Anda di halaman 1dari 4

Bagian 5 : Joko Samudro berguru ke sunan Ampel.

…..

Pada usia 16 tahuh, Joko Samudro meminta izin Ibunya, Nyi Ageng Pinatih, untuk pergi kearah timur
menuju Ampel Delta. Menuju sebuah cakrawala dengan tebaran ilmu pengetahuan. Di tempat itu
terdapat bintang terang bernama Raden Rahmat, atau dikenal pula dengan nama Sunan Ampel. seorang
alim yang berasal dari negeri Champa, Vietnam Utara kalau sekarang.

Tidak seperti beberapa tahun sebelumnya saat Joko Samudro minta ikut Bureroh pergi ke Bali. Waktu itu
terjadi perdebatan antara anak dan ibu sebelum berangkat. Tapi kali ini permintaan Joko Samudro
segera mendapatkan persetujuan sang ibu, Nyi Ageng Pinatih, dengan tanpa banyak adu argumentasi.
Bahkan Nyi Ageng Pinatih sediri yang bersedia mengantarkan sampai tempat tujuan.

Joko Samudro berakta dalam hati, “Kok tumben si Bunda?”

Berangkatlah mereka menuju Desa Ampel yang terletak di Surabaya dengan menggunakan perjalanan
darat. Bureroh pelayan setia tak lupa ikut serta.

Sesampainya di sana, tidak sulit bagi mereka untuk menemui Sunan Ampel. Bukan lantaran Nyi Ageng
Pinatih adalah pejabat negara, melainkan Sunan Ampel memang bersedia menerima siapa saja.

Setelah berbasa-basi sejenak, selepas menanyakan kabar dan saling mencecap minuman yang
disuguhkan, Nyai Ageng Pinatih meminta izin menitipkan anaknya menjadi santri di Ampel.

Sunan Ampel melihat Joko Samudro dengan tatapan seorang salik kepada murid. Dengan sorot mata
ayah kepada anaknya. Mata jasadnya melihat seorang remaja tampan dan gagah, mata batinnya melihat
mahluk Allah dengan sekian banyak keistimewaan. Dalam hati, Sunan Ampel memuji kebesaran Allah,
sang pencipta segalanya.

“Siapa anak ini?”

Bureroh menghentikan aktifitasnya. Ia sedang mengunyah jenang sembari memungut jenang


berikutnya. Tanganya menggantung setengah ayunan, kemudian melirik ke Nyai Ageng Pinatih.

“Namanya Joko Samudro,” Nyi Ageng Pinatih mengenalkan anaknya.

Joko Samudro mengangguk sopan. Bureroh tampak lega lalu melanjutkan mengunyah jenang.

“Tampan, serta baik budi pekertinya.” Sunan Ampel bertanya kepada Nyai Ageng Pinatih. “Anak siapa
ini?”

‘’Kanjeng Sunan sudah mengetahuinya”

Kanjeng Sunan Ampel tersenyum, dan berkata: “Ya, tinggalkan anak ini.”

“Terus saya bagiamana bu?” Bureroh bertanya.

“Kamu juga tinggal di sini ya. Temanin kakak jadi santri di sini.”

Bureroh menjawab, “Ahhsyiaappp….”


Nyai Ageng kemudian mohon pamit pulang dan meninggalkan Joko Samudro dan Bureroh di Ampel
Delta.

sejak hari itu Joko Samudro terdaftar menjadi murid langsung Sunan Ampel.

Diantara sekian banyak santri yang ada, Joko Samudro jauh lebih menonjol dari yang lain. Ia dapat
menangkap dengan cepat semua yang diajarkan Sunan Ampel. Jika ada tugas menghafal, Ia paling
pertama bisa menyetorkan tugasnya. Dia juga paling giat melaksanakan perintah.

Dalam waktu singkat Joko Samudro sudah menghafal Sebagian ayat al-Qur’an, hadits shohih, atau
kaidah fiqih.

Pada suatu malam ketika para santri sedang tidur di surau, Sunan Ampel melihat sebuah sinar terang
menyilaukan mata datang dari sana. Cahaya itu berpendar bukan dalam warna kekuningan, berarti
bukan berasal dari lampu minyak.

Kanjeng Sunan Ampel bergegas melangkah untuk memastikan apa yang sedang terjadi di dalam surau.
Tampak jelas bahwa sinar itu keluar dari salah satu santrinya yang sedang tertidur pulas sementara yang
lain mendengkur keras.

Cahaya itu terlalu tajam bagi Sunan Ampel untuk dapat memastikan siapa yang sedang tidur sambil
bersinar. Maka Sunan Ampel meraih lipatan sarung anak yang sedang menyala itu, lalu mengikat ujung
kain menjadi simpul untuk meninggalkan jejak. Setelah itu Sunan Ampel kembali kediamannya tak jauh
dari surau.

Setelah sholat Subuh berjamaah Sunan Ampel bertanya kepada santrinya “Masing-masing silahkan
periksa kain sarung kalian, siapa yang ada lipatannya?”

Para santri yang masih duduk dalam barisan sholat itu saling memeriksa sarungnya sendiri-sendiri.

Ada yang mau memeriksa sarung temannya, tapi dikibaskan tangannya…”Apaan sih lu….”

Salah satu santri pada barisan kedua dengan badan gemuk berambut keriting mengangkat tangan.
Dengan sedikit ragu Sunan Ampel bertanya, “Sarungmu ada ikatannya?”

Rupanya santri gemuk berambut keriting itu menggeleng. Dia lantas menunjuk santri di depannya yang
tak lain adalah Joko Samudro.

