Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

IJTIHAD DAN TAHAPAN-TAHAPANNYA


DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah
“Islam dan Ilmu Pengetahuan”

Dosen Pengampu : Irhamsyah Putra, M.A

Disusun Oleh:
GABY SASKIA MAHARANI 11220810000036
KHOERUDIN 11220810000109
NAYUSTI MAHARANI 11220810000187

KELAS 2E
PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... i


BAB I PEMBAHASAN .................................................................................................................. 1
A. Pengertian Ushul Fiqh .......................................................................................................... 1
B. Pengertian Ijtihad ................................................................................................................. 2
C. Dasar Ijtihad ......................................................................................................................... 3
D. Macam-Macam Ijtihad ......................................................................................................... 5
E. Metode Ijtihad ...................................................................................................................... 5
F. Sumber-Sumber Ijtihad ..................................................................................................... 10
G. Tujuan Ijtihad ................................................................................................................... 10
H. Hukum Berijtihad Dalam Islam ........................................................................................ 11
I. Apakah Ijtihad Bisa Dibatalkan Dengan Ijtihad Yang Lain? ................................................ 12
J. Perspektif Barat ................................................................................................................. 12
BAB II ......................................................................................................................................... 14
PENUTUP................................................................................................................................... 14
A. Kesimpulan ...................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................. 15

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-nya
kepada kita semua. Dalam kesempatan ini, kami mempersembahkan sebuah makalah yang
membahas tentang Ijtihad. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Islam dan
Ilmu Pengetahuan yang kami pelajari. Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang Ijtihad
dan Tahapan-tahapannya dalam Perspektif Islam dan Barat.
Membahas tentang konsep penting dalam hukum Islam yang dikenal sebagai "ijtihad".
Dalam konteks agama Islam, ijtihad memiliki peranan yang sangat penting dan menjadi
landasan bagi pengembangan hukum yang relevan dengan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Dalam kata pengantar ini, kami akan mengenalkan kepada Anda konsep ijtihad, sejarahnya,
serta relevansinya dalam konteks kehidupan masa kini.
Ijtihad adalah istilah Arab yang secara harfiah berarti "upaya sungguh-sungguh" atau
"usaha keras". Dalam konteks hukum Islam, ijtihad merujuk pada usaha yang dilakukan oleh
seorang mujtahid (ahli hukum Islam yang berkualifikasi) untuk mengeluarkan pendapat hukum
berdasarkan sumber-sumber hukum Islam, seperti Alquran, hadist (ucapan dan tindakan Nabi
Muhammad)

Ciputat, 29 Mei 2023

Penulis

ii
BAB I
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ushul Fiqh


Ijtihad termasuk ke dalam ilmu ushul fiqih, maka sebelum melangkah lebih jauh
memahami terhadap ijtihad, perlu di pahami ilmu ushul fiqh itu sendiri. Sebelum masuk
pada pembahasan pengertian ushul fiqh, perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian dua
kata yang membentuknya, yaitu kata ushul dan fiqh.
Kata ushul dilihat dari aspek bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk jamak
dari kata ashlun yang mengandung arti: sesuatu yang dijadikan sandaran oleh sesuatu yang
lain.
Secara etimologi kata ushul mempunyai lima pengertian:
Ashal berarti kaidah yang bersifat menyeluruh. Ashal berarti yang lebih kuat (rajih).
Ashal berarti hukum ashal (istishab). Ashal berarti maqis alaihi atau yang dijadikan ukuran.
Ashal berarti dalil.
Adapun kata fiqh berasal dari bahasa arab yaitu bentuk masdar dari akar kata faqiha
yafqohu fiqha artinya “pemahaman mendalam yang dapat menangkap tentang asal, tujuan
ucapan dan perbuatan”.
Kata fiqh secara etimologis berarti “paham yang mendalam”. bila “paham” dapat
digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh berarti paham yang
menyampaikan ilmu lahir kepada ilmu batin. Karena itulah at-Tirmidzi menyebutkan “fiqh
tentang sesuatu”, berarti mengetahui batinnya sampai kepada kedalamanya.
Secara definitif, fiqh berarti “ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat
amaliah yang digali dan ditemukan dan dalil-dalil yang tafsili”.
Adapun menurut istilah, kata fiqh adalah ilmu halal dan haram, ilmu syariat dan
hukum sebagaimana dikemukakan oleh Al-Kassani. Namun yang lebih kuat dan populer
adalah definisi yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i, sebagaimana dikutip oleh Imam
Subki dalam kitab jam’u al-jamawi. (al-Subki, 2002). “ilmu yang membahasa tentang syara
yang berhubungan dengan amali (perbuatan yang diperoleh melalui dalil-dalil secara
terperinci”
Uraian diatas memberikan gambaran yang jelas tentang kata ushul dan kata fiqh.
Gabungan dari dua kata ini menjadi istilah ushul fiqh yang memiliki pengertian tersendiri.
“Ilmu yang mengkaji tentang dalil fiqh berupa kaidah untuk mengetahui cara


