Berdoa adalah suatu kebutuhan sekaligus kewajiban bagi setiap muslim. Karena pada dasarnya kita sebagai seorang manusia adalah sangat lemah. Kita tidak memiliki suatu kekuatan apa pun selain yang diberikan oleh Allah Ta’ala. Segala yang kita miliki sekarang ini ialah karena Allah dan semata-mata miliknya. Udara yang kita hirup, sinar matahari yang kita nikmati, air yang kita minum, dan kenikmatan lainnya hanya milik Allah SWT. Bahkan diri kita sendiri merupakan milik Allah dan di akhirat nanti akan dimintai pertanggung jawaban atasnya. Segala yang ada pada kita, semua itu karena kasih sayang dan rahmat-Nya. Kehidupan kita juga merupakan anugerah yang sangat berharga dari-Nya. Allah menciptakan kita kemudian memberikan kepada kita kehidupan di bumi ini lengkap dengan segala fasilitasnya. Kemudian dalam menjalani kehidupan ini, setiap manusia diberikan ujian. Ujian itu berlaku untuk semua manusia, terkhusus muslim. Ujian itu bisa berupa kesenangan atau kesusahan. Sebagian kita diberikan kekayaan yang pada dasarnya adalah ujian. Sebagian lain diberikan kemiskinan yang juga merupakan suatu ujian. Sebagian kita diberikan kelebihan fisik dan sebagian lain diberikan kekurangan fisik. Kedua-duanya juga merupakan suatu ujian. Penderitaan yang dialami oleh sebagian kaum muslim di beberapa wilayah seperti Palestina juga merupakan ujian dari Allah Ta’ala. Sebenarnya masih banyak lagi contoh ujian yang diberikan kepada kita. Tapi yang terpenting adalah bagaimana kita menjalani ujian-ujian sesuai dengan apa yang Allah inginkan. Dan salah satu cara dalam menjalani ujian itu adalah dengan doa. Sering kali sebagai muslim kita meremehkan akan peran dan manfaat do’a. Padahal ia memiliki tempat yang istimewa di dalam Islam. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menyuruh seorang muslim untuk berdo’a. Pengalaman saya dalam berkontribusi kepedulian terhadap saudara lita di Palestina hanya baru bisa dengan berdo’a sesering mungkin bagi mereka. Berdo’a untuk keselamatan mereka, untuk kebahagiaan mereka, untuk kepalangan mereka, dan untuk tetap teguh di jalan-Nya. Berdo’a supaya mereka dimudahkan dalam berjuang membebaskan diri dari penjajahan bangsa Israel. Membantu mereka meski hanya dengan do’a. Pedulil terhadap mereka walau hanya dengan do’a. Bila itu yang hanya bisa saya lakukan saat ini. Naskah Drama : Penjara Suci Judul: Penjara Suci Tema: Kehidupan di pesantren Latar: – Tempat: Pesantren, kelas, kantor, asrama Waktu: pagi hari, siang hari, malam hari Suasana: senang, tegang, mengharukan Pelaku: – Jajut : nakal, suka membantah, keras kepala Daffa : baik, tidak mudah terpengaruh, perhatian, setia kawan Damar: baik, tidak mudah terpengaruh Aksel: baik, berpendirian teguh H Mahari: baik, pekerja keras, penyayang Ustad Imam: baik, bijaksana Ustad Zidan: tegas Staf OSDI (Organisasi Santri Daarul Istiqoomah): tanggung jawab Alur: maju Jajut adalah seorang anak yang sangat nakal. Ia sudah sangat sering mendapat hukuman dari guru-gurunya di pesantren. Suatu hari, ia mencoba melarikan diri dari pesantren yang sering disebutnya sebagai penjara suci itu. Tetapi, usahanya gagal karena dilihat oleh mudabir yang sedang melakukan kontrol malam hari. Ia hampir lolos dari kejaran, namun ia menabrak Ustad Zidan. Akhirnya ia akan dikeluarkan dari pesantren. Tetapi, ayahnya (H. Mahari) terus memohon agar ia tidak di keluarkan. Akhirnya Jajut sadar bahwa ayahnya sangat ingin ia mondok di sana dan sangat memperhatikannya. Sejak saat itu, ia berjanji pada ayahnya dan Ustad Zidan bahwa ia tidak kan melanggar peraturan lagi. Pokok-pokok cerita : – Jajut adalah seorang yang sangat nakal Ia ingin melarikan diri dari pesantren. Orang tuanya dipangil ke pesantren karena ia ketahuan ingin melarikan diri. Ustad Zidan dan dewan guru akan mengeluarkan Jajut Jajut sadar bahwa yang ia lakukan salah dan berjanji tidak akan melanggar peraturan pesantren lagi.
