Anda di halaman 1dari 7

Nama : Imam Fahroji

Semester :V

Mata kuliah : Penulisan Naskah TV

Berdo’a Untuk Muslim Palestina


Berdoa adalah suatu kebutuhan sekaligus kewajiban bagi setiap muslim. Karena
pada dasarnya kita sebagai seorang manusia adalah sangat lemah. Kita tidak memiliki
suatu kekuatan apa pun selain yang diberikan oleh Allah Ta’ala. Segala yang kita miliki
sekarang ini ialah karena Allah dan semata-mata miliknya. Udara yang kita hirup, sinar
matahari yang kita nikmati, air yang kita minum, dan kenikmatan lainnya hanya milik
Allah SWT. Bahkan diri kita sendiri merupakan milik Allah dan di akhirat nanti akan
dimintai pertanggung jawaban atasnya.
Segala yang ada pada kita, semua itu karena kasih sayang dan rahmat-Nya.
Kehidupan kita juga merupakan anugerah yang sangat berharga dari-Nya. Allah
menciptakan kita kemudian memberikan kepada kita kehidupan di bumi ini lengkap
dengan segala fasilitasnya. Kemudian dalam menjalani kehidupan ini, setiap manusia
diberikan ujian. Ujian itu berlaku untuk semua manusia, terkhusus muslim. Ujian itu bisa
berupa kesenangan atau kesusahan. Sebagian kita diberikan kekayaan yang pada
dasarnya adalah ujian. Sebagian lain diberikan kemiskinan yang juga merupakan suatu
ujian. Sebagian kita diberikan kelebihan fisik dan sebagian lain diberikan kekurangan
fisik. Kedua-duanya juga merupakan suatu ujian.
Penderitaan yang dialami oleh sebagian kaum muslim di beberapa wilayah seperti
Palestina juga merupakan ujian dari Allah Ta’ala. Sebenarnya masih banyak lagi
contoh ujian yang diberikan kepada kita. Tapi yang terpenting adalah bagaimana
kita menjalani ujian-ujian sesuai dengan apa yang Allah inginkan. Dan salah satu cara
dalam menjalani ujian itu adalah dengan doa. Sering kali sebagai muslim kita
meremehkan akan peran dan manfaat do’a. Padahal ia memiliki tempat yang istimewa
di dalam Islam. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menyuruh seorang muslim untuk
berdo’a.
Pengalaman saya dalam berkontribusi kepedulian terhadap saudara lita di Palestina
hanya baru bisa dengan berdo’a sesering mungkin bagi mereka. Berdo’a untuk
keselamatan mereka, untuk kebahagiaan mereka, untuk kepalangan mereka, dan untuk
tetap teguh di jalan-Nya. Berdo’a supaya mereka dimudahkan dalam berjuang
membebaskan diri dari penjajahan bangsa Israel. Membantu mereka meski hanya
dengan do’a. Pedulil terhadap mereka walau hanya dengan do’a. Bila itu yang hanya
bisa saya lakukan saat ini.
Naskah Drama : Penjara Suci
Judul: Penjara Suci
Tema: Kehidupan di pesantren
Latar: – Tempat: Pesantren, kelas, kantor, asrama
Waktu: pagi hari, siang hari, malam hari
Suasana: senang, tegang, mengharukan
Pelaku: – Jajut : nakal, suka membantah, keras kepala
Daffa : baik, tidak mudah terpengaruh, perhatian, setia kawan
Damar: baik, tidak mudah terpengaruh
Aksel: baik, berpendirian teguh
H Mahari: baik, pekerja keras, penyayang
Ustad Imam: baik, bijaksana
Ustad Zidan: tegas
Staf OSDI (Organisasi Santri Daarul Istiqoomah): tanggung jawab
Alur: maju
Jajut adalah seorang anak yang sangat nakal. Ia sudah sangat sering mendapat
hukuman dari guru-gurunya di pesantren. Suatu hari, ia mencoba melarikan diri dari
pesantren yang sering disebutnya sebagai penjara suci itu. Tetapi, usahanya gagal
karena dilihat oleh mudabir yang sedang melakukan kontrol malam hari. Ia hampir lolos
dari kejaran, namun ia menabrak Ustad Zidan. Akhirnya ia akan dikeluarkan dari
pesantren. Tetapi, ayahnya (H. Mahari) terus memohon agar ia tidak di keluarkan.
Akhirnya Jajut sadar bahwa ayahnya sangat ingin ia mondok di sana dan sangat
memperhatikannya. Sejak saat itu, ia berjanji pada ayahnya dan Ustad Zidan bahwa ia
tidak kan melanggar peraturan lagi.
Pokok-pokok cerita : – Jajut adalah seorang yang sangat nakal Ia ingin melarikan diri
dari pesantren. Orang tuanya dipangil ke pesantren karena ia ketahuan ingin melarikan
diri.
Ustad Zidan dan dewan guru akan mengeluarkan Jajut
Jajut sadar bahwa yang ia lakukan salah dan berjanji tidak akan melanggar peraturan
pesantren lagi.