penggunaannya mengetahui keadaan orang yang menggunakannya (mujtahid) dengan
tujuan mengeluarkan hukum amali (perbuatan dari dalil-dalil secara terperinci dan jelas).
Mencermati uraian diatas tentang fiqh dan ushul fiqh terlihat jelas adanya hubungan
atara keduanya, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Zahra, bahwa hubungan ini tergambar
seperti hubungan ilmu nahwu dengan ilmu membaca dan menulis teks arab, seperti
hubungan yang memantik dengan ilmu filsafat. Dengan demikian, disatu sisi ushul fiqh
merupakan undang-undang atau alat, sedangkan fiqh adalah produknya. Dengan menguasai
ushul fiqh maka, seorang faqih akan terhindar dari kekeliruan dalam istinbat sebagaimana
orang yang menguasai ilmu nahwu terhindar dari kealahan dalam membaca dan menulis
teks arab. (Zahra, 2022).

B. Pengertian Ijtihad
Menurut bahasa, kata ijtihad berasal dari bahasa arab yaitu bentuk masdar dari kata
ijtahada yajtahidu yang artinya mengerahkan segala kemampuan dan kesanggupan untuk
mengerjakan atau melakukan sesuatu yang sulit, berdasarkan pengertian bahasa ini maka
tidak tepat jika kata ijtihad digunakan sebagai ungkapan “orang itu berijtihad dalam
mengangkat tongkat” sebab mengangkat tongkat adalah perkara yang mudah untuk
dilakukan oleh siapa saja. (Shidiq, 2011).
Secara terminologi sebagaimana di definisikan oleh Muhammad Abu Zahra, ijtihad
yaitu “Pengerahan segala kemampuan seseorang ahli fiqh dalam menetapkan (istinbat)
hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari dalilnya secara terperinci (satu per
satu)”. (Zahra, 2022)
Berdasarkan pengertian etimologi ijtihad dapat diartikan sebagai berikut:
“pencurahan daya upaya dalam rangka mencari suatu perkara, yaitu pekerjaan yang
berlandaskan kesungguhan dan kemampuan. (Ibid). Dalam rumusan tersebut terlihat bahwa
ijtihad menurut etimologinya adalah pencurahan segala tenaga dan daya upaya untuk
mencapai suatu tujuan tertentu. Seseorang yang mengerjakan suatu pekerjaan dan
mengarahkan dengan segala upaya dalam pekerjaan tersebut berarti secara etimologis ia
sedang berijtihad. Menurut terminologi pakar ushul fiqh adalah mengerahkan kekuatan
maksimal untuk sampai pada kesimpulan pengetahuan tentang suatu hukum syar’i yang
aplikatif dari dalilnya yang rinci dengan cara menggali hukum dari sumbernya.
Frasa ‘mengerahkan kekuatan maksimal’ artinya seseorang yang sedang mencari
hukum suatu permasalahan yang dihadapinya harus mengerahkan kekuatan semaksimal


mungkin ketika mencarinya, di mana ia merasa tidak ada kekuatan lebih besar lagi yang
dikerahkan dalam mencari hukum tersebut, dan ia yakin bahwa semua cara pencarian
hukum tentang permasalahan tersebut sudah ia tempuh.
Frasa ‘untuk sampai pada kesimpulan (pengetahuan tentang) suatu hukum syar’i
yang aplikatif’ berarti tujuan seseorang mencari hukum dengan mengerahkan kekuatan
maksimal adalah untuk sampai pada suatu kesimpulan yaitu mengetahui hukum syar’i yang
bersifat amali (aplikatif) dari suatu permasalahan.
Frasa ‘dalil yang rinci’ artinya adalah seseorang yang sedang mencari hukum harus
merujuknya langsung pada sumber yang asli yaitu dalil syar’i yang terperinci, maksudnya
adalah nash-nash alquran, sunnah, ataupun qiyas.
Menurut definisi sebagian ulama ushul fiqh sebagaimana dikutip oleh Abu Zahra
bahwa ijtihad adalah “mencurahkan segala kesanggupan dan kemampuan semaksimal
mungkin itu adakalanya dalam istinbat (penetapan) hukum syariat adakalanya dalam
penerapan hukum”.
Menurut Ibnu Subky, ijtihad adalah pencurahan seorang faqih (ahli hukum islam)
atas segala usahanya untuk menghasilkan hukum yang bersifat zhanny. Dalam rumusan
yang disampaikan oleh Ibnu Subky, nampak bahwa unsur pokok dari definisi ijtihad adalah:
1) Adanya unsur pencurahan seluruh daya kreasi.
2) Dilakukan oleh seseorang yang telah mendapatkan predikat faqih.
3) Tujuan usaha tersebut adalah untuk mendapatkan hukum yang bersifat zhanny.

Menurut Ibnu Hazm, ijtihad adalah penggunaan kemampuan dalam mencari hukum
dari suatu kasus yang terjadi di mana pun hukum tersebut berada. Menurut pengertian
ijitihad dari Ibnu Hazm, esensi pengertian ijtihad terdiri dari beberapa unsur, yaitu:
1) Adanya unsur pencurahan seluruh daya kreasi.
2) Adanya unsur tujuan untuk mencari ketetapan hukum dari suatu kasus hukum
yang terjadi.

