Judul: Penjara Suci
Tema: Kehidupan di pesantren
Alur: maju
Faqih adalah seorang anak yang sangat nakal. Ia sudah sangat sering
mendapat hukuman dari guru-gurunya di pesantren. Suatu hari, ia
mencoba melarikan diri dari pesantren yang sering disebutnya sebagai
penjara suci itu. Tetapi, usahanya gagal karena dilihat oleh staf OSIS yang
sedang melakukan kontrol malam hari. Ia hampir lolos dari kejaran,
namun ia menabrak Ustad Zein. Akhirnya ia akan dikeluarkan dari
pesantren. Tetapi, ayahnya (Pak Rustam) terus memohon agar ia tidak di
keluarkan. Akhirnya Faruq sadar bahwa ayahnya sangat ingin ia
bersekolah di sana dan sangat memperhatikannya. Sejak saat itu, ia
berjanji pada ayahnya dan ustad Zein bahwa ia tidak kan melanggar
peraturan lagi.
Faruq sadar bahwa yang ia lakukan salah dan berjanji tidak akan
melanggar peraturan pesantren lagi.
Babak II: Keesokan harinya, matahari sudah cukup tinggi. Hari sudah
hampir siang. Kelas pun sebentar lagi dimulai. Namun, Faqih masih
bermalas – malasan dan memainkan hp-nya.
Babak III: Bel pun berbunyi tanda pelajaran dimulai. Pelajaran pertama
adalah pelajaran Ustad Zein, ustad yang paling ditakuti oleh semua santri,
termasuk Faruq. Faruq sudah terlambat masuk kelas. Ia segera berlari ke
kelasnya. Namun, Ustad Zein sudah menunggunya di depan pintu dan
menyapanya dengan senyuman sinis.
Babak IV: Hari sudah malam. Hujan deras mengguyur pesantren. Semua
orang sudah terlelap. Namun, di suatu asrama 4 orang santri masih terjaga
dan sedang bercakap-cakap membicarakan suatu hal.
Babak VI: Keesokan harinya, suara bel berbunyi tanda pelajaran pertama
dimulai. Pagi itu sangat cerah, tapi tidak dengan suasana hati Faruq dan
ayahnya. Mereka ada di ruangan khusus kantor ma’had. Ustad Zein masuk
dan mereka bersalaman.
Faruq: (mengendap-endap) “ Wah, sudah sepi nih. Aku harus cepat agar
tidak ada yang melihat.”
Ustad Faqih: “Iya, kamu benar.” (bergegas menghampiri Faruq) ”Hei, kamu
mau kabur ya? Cepat kemari! Jangan kabur!”
Faruq: “Sial, aku ketahuan! Ahmad awas kau!” (berlari dari kejaran Ustad
Faqih)
Ahmad: (berkata dalam hati) “Astaga, itu Faruq. Gawat!” (ikut berlari)
Babak II:
Keesokan harinya, matahari sudah cukup tinggi. Hari sudah hampir siang.
Kelas pun sebentar lagi dimulai. Namun, Faqih masih bermalas – malasan
dan memainkan hp-nya.
Faruq: “Ah, sebentar lagi. Kamu duluan saja. Gara-gara kamu tadi malam
aku hampir ketahuan.
Ahmad: (menghela nafas) “Iya maaf. Terserah kamu saja lah.” (dengan
wajah kesal)
Faruq: “Huh, dia mengganggu saja. Padahal sedang asyik main hp sambil
merokok. Untung dia hanya sendirian.
Babak III:
Bel pun berbunyi tanda pelajaran dimulai. Pelajaran pertama adalah
pelajaran Ustad Zein, ustad yang paling ditakuti oleh semua santri,
termasuk Faruq. Faruq sudah terlambat masuk kelas. Ia segera berlari ke
kelasnya. Namun, Ustad Zein sudah menunggunya di depan pintu dan
menyapanya dengan senyuman sinis.