Bagian: Drama tragedi
Babak I: Di malam hari, Jajut sedang berjalan mengendap – endap menelusuri semak belukar mendekati tembok pembatas pesantren. Ia ingin kabur, namun temannya Daffa dan Ustad Imam memergokinya. Babak II: Keesokan harinya, matahari sudah cukup tinggi. Hari sudah hampir siang. Kelas pun sebentar lagi dimulai. Namun, Jajut masih bermalas – malasan dan memainkan hp-nya. Babak III: Bel pun berbunyi tanda pelajaran dimulai. Pelajaran pertama adalah pelajaran Ustad Zidan, Ustad yang paling ditakuti oleh semua santri, termasuk Jajut. Jajut sudah terlambat masuk kelas. Ia segera berlari ke kelasnya. Namun, Ustad Zidan sudah menunggunya di depan pintu dan menyapanya dengan senyuman sinis. Babak IV: Hari sudah malam. Hujan deras mengguyur pesantren. Semua orang sudah terlelap. Namun, di suatu asrama 4 orang santri masih terjaga dan sedang bercakap- cakap membicarakan suatu hal. Babak V: Suara petir kembali menggema. Jajut menjalankan rencananya dengan mengenakan jaket. Babak VI: Keesokan harinya, suara bel berbunyi tanda pelajaran pertama dimulai. Pagi itu sangat cerah, tapi tidak dengan suasana hati Jajut dan ayahnya. Mereka ada di ruangan khusus kantor ma’had. Ustad Zidan masuk dan mereka bersalaman. Penjara Suci Jajut adalah santri di sebuah pesantren. Sekarang ia duduk di kelas I SMPI. Baru setengah tahun ia menjadi santri di sana, namun meskipun ia baru ia sering melanggar peraturan. Berbagai hukuman sudah ia terima, mulai dari teguran, dimarahi, di denda, di jemur di terik matahari, dan lain sebagainya. Namun, hal itu tidak mempan baginya. Babak I: Di malam hari, Jajut sedang berjalan mengendap – endap menelusuri semak belukar mendekati tembok pembatas pesantren. Ia ingin kabur, namun temannya Daffa dan Ustad Imam memergokinya. Jajut: (mengendap-endap) “ Wah, sudah sepi nih. Aku harus cepat agar tidak ada yang melihat.” Daffa: (berhenti sejenak) “Ustad, bukankah itu santri di sini?” Ustad Imam: “Iya, kamu benar.” (bergegas menghampiri Jajut) ”Hei, kamu mau kabur ya? Cepat kemari! Jangan kabur!” Jajut: “Sial, aku ketahuan! Daffa awas kau!” (berlari dari kejaran Ustad Imam) Daffa: (berkata dalam hati) “Astaga, itu Jajut. Gawat!” (ikut berlari) “Ustad, sudahlah biarkan saja” Ustad Imam : “Yasudahlah. Sebaiknya kita cepat ke asrama masing-masing.” Babak II: Keesokan harinya, matahari sudah cukup tinggi. Hari sudah hampir siang. Kelas pun sebentar lagi dimulai. Namun, Jajut masih bermalas – malasan dan memainkan hp nya. Daffa: “Jajut, cepat bersiap-siap! Sebentar lagi bel berbunyi.” Jajut: “Ah, sebentar lagi. Kamu duluan saja. Gara-gara kamu tadi malam aku hampir ketahuan. Jajut: (menghela nafas) “Iya maaf. Terserah kamu saja lah.” (dengan wajah kesal) Jajut: “Huh, dia mengganggu saja. Padahal sedang asyik main hp sambil merokok. Untung dia hanya sendirian. (Lalu bangun dari duduknya dan bersiap) Jajut: “Aku harus menyembunyikan hp dan rokokku. Kalau sampai ketahuan Ustad atau mudabir OSDI, bisa mati aku.” Babak III: Bel pun berbunyi tanda pelajaran dimulai. Pelajaran pertama adalah pelajaran Ustad Zidan, Ustad yang paling ditakuti oleh semua santri, termasuk Jajut. Jajut sudah terlambat masuk kelas. Ia segera berlari ke kelasnya. Namun, Ustad Zidan sudah menunggunya di depan pintu dan menyapanya dengan senyuman sinis. Jajut: “A..ssalamu’alaikum Ustad.” (terbata-bata dan gugup) Ustad Zidan: “Waalaikum salam.” (dengan dingin) (kelas hening sejenak) Ustad Zidan: “Jajut, sudah yang keberapa kalinya kamu terlambat?” Jajut: “A..afwan, ya Ustad.” Ustad Zidan : “Sepertinya hari ini cukup cerah. Bahkan bisa dibilang sangat cerah. Nah, silahkan kamu berjemur di depan sana. Lepas baju seragammu, acungkan peci di atas jari telunjukmu.” (seluruh kelas tertawa) Babak IV: Hari sudah malam. Hujan deras mengguyur pesantren. Semua orang sudah terlelap. Namun, di suatu asrama 4 orang santri masih terjaga dan sedang bercakap-cakap membicarakan suatu hal. Jajut: “Bagaimana?” (Daffa, Yahya, dan Edoy tampak berpikir keras) Daffa: “Tapi