Menurut Imam al-Ghazali, ijtihad adalah mengarahkan segala kemampuan mujtahid


keluasan (kedalaman) dalam mencapai ilmu dengan hukum syariati. Lebih jelas lagi bahwa
ijtihad merupakan upaya menafsirkan dalam memahami Alquran dan hadist dengan
mempertimbangkan seluruh makna serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
(Minhajjudin, 2004).
C. Dasar Ijtihad


Posisi ijtihad memiliki dasar yang kuat dalam ajaran hukum islam. dalam Alquran
terdapat ayat-ayat yang menunjukan perintah untuk berijtihad, baik diungkapkan secara
isyarat maupun secara jelas.

A. Surat an-Nisa/4 ayat 59

َ ْ ‫س ْو َل َواُو ِلى‬
‫اْل ْم ِر ِم ْن ُك ْۚ ْم فَا ِْن تَنَازَ ْعت ُ ْم ِف ْي‬ َّ ‫ّٰللا َواَ ِط ْيعُوا‬
ُ ‫الر‬ َ ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٰٓوا اَ ِط ْيعُوا ه‬
َ ‫اْل ِخ ِِۗر ٰذلِكَ َخي ٌْر َّواَ ْح‬
ُ‫سن‬ ٰ ْ ‫اّٰلل َو ْاليَ ْو ِم‬
ِ ‫س ْو ِل ا ِْن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ ِمنُ ْونَ بِ ه‬ُ ‫الر‬ ِ ‫َيءٍ فَ ُرد ُّْوهُ اِلَى ه‬
َّ ‫ّٰللا َو‬ ْ ‫ش‬
‫تَأْ ِوي اًْل‬

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka, yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya." (An-Nisaa': 59)

B. Surat an-Nisa/4 ayat 105

َ‫ّٰللاُ َِۗو َْل تَ ُك ْن ِِّل ْلخ َۤا ِٕى ِنيْن‬


‫اس ِب َما ٰٓ اَ ٰرىكَ ه‬ ِ ِّ ‫ب ِب ْال َح‬
ِ َّ‫ق ِلت َ ْح ُك َم َبيْنَ الن‬ َ ‫اِنَّا ٰٓ اَ ْنزَ ْلنَا ٰٓ اِلَيْكَ ْال ِك ٰت‬
‫َص ْي اما‬
ِ ‫خ‬

Artinya: “Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Alquran) kepadamu (Muhammad)


membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah
diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat.”

C. Surat al-Anbiya/21 ayat 7

‫س ۡلنَا َق ۡب َلكَ ا َِّْل ِر َج ااْل نُّ ۡو ِح ۡۤى اِلَ ۡي ِه ۡم‬


َ ‫َو َم ۤا اَ ۡر‬
َ‫فَاسْأَلُوا اَ ۡه َل الذِّ ِۡك ِر ا ِۡن ُك ۡنت ُ ۡم َْل تَعۡ لَ ُم ۡون‬


Artinya: “Dan Kami tidak mengutus (rasul-rasul) sebelum engkau (Muhammad),
melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka
tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui”.

D. Macam-Macam Ijtihad
Macam-macam ijtihad terbagi menjadi 2, yaitu:
Ijtihad mutlak yaitu mengerahkan mengerahkan kekuatan maksimal untuk sampai
pada hukum syar’i yang bersifat aplikatif dari dalilnya yang rinci, disertai independensi
dan tidak terikat dengan metode-metode yang digunakan mujtahid tertentu dalam
melakukan penggalian hukum-hukum dari sumbernya. Dengan demikian seorang mujtahid
mutlak merujuk pada dalil-dalil hukum syari dalam melakukan penggalian hukum tersebut.
Metode-metode yang digunakan adalah prinsip-prinsip umum pensyariatan yang telah
ditetapkan syariat dan prinsip-prinsip umum kebahasaan yang dengannya ia bisa
memahami teks-teks hukum yang telah dihasilkan mujtahid lain, kecuali hukum yang telah
dihasilkan berdasarkan konsensus (ijma’) pada mujtahid.
Ijtihad terikat (muqayyad) adalah mengerahkan kekuatan maksimal untuk sampai
pada suatu hukum syar’i yang bersifat aplikatif dan dalilnya yang rinci disertai dengan
keterikatan dasar-dasar, metode-metode, bentuk-bentuk pencarian dalil yang digunakan
mujtahid tertentu. Jadi seorang mujtahid terikat (muqayyad) tetap merujuk pada hukum-
hukum syariat, namun dengan kacamata Analisa dan metode-metode yang digunakan
gurunya (imamnya) dalam melakukan penggalian hukum. (Khallaf, 2015)

