EKONOMI SYARIAH
2023
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Puji syukur saya penjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang atas rahmat-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “SADDU DZARI’AH,
MAZHAB SAHABAT DAN DAN SYARIAT UMAT SEBELUM ISLAM DAN
PENERAPANNYA DALAM EKONOMI DAN KEUANGAN SYARIAH”. Penulisan
makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah Ushul Fiqh Ekonomi
dan Keuangan Syariah.
Dalam Penulisan makalah ini saya merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang saya miliki. Untuk itu, kritik dan
saran dari semua pihak sangat saya harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya
kepada Dosen saya yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada saya, sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas ini.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan Masalah.......................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Saddu Dzari’ah........................................................................................................2
1. Pengertian Saddu Dzari’ah..........................................................................3
2. Dasar Hukum Saddu Dzari’ah.....................................................................4
3. Klasifikasi Sadd Az-Zari’ah........................................................................6
4. Penerapan Saddudz Dzari'ah dalam Keuangan Syariah..............................7
B. Mazhab Sahabat.......................................................................................................8
1. Pengertian Mazhab Sahabat/Qauli Shahabi.................................................8
2. Macam-Macam Qauli Shahabi....................................................................10
3. Kehujjahan Qauli Shahabi/Mazhab Sahabat................................................11
4. Penerapan Qaul Shahabi dalam keuangan Syariah......................................13
C. Syariat Umat sebelum Islam....................................................................................15
1. Pengertian Syar’u Man Qoblana..................................................................15
2. Macam-Macam Sya’ru Man Qablana..........................................................15
D. Penerapanya Dalam Ekonomi dan Keuangan Syariah............................................19
1. Kafalah.........................................................................................................19
2. Jual Beli Barter............................................................................................22
3. Penggunaan uang sebagai alat tukar/transaksi.............................................23
A. Kesimpulan..............................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................27
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Figh atau hukum Islam diramu dan disusun berdasarkan petunjuk Allah dalam Al-Quran dan
penjelasan yang diberikan Nabi dalam Sunnahnya. Untuk dapatnya titah Allah dan penjelasan
Nabi yang merupakan Syari'ah itu menjadi pedoman beramal yang terurai bernama figh tersebut,
disusun ketentuan dan aturan Pengetahuan tentang aturan dan ketentuan yang dapat membimbing
Ulama dalam merumuskan figh itulah kemudian disebut "Ushul Fiqh".
Dalam ijtihad, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum yang
sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Al-quran maupun as-Sunnah. Hal
tersebut dilakukan berkaitan dengan tuntutan realita sosial dan persoalan baru vang muncul vang
tidak dibahas secara spesifik dalam Al-Our' an.
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd adz-dzari'
ah. Metode sadd adz-dzari 'ah merupakan upaya pencegahan agar tidak terjadi sesuatu yang
menimbulkan dampak negatif. Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia
yang sudah dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini karena salah satu tujuan hukum
Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Jika
suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (masadah),
maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah
yang kemudian dikenal dengan sadd adz-dzari 'ah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Saddu Dzari’ah?
2. Bagaimana penerapan Saddu Dzari’ah dalam keuangan Syariah?
3. Apa itu Mazhab Sahabat?
4. Bagaimana penerapan Mazhab Sahabat dalam keuangan Syariah?
5. Apa itu Syariat Umat Sebelum Islam?
6. Bagaimana penerapan Syariat Umat Sebelum Islam dalam keuangan Syariah?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa itu Saddu Dzari’ah.
2. Untuk mengetahui apa itu Mazhab Sahabat.
3. Untuk mengetahui apa itu Syariat Umat Sebelum Islam.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Saddu Dzari’ah
1. Pengertian Saddu Dzari’ah
Saddu Dzari’ah terdiri dari dua kata, yaitu saddu artinya menutup,
سد
menghalangi, dan Az-Zari’ah ََّ ْيع ِر الذ/ َّ عة ْي ِر الذartinya jalan, wasilah, atau
yang
menjadi perantara (mediator). Secara bahasa Az-Zariah yaitu:
صل َها شي َ َيت ُال َو س ْيلَة
ء َ
Wasilah yang menyampaikan pada sesuatu1 ِ إلى ال
َو الَّ ِت
ي
Dapat diketahui bahwa Sadd Az-Zari’ah merupakan suatu metode
penggalian hukum Islam dengan mencegah, melarang, menutup jalan atau
wasilah suatu pekerjaan yang awalnya dibolehkan karena dapat menimbulkan
sesuatu yang menyebabkan terjadinya kerusakan atau sesuatu yang dilarang.
Contohnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun
sebelum Haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya
sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat. Hibbah (memberikan sesuatu
kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa) dalam syari’at Islam merupakan
perbuatan baik yang mengandung kemashlahatan. Akan tetapi, bila tujuannya
tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka
hukumnya dilarang. Hal itu didasarkan pada pertimbangan bahwa hukum
zakat adalah wajib sedangkan hibbah adalah sunnah.
3
selain Ihtihsan. Di mana, Ihtihsan merupakan pengecualian yang
merupakan kebolehan dan kemudahan sementara Sadd Az|-Zari‘ah
merupakan pengecualian yang merupakan pencegahan.2
Salah satu kaidahnya adalah:
ش ْرعا وس
من ر ْيق˝ا ش ما تك ْو ن
يئ وع„ م ِالَى ط ˝
ْيلَة و
Sesuatu yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu yang terlarang
pada syara
Sesungguhnya segala maksud syara’ yaitu mendatangkan manfaat
kepada manusia dan menolak mafsadat dari mereka, tidaklah mungkin
diperoleh kecuali dengan melalui sebab-sebab yang menyampaikan kita
kepadanya. Maka kita diharuskan mengerjakan sebab-sebab itu karena sebab
itulah yang menyebabkan kita kepada maksud.
Dengan demikian, kita dapat menetapkan bahwa pekerjaan-pekerjaan
yang menyampaikan kepada kemaslahatan, dituntut untuk mengerjakannya,
dan pekerjaan-pekerjaan yang menyampaikan kita pada kerusakan dan
kemafsadatan dilarang kita mengerjakannya.
2. Dasar Hukum Saddu Dzari’ah
Pada dasarnya, tidak ada dalil yang jelas dan pasti baik menurut nas
maupun ijma’ ulama tentang boleh atau tidaknya mengunakan Sadd Az-
Zari’ah. Namun demikian, ada beberapa nas yang mengara :
2
M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 320.
5
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan.
b. As-Sunnah
Dari Al-Miqdad bin Al-Aswad bahwa dia memberi kabar kalau dia
telah berkata:
ط َها ثُ َّم ْ من كَّفا ِرفقاتلني ف َ َدى َي ي با قَا ل ْ أ َرأأ ْي ت إن ل ِق
َ ل ي ر َد ب إح ال ْيت ˝ًل َِّلال َيا َر ول
ق ر س
س ض ج
ف
ت َ ِِلل أفَأ ْ ول َ َ د الَ َها ْ ول ِ لَّلا صل َّل ُال علَ وسلَّ َم ََ ر „ة سل ال َّد َّ ن
لما ْي ى ال رس ْقتُ لُهُ َيا رس ب أن فقال أ شج ْم ي
ِه َِّلال ع م
صل َّل ُال طع َي ا˝ل ذ َ د ط َها أفَأ ْقُت لُه ْ و ل تَ ْقُت لُه ا˝ ُق ْلت ْ ول َّ َِّلال ْ د
ى َقال ر َّ َِّلال ِلك أَن ا رس إَّنه َق ِدي ثُ َّم ل
س ع
ك ِل ي َقال َ م ْن ْ بل أن َيق َت ُسَّلم لما تَ ْقتُ لُه علَ ْي ِه
ْول َمتُ ُه ال ِزلتَك َفإن ْلتَه و
ِت
3
Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Lubaah At-Tafsir Min Ibnu Kasir, penterj. M.
Abdul Ghoffar Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 272,)2008
7
kemudia dia mengatakan hal tersebut (menyatakan keislaman) setelah berhasil
memotongnya. Apakah aku (boleh) membunuhnya?”. Rasulullah SAW.
bersabda, “Janganlah kamu membunuhnya. Jika kamu tetap saja
membunhnya, maka dia sama dengan statusmu sebelum kamu membunuhnya
sedangkan kamu sama dengan statusnya sebelum dia mengucakan kalimat
yang dilafazkan tersebut.4
c. Kaidah Fiqh
Apa yang membawa kepada yang haram maka hal tersebut juga haram
hukumnya.
9
menyampaikan kepada kerusakan tersebut, seperti khalwat yang tidak menjadi
sebab terjadinya percampuran keturunan, tetapi dia menjadi perantara kepada
zina yang menimbulkan kerusakan.
5
Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam., 322.