Jajut, ini terlalu beresiko. Aku takutnya….” Jajut: (menyela perkataan Daffa)“Apa yang kamu takutkan? Bukankah jika selarut itu takkan ada yang mengetahui aksi kita?” Damar : “Tapi kalau ada ustad atau pengurus OSDI yang kontrol malam bagaimana?” Jajut :“Apa susahnya untuk lari? Malam sangat gelap dan mereka pasti sulit menemukan kita” Aksel: “Tapi aku tak yakin bisa lolos semudah itu, Jajut.” Jajut: “Alaah, bilang saja kalau kalian takut!” (dengan kesal) Daffa: “Kami bukannya takut, tapi memikirkan resiko menyelusup ke pesanten putri itu sangat berbahaya, bahkan sangat fatal.” Damar: “Sudahlah Jajut, batalkan saja niatmu itu.” Jajut: “Tidak! Niatku sudah bulat. Aku sudah bosan hidup di pesantren begini-gini saja.” Daffa: (bangkit menuju kasurnya)”Kalau begitu, aku tidak bisa ikut dengan ide gilamu ini!” Aksel: “Maaf, aku juga tidak bisa. Aku mau tidur” Aksel: “Aku juga. Maaf.” Jajut: “Dasar pengecut.” (bergumam kesal) Babak V: Suara petir kembali menggema. Jajut menjalankan rencananya dengan mengenakan jaket. Jajut : “Ah, aman. Semua penghuni pesantren pasti sudah tidur. Saatnya beraksi.” (Ia siap meloncati pagar ke pesantren putri. Namun, tiba-tiba ada sekilat cahaya kuning tepat menyinari wajah Jajut.) Pengurua OSDI: “Siapa itu? Ada santri yang mau kabur! Cepat kejar!” Jajut: “Argh, sial! Aku ketahuan! Aku harus cepat kabur.” Pengurus OSDI : “Hey, berhenti! Jangan lari!” (Jajut sangat lelah. Ia berhenti di dekat asrama putri dengan nafas tak beraturan. Ia berencana akan bersembunyi di WC. Namun, ia menabrak seseorang.) Jajut: “Au! (kesakitan dan kaget) u…u…Ustad Zidan?? Babak VI: Keesokan harinya, suara bel berbunyi tanda pelajaran pertama dimulai. Pagi itu sangat cerah, tapi tidak dengan suasana hati Jajut dan ayahnya. Mereka ada di ruangan khusus kantor ma’had. Ustad Zidan masuk dan mereka bersalaman. Ustad Zidan: “Begini Pak H Mahari, bapak dipanggil ke sini karena anak bapak lagi-lagi melakukan kesalahan, yaitu berusaha kabur dari pesantren.” H Mahari: (diam dan mengangguk) “Iya, saya tahu Pak Ustad.” Ustad Zidan: “Namun kali ini kesalahan anak bapak sangat fatal. Kami dewan guru memutuskan untuk mengembalikan Jajut kepada bapak.” Pak H Mahari dan Jajut : (kaget) H Mahari: “Ustad, tidak bisakah anda memberikan hukuman yang lain? Ustad Zidan: “Ini sudah keputusan kami. Anak bapak sudah terlampau jauh melawan tata tertib pesantren.“ (Pak H Mahari terus berusaha agar Jajut tidak dikeluarkan) Ustad Zidan: “Nak Jajut, coba kamu jawab dengan jujur. Apakah kamu masih ingin mondok di sini?” Jajut: (tanpa sadar dan reflek) “Iya, Ustad. Saya masih ingin mondok di sini. Saya kasihan dengan ayah yang sudah membiayai saya.” Pak H Mahari dan Ustad Zidan : (terkejut) Ustad Zidan : “Pak H Mahari, coba bapak letakkan tangan bapak di atas meja. Jajut kamu juga.” Jajut dan Pak H Mahari : (bingung dan menuruti Ustad Zidan) Ustad Zidan: “Jajut, bandingkan. Lebih kasar mana tanganmu dengan tangan ayahmu?” Pak H Mahari: (tiba-tiba menangis) Jajut: (bingung, namun akhirnya ikut mengangis) Ustad Zidan: “Tidakkah kamu sadar, Jajut? Ayahmu banting tulang setiap hari bekerja keras sebagai buruh bangunan yang kasar. Beliau berjuang agar bisa membiayai sekolahmu.” Jajut: (mengangguk sambil menangis) Ustad Zidan: “Nah, maukah kamu berjanji kepada ayahmu bahwa kamu tidak akan mengulangi kesalahanmu? Apabila kamu berjanji, Ustad akan mencabut keputusan tadi dan kamu bisa tetap di sini. Jajut: “Saya mau Ustad, saya mau! Saya tidak akan melanggar peraturan lagi. Saya akan memperbaiki semua kesalahan yang telah saya buat.” Sejak saat itu, Jajut tidak lagi menjadi anak yang nakal. Dia menjadi anak yang baik, rajin, sopan, dan ramah. Ia menghabiskan waktu selama 2.5 tahun lagi di tempat yang tadinya ia anggap sebagai penjara suci itu untuk belajar. Ternyata yang ia butuhkan hanya perhatian dan rasa kasih sayang dari orang tuanya. 20 tahun kemudian, ia sudah menjadi orang yang sukses dan ia selalu belajar dari kesalahan yang pernah ia buat sepanjang hidupnya. TAMAT