E. Metode Ijtihad
Sumber hukum yang paling mendasar dalam tahap permulaan dalam Islam adalah
Qur’an yang diperinci, diberi contoh dan ditafsirkan oleh Sunnah. Jadi, Qur’an-Sunnah
merupakan satu sumber hukum. Kebanyakan persoalan yang dihadapi kaum Muslimin
yang hidup di masa Rasulullah mau tidak mau berbeda dengan yang dihadapi generasi
berikutnya dengan terjadinya kontak dan saling pengaruh-mempengaruhi antara Islam dan
budaya-budaya lain yang bertentangan dengannya. Dengan demikian hukum-hukum yang
disediakan oleh sumber Qur’an dan Sunnah di masa Rasulullah harus ditambahi dan
sesekali ditafsir ulang dan diperluas untuknya. Dengan demikian hukum Islam berkembang
dengan munculnya persoalan baru dari waktu ke waktu semenjak masa Rasulullah, serta


dicipta dan dicipta ulang, ditafsir dan ditafsir lagi, sesuai dengan kondisi lingkungan yang
beraneka. Proses pemikiran ulang dan penafsiran ulang hukum secara independen dikenal
dengan ijtihad. Istilah ini merupakan istilah generik yang mendahului pertumbuhan hukum
dalam prinsip-prinsip qiyas dan istihsan yang lebih sistematis. (Rasjidi, 1984)
Istilah ijtihad dalam periode awal dipergunakan dengan pengertian yang lebih sempit
dan lebih khusus daripada yang kemudian digunakan masa al-Syafi’i dan di masa
sesudahnya. Istilah ini mengandung arti pertimbangan yang bijaksana yang adil atau
pendapat seorang ahli. Ada satu riwayat mengenai “Umar bin Khatab bahwa suatu hari
pada bulan Ramadhan, ia mengemukakan tibanya saat berbuka ketika matahari tampaknya
telah terbenam. Setelah beberapa saat, ia diberitahu orang bahwa matahari terlihat kembali
di ufuk Barat ( karena sebenarnya belum terbenam). Atas hal ini dikabarkan ia menyatakan:
“Bukan soal yang gawat. Kami sudah ber-ijtihad (qad ijtihada) (Al-Jawhari, al shihah). Ini
merupakan contoh awal penggunaan istilah ini oleh para sahabat dengan artian
pertimbangan yang didasarkan kebijaksanaan. (Rasjidi, 1984)
Secara hafiah ra’y berarti pendapat dan pertimbangan. Tetapi orang-orang Arab telah
mempergunakannya bagi pendapat dan keahlian yang dipertimbangkan dengan baik dalam
menangani urusan yang dihadapi. Seseorang yang memiliki persepsi mental dan
pertimbangan yang bijaksana dikenal sebagai dzu’l- ra’y. Lawan kata dari dzu’l- ra’y
adalah mufannad, seseorang yang lemah dalam pertimbangan dan tak bijaksana dalam
berpikir. Julukan munfannad ini diriwayatkan hanya berlaku bagi laki-laki dan tidak bagi
perempuan, karena menurut orang-orang Arab perempuan tak memiliki ra’y meskipun di
masa mudanya, apalagi masa tuanya (Rasjidi, 1984).
Dapat diketahui, dari keseluruhan metode ijtihad yang berkembang dan terbentuk,
terdapat beberapa metode atau cara untuk melakukan ijtihad. Berikut adalah metode atau
cara berijtihad yaitu;
1) Ijma’ adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah
pada suatu tempat di suatu masa. Persetujuan itu diperoleh dengan suatu cara di tempat
yang sama. Namun, kini sukar dicari suatu cara dan sarana yang dapat dipergunakan
untuk memperoleh persetujuan seluruh ahli mengenai suatu masalah pada suatu ketika
di tempat yang berbeda. Ini disebabkan karena luasnya bagian dunia yang didiami oleh
umat islam, beragamnya sejarah, budaya dan lingkungannya. Ijma’ yang hakiki hanya
mungkin terjadi pada masa kedua khulafaur rasyidin ( Abu Bakar dan Umar) dan
sebagian pada masa pemerintahan ketiga ( Usman). Sekarang ijma’ hanya berarti