Bagian: Drama tragedi


Babak I: Di malam hari, Jajut sedang berjalan mengendap – endap menelusuri semak
belukar mendekati tembok pembatas pesantren. Ia ingin kabur, namun temannya Daffa
dan Ustad Imam memergokinya.
Babak II: Keesokan harinya, matahari sudah cukup tinggi. Hari sudah hampir siang.
Kelas pun sebentar lagi dimulai. Namun, Jajut masih bermalas – malasan dan
memainkan hp-nya.
Babak III: Bel pun berbunyi tanda pelajaran dimulai. Pelajaran pertama adalah
pelajaran Ustad Zidan, Ustad yang paling ditakuti oleh semua santri, termasuk Jajut.
Jajut sudah terlambat masuk kelas. Ia segera berlari ke kelasnya. Namun, Ustad Zidan
sudah menunggunya di depan pintu dan menyapanya dengan senyuman sinis.
Babak IV: Hari sudah malam. Hujan deras mengguyur pesantren. Semua orang sudah
terlelap. Namun, di suatu asrama 4 orang santri masih terjaga dan sedang bercakap-
cakap membicarakan suatu hal.
Babak V: Suara petir kembali menggema. Jajut menjalankan rencananya dengan
mengenakan jaket.
Babak VI: Keesokan harinya, suara bel berbunyi tanda pelajaran pertama dimulai. Pagi
itu sangat cerah, tapi tidak dengan suasana hati Jajut dan ayahnya. Mereka ada di
ruangan khusus kantor ma’had. Ustad Zidan masuk dan mereka bersalaman.
Penjara Suci
Jajut adalah santri di sebuah pesantren. Sekarang ia duduk di kelas I SMPI. Baru
setengah tahun ia menjadi santri di sana, namun meskipun ia baru ia sering melanggar
peraturan. Berbagai hukuman sudah ia terima, mulai dari teguran, dimarahi, di denda,
di jemur di terik matahari, dan lain sebagainya. Namun, hal itu tidak mempan baginya.
Babak I:
Di malam hari, Jajut sedang berjalan mengendap – endap menelusuri semak belukar
mendekati tembok pembatas pesantren. Ia ingin kabur, namun temannya Daffa dan
Ustad Imam memergokinya.
Jajut: (mengendap-endap) “ Wah, sudah sepi nih. Aku harus cepat agar tidak ada yang
melihat.”
Daffa: (berhenti sejenak) “Ustad, bukankah itu santri di sini?”
Ustad Imam: “Iya, kamu benar.” (bergegas menghampiri Jajut) ”Hei, kamu mau kabur
ya? Cepat kemari! Jangan kabur!”
Jajut: “Sial, aku ketahuan! Daffa awas kau!” (berlari dari kejaran Ustad Imam)
Daffa: (berkata dalam hati) “Astaga, itu Jajut. Gawat!” (ikut berlari) “Ustad, sudahlah
biarkan saja”
Ustad Imam : “Yasudahlah. Sebaiknya kita cepat ke asrama masing-masing.”
Babak II:
Keesokan harinya, matahari sudah cukup tinggi. Hari sudah hampir siang. Kelas pun
sebentar lagi dimulai. Namun, Jajut masih bermalas – malasan dan memainkan hp nya.
Daffa: “Jajut, cepat bersiap-siap! Sebentar lagi bel berbunyi.”
Jajut: “Ah, sebentar lagi. Kamu duluan saja. Gara-gara kamu tadi malam aku hampir
ketahuan.
Jajut: (menghela nafas) “Iya maaf. Terserah kamu saja lah.” (dengan wajah kesal)