1
mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya, seperti mencaci
sembahan agama lain dan
Perbuatan yang semula ditentukan untuk mubah, namun terkadang
membawa kerusakan, sedang kerusakannya lebih kecil dibanding
kebaikannya. Contoh melihat wajah perempuan saat dipinang.
c. Dilihat dari tingkat kerusakan yang ditimbulkan, Abu Ishak Al-Syatibi
membaginya ke dalam 4 macam, di antaranya yaitu:
Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kerusakan yang pasti.
Misalnya menggali sumur di depan rumah orang lain pada waktu
malam, yang menyebabkan pemilik rumah jatuh ke dalam sumur
tesrebut. Orang yang bersangkutan dikenai hukuman karena
melakukan perbuatan tersebut dengan disengaja.
Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung
kemafsadatan, misalnya menjual makanan yang biasanya tidak
mengandung kemafsadatan.
Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa
kemafsadatan. Misalnya, menjual senjata pada musuh, yang di
mungkinkan akan digunakan untuk membunuh.
Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung
kemaslahatan, tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan.
Misalnya bai’ al-ajal (jual beli dengan harga yang lebih tinggi dari
harga asal karena tidak kontan).
4. Penerapan Saddudz Dzari'ah dalam Keuangan Syariah
a. Dalam jual beli kredit (bai al-ajal) perlu diperhatikan tujuan atau
akibatnya, yang membawa kepada perbuatan yang mengandumg
unsur riba, meskipun sifatnya sebatas praduga yang berat (galadah
azh-zhann), karena syara' sendiri banyak sekali menentukan hukum
berdasarkan praduga yang berat, disamping itu perlu sikap hati-hati
(ihtiyat). Dengan demikian, suatu perbuatan yang diduga akan
mambawa pada kemafsadatan bisa dijadikan dasar untuk melarang
suatu perbuatan, seperti baiy al-ajal, berdasarkan kaidah fikih:
ْ فع ال َمَفا ِ ˚م عل ْ ب صا ِل ِه
د مَقدَّ ى ل ال
ِم س
ج
1
adalah pendapat-pendapat para sahabat Rasulullah saw dalam masalah
1
ijtihad.6 Qaul Shahabi terdiri dari dua kata, yang secara etimologis memiliki
makna masing-masing. Kata Qaul merupakan bentuk masdar dari “qala -
yaqulu - qaulan” yang berarti perkataan atau pendapat. Sedangkan ash-
shahabi adalah mufrad dari shahabat, yang diambil dari kata-kata shahiba-
yashahabu- shuhbatan dan shahabatan yang bermakna bergaul dengan
seseorang.
Ketika Rasulullah saw. masih hidup, seluruh persoalan hukum yang
muncul atau timbul dalam masyarakat langsung ditanyakan para sahabat
kepada Rasul dan Rasulullah memberikan jawaban dan penyelesainnya.
Namun setelah Rasulullah saw. meninggal dunia, maka para sahabat yang
tergolong ahli dalam mengistinbatkan hukum, telah berusaha dengn
sungguh- sungguh untuk memecahkan persoalan tersebut, sehingga kaum
muslimin dapat beramal sesuai denganm fatwa-fatwa sahabat itu.
Selanjutnya fatwa- fatwa sahabat ini diriwayatkan oleh tabi’in, tabi’it-tabi’in
dan orang-orang yang sesudahnya seperti para perawi hadis.7
6
Abdul Wahab Khalaf, hlm 94.
7
DR.MOH.BAHRUDIN,M Ag, Ilmu Ushul Fiqh (Bandar Lampung,Oktober 2019) h,75
1
mati dalam keadaan Islam. Menurut Al-Baqilani dan beberapa ulama
lainnya, seperti Ibnu Faruk dan Ibnu Sam’an bahwa sahabat adalah orang
yang lama pergaulannya dengan Nabi saw dan banyak berguru pada Nabi
saw dengan cara mengikutinya dan mengambil pengajarannya.
1
8
Zaidan, Abdul Karim. Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh, Muassasah Ar-Risalah, 1996, hlm. 260
1
e. Qaul Shahabi yang berlandaskan pemikirannya dan ditentang oleh sahabat
yang lainnya.
Dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa perkataan sahabat ini tidak
bisa dijadikan dalil hukum. Akan tetapi sebagian ulama lainnya dari
kalangan Ushuliyyin dan fuqaha memilih untuk mengambil perkataan satu
sahabat yang lebih kuat argumentasinya.