persetujuan dan kesesuaian pendapat di suatu tempat mengenai tafsiran ayat-ayat
(hukum) tertentu dalam Alquran (Rasjidi, 1984).
Pandangan Barat mengenai Ijma (consensus dalam hukum islam) bervariasi
tergantung pada sudut pandang individu dan pendekatan akademis yang diambil.
Beberapa akademis barat berpendapat bahwa ijma sebagai sumber hukum dalalm
islam tidak dapat diterima dalam konteks hukum modern. Mereka berpendapat bahwa
keabsahan hukum tidak boleh ditentukan oleh consensus masyarakat, tetapi harus
berdasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang objektif. Mereka mengkritik ijma
sebagai bentuk pembenaran kolektif yang tidak mempertimbangkan kebebasan
individu dan keadilan. (Hallaq, 2009)
2) Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya dalam
Alquran dan as-Sunnah atau al-Hadist dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam
Alquran dan as-Sunnah (yang terdapat dalam kitab-kitab hadist) karena persamaan
illat (penyebab atau alasan) nya. Qiyas adalah ukuran, yang dipergunakan oleh akal
budi untuk membanding suatu hal dengan hal lain. Sebagai contoh dapat dikemukakan
larangan meminum khamar (sejenis minuman yang memabukkan yang dibuat dari
buah-buahan) yang terdapat dalam Qs. al-Maidah (5) ayat 90. Yang menyebabkan
minuman itu dilarang adalah illat-nya yakni memabukkan. Sebab minuman yang
memabukkan, dari apa pun ia dibuat, hukumnya sama dengan khamar yaitu dilarang
untuk diminum. Dan untuk menghindari akibat buruk meminum minuman yang
memabukkan itu, maka dengan qiyas pula ditetapkan semua minuman yang
memabukkan, apapun namanya, dilarang diminum dan diperjualbelikan untuk umum.
(Wikipedia, 2022)
Pandangan Barat tentang Qiyas (analogi dalam hukum islam) juga bervariasi
tergantung pada sudut pandang tiap individu dan pendekatan akademis yang diambil.
Beberapa akademisi barat mengkritik penggunaan Qiyas dalam hukum islam karena
dianggap tidak memadai dalam menghadapi kompleksitas masalah hukum modern.
Mereka juga berpendapat bahwa penggunaan analogi dalam menetapkan hukum tidak
cukup presisi dan dapat mengarah pada kesalahan interpretasi.
3) Istidal adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Misalnya menarik
kesimpulan dari adat-istiadat dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam.
Adat yang telah lazim dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan hukum Islam
(misalnya gono-gini atau harta bersama) dan hukum agama yang diwahyukan sebelum


Islam tetapi tidak dihapuskan oleh syari’at Islam, dapat ditarik garis-garis hukumnya
untuk dijadikan hukum Islam.
4) Masalih al-mursalah atau disebut juga maslahat mursalah adalah cara menemukan
hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Alquran maupun
dalam kitab-kitab hadist, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau
kepentingan umum. Sebagai contoh dapat dikemukakan pembenaran pemungutan
pajak penghasilan untuk kemaslahatan atau kepentingan masyarakat dalam rangka
pemerataan pendapatan atau pengumpulan dana yang diperlukan untuk memelihara
kepentingan umum, yang sama sekali tidak disinggung dalam Alquran dan as-Sunnah
(yang terdapat dalam kitab-kitab hadist). (Hallaq, 2009)
Pandangan Barat tentang Maslahah Mursalah (Kemaslahatan Umum) juga
bervariasi tergantung pada sudut pandang tiap individu dan pendekatan akademis yang
diambil. Beberapa akademisi barat mengkritik konsep Maslahah Mursalah karena
dianggap ambigu dan dapat disalahgunakan untuk tujuan politik atau ideologis.
Mereka menyoroti risiko penggunaan konsep ini dalam mengesampingkan prinsip-
prinsip hak asasi manusia dan kebebasan individu.
Namun mereka (barat) juga tertarik untuk membandingkan konsep Maslahah
Mursalah dengan konsep kemaslahatan dengan teori hukum Barat. Mereka
menganalisis perbedaan dan persamaan antara dua konsep tersebut, serta
mengevaluasi relevansi Maslahah Mursalah dalam konteks hukum modern. (Hallaq,
2009) (Hallaq, 2009)
5) Istihsan adalah cara menentukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan
yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial. Istihsan merupakan metode
yang unik dalam mempergunakan akal pikiran dengan mengesampingkan analogi
yang ketat dan bersifat lahiriah demi kepentingan masyarakat dan keadilan. Di dalam
praktik, seorang ahli hukum sering kali terpaksa melepaskan diri dari aturan yang
mengikat karena pertimbangan-pertimbangan tertentu yang lebih berat dan lebih perlu
diperhatikan. Istihsan adalah suatu cara untuk mengambil keputusan yang tepat
menurut suatu keadilan. Misalnya, hukum Islam melindungi dan menjamin hak milik
seseorang. Hak milik seseorang hanya dapat dicabut kalau disetujui oleh pemiliknya.
Dalam keadaan tertentu, untuk kepentingan umum yang mendesak, penguasa dapat
mencabut hak milik seseorang dengan paksa, dengan ganti kerugian tertentu kecuali
kalau ganti rugi itu tidak dimungkinkan. Contohnya adalah pencabutan hak milik