Jajut: “Huh, dia mengganggu saja. Padahal sedang asyik main hp sambil merokok.
Untung dia hanya sendirian.
(Lalu bangun dari duduknya dan bersiap)
Jajut: “Aku harus menyembunyikan hp dan rokokku. Kalau sampai ketahuan Ustad atau
mudabir OSDI, bisa mati aku.”
Babak III:
Bel pun berbunyi tanda pelajaran dimulai. Pelajaran pertama adalah pelajaran Ustad
Zidan, Ustad yang paling ditakuti oleh semua santri, termasuk Jajut. Jajut sudah
terlambat masuk kelas. Ia segera berlari ke kelasnya. Namun, Ustad Zidan sudah
menunggunya di depan pintu dan menyapanya dengan senyuman sinis.
Jajut: “A..ssalamu’alaikum Ustad.” (terbata-bata dan gugup)
Ustad Zidan: “Waalaikum salam.” (dengan dingin)
(kelas hening sejenak)
Ustad Zidan: “Jajut, sudah yang keberapa kalinya kamu terlambat?”
Jajut: “A..afwan, ya Ustad.”
Ustad Zidan : “Sepertinya hari ini cukup cerah. Bahkan bisa dibilang sangat cerah. Nah,
silahkan kamu berjemur di depan sana. Lepas baju seragammu, acungkan peci di atas
jari telunjukmu.”
(seluruh kelas tertawa)
Babak IV:
Hari sudah malam. Hujan deras mengguyur pesantren. Semua orang sudah terlelap.
Namun, di suatu asrama 4 orang santri masih terjaga dan sedang bercakap-cakap
membicarakan suatu hal.
Jajut: “Bagaimana?”
(Daffa, Yahya, dan Edoy tampak berpikir keras)
Daffa: “Tapi Jajut, ini terlalu beresiko. Aku takutnya….”
Jajut: (menyela perkataan Daffa)“Apa yang kamu takutkan? Bukankah jika selarut
itu takkan ada yang mengetahui aksi kita?”
Damar : “Tapi kalau ada ustad atau pengurus OSDI yang kontrol malam bagaimana?”
Jajut :“Apa susahnya untuk lari? Malam sangat gelap dan mereka pasti sulit
menemukan kita”
Aksel: “Tapi aku tak yakin bisa lolos semudah itu, Jajut.”
Jajut: “Alaah, bilang saja kalau kalian takut!” (dengan kesal)
Daffa: “Kami bukannya takut, tapi memikirkan resiko menyelusup ke pesanten putri itu
sangat berbahaya, bahkan sangat fatal.”
Damar: “Sudahlah Jajut, batalkan saja niatmu itu.”
Jajut: “Tidak! Niatku sudah bulat. Aku sudah bosan hidup di pesantren begini-gini saja.”
Daffa: (bangkit menuju kasurnya)”Kalau begitu, aku tidak bisa ikut dengan ide gilamu
ini!”
Aksel: “Maaf, aku juga tidak bisa. Aku mau tidur”
Aksel: “Aku juga. Maaf.”
Jajut: “Dasar pengecut.” (bergumam kesal)
Babak V:
Suara petir kembali menggema. Jajut menjalankan rencananya dengan mengenakan
jaket.
Jajut : “Ah, aman. Semua penghuni pesantren pasti sudah tidur. Saatnya beraksi.”
(Ia siap meloncati pagar ke pesantren putri. Namun, tiba-tiba ada sekilat cahaya kuning
tepat menyinari wajah Jajut.)
Pengurua OSDI: “Siapa itu? Ada santri yang mau kabur! Cepat kejar!”
Jajut: “Argh, sial! Aku ketahuan! Aku harus cepat kabur.”