3. Kehujjahan Qauli Shahabi/Mazhab Sahabat
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa Qaul
Shahabi yang bukan berdasarkan fikiran semata-mata dapat menjadi dalil
hukum bagi umat Islam. Hal itu karena apa yang dikatakan oleh para sahabat
itu tentu saja berdasarkan apa yang telah didengarnya dari Rasulullah saw.
Sebagai contoh adalah perkataan Aisyah r.a.:
)اليمكث الحمل في بطن امه اكثر من سنتين قد رمايتحول ظلل المعزل (رواه الدرقطني
Kandungan itu tidak berdiam diri dalam perut ibunya lebih sepanjang
bergesernya bayang-bayang benda yang ditancapkan pun dari dua
tahun.(H.R. Ad-Daruquthni).
1
keputusan Abu Bakar r.a. tersebut, bahkan dalam masalah yang sama
Umar r.a. pun
1
memutuskan demikian. Oleh karena itu, hukum yang ditetapkan oleh
sahabat Abu Bakar r.a. tersebut merupakan hukum yang wajib diikuti oleh
kaum muslimin karena tidak mendapat pertentangan dari sahabat lainnya,
bahkan tidak ada perselisihan di antara kaum muslimin dalam masalah itu.
Imam Syafi’i tidak sependapat jika pendapat salah seorang sahabat itu
menjadi dalil hukum. Beliau membolehkan menentang pendapat sahabat
untuk berijtihad menetapkan pendapat yang berlainan, karena pendapat
para sahabat itu tidak lain adalah kumpulan ijtihad perseorangan yang tidak
luput dari kesalahan. Sebagaimana seorang sahabat mungkin memiliki
pendapat yang berbeda dari sahabat yang lain, para mujtahid sesudah
sahabat pun sangat mungkin berbeda pendapat di antara mereka.
9
Shofiyuddin Abdul Mukmin, hlm. 76-77
10
Prof. Dr. Mukhtar Yahya dan Prof. Drs. Fatchurrahman, hlm. 109.
1
Imam Syafi’i berkata, “Menetapkan hukum atau memberi fatwa tidak
boleh selain berdasarkan dengan dasar yang kuat, yaitu: Alquran, sunnah,
pendapat para ahli yang tidak diperselisihkan lagi atau qiyas kepada salah
satu tersebut di atas.”
2
dari kalangan Malikiyah dan Hanabilah jual-beli ‘ȋnah dilarang dengan
dasar Qaul Shahabi yakni qaul Aisyah yang pernah ditanya oleh seorang
perempuan (budak yang diperistri oleh Zaid Ibn Arqam) bahwa ia telah
menjual kepada al-‘Atha seorang budak milik Zaid seharga 800 dinar
dengan skema ‘inah. Aisyah menjawab bahwa itulah seburuk-buruknya
jual-beli, dan Zaid telah membatalkan amaliah jihadnya bersama
Rasulullah saw jika tidak bertaubat.12
c. Zakat Perhiasan
Para ahli fikih berbeda pendapat mengenai perempuan yang
menggunakan perhiasan yang terbuat dari emas dan perak apabila telah
memenuhi nisab apakah terdapat kewajiban zakat pada perhiasan
tersebut.
Ulama dari kalangan Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa tidak ada kewajiban mengeluarkan zakat perhiasan yang terbuat
dari emas maupun perak, baik kadarnya sedikit ataupun banyak. Ulama
dari kalangan Malikiyyah berargumen dengan Qaul Shahabi bahwa
Aisyah
r.a. mengasuh anak-anak perempuan saudara laki-lakinya yang sudah
yatim, dan mereka mempunyai perhiasan. Namun Aisyah tidak
mengeluarkan zakat dari perhiasan mereka.
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berpendapat bahwa apabila perhiasan
tersebut dipergunakan oleh wanita atau disimpan atau dipinjamkan
kepada orang lain atau disewakan maka tidak ada zakat pada perhiasan
tersebut, baik dalam jumlah yang banyak maupun sedikit.
Dasar argumentasi yang dipegang oleh Imam Syafi’i mengenai
pendapatnya bahwa tidak adanya zakat perhiasan adalah qaul ash-
shahâbȋ berdasarkan riwayat dari Sufyan dari Amr Ibn Dinar, bahwa
seseorang bertanya kepada Jabir Ibn Abdullah mengenai perhiasan,
apakah wajib dikeluarkan zakat atas perhiasan tersebut, kemudian Jabir
menjawab bahwa tidak perlu dikeluarkan zakatnya.
2
12
Musthafa Dib al-Bugha. Atsar Al-Adillah Al-Mukhtalif Fȋhâ: Mashâdir Al-Tasyrȋ AlTabi’iyyah Fȋ Al-Fiqh Al-
Islâmȋ.: Dâr al-Qalam, 2013, hal 126.
2
C. Syariat Sebelum Islam
2
13
Wajih Kamaluddin Zaky, Syar’u Man Qablana bainal Qabul wa Radd, Kairo University Press, Mesir
tth, hlm. 11.
2
Janganlah kamu membenarkan ahli kitab, jangan pula mendustakan mereka.
(H.R. Bukhari, dari Abu Hurairah r.a.)
Nabi Muhammad saw melanjutkan membaca firman Allah swt, Q.S. al-Baqarah/2:
136:
َ َومٓا بِّٱ ل َّّ ِّل َءاَ مَّنا َم إَِّ لٓ ُأنِ َّزل ََومٓا. َۧ َرِّه.ِّعي َل إِّْب.ََ ُْع قو َب َ وإِّ ْْس.ُ مو َس َى َ َومٓا َوٱْ َْل ْسبَا ِّط َوي
ُقوُٓل وا َنا ُأنِ َّزل.إَِّْلي َ َق.َوإِّ ْس َح ُأوِّت َى
Petunjuk yang diberikan Rasulullah saw ini sangat jelas dan tegas, umat Islam
jangan membenarkan karena bisa jadi kitab yang dibaca ahli kitab tersebut sudah
berubah dari aslinya, atau tafsirnya yang direkayasa sesuai kehendak ahli kitab itu.
Pada sisi lain, Nabi juga melarang mendustakan sebab bukanlah mustahil di antara
bacaan dan tafsir itu ada yang benar sesuai dengan aslinya. Sikap diam (mauquf)
merupakan sikap yang terbaik.
1. Syar`u man qablana yang secara eksplisit disebut di dalam Alquran tetapi
keberadaannya dihapus (dinasakh) di dalam syariat Nabi Muhammad saw.
Karena sudah dinasakh, ulama sepakat, syar`u man qablana semacam ini tidak
menjadi syariat Nabi Muhammad saw dan umat beliau. Misalnya, binatang
yang diharamkan Allah kepada kaum Bani Israil seperti tercantum di dalam
2
Q.S. Al- An`am/6: 146:
وا ٱَّل َ و
َ وْٱلغنَِّم ٱْلب َ.قِ ّر ۖ ُظف „sر ِّذى ُ ك َ ِّذي ن عَلى ُ ش َِّه عَْلمي َ حَ َ ََحَل ْت َما
َ
َّل حَّرمنا ها َ ِّوم َن َإِّّل ُحَوم ُه ْ ْرمَنا
َ ْ َ
ُد َمٓا
ۖ بِّ عظْ „sم ٱ َ ما َأْو ٱ ْ َلوَا ٓي َِأ ّو ۖ بَِّب َ .جَزْي َ َذ َل َصِّ َ.دقُو َن
َ
ُهٓا
ُُظ هُورُ َ ْخَتَ.ل َط وإَِّ ّّن ْغيِِّ ّه م .ن َُ.هم ِّل
ْ َ
َك
2
Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan semua (hewan) yang
berkuku, dan Kami haramkan kepada mereka lemak sapi dan domba, kecuali yang
melekat dipunggungnya, atau yang dalam isi perutnya, atau yang bercampur
dengan tulang. Demikianlah Kami menghukum mereka karena kedurhakaannya,
dan sungguh Kami Mahabenar.
Kemudian dijelaskan pula dalam Alquran bahwa hal itu tidak berlaku lagi
untuk umat Nabi Muhammad saw. Allah swt berfirman dalam Q.S. Al-An`am/6:
145:
ُ ُمًََّرما إَِّ ّل َ مٓا ِّف َأِ ّج ُد َتًة َي ُكو َن َأن َإِّّٓل َيَْط ع ُمٓۥُه.ر َْ ْل م َأْو َّم ُس فو ًحا َ ْميs„ ِّ خنِ ّزي
ُأو ح َىّ ِ َ s ِّ و أ
َ ا م ْ
د َ
َّ ى م „ ع ا ط
َ ْ ًۭ ً َ
ٓل ُقل
عل
َ َ
بِِّّهۦ ٱ ل َّّ ِّل ِّل َْغ ِّي ُأِ ّه َّل ِّف سً قا َأو ِّر ج ˚س َِّفإَّنۥُه
ْ ْ ْ
Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan memakannya bagi orang yang ingin memakannya, kecuali daging
hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi, karena semua itu
kotor, atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah.
2
membahayakan pada kesehatan.14
14
Sayyid Thanthawi, Tafsîr al-Wasîth li al Quran al-Karim, Majma’ Buhuts al- Islamiyah, Mesir,
1992, hlm. 1555.
2
2. Syar’u man qablana yang dijelaskan dalam Alquran menjadi syariat bagi umat
sebelum Nabi saw dan tidak dihapus (mansûkh) dari syariat Nabi Muhammad
saw. Dalam hal ini ulama sepakat bahwa syariat tersebut menjadi bagian dari
syariat Nabi Muhammad saw dan umatnya. Contohnya, Allah swt berfirman,
Q.S. al-Baqarah/2:183:
Pada ayat tersebut secara tegas Allah mewajibkan puasa kepada Nabi
Muhammad saw dan umatnya, sebagaimana diwajibkannya puasa bagi umat
sebelumnya. Secara historis, yang melaksanakan kewajiban puasa pertama kali
adalah umat nabi terdahulu, namun kewajiban itu terus berlanjut bahkan
menjadi bagian dari syariat Nabi Muhammad saw. Karenanya, ulama sepakat
bahwa termasuk dari syariat Nabi Muhammad saw adalah syariat umat nabi
terdahulu yang diakui dalam Alquran sebagai komponen dari syariat Nabi
Muhammad saw.
Dalil yang dijadikan pedoman oleh kelompok pertama adalah firman Allah
3
swt dalam Q.S. an-Nahl/16: 123:
15
Wajih Kamaluddin Zaky, Syar’u Man Qablana bainal Qabul wa Radd, Kairo University
Press, Mesir tth, hlm. 15.
3
ُ ثَ ّم
َ ك َْأو ۖ َ حنِّي ًًۭفا ِّ مَّلَة ٱَّتِّب ْع َ ٱْل ُم َ ي َ ك
ِش ّركِّ ِّم ن ا َن
َنٓا.َْحي َأِ ّن إَِّْلي َ َرِّهي َم.ِّإْب َو َ ْ
ما
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama
Ibrahim yang lurus.
Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili, syariat yang diturunkan kepada siapa pun
merupakan syariat yang diturunkan Allah swt, dan jika tidak ditemukan ayat
lain yang menghapusnya, sementara Allah menceritakan kepada umat Islam
dalam firman-Nya melalui lisan Nabi-Nya, maka hal ini menjadidalil secara
tersirat yang harus diikuti oleh umat Nabi Muhammad saw. Sebab, Allah
tidakakan menceritakannya jika tidak ingin dijadikan syariat, atau setidaknya
akan ada ayat lain yang menghapus makna ayat tersebut.16
Syar’u man qablana yang disebutkan dalam Alquran tanpa ada penegasan
bahwa hukum itu telah dihapus, kedudukannya berlaku bagi umat Nabi
Muhammad saw. Sebab syariat yang diberlakukan hukumnya, pada hakikatnya
adalah hukum Allah swt, disampaikan oleh para rasul kepada umatnya selama
tidak ada dalil yang membatalkannya. Sementara Alquran hadir untuk
membenarkan hukum yang terdapat dalam kitab-kitab terdahulu seperti Zabur,
Taurat, dan Injil. Karenanya, selama tidak ada yang membatalkan, hukum yang
terdapat pada ketiga kitab terdahulu itu berlaku juga untuk umat Nabi
Muhammad saw.
a) Kafalah
Kafalah ditemukan pada syariat Nabi Yusuf a.s. kafâlah merupakan
jaminan yang diberikan oleh penanggung (kâfil) kepada pihak ketiga yang
memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian
3
lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang
16
Wahbah az-Zuhaili, al-Wajîz fî Ushûlil Fiqh, hlm 101
3
dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai
penjamin.Alquran menyebutkan kafalah dalam cerita Nabi Yusuf a.s., Allah
berfirman dalam Q.S. Yusuf/12: 72:
ا
َ زِ ّعي ًۭ˚م بِِّّهۦ َوَأَ ّن َبعِّ „ي َِّْح ُل بِِّّهۦ َ جٓاَء َو َِّل من ٱْل َملِّ ِّك ُ صَ وا
َْ فِ ّق ُد َقاُلوا.َع ن
Mereka menjawab, “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta,
dan aku jamin itu.
Makna مًۭ˚ َزِ ّعيdi atas berarti penjamin. Di dalam akad kafalah,
seseorang yang menjadi penjamin bertanggung jawabterhadap orang yang
dijaminnya. Syekh Musthofa Al-Khin dan Syekh Mustofa Al-Bugha
menyebutkan dalam kitabnya, AlFiqh Al-Manhaji, bahwa ulama dan seluruh
kaum muslimin di seluruh tempat dan zaman telah bersepakat (berijma) atas
bolehnya akad al- kafalah. Hal ini dibuktikan oleh kutipan dan pembahasan
tentang al-kafalah dalam semua kitab fikih baik yang tradisional maupun
kontemporer. Aplikasi al-kafalah juga telah lama diterapkan oleh kaum
muslimin di berbagai lembaga keuangan, maupun dalam transaksi sederhana
dalam kehidupan sehari-hari.17
3
17
Musthofa Al-Khin dan Mustofa Al-Bugha, Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i ,
Darul Musthofa, Damaskus, 2016, hlm. 177-178.
3
MUI untuk mengeluarkan fatwa mengenai keuangan syariah ini, sudah
menetapkan fatwa tentang kafalah, yaitu fatwa no. 11/DSN-MUI/IV/2000
tanggal 08 Muharram 1421 H (13 April 2000). Isi fatwa tersebut adalah
sebagai berikut:
3
Tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).18
Jual beli secara barter ini dibenarkan oleh Nabi Besar Muhammad saw
sehingga jual beli ini menjadi syariat Nabi Muhammad saw dan umat beliau.
Meskipun demikian, dalam jual beli barter ini Rasulullah saw mengatur
beberapa barang yang tidak sembarang boleh dibarter, tetapi harus
memenuhi persyaratan yang beliau tetapkan. Barang-barang tersebut dikenal
dengan istilah “barang ribawi”, yaitu emas, perak, gandum, gandum kasar
(sya`ir), kurma, dan garam. Aturan yang ditetapkan beliau tergambar di
dalam hadis berikut:
ِّ ب ال
َ وال ِّ َ و ِّ ِبلِّْ َ َ ِ َ َّ ذ َّذ َه ُب ِّ َِّّ َ واْل ِّ َ والت
ض ّ ا ُْل ُّب ف ّضِ واْل َّشعُِّي ِّبْل ِّمْ ل ِّح ِّمْ ل ُح بلَّت ْمُر بل َّشع
َه ِِّبل ف ¹ ب ُْل ِّب ْمِ ّر
ُة ة ِّي
ً َيً دا بِّ َ سَ واًء ِّ مْث،ُ ف َه ِّذهِّ ْ ت َِّفإ َذا بَِّي „د
ل ْ ُْع وا.َيً دا َ كا ِّ ش َ َ ف َف ْبِّي
َل ف.ا ْخَت ْاَل صَن ُتْ م ك.بِّي َن إَِّ ذا ئ
،َسَ وا„ ء َ
،بِّْث„ ل ا ي
„د
3
18
Lihat fatwa DSN MUI No. 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah, dalam Himpunan
Fatwa Keuangan Syariah Dewan Syariah Nasional MUI, hlm.106-107.
3
(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan
garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika
jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai. (H.R.
Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i, dan Ibn Majah)
1) Sama
2) sejenis, dan
3) kontan atau tunai.
Jika jenisnya berbeda, misalnya emas dengan perak, gandum dengan
emas, kurma dengan sya`ir, dll., syaratnya harus tunai (yadan bi yadin).
Artinya, tidak boleh salah satu barang diserahkan belakangan atau
ditangguhkan pembayarannya. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka transaksi
tersebut adalah transaksi riba yang sangat dilarang di dalam Islam.
3
Uang sebagai alat tukar yaitu uang berfungsi sebagai alat mediasi
pertukaran antara satu pihak dengan pihak lainnya, sehingga manusia tidak
harus menggunakan sistem barter dalam pertukaran barang atau jasa.
Sebagai unit penghitung, uang berfungsi untuk menjadi standar penilaian
moneter terhadap barang atau jasa. Sedangkan, sebagai alat penyimpan
nilai/daya beli uang berfungsi sebagai media untuk menyimpan nilai
kekayaan yang diperoleh manusia dalam aktivitas ekonomi sehari-hari.
Terakhir sebagai standar pembayaran tertangguhkan, uang berfungsi sebagai
patokan nilai pada transaksi-transaksi yang waktunya tertangguhkan
(transaksi kredit).