seseorang atas tanah untuk pelebaran jalan, pembuatan irigasi untuk mengairi sawah-
sawah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial. (Hallaq, 2009)
6) Istishab adalah menetapkan hukum suatu hal menurut keadaan yang telah terjadi
sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahny atau dengan perkataan lain dapat
dikatakan istishab adalah melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena
belum ada ketentuan lain yang membatalkannya. Contoh: A (pria) mengawini B
(wanita) secara sah. A kemudian meninggalkan istrinya tanpa proses perceraian. C
(pria) melamar B yang menurut kenyataan tidak memiliki suami. Walaupun B
menerima lamaran itu, perkawinan antara C dan B tidak dapat dilangsungkan karena
status B adalah (masih) istri A. Selama tidak dapat dibuktikan bahwa B telah
diceraikan oleh A selam itu pula status hukum B adalah istri A. Contoh lain, A
mengadakan perjanjian utang-piutang dengan B. Menurut A utangnya telah dibayar
kembali, tanpa menunjukkan bukti atau saksi. Dalam kasus seperti ini berdasarkan
istishab dapat ditetapkan bahwa A masih belum membayar utangnya dan perjanjian
itu masih tetap berlaku selama bukti yang menyatakan bahwa perjanjian utang-piutang
tersebut telah berakhir.
7) Adat- istiadat atau ‘urf yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat
dikukuhkan tetap terus berlaku bagi masyarakat bersangkutan. Adat istiadat ini tentu
saja yang berkenaan dengan soal muamalah. Contohnya adalah kebiasaan yang
berlaku di dunia perdagangan pada masyrakat tertentu melalui inden misalnya, jual-
beli buah-buahan di pohon dipetik sendiri oleh pembelinya, melamar wanita dengan
memberikan sebuah tanda (pengikat), pembayaran mahar secara tunai atau utang atas
persetujuan kedua belah pihak dan lain-lain, harta bersama suami istri dalam
masyarakat muslim Indonesia (tersebut di atas). Sepanjang adat itu tidak bertentangan
dengan ketentuan Alquran dan as-Sunnah atau al-Hadist, dan transaksi di bidang
muamalah itu didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak serta tidak melanggar
asas-asas hukum perdata islam yang di bidang muamalah (kehidupan sosial), menurut
kaidah hukum Islam yang menyatakan “adat dapat dikukuhkan menjadi hukum” (al-
adatu muhakkamah(t)), hukum adat yang demikian dapat berlaku bagi umat Islam.
(Herlambang, 2017)
Dalam studi Antropolgi hukum, urf. Dalam studi Antropologi hukum, urf sering
dipelajari sebagai bagian dari system hukum yang lenih luas. Pandangan barat tentang
antropologi hukum sering kali menyoroti peran urf dalam membentuk praktik-


praktik hukum tradisional di masyarakat, tetapi juga mengakui keberagaman sisitem
hukum dan perbedaan dengan system hukum barat yang lebih formal. (Francl, 1995)

F. Sumber-Sumber Ijtihad

Sumber yang dijadikan rujukan oleh seorang mujtahid adalah dalil-dalil syar’i yang
menunjukkan hukum tersebut. Ia tidak boleh melakukan penggalian hukum kecuali dari
dalil yang telah ditentukan syariat untuk menunjukkan hukum-hukum itu. Jadi pembahasan
mujtahid hanya seputar dalil-dalil syar’i.
Para ulama sepakat terhadap dalil-dalil syar’i yang empat yaitu, Alquran, Sunnah, Ijma’
dan Qiyas. Mereka juga sepakat bahwa rujukan utama dari keempat dalil tersebut adalah
Alquran. Para ulama sepakat terhadap (kehujjahan) dalil-dalil syar’i yang empat, yaitu
Alquran, Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Mereka juga sepakat bahwa rujukan utama dari keempat
dalil tersebut adalah Alquran. Sebab, apa yang bersumber dari Nabi, adakalanya merupakan
penjelasan dan penetapan (persetujuan) apa yang ada di dalam Alquran. Dan adakalanya
pensyariatan dari ruh (intisari) Alquran dan dasar-dasarnya. Dan juga, Ijma' (konsesus para
ulama) harus mempunyai sandaran yang merujuk pada Alquran dan Sunnah. Sedangkan
Qiyas fungsinya sebagai penjelas bahwa hukum yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-
Nya pada suatu permasalahan tertentu, juga bisa berlaku pada permasalahan yang lain, jika
mempunyai kesamaan illat (faktor penentu hukum tersebut).
Para ulama juga sepakat bahwa sumber utama yang dijadikan rujukan oleh seorang
mujtahid adalah Al-Qur`an. Jika ia tidak mendapatkan hukum permasalahan tersebut di
dalam Alquran, maka ia merujuk pada Sunnah. Jika ia tidak mendapatinya di dalam Sunnah,
maka ia merujuk pada kesepakatan (konsensus atau ijma') para ahli ijtihad dalam suatu
masa tertentu. Jika ia tidak juga menemukan hukum dari permasalahan tersebut, maka ia
harus mengembalikannya (meng-qiyas-kannya) dengan permasalahan yang telah
dituliskan hukumnya oleh Allah dan Rasul-Nya (baik di dalam Alquran maupun Sunnah).
(Khallaf, Ijtihad Dalam Syariat Islam, 2015)

G. Tujuan Ijtihad

Tujuan ijtihad adalah agar sampai pada kesimpulan hukum yang telah disyariatkan
Allah tentang suatu permasalahan. Sebab Allah telah mensyariatkan hukum dari setiap
peristiwa (permasalahan) yang terjadi pada seorang muslim dalam segala ruang dan waktu.