Pengurus OSDI : “Hey, berhenti! Jangan lari!”
(Jajut sangat lelah. Ia berhenti di dekat asrama putri dengan nafas tak beraturan. Ia
berencana akan bersembunyi di WC. Namun, ia menabrak seseorang.)
Jajut: “Au! (kesakitan dan kaget) u…u…Ustad Zidan??
Babak VI:
Keesokan harinya, suara bel berbunyi tanda pelajaran pertama dimulai. Pagi itu sangat
cerah, tapi tidak dengan suasana hati Jajut dan ayahnya. Mereka ada di ruangan
khusus kantor ma’had. Ustad Zidan masuk dan mereka bersalaman.
Ustad Zidan: “Begini Pak H Mahari, bapak dipanggil ke sini karena anak bapak lagi-lagi
melakukan kesalahan, yaitu berusaha kabur dari pesantren.”
H Mahari: (diam dan mengangguk) “Iya, saya tahu Pak Ustad.”
Ustad Zidan: “Namun kali ini kesalahan anak bapak sangat fatal. Kami dewan guru
memutuskan untuk mengembalikan Jajut kepada bapak.”
Pak H Mahari dan Jajut : (kaget)
H Mahari: “Ustad, tidak bisakah anda memberikan hukuman yang lain?
Ustad Zidan: “Ini sudah keputusan kami. Anak bapak sudah terlampau jauh melawan
tata tertib pesantren.“
(Pak H Mahari terus berusaha agar Jajut tidak dikeluarkan)
Ustad Zidan: “Nak Jajut, coba kamu jawab dengan jujur. Apakah kamu masih ingin
mondok di sini?”
Jajut: (tanpa sadar dan reflek) “Iya, Ustad. Saya masih ingin mondok di sini. Saya
kasihan dengan ayah yang sudah membiayai saya.”
Pak H Mahari dan Ustad Zidan : (terkejut)
Ustad Zidan : “Pak H Mahari, coba bapak letakkan tangan bapak di atas meja. Jajut
kamu juga.”
Jajut dan Pak H Mahari : (bingung dan menuruti Ustad Zidan)
Ustad Zidan: “Jajut, bandingkan. Lebih kasar mana tanganmu dengan tangan
ayahmu?”
Pak H Mahari: (tiba-tiba menangis)
Jajut: (bingung, namun akhirnya ikut mengangis)
Ustad Zidan: “Tidakkah kamu sadar, Jajut? Ayahmu banting tulang setiap hari bekerja
keras sebagai buruh bangunan yang kasar. Beliau berjuang agar bisa membiayai
sekolahmu.”
Jajut: (mengangguk sambil menangis)
Ustad Zidan: “Nah, maukah kamu berjanji kepada ayahmu bahwa kamu tidak akan
mengulangi kesalahanmu? Apabila kamu berjanji, Ustad akan mencabut keputusan tadi
dan kamu bisa tetap di sini.
Jajut: “Saya mau Ustad, saya mau! Saya tidak akan melanggar peraturan lagi. Saya
akan memperbaiki semua kesalahan yang telah saya buat.”
Sejak saat itu, Jajut tidak lagi menjadi anak yang nakal. Dia menjadi anak yang baik,
rajin, sopan, dan ramah. Ia menghabiskan waktu selama 2.5 tahun lagi di tempat yang
tadinya ia anggap sebagai penjara suci itu untuk belajar. Ternyata yang ia butuhkan
hanya perhatian dan rasa kasih sayang dari orang tuanya.
20 tahun kemudian, ia sudah menjadi orang yang sukses dan ia selalu belajar dari
kesalahan yang pernah ia buat sepanjang hidupnya.
TAMAT

Anda mungkin juga menyukai