Sunan Ampel mengangguk. Sejak awal Sunan Ampel sebetulnya sudah curiga bahwa santrinya ini
bukanlah anak sembarangan. Dan setelah Nyai Ageng Pinatih menceritakan sejarah penemuan bayi Joko
Samudro yang waktu itu terapung dalam kotak menyala-nyala di tengah selat Bali puluhan tahun silam,
terkonfirmasilah bahwa santrinya yang sedang tidur sembari bersinar tubuhnya itu adalah anak dari
sepupunya sendiri, Syekh Maulana Ishaq.

Saat dulu Syekh Maulana Ishaq pamit pergi keluar rumah, sebetulnya beliau ingin berangkat ke Pasai
(Aceh, sekarang) dan sempat mampir ke Ampel, menenui saudara sepupunya yang tak lain adalah Sunan
Ampel. Pada pertemuan itulah beliau menceritakan kepada Sunan Ampel tentang ulah ayah mertuanya,
Pramu Menak Sembuyu, membuang cucunya sendiri ke laut.

Prabu Minak Sembuyu adalah anak Hayam Wuruk, memerintah Blambangan menggantikan Bre
Wirabumi alias Minak Jinggo yang mati pada saat perang paregreg 1404-1406. Minak jinggo…miring
enak njengking monggo…maksudnya kalau lagi sakit perut..dipake miring atau nungging gak papa yang
penting sakitnya mendingan…

Lanjut ke cerita….

Sunan Ampel berdiri dan memberi isyarat Joko Samudro untuk mengikutinya. Sebelum keluar surau,
Sunan Ampel berpesan supaya yang lain tetap meneruskan dzikir subuh.

Sunan Ampel mengajak Joko Samudro pergi ke sebuah tempat yang sepi. Hanya ada mereka berdua.
Angin subuh yang membawa dingin menusuk dan berbutir embun pada semak daun tidak dihitung.

Sunan Ampel tahu bahwa inilah saatnya. Saat dimana ia akan memaparkan ilmu kesejatian kepada
muridnya.

Joko Samudro mendengar suara keluar dari mulut Sunan Ampel, sangat lirih dan pelan. Hampir dalam
bisikan. Mulutnya Suanan Ampel bahkan tidak terlihat sedang bergerak. Joko Samudro mengira gurunya
sedang melafalkan dzikir seperti biasanya.

Di sebuah tempat yang nyaris tanpa suara, juga hampir tanpa cahaya Sunan Ampel ternyata sedang
membisikkan sebuah kata. Selanjutnya terjadi dialog yang barangkali hanya mereka yang mengetahui
kandungan maknanya.

“Apa yang kau dengar?” Joko Samudro menggelengkan kepala menjawab dengan rendah hati: “Saya
tidak tahu, Kanjeng Sunan pasti lebih tahu.”

Sang guru mendesak muridnya dengan pertanyaan yang sama. Dari ketegasan bertanya, Joko Samudro
tahu bahwa Sunan Ampel sedang serius bertanya, karena itu Joko Samudro memberanikan diri
melontarkan jawaban. Dan jawabannya saya tulis karena saya gak hafal… “birusati lapusali. Pankemana
tuapasama, watullahu. Pankabiran kamdulillahi kasirina. Bukratan Waasila inni Wajahtu. Itu yang saya
dengar.”

Sunan Ampel diam sebentar kamudian bertanya, “Apa artinya lafadz itu?”

Joko Samudro menjawab sembari bersedekap penuh takzim dihapan gurunya “Kanjeng Sunan lebih tahu
artinya, semoga kebaikan Allah tercurah padamu Kanjeng Sunan.”

Kanjeng Sunan Ampel berkata “Tanamkan ilmu yang akan saya sampaikan pada lahir dan teruskan
hingga batinmu. Jaga baik-baik jangan sampai dia terlepas : Orang yang belum cukup ilmunya, tapi
merasa telah menguasai segalanya, dia akan sering mengingkari janjinya. Kendatipun sudah banyak
berguru, tetapi ia tidaklah akan sampai pada pengetahuan yang murni. Berbeda dengan orang yang
mendapatkan ilmu dari guru sejati. Perbuatan lahirnya sejalan dengan gerak hatinya. Ia rajin sholat lima
waktu, rongga hatinya terpusat pada satu tujuan, yaitu pada pembuktian diri menjadi seorang mukmin.
Laku lahir dan gerak batinnya sesuai dengan hukum-hukum Allah Swt. Jalankan daim, sebab dari situlah
tersingkapnya alam gho’ib, yang merupakan benih gangguan umat manusia. Oleh sebab itu jangan
memanjakan hawa nafsu. Jangan menuruti angkara murka, supaya engkau mendapatkan penglihatan
yang terang benderang, terbebas dari tabir penghalang. Tetapkan hati pada petunjuk Allah, jangan takut
oleh pengaruh yang ghaib, jangan mudah tergoda pada bisikan hati yang seperti hembusan angin
penggoda jiwa. Telah tampak dihadapanku seorang kekasih Allah. Duhai anakku, ketahuilah dalam
dirimu terdapat kekuatan berkah. Alam akan menurutimu. Apa yang terbersit dalam hatimu menjadi
kenyataan. Tajam penglihatanmu akan segala hal. Tapi meskipun engkau selalu sholat dan tidak
tertinggal setiap harinya, tapi jika daimnya tidak terlaksana, kau tidaklah berbeda dengan mereka. Masih
kurang berpengharapan kepadaNya. Masih samar batinnya. Masih besar rasa kepemilikannya. Itulah
orang yang tergelincir akibat salah berpegang. Itulah orang berilmu yang tidak memahami batinnya
sendiri.”

Setelah Sunan Ampel selesai menasehati, Joko Samudro memohon doa restu untuk menjalani. Sunan
Ampel kemudian berkata, “Mulai saat ini, namamu adalah Raden Paku.”

Anda mungkin juga menyukai