Ustad Zein : “Sepertinya hari ini cukup cerah. Bahkan bisa dibilang sangat
cerah. Nah, silahkan kamu berjemur di depan sana. Lepas baju
seragammu, acungkan peci di atas jari telunjukmu.”
Babak IV:
Hari sudah malam. Hujan deras mengguyur pesantren. Semua orang sudah
terlelap. Namun, di suatu asrama 4 orang santri masih terjaga dan sedang
bercakap-cakap membicarakan suatu hal.
Faruq: “Bagaimana?”
Faruq :“Apa susahnya untuk lari? Malam sangat gelap dan mereka pasti
sulit menemukan kita”
Yahya: “Tapi aku tak yakin bisa lolos semudah itu, Faruq.”
Faruq: “Tidak! Niatku sudah bulat. Aku sudah bosan hidup di pesantren
begini-gini saja.”
Babak V:
Suara petir kembali menggema. Faruq menjalankan rencananya dengan
mengenakan jaket.
Faruq : “Ah, aman. Semua penghuni pesantren pasti sudah tidur. Saatnya
beraksi.”
(Ia siap meloncati pagar ke pesantren putri. Namun, tiba-tiba ada sekilat
cahaya kuning tepat menyinari wajah Faruq.)
Staf OSIS: “Siapa itu? Ada santri yang mau kabur! Cepat kejar!”
Babak VI:
Keesokan harinya, suara bel berbunyi tanda pelajaran pertama dimulai.
Pagi itu sangat cerah, tapi tidak dengan suasana hati Faruq dan ayahnya.
Mereka ada di ruangan khusus kantor ma’had. Ustad Zein masuk dan
mereka bersalaman.
Ustad Zein: “Begini Pak Rustam, bapak dipanggil ke sini karena anak bapak
lagi-lagi melakukan kesalahan, yaitu berusaha kabur dari pesantren.”
Pak Rustam: (diam dan mengangguk) “Iya, saya tahu Pak Ustad.”
Ustad Zein: “Namun kali ini kesalahan anak bapak sangat fatal. Kami
dewan guru memutuskan untuk mengembalikan Faruq kepada bapak.”
Pak Rustam: “Ustad, tidak bisakah anda memberikan hukuman yang lain?
Ustad Zein: “Ini sudah keputusan kami. Anak bapak sudah terlampau jauh
melawan tata tertib pesantren.“
Ustad Zein: “Nak Faruq, coba kamu jawab dengan jujur. Apakah kamu
masih ingin bersekolah di sini?”
Faruq: (tanpa sadar dan reflek) “Iya, Ustad. Saya masih ingin sekolah di sini.
Saya kasihan dengan ayah yang sudah membiayai saya.”
Ustad Zein : “Pak Rustam, coba bapak letakkan tangan bapak di atas meja.
Faruq kamu juga.”
Ustad Zein: “Tidakkah kamu sadar, Faruq? Ayahmu banting tulang setiap
hari bekerja keras sebagai buruh bangunan yang kasar. Beliau berjuang
agar bisa membiayai sekolahmu.”
Ustad Zein: “Nah, maukah kamu berjanji kepada ayahmu bahwa kamu
tidak akan mengulangi kesalahanmu? Apabila kamu berjanji, ustad akan
mencabut keputusan tadi dan kamu bisa tetap di sini.
Faruq: “Saya mau ustadz, saya mau! Saya tidak akan melanggar peraturan
lagi. Saya akan memperbaiki semua kesalahan yang telah saya buat.”
Sejak saat itu, Faruq tidak lagi menjadi anak yang nakal. Dia menjadi anak
yang baik, rajin, sopan, dan ramah. Ia menghabiskan waktu selama 2 tahun
lagi di tempat yang tadinya ia anggap sebagai penjara suci itu untuk
belajar. Ternyata yang ia butuhkan hanya perhatian dan rasa kasih sayang
dari orang tuanya.
TAMAT