Tafsir al-Maraghi (10 jilid),
dan lain-lain.

11
M. Quraish Shihab, et.al, Sejarah dan Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), h. 173-174.
Lihat juga Al-Ḥayy Al-Farmawy, Metode Tafsir Mauḍhu’ī: Suatu Pengantar, Terj. Sufyan A. Jamrah
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 45-46

7
Kelemahan Metode Tafsir Tahlili
• Menjadikan petunjuk al-Qur’an parsial
Metode tahlili juga dapat membuat petunjuk al-Qur’an bersifat parsial atau
terpecah-pecah, sehingga terasa seakan-akan al-Qur’an memberikan pedoman
secara tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu
ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama
dengannya.
• Melahirkan penafsir subyektif
Metode tafsir tahlili ini memberi peluang yang luas kepada mufassir untuk
mengumukakan ide-ide dan pemikirannya. Sehingga, kadang-kadang mufassir
tidak sadar bahwa dia tidak menafsirkan al-Qur’an secara subyektif, dan tidak
mustahil pula ada di antara mereka yang menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan
kemauan hawa nafsunya, tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma
yang berlaku.
• Masuk pemikiran Israiliat
Metode tahlili tidak membatasi mufassir dalam mengemukakan pemikiran-
pemikiran tafsirnya, maka berbagai pemikiran dapat masuk ke dalamnya, tidak
tercuali pemikiran Israiliat.

D. Kitab-kitab dan Mufassir Tafsir Tahlili


Terdapat banyak karya tafsir berbasis tahlili yang dikarang oleh para mufassir, beberapa
diantaranya, adalah:12

1. Jāmi' al-Bayān fī Ta'wīl al-Qur'ān karya ibn Jarir al-Thabari (224- 310 H)
2. Ma'ālim al-Tanzīl karya al-Baghawī (433/436-516 H)
3. Al-Muharrar al-Wajīz karya ibn 'Athiyyah (481-542 H)
4. Al-Baḥar al-Muḥīṭ karya Abū Ḥayān (654-745 H)
5. Al-Jāmi' li Ahkām al-Qur'ān karya al-Qurtubī (w. 671 H)
6. Tafsīr al-Qur'ān al-'Azhīm karya ibn Katsir (700- 774 H)
7. Fathul Qadīr karya al-Syaukanī (w. 1250 H)
8. Rūh al-Ma'ānī karya al-Alūsī (1217-1270 H)
9. Majālis al-Tadzkīr karya al-Jazāirī (w. 1360 H)
10. Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr karya ibn 'Asyūr (1296-1393 H)
11. Al-Tafsīr al-Munīr karya Wahbah al-Zuhaili (1351-1437 H).

12
Sabil Mokodenseho, Metode Tafsir Tahlili, (Jakarta: UIN Syarufhidayatullah), h.14-15.

8
9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Metode tafsir tahlili adalah metode yang berusaha menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dari
berbagai seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan, dan keinginan mufasirnya yang
dihidangkan secara runtut sesuai dengan perurutan ayat-ayat dalam mushaf. Biasanyan yang
dihidangkan itu mencakup pengertian umum kosakata ayat, hubungan ayat dengan ayat
sebekumnya, asbab an-nuzul, makna global ayat, hukum yang dapat ditarik.
Dari segi pendekatan, secara garis besar, tafsir tahlili dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
Tafsir bi al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi. Namun seiring perkembangan zaman, selanjutnya
metode tahlili berkembang menjadi beberapa bagian, yaitu: at-Tafsir al-Shufi, Tafsir al-
Falsafi, Tafsir al-Fiqhi, Tafsir al-‘Ilmi, dan Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i.
Adapun metode tahlili dengan segala kelebihan dan kekurangannya, yang akan
menjadikan para ahli tafsir memiliki sikap kehati- hatian dalam menafsirkan suatu ayat agar
tidak terjadi salah penafsiran. Dalam perkembangan tafsir, metode tahlili telah
menyumbangkan peran yang besar dalam andilnya mengembangkan keilmuan tafsir, lewat
karya- karya yang dihasilkan oleh para mufassir.

10
DAFTAR PUSTAKA

Mokodenseho Sabil. Metode Tafsir Tahlili. (Jakarta: UIN Syarufhidayatullah).


M. Quraish Shihab. et.al, Sejarah dan Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013).

Al-Ḥayy Al-Farmawy, Metode Tafsir Mauḍhu’ī: Suatu Pengantar, Terj. Sufyan A. Jamrah
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996).

Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahis Fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Riyadh: Mansyurat al-Ashr al-
Hadits, 1973).

Ahmad Mathlub. Husai Bashir, Al-Balāghah wa al-Tathbīq (Irak: Dār Irāqy, 1999).

Musy'an Abdu Su'ud al-'Isawi, Tafsīr Tahlīli Tārikh wa Tathawwur (Al-Mu’tamar al'Ilmi as
Tsani likuliyyatil 'Ulumul Insaniyyah, 2013).

Sukamta, Majāz dalam Al-Qur’ān, (Yogyakarta: UIN Sunan. Kalijaga, 1999).

Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013).
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta,
2017).
Muhsin Abd al-Hamid, Tathawwur Tafsīr Al-Qur'ān (Dār al-Kutub wa al- Nasyr, 1989).
Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqany, Manahilul ‘Irfan fî ‘Ulum Al-Quran, jilid 2 (Beirut: Dâr
Al-Kitâb Al-‘Araby, 1995).

11

Anda mungkin juga menyukai