10
Baik dalam masalah ibadah, muamalah, jinayah (tindak pidana), maupun segala bentuk
transaksi lainnya. (Khallaf, Ijtihad Dalam Syariat Islam, 2015)

H. Hukum Berijtihad Dalam Islam

Adapun yang dimaksud dengan hukum ijtihad dalam islam disini adalah sesuatu yang
ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’i baik wajib, sunnah, makruh atapun mubah. Hukum
ijtihad bagi orang yang mempunyai otoritas dan terpenuhi sarana-sarana nya, ada kalanya
wajib ain, ada kalanya wajib kifayah, dan ada kalanya sunnah.
Ijtihad bagi orang yang mempunyai otoritas dan terpenuhi sarana-sarana nya
hukumnya wajib ain. apabila terjadi suatu peristiwa baru baik suatu akad atau transaksi,
atau peristiwa baru yang terjadi dalam ibadah, thaharah (bersuci) atau lainnya, dan ia ingin
mengetahui hukumnya maka ia harus berijtihad untuk mengetahui hukumnya dari dalilnya
yang terperinci.
Adapun hukum ijtihad bagi orang yang tidak otoritas dan tidak terpenuhi sarana-
sarananya untuk berijtihad adalah haram. Sebab, jika ia tidak mempunyai otoritas untuk
menganalisa hukum-hukum syar’i dan memahaminya, serta tidak terpenuhi sarana-sarana
untuk menganalisa dan memahami maka analisanya terhadap dalil tidak akan bisa
menyampaikannya pada hukum Allah, bahkan justru bisa menjerumuskan nya pada
kesesatan. Padahal setiap hal yang bisa menjerumuskan pada keharaman, hukumnya haram.
Dengan demikian, yang diwajibkan baginya adalah mengetahui hukum Allah dengan cara
bertanya kepada orang yang mengetahuinya. Sebab, Allah tidak membebani seseorang di
atas kemampuannya. Karenanya, Allah berfirman,

ِّ ‫تَلُوا أَ ْه َل‬
َ ‫الذك ِّْر ِّإن كُنت ُ ْم ََل تَ ْعلَ ُم‬
‫ون‬
"Maka bertanyalah kepada ahli dzikir (orang yang jika kamu tidak mengetahuinya." (Al-
Anbiyaa`: 7)
Sedangkan ijtihad bagi orang yang mempunyai otoritas dan terpenuhi sarana-
sarananya hukumnya wajib kifayah, jika terjadi suatu peristiwa pada individu maupun
segolongan umat Islam, dan mereka dimintai fatwa akan hal itu, maka wajib bagi mereka
secara kolektif (wajib kifayah) untuk berfatwa dan berijtihad untuk mengetahui hukum
peristiwa tersebut. Apabila sebagian mereka telah melaksanakan kewajiban ini, maka
mereka mendapatkan pahala dan terbebas dari kewajiban tersebut. Sedangkan jika tidak

11
ada satu pun dari mereka yang melaksanakan kewajiban itu, maka mereka semua berdosa.
Pasalnya, mereka mempunyai kemampuan (untuk berijtihad), sehingga berkewajiban
mengetahui hukum Allah dalam suatu peristiwa dan memberitahukan pada orang yang
bertanya tentang hal itu. Apabila tidak ada satu pun dari mereka melakukan kewajiban
tersebut, mereka semua berdosa. (Khallaf, Ijtihad Dalam Syariat Islam, 2015)

I. Apakah Ijtihad Bisa Dibatalkan Dengan Ijtihad Yang Lain?

Apabila seorang mujtahid melakukan ijtihad untuk (menentukan) hukum dari suatu
permasalahan yang masih dalam ranah ijtihad, dan ia sampai pada kesimpulan hukum
syar’i tersebut, maka dalam waktu yang bersamaan tidak bisa dibayangkan bahwa ia
melakukan ijtihad lain tentang masalah yang sama, lalu sampai pada kesimpulan hukum
yang berbeda (dengan hukum yang pertama). Sebab, ia harus menyandarkan setiap
ijtihadnya pada dalil syar’i, sedangkan apabila ada dua dalil syar’i yang kontradiktif,
maksudnya pada saat yang sama salah satu dalil tersebut menunjukkan hukum yang
berbeda dengan yang ditunjukkan dalil lain, padahal permasalahannya sama, maka kedua
hukum tersebut tidak bisa diamalkan secara bersamaan. Akan tetapi harus dilakukan
pengompromian terhadap kedua dalil tersebut, memilih salah satu yang terkuat, atau
menganggap dalil yang terdahulu telah dinasakh (dihapus) dengan dalil yang belakangan.
Jika tidak mungkin mengompromikan, memilih yang terkuat, dan mencari dalil yang
dinasakh, maka ia harus berhenti mengamalkan keduanya (tawaquf).
Apabila seorang mujtahid menetapkan suatu hukum dengan ijtihadnya, kemudian
ternyata ijtihadnya itu keliru, karena menyelisihi dalil syar’i yang bersifat qath’i (pasti,
tidak memungkinkan banyak makna), seperti halnya jika ia memutuskan hukum yang tidak
sesuai dengan apa yang ditunjukkan nash yang bersifat eksplisit atau dengan selain apa
yang disepakati para mujtahid (ijma'), maka ijtihad nya yang kedua itu membatalkan
hukum yang disimpulkan dari ijtihad nya yang pertama. Sebab, ia telah meyakini bahwa
itu bukanlah hukum syar’i untuk permasalahan tersebut. Barangkali inilah dasar peninjauan
kembali pada hukum yang bersifat final. (Khallaf, Ijtihad Dalam Syariat Islam, 2015)