Dalam ekonomi Islam, uang memiliki fungsi utama sebagai alat tukar
(medium of exchanges) dan alat satuan hitung (unit of account). Pada
prakteknya tetap diperbolehkan untuk menggunakan uang sebagai
penyimpan nilai dan standar pembayaran yang ditangguhkan, selama tetap
menganggap uang hanya sebatas alat tukar, bukan komoditas yang
diperdagangkan. Penggunaan uang dalam Alquran disebutkan saat Allah swt
menceritakan kondisi Ashabul Kahfi setelah terbangun dari tidur lama
mereka dalam Q.S. al-Kahfi/18: 19, yang berbunyi:
s
َُ ه ْم ََوك.ن.َ عْث.وا ب ُه.َن.َْي. ُه ْم َقٓاِّئ ًۭل˚ َقا َل ۖ ب.ْمن¹ ِّ ُْت م َ ك ْم.َْ ًوما ۖ َلبِّْث.َ ْع َ ض َأْو ي.َْ و„ م ب.ۖ ي
ََذِّل َك َت َسٓاَءُل.ْم ِّلَي َنا َقاُلوا.َلبِّْث
َ رُّب ُك
ٓ وا.َ عُث.َ ِّذِ ّۦٓه ِّبَِوّرِّق ُك ْم َأ َح َدُ كم َفٱْب.ْلَينُْظر ٱْل َم ِّديَنِ ّة َِّإ ل َه.َُّ هٓا َف.ََط عا ًًۭما َْأَزك َى َأي
ْم َقاُلوا
ُْت م.َلبِّْث
َبا َأ ْعَُل م
s
ْلَيْأِّت ُكم.ْمنُه بِِّ ّْرز „ ق َف¹ ِّ لَ ْ ف.َت.َأ َح ًدا ِّب ُك ْم ُي َ َ وْلَي
َّط ْشعِّرَ ّن َو
َ
ل
Dan demikianlah Kami bangunkan mereka, agar di antara mereka saling
bertanya. Salah seorang di antara mereka berkata, “Sudah berapa lama kamu
4
berada (di sini)?” Mereka menjawab, “Kita berada (di sini) sehari atau
setengah hari.” Berkata (yang lain lagi), “Tuhanmu lebih mengetahui berapa
lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu
pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat
manakah makanan yang lebih baik, dan bawalah sebagian makanan itu
untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan jangan sekali-kali
menceritakan halmu kepada siapa pun.
4
Penggunaan uang sebagai alat tukar yang dilakukan oleh umat sebelum
Islam diakomodasi, dibenarkan, dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad
saw di samping jual beli barang secara barter. Pada masa Rasulullah saw
uang yang dipakai sebagai alat tukar adalah dinar Bizantium dan dirham
Persia.Kebolehan penggunaan uang sebagai alat tukar merupakan salah satu
contoh penerapan syar’u man qablana yang dilakukan oleh para nabi
sebelum Nabi Muhammad saw dan itu berlanjut sampai sekarang tanpa ada
syariat yang melarang penggunaannya
4
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mazhab Sahabat atau juga disebut Oaul as-Shahaby adalah sekumpulan hasil
ijtihad atau fatwa dari para sahabat atas persoalan-persoalan yang muncul pasca
wafatnya Rasulullah Saw. penerapannya pada muamalah, contohnya pada bai al
'inah.
Syariat umat sebelum Islam atau juga disebut Syar'u Man Oablana adalah syariat
(aturan hukum) yang ada sebelum datangnya agama Islam yang di bawah oleh
Nabi Muhammad Saw. penerapannya pada muamalah, contohnya pada kafalah
yang ada pada syariat Nabi Yusuf, yang juga diamalkan pada syariat Nabi
Muhammad.
4
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Lubaah At-Tafsir Min
Ibnu Kasir, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta, 2008.
Dr.Bahrudin Moh,M Ag, (Oktober, 2019) Ilmu Ushul Fiqh Bandar Lampung
Yasin Achmad , Ilmu Ushul Fiqh, IAIN Sunan Ampel Press, 2015
Zaky, Wajih Kamaluddin, Syar’u Man Qablana Bainal Qabul wa Radd, Kairo University
Press, Mesir, t.th.
Thanthawi, Sayyid, Tafsîr al-Wasîth li al Quran al-Karim, Majma’ Buhuts al- Islamiyah,
Mesir, 1992.
Al-Bugha, Musthofa Al-Khin dan Mustofa, Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam
Asy-Syafi’i , Darul Musthofa, Damaskus, 2016.
DSN MUI, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah Dewan Syariah Nasional MUI, Penerbit
Erlangga, Jakarta, 2014.