J. Perspektif Barat

Dalam perspektif barat tidak memandang adanya ijtihad. Mereka terfokus hanya
pada satu sumber hukum, yaitu hukum secara umum seperti hukum perundang-undangan.

12
Mereka menciptakan hukum dengan melibatkan orang-orang yang mempunyai wewenang
dalam bernegara. Mereka memandang manusia sebagai subjek dan objek dari hukum sama
seperti dalam hukum islam. Mereka juga memandang bahwa hukum islam baik itu hukum
utama ataupun hukum kedua merupakan hukum yang bias karena beralaskan pada sesuatu
yang ghaib mereka memaknai bahwa hukum-hukum islam itu terlalu mengekang atau
terlalu membatasi pada setiap aspek kehidupan.

13
BAB II
PENUTUP

A. Kesimpulan

Islam mempunyai hukum tersendiri yang mengatur pada kehidupan setiap umatnya.
Dalam hukum islam, tuhan yaitu allah swt. Dijadikan sebagai sumber utama dalam
menentukan hukum melalui wahyunya kepada nabi muhammad saw atau sebagai umat
islam mengenalnya sebagai Alquran. Hukum kedua yang dijadikan hukum islam ialah
sunnah atau hadist Nabi Muhammad SAW. Dalam islam juga mengenal ijtihad sebagai
proses menentukan hukum yang selaras dengan Al-Quran dan hadist Nabi.
Sedangkan perspektif barat mempunyai hukum tersendiri yang sangat signifikan
berada dengan hukum-hukum islam. Mereka mengedepankan asas logis tapi tidak diiringi
dengan keimanan. Sumber mereka pun, tidak didasarkan pada asas ketuhanan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Khalaf, Abdul W. 2015. Ijtihad dalam Syariat Islam. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar
Amin Muhammad. 1991. Ijtihad Ibn Taimiyah dalam Bidang Fikih Islam. Jakarta: INIS
Hasan Ahmad. 1984. Pintu Ijhad sebelum Tertutup. Bandung: Pustaka
Aji, Ahmad Mukri. 2022. Kontekstualisasi Ijtihad dalam Diskursus Pemikiran Hukum
Islam di Indonesia. Bogor: Pustaka Pena Ilahi
Shidiq Saipudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Lailam Tanto. 2017. Teori & Hukum Perundang-Undangan. Yogyakarta: Team Pustaka
Pelajar
Abbas, Ibrahim Ahmad. 1993. Teori Ijtihad dalam Hukum Islam. Semarang: Toha Putra
Semarang
Djamali Faturrahman. 1995. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta: Logos
Publishing House
Wahyuni Sri. 2016. Transplantasi Hukum; Hukum Barat dalam Reformasi Hukum Islam.
Yogyakarta: Calpulis
Syalabi Ahmad. 1992. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Mutiara
Herlambang, Dicky. Metode-metode Ijtihad. Diakses pada 28 Mei 2023 melalui
https://www.scribd.com/document/360446194/Metode-Metode-ijtihad
Wikipedia. 2022. Ijtihad. Diakses pada 28 Mei melalui
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ijtihad
Berita Terkini. 2021. 9 Metode Ijtihad dalam Hukum Islam. Diakses pada 28 Mei 2023
melalui https://m.kumparan.com/amp/berita-terkini/9-metode-ijtihad-dalam-
hukum-islam-1vs1ykmrKzs
Nurfajrina, Azkia. 2023. Mengenal Arti Ijtihad Beserta Fungsi, Rukun, dan Metodenya.
Diakses pada 28 Mei 2023 melalui https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-
6592361/mengenal-arti-ijtihad-beserta-fungsi-rukun-dan-metodenya/amp
Azizah, Kurnia. 2022. Apa Itu Ijtihad dan Contohnya dalam Kehidupan, Ketahui Siapa
yang Bisa Melakukan. Diakses pada 28 Mei 2023 melalui
https://www.merdeka.com/trending/apa-itu-ijtihad-dan-contohnya-dalam-
kehidupan-ketahui-siapa-yang-bisa-melakukan.html?page=6
Hallaq, Wael, B. 2009. An Introduction to Islamic Law. Inggris. Cambridge University
Press
Franck, Thomas, Martin. 1995. Fairness in International Law and Institutions.

15

Anda mungkin